[Mas, aku sudah siap. Cantik bukan?] Sebuah foto seorang perempuan dengan kebaya putih gadingnya terkirim ke nomor Mas Eris yang sudah kusadap. Aku tak menyangka jika ternyata mereka benar-benar akan melangsungkan akad nikah itu. Kupikir hanya rencana iseng Mas Eris, nyatanya dia memang sengaja menyakitiku perlahan. Tak mau menceraikan, kugugat ceraipun dia enggan. Menyebalkan bukan? [Mas, sekarang kamu di mana? Jangan sampai telat. Akad nikah kita jam sembilan. Jangan biarkan penghulu menunggu terlalu lama] Pesan kedua kembali muncul. Kuhela napas panjang lalu kembali melihat ke arah kamar mandi. Mas Eris masih di sana sejak beberapa menit lalu. Dia tak gugup. Seperti biasa yang terlalu cuek dan santai. Mungkin sengaja agar aku tak curiga apa yang akan dilakukannya pagi ini. Sabtu kemarin, tumben sekali dia di rumah seharian. Memintaku di rumah saja dan tak mengizinkanku ke mana-mana, termasuk ke rumah ibu. Dia bilang sesekali ingin di rumah bersamaku. Dulu, keinginannya itu men
"Hanin, mau kemana?" Pertanyaan ibu menghentikan langkahku. Aku menoleh pada ibu yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Mau keluar sebentar, Bu," balasku singkat. Tatapan nanar ibu membuatku bertanya-tanya. Mungkinkah ibu tahu jika hari ini Mas Eris akan melangsungkan akad nikah dan ibu tak sanggup memberitahukan kabar itu padaku? Entah."Maafkan ibu." Hanya itu yang dia katakan saat aku pamit pergi. Kata maaf yang aku sendiri tak paham kesalahan mana yang diperbuatnya padaku. "Hati-hati, Nin." Aku tersenyum sembari mengangguk pelan saat menstaeter motor dan meninggalkan rumah minimalis dengan tiga kamar itu. Di tengah perjalanan, handphoneku masih saja bergetar. Sepertinya perempuan itu ketakutan jika Mas Eris tak datang. Dia terus meneror suamiku agar tak membatalkan rencana akad mereka yang digelar hari ini. Masjid An Nur yang tak begitu jauh dari rumah perempuan itu menjadi tujuanku sekarang. Kuhentikan motor sejenak untuk membeli minuman dingin. Setidaknya bisa mendinginkan
"Hanin ... kamu di sini?" Laki-laki itu berdiri sembari menatapku lekat. Tak ingin kelihatan rapuh, gegas kuusap kedua pipiku yang basah. Jika dia terkejut aku sudah ada di sini, aku juga tak kalah terkejutnya mengapa dia juga berada di tempat ini. Laki-laki itu menyimpan kameranya lalu memasukkannya ke dalam tas. "Kamu tahu saudara kembarmu menikah lagi, Mas?" tanyaku lirih. "Maaf, Hanin. Aku tak tega memberitahumu soal itu, tapi kamu jangan salah paham. Aku tak berada di pihaknya, tapi berada di pihakmu. Sengaja menyimpan bukti itu jika sewaktu-waktu kamu butuhkan." Mas Eros menatapku sendu. "Ibu dan bapak tahu soal ini?" "Ibu tahu, tapi bapak nggak tahu." Air mataku kembali menetes. Pantas saja ibu bersikap aneh padaku sejak kemarin, ternyata ibu tahu jika anak lelakinya itu akan menikah lagi dengan mantan istrinya. "Aku tahu kamu perempuan kuat dan cerdik, Nin. Aku akan mendukungmu dengan caraku." Laki-laki itu kembali meyakinkan lalu mengangguk pelan. Tak ingin terus ngobr
"Berbahagialah dengan Fika, bukankah dia istri idamanmu selama ini? Perempuan seperti itu mungkin memang pantas bersanding denganmu, Ris. Kalian berdua serasi, sama-sama tak tahu diri. Jadi, kuharap kamu tak mengekang Hanin lagi. Kenapa terus mempertahankan Hanin jika dia bukanlah istri yang kamu impikan?" Mas Eros tak berhenti mencecar membuat wajah Mas Eris makin merah padam. "Kasihan ibu. Selama ini hanya bisa diam dan membiarkan rasa bencimu menjalar. Tak memberimu nasehat bukan karena tak cinta, tapi karena kamu tak pernah mau peduli dengan nasehat ibu. Kamu pikir ibu nggak sakit kepala melihat sikapmu yang semena-mena?" Laki-laki itu melemparkan jasnya ke sembarang arah lalu mencengkeram kerah baju Mas Eros. Bukannya melawan, laki-laki itu justru hanya diam seolah membiarkan saudara kembarnya melampiaskan amarahnya. "Lakukan apa yang kamu inginkan, Ris. Jika memang itu membuatmu puas dan lega, tapi setelah itu aku harap kamu menyadari kesalahan-kesalahanmu sendiri. Tak perlu k
"Jadi, kamu sudah memantapkan hati untuk berpisah dengan Eris, Nin?" tanya bapak dengan ekspresi shock setelah makan malam usai. "Iya, Pak. Hanin sudah yakin dengan keputusan ini. Maafkan Hanin yang nggak bisa menjadi menantu idaman bapak dan ibu. Maaf jika terlalu banyak kekurangan yang Hanin lakukan selama menjadi menantu di rumah ini." Tak terasa air mataku menetes perlahan ke pipi. Ibu hanya menghela napas panjang sembari menatapku lekat, sementara bapak masih terdiam di tempat. "Seharusnya bapak yang minta maaf sama kamu, Hanin. Bapak nggak bisa mendidik Eris menjadi suami yang baik, sampai dia mengabaikan istrinya sendiri." Aku mendongak sesaat lalu kembali menunduk. "Bukan salah bapak ataupun ibu. Mungkin memang sudah takdir dan Hanin yakin kelak akan ada hikmah yang bisa dipetik dari semua ini." Aku kembali mencoba tersenyum hanya agar ibu dan bapak tak terlalu mengkhawatirkan keadaanku. "Bapak nggak menyangka jika Eris benar-benar kembali dengan Fika. Padahal jelas perem
[Hari ini sidang perdana kita, Mas. Silakan datang jika kamu masih tak terima dengan gugatan ini. Kamu berhak melakukan pembelaan. Namun, aku harap kamu nggak datang supaya sidang lebih cepat kelar tanpa perlu mediasi. Aku sudah malas memperpanjang urusan kita.] Kukirimkan pesan singkat itu pada Mas Eris bakda subuh. Semoga saja dia segera membacanya agar dia tahu sebenarnya aku tak suka kedatangannya ke persidangan nanti. Aku berharap perceraian itu cepat usai dan nggak berlarut-larut. Rasanya sudah muak tiap kali mengingat sepak terjang laki-laki itu. Sejak akad nikahnya tiga hari lalu, Mas Eris benar-benar nggak pulang. Seolah sengaja agar aku meradang, padahal aku kini sudah mati rasa padanya. Detik ini aku kembali menata pakaian Mas Eris ke lemari. Beberapa stel baju dan celananya sudah nggak ada. Entah kapan dia mengambil pakaiannya. Mungkin saat aku berangkat ngajar dia pulang untuk membawa sebagian barang miliknya ke rumah perempuan itu. Entah. [Ternyata kamu benar-benar s
Suasana di rumah cukup ramai. Ada acara arisan keluarga besar yang diadakan sebulan sekali dan kebetulan rumah ibu sebagai tempat arisan kali ini. Saudara semata wayang bapak dan anak-anaknya semua lengkap, begitu pula dengan kedua adik ibu dan anak cucunya. Rumah benar-benar ramai dengan canda tawa dan celoteh riang anak-anak. Mereka bermain di halaman belakang saat aku menyiapkan hidangan di meja makan, sementara ibu masih menata ruang keluarga dengan menggelar karpet di sana. "Dengar-dengar Hanin sama Eris mau bercerai, Mbak? Seserius apa sih masalahnya mbak sampai mereka mau cerai segala." Pertanyaan adik perempuan ibu membuatku menghentikan langkah. Aku kembali ke dapur dan tak jadi ke kamar mandi saking penasaran apa yang akan mereka bicarakan selanjutnya. "Tahu darimana kamu, Yul?" tanya ibu yang menanggapinya dengan datar. Sepertinya ibu malas membahas masalah kabar perpisahanku itu, makanya suaranya terdengar lesu. "Banyak yang tahu soal itulah, Mbak. Kan waktu itu ada ya
Mas Eros datang dengan wajah kusut. Entah darimana dia sampai semurung dan seletih itu. Sepertinya sejak semalam dia nggak di rumah. Aku juga nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya sebab sejak pulang sidang kemarin aku langsung masuk kamar dan tak keluar lagi sampai pagi ini. "Hanin yang menggugat Eris. Dia yang menyerah menghadapi suaminya, kenapa bibi harus berada di pihaknya?" tanya Mas Eros kemudian."Apa bibi pura-pura nggak tahu kalau selama ini Eris sudah mengkhianati pernikahannya dengan Hanin? Eris terang-terangan berselingkuh dengan Fika bahkan sudah menikah lagi dengannya sebelum Hanin mengambil keputusan untuk menggugat dia, Bi. Bini tahu soal itu kan?" sambung Mas Eros kembali. Dia berusaha membuka pikiran bibi Yulia yang seolah menutup mata dan tak mau menerima kesalahan Mas Eris. Ibu terus berusaha menyudutkanku dengan alasan apapun."Sudah. Jangan diteruskan. Ini arisan keluarga. Kenapa jadi ajang ribut begini. Ibu nggak suka." Akhirnya ibu kembali menimpali.