"Berbahagialah dengan Fika, bukankah dia istri idamanmu selama ini? Perempuan seperti itu mungkin memang pantas bersanding denganmu, Ris. Kalian berdua serasi, sama-sama tak tahu diri. Jadi, kuharap kamu tak mengekang Hanin lagi. Kenapa terus mempertahankan Hanin jika dia bukanlah istri yang kamu impikan?" Mas Eros tak berhenti mencecar membuat wajah Mas Eris makin merah padam. "Kasihan ibu. Selama ini hanya bisa diam dan membiarkan rasa bencimu menjalar. Tak memberimu nasehat bukan karena tak cinta, tapi karena kamu tak pernah mau peduli dengan nasehat ibu. Kamu pikir ibu nggak sakit kepala melihat sikapmu yang semena-mena?" Laki-laki itu melemparkan jasnya ke sembarang arah lalu mencengkeram kerah baju Mas Eros. Bukannya melawan, laki-laki itu justru hanya diam seolah membiarkan saudara kembarnya melampiaskan amarahnya. "Lakukan apa yang kamu inginkan, Ris. Jika memang itu membuatmu puas dan lega, tapi setelah itu aku harap kamu menyadari kesalahan-kesalahanmu sendiri. Tak perlu k
"Jadi, kamu sudah memantapkan hati untuk berpisah dengan Eris, Nin?" tanya bapak dengan ekspresi shock setelah makan malam usai. "Iya, Pak. Hanin sudah yakin dengan keputusan ini. Maafkan Hanin yang nggak bisa menjadi menantu idaman bapak dan ibu. Maaf jika terlalu banyak kekurangan yang Hanin lakukan selama menjadi menantu di rumah ini." Tak terasa air mataku menetes perlahan ke pipi. Ibu hanya menghela napas panjang sembari menatapku lekat, sementara bapak masih terdiam di tempat. "Seharusnya bapak yang minta maaf sama kamu, Hanin. Bapak nggak bisa mendidik Eris menjadi suami yang baik, sampai dia mengabaikan istrinya sendiri." Aku mendongak sesaat lalu kembali menunduk. "Bukan salah bapak ataupun ibu. Mungkin memang sudah takdir dan Hanin yakin kelak akan ada hikmah yang bisa dipetik dari semua ini." Aku kembali mencoba tersenyum hanya agar ibu dan bapak tak terlalu mengkhawatirkan keadaanku. "Bapak nggak menyangka jika Eris benar-benar kembali dengan Fika. Padahal jelas perem
[Hari ini sidang perdana kita, Mas. Silakan datang jika kamu masih tak terima dengan gugatan ini. Kamu berhak melakukan pembelaan. Namun, aku harap kamu nggak datang supaya sidang lebih cepat kelar tanpa perlu mediasi. Aku sudah malas memperpanjang urusan kita.] Kukirimkan pesan singkat itu pada Mas Eris bakda subuh. Semoga saja dia segera membacanya agar dia tahu sebenarnya aku tak suka kedatangannya ke persidangan nanti. Aku berharap perceraian itu cepat usai dan nggak berlarut-larut. Rasanya sudah muak tiap kali mengingat sepak terjang laki-laki itu. Sejak akad nikahnya tiga hari lalu, Mas Eris benar-benar nggak pulang. Seolah sengaja agar aku meradang, padahal aku kini sudah mati rasa padanya. Detik ini aku kembali menata pakaian Mas Eris ke lemari. Beberapa stel baju dan celananya sudah nggak ada. Entah kapan dia mengambil pakaiannya. Mungkin saat aku berangkat ngajar dia pulang untuk membawa sebagian barang miliknya ke rumah perempuan itu. Entah. [Ternyata kamu benar-benar s
Suasana di rumah cukup ramai. Ada acara arisan keluarga besar yang diadakan sebulan sekali dan kebetulan rumah ibu sebagai tempat arisan kali ini. Saudara semata wayang bapak dan anak-anaknya semua lengkap, begitu pula dengan kedua adik ibu dan anak cucunya. Rumah benar-benar ramai dengan canda tawa dan celoteh riang anak-anak. Mereka bermain di halaman belakang saat aku menyiapkan hidangan di meja makan, sementara ibu masih menata ruang keluarga dengan menggelar karpet di sana. "Dengar-dengar Hanin sama Eris mau bercerai, Mbak? Seserius apa sih masalahnya mbak sampai mereka mau cerai segala." Pertanyaan adik perempuan ibu membuatku menghentikan langkah. Aku kembali ke dapur dan tak jadi ke kamar mandi saking penasaran apa yang akan mereka bicarakan selanjutnya. "Tahu darimana kamu, Yul?" tanya ibu yang menanggapinya dengan datar. Sepertinya ibu malas membahas masalah kabar perpisahanku itu, makanya suaranya terdengar lesu. "Banyak yang tahu soal itulah, Mbak. Kan waktu itu ada ya
Mas Eros datang dengan wajah kusut. Entah darimana dia sampai semurung dan seletih itu. Sepertinya sejak semalam dia nggak di rumah. Aku juga nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya sebab sejak pulang sidang kemarin aku langsung masuk kamar dan tak keluar lagi sampai pagi ini. "Hanin yang menggugat Eris. Dia yang menyerah menghadapi suaminya, kenapa bibi harus berada di pihaknya?" tanya Mas Eros kemudian."Apa bibi pura-pura nggak tahu kalau selama ini Eris sudah mengkhianati pernikahannya dengan Hanin? Eris terang-terangan berselingkuh dengan Fika bahkan sudah menikah lagi dengannya sebelum Hanin mengambil keputusan untuk menggugat dia, Bi. Bini tahu soal itu kan?" sambung Mas Eros kembali. Dia berusaha membuka pikiran bibi Yulia yang seolah menutup mata dan tak mau menerima kesalahan Mas Eris. Ibu terus berusaha menyudutkanku dengan alasan apapun."Sudah. Jangan diteruskan. Ini arisan keluarga. Kenapa jadi ajang ribut begini. Ibu nggak suka." Akhirnya ibu kembali menimpali.
Mas Eris benar-benar kelewat batas. Selain nggak tahu diri, ternyata dia juga nggak tahu malu. Sudah mencampakkanku begitu saja, kini kembali mengikatku hanya karena dendamnya. Aku yakin sekali dia sengaja melakukan ini agar Mas Eros sakit hati. Meski laki-laki itu tak mengatakan apapun padaku, tapi ucapan ibu dan bapak akhir-akhir ini cukup membuatku mengerti jika ada rasa yang dia simpan untukku selama ini. Rasa yang sudah hadir sejak lama bahkan sebelum aku menjadi adik iparnya. Aku sendiri tak ingat kapan pertama kali aku bertemu dengannya. Aku juga tak tahu mengapa dia membiarkanku menikah dengan saudara kembarnya jika dia memiliki rasa suka padaku lebih dulu. Apakah benar yang ibu bilang jika dia terlalu takut dan tak percaya diri untuk menyatakan cinta pada seseorang? Entah. Detik ini Mas Eris tersenyum sinis penuh kemenangan di depanku. Mungkin dia merasa aku tak bisa berbuat apa-apa untuk mematahkan rencana buruknya itu. Padahal, aku punya cara tersendiri untuk membuatnya
"Diam kamu, Ris!" sentak Mas Eros dengan wajah memerah. Sepertinya dia semakin emosi saat mendengar ucapan Mas Eris yang terdengar begitu meremehkannya. Lebih tepatnya sengaja meremehkan cintanya. "Kenapa? Kamu malu karena sekarang Hanin tahu kalau kamu memang menyukainya sejak dulu? Dicintai lelaki pengecut yang nggak berani menyatakan isi hatinya sendiri. Apa sekarang kamu menyesal sudah melepaskan Hanin padaku?" ujar Mas Eris lagi. Dari sikapnya, laki-laki itu benar-benar menantang Mas Eros. Senyum mengejek kembali terlihat jelas di kedua sudut bibirnya. Aku yakin detik ini dia sengaja membuat saudara kembarnya itu malu dan emosi."Ingat, Ros. Jika saat ini Hanin menderita, semua itu karena ulahmu. Kamu penyebabnya. Jadi, salahkan saja dirimu jika melihatnya sengsara. Salahkan ketidakberanianmu menyatakan cinta dan ketidakbecusanmu untuk menjaganya. Sekarang dia menjadi istriku karena kamu tak pernah berniat melamarnya. Jadi, jangan salahkan aku jika memanfaatkan kepolosannya itu!
POV : FIKAAku sengaja memilih dress putih bermotif bunga di bagian bawah sebagai lambang keceriaan dan kebahagiaan, persis yang kurasakan detik ini. Di depan cermin jelas kulihat wajah ini berbinar dengan senyum mengembang sempurna. Aku memang patut bahagia karena telah memenangkan tantangan kecil ini. Sesuatu yang harus kurayakan sebab berhasil merebut Mas Eris kembali. Dia yang dulu kupikir sudah jijik dan muak padaku karena pengkhianatan itu, ternyata tak seperti yang kubayangkan. Cintanya padaku terlampau dalam bahkan sampai hati menikahi gadis lain hanya untuk pelampiasan kekesalan dan kecemburuannya padaku. Aku benar-benar tak menyangka jika Mas Eris begitu mudah memaafkan kesalahan fatalku itu bahkan kini dia mau kembali bersamaku untuk mengukir janji setia di depanNya. Keputusan yang jelas sangat ditentang keluarganya, tapi tetap dia pilih demi bukti cintanya padaku. Dia tak peduli sekalipun berulang kali diingatkan tentang masa lalu pahit itu. Di saat aku meninggalkannya y