Suasana di rumah cukup ramai. Ada acara arisan keluarga besar yang diadakan sebulan sekali dan kebetulan rumah ibu sebagai tempat arisan kali ini. Saudara semata wayang bapak dan anak-anaknya semua lengkap, begitu pula dengan kedua adik ibu dan anak cucunya. Rumah benar-benar ramai dengan canda tawa dan celoteh riang anak-anak. Mereka bermain di halaman belakang saat aku menyiapkan hidangan di meja makan, sementara ibu masih menata ruang keluarga dengan menggelar karpet di sana. "Dengar-dengar Hanin sama Eris mau bercerai, Mbak? Seserius apa sih masalahnya mbak sampai mereka mau cerai segala." Pertanyaan adik perempuan ibu membuatku menghentikan langkah. Aku kembali ke dapur dan tak jadi ke kamar mandi saking penasaran apa yang akan mereka bicarakan selanjutnya. "Tahu darimana kamu, Yul?" tanya ibu yang menanggapinya dengan datar. Sepertinya ibu malas membahas masalah kabar perpisahanku itu, makanya suaranya terdengar lesu. "Banyak yang tahu soal itulah, Mbak. Kan waktu itu ada ya
Mas Eros datang dengan wajah kusut. Entah darimana dia sampai semurung dan seletih itu. Sepertinya sejak semalam dia nggak di rumah. Aku juga nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya sebab sejak pulang sidang kemarin aku langsung masuk kamar dan tak keluar lagi sampai pagi ini. "Hanin yang menggugat Eris. Dia yang menyerah menghadapi suaminya, kenapa bibi harus berada di pihaknya?" tanya Mas Eros kemudian."Apa bibi pura-pura nggak tahu kalau selama ini Eris sudah mengkhianati pernikahannya dengan Hanin? Eris terang-terangan berselingkuh dengan Fika bahkan sudah menikah lagi dengannya sebelum Hanin mengambil keputusan untuk menggugat dia, Bi. Bini tahu soal itu kan?" sambung Mas Eros kembali. Dia berusaha membuka pikiran bibi Yulia yang seolah menutup mata dan tak mau menerima kesalahan Mas Eris. Ibu terus berusaha menyudutkanku dengan alasan apapun."Sudah. Jangan diteruskan. Ini arisan keluarga. Kenapa jadi ajang ribut begini. Ibu nggak suka." Akhirnya ibu kembali menimpali.
Mas Eris benar-benar kelewat batas. Selain nggak tahu diri, ternyata dia juga nggak tahu malu. Sudah mencampakkanku begitu saja, kini kembali mengikatku hanya karena dendamnya. Aku yakin sekali dia sengaja melakukan ini agar Mas Eros sakit hati. Meski laki-laki itu tak mengatakan apapun padaku, tapi ucapan ibu dan bapak akhir-akhir ini cukup membuatku mengerti jika ada rasa yang dia simpan untukku selama ini. Rasa yang sudah hadir sejak lama bahkan sebelum aku menjadi adik iparnya. Aku sendiri tak ingat kapan pertama kali aku bertemu dengannya. Aku juga tak tahu mengapa dia membiarkanku menikah dengan saudara kembarnya jika dia memiliki rasa suka padaku lebih dulu. Apakah benar yang ibu bilang jika dia terlalu takut dan tak percaya diri untuk menyatakan cinta pada seseorang? Entah. Detik ini Mas Eris tersenyum sinis penuh kemenangan di depanku. Mungkin dia merasa aku tak bisa berbuat apa-apa untuk mematahkan rencana buruknya itu. Padahal, aku punya cara tersendiri untuk membuatnya
"Diam kamu, Ris!" sentak Mas Eros dengan wajah memerah. Sepertinya dia semakin emosi saat mendengar ucapan Mas Eris yang terdengar begitu meremehkannya. Lebih tepatnya sengaja meremehkan cintanya. "Kenapa? Kamu malu karena sekarang Hanin tahu kalau kamu memang menyukainya sejak dulu? Dicintai lelaki pengecut yang nggak berani menyatakan isi hatinya sendiri. Apa sekarang kamu menyesal sudah melepaskan Hanin padaku?" ujar Mas Eris lagi. Dari sikapnya, laki-laki itu benar-benar menantang Mas Eros. Senyum mengejek kembali terlihat jelas di kedua sudut bibirnya. Aku yakin detik ini dia sengaja membuat saudara kembarnya itu malu dan emosi."Ingat, Ros. Jika saat ini Hanin menderita, semua itu karena ulahmu. Kamu penyebabnya. Jadi, salahkan saja dirimu jika melihatnya sengsara. Salahkan ketidakberanianmu menyatakan cinta dan ketidakbecusanmu untuk menjaganya. Sekarang dia menjadi istriku karena kamu tak pernah berniat melamarnya. Jadi, jangan salahkan aku jika memanfaatkan kepolosannya itu!
POV : FIKAAku sengaja memilih dress putih bermotif bunga di bagian bawah sebagai lambang keceriaan dan kebahagiaan, persis yang kurasakan detik ini. Di depan cermin jelas kulihat wajah ini berbinar dengan senyum mengembang sempurna. Aku memang patut bahagia karena telah memenangkan tantangan kecil ini. Sesuatu yang harus kurayakan sebab berhasil merebut Mas Eris kembali. Dia yang dulu kupikir sudah jijik dan muak padaku karena pengkhianatan itu, ternyata tak seperti yang kubayangkan. Cintanya padaku terlampau dalam bahkan sampai hati menikahi gadis lain hanya untuk pelampiasan kekesalan dan kecemburuannya padaku. Aku benar-benar tak menyangka jika Mas Eris begitu mudah memaafkan kesalahan fatalku itu bahkan kini dia mau kembali bersamaku untuk mengukir janji setia di depanNya. Keputusan yang jelas sangat ditentang keluarganya, tapi tetap dia pilih demi bukti cintanya padaku. Dia tak peduli sekalipun berulang kali diingatkan tentang masa lalu pahit itu. Di saat aku meninggalkannya y
POV : FIKASaat awal-awal menikah dengan Mas Eris dulu aku sering sekali mengikuti acara bulanan keluarga besar atau arisan rutin antar kerabat. Semua kulakukan bukan tanpa alasan dan tujuan. Aku cukup matang dalam mempersiapkan diri menjadi istri Mas Eris, termasuk saat berusaha keras mencuri perhatian dan pujian keluarga besarnya. Aku tak ingin dikucilkan, ingin dihargai dan diterima dengan hangat oleh mereka. Karena itu pula aku sering membawa beragam camilan untuk hidangan saat acara keluarga berlangsung. Alhasil apa yang aku harapkan pun benar-benar terwujud. Mereka menerimaku dengan baik. Sebagian besar dari mereka bahkan bilang jika Mas Eris sangat beruntung mendapatkan aku yang cantik, menarik, memiliki karir yang bagus dan berpendidikan. Pujian-pujian mereka tak urung membuat Mas Eris bangga memilikiku. Aku pun cukup bersyukur diterima oleh mereka meski harus pamer ini itu. Acara keluarga seperti itu memang sering kali dijadikan ajang pamer antar saudara. Jadi, wajar jika s
"Aku nanti tidur di bawah nggak apa-apa, Mas. Kamu di ranjang." Mas Eris meletakkan kembali cangkir kopinya ke meja. "Takut hamil kamu, Nin?" tanyanya santai lalu tersenyum tipis menatapku. "Dulu aku memang berharap bisa mendapatkan keturunan darimu, Mas. Tapi sekarang nggak lagi. Kasihan anakku kalau punya ayah dzalim sepertimu." "Hanin!" Mas Eris menggebrak meja saking geramnya. Apakah kata yang kuucapkan keliru? Kurasa nggak. Wajar jika aku tak lagi menginginkan keturunan dari suami seperti Mas Eris bukan? "Ibu dan bapak sedang pergi. Jadi, kamu jangan berbuat aneh-aneh, Mas." "Aneh-aneh apanya? Jelas kamu masih sah menjadi istriku. Wajar jika suami istri tidur bersama. Kamu yang aneh, Nin. Bukan aku." Aku sengaja terkekeh. Geli mendengar ucapannya yang terdengar lucu di telinga. "Kesalahan apa yang dilakukan Mas Eros sampai membuatmu sebenci itu padanya, Mas?" Lagi-lagi Mas Eris menatapku geram. "Maksudmu apa? Tak perlu ikut campur masalahku dengan Eros. Kamu tak akan paha
"Urusan apa sih, Mas? Apa keinginanmu soal keturunan dariku?" Aku memancing emosi keduanya lagi. Mungkin aku memang berdosa karena cukup senang melihat pertengkaran mereka. Namun, bukankah itu tak sebanding dengan luka dan air mata yang mereka berikan padaku? Jika saat ini aku bahagia, anggap saja sebagai balasan karena mereka sempat membuatku terluka. "Hanin!" Lagi-lagi Mas Eris memanggilku dengan sedikit penekanan. "Jadi benar kalau kamu memang berniat memiliki keturunan dari perempuan itu, Mas? Kamu ingin Hanin hamil sebelum kalian sah bercerai? Kamu nggak ikhlas dengan gugatan cerainya? Apa sebenarnya kamu memang nggak berniat berpisah dengannya, Mas? Jawab!" Fika mulai terbakar cemburu dan emosi. "Fika! Apa-apaan kamu ini!" sentak Mas Eris sembari menepis tangan Fika yang terus memu kulinya. Lucu. Seharusnya aku yang cemburu jika suamiku bersama sang pelakor. Namun, keadaannya justru berbalik. Dia yang awalnya begitu bangga dan jumawa bisa mendapatkan Mas Eris kembali tentu