"Adryan? Sudah pulang, nak? Gimana syutingnya? Lancar?" sapa Ana, ibunya Adryan yang sibuk merapikan meja makan, tentu saja dibantu oleh asisten rumah tangganya.
"Lancar dong, Ma," jawab Adryan sambil memeluk ibunya sekilas.
"Sudah makan malam?"
Adryan mengangguk. "Udah tadi di lokasi syuting, sama kru juga."
"Makan apa? Nasi box lagi? Haduuh, kan sudah berkali-kali mama bilang, jangan sering-sering makan nasi box. Belum tentu sehat dan higienis, kan? Lagipula, kamu itu kan harus tetap menjaga penampilan, jangan sering-sering makan fast food. Nggak bagus buat tubuh kamu, nggak sehat. Mau mama bawain bekal kalau besok-besok ada syuting lagi?" tanya Ana setelah acara ceramahnya selesai.
"Nggak mau, ah."
"Harusnya kamu tuh bersyukur, punya mama perhatian begini sama anaknya," gerutu Ana cemberut.
"Papa mana, Ma? Belum pulang dari kantor?" tanya Adryan mengalihkan pembicaraan, kalau nggak gitu mamanya bisa cemberut sepanjang hari cuma gara-gara ngomongin makan malam doang.
"Ada tuh, di ruang kerja. Lagi banyak kerjaan katanya."
"Ooo." Adryan manggut-manggut. "Ya, udah. Adryan ke atas dulu ya, Ma. Capek banget mau rebahan."
Adryan melangkah hendak pergi ke kamarnya, namun langkahnya terhenti saat seseorang datang dari pintu depan.
"Assalamu'alaikum."
"Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang. Anak kok kerjanya cuma kluyuran," sembur Ana begitu seseorang itu masuk ke dalam rumah, belum juga ia membalas salam yang diucapkan.
"Dito nggak kluyuran kok, Ma. Dito habis jenguk ...."
"Halah, alasan saja kamu. Harusnya kamu contoh tuh, si Adryan." Ana menunjuk Adryan yang masih berdiri bersandar di sisi tangga. "Lihat dia, pulang sekolah sudah sibuk di lokasi syuting, bukannya kluyuran sampai malam begini."
Adryan tersenyum miring mendengar pembelaan mamanya, dirinya merasa bangga karna selalu menjadi anak emas di depan mamanya.
Sedangkan Dito hanya diam mematung. Menunduk pasrah, mendengarkan dengan setia setiap kata yang keluar dari wanita yang selama delapan belas tahun ini ia panggil mama.
Walaupun setiap kata itu bagai pisau yang sanggup mengiris-iris hati Dito, namun cowok itu tetap menerimanya dengan ikhlas.
Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain hanya diam mendengarkan. Ia menganggap, inilah satu-satunya cara baginya untuk berterima kasih pada kedua orang tua yang telah membesarkan, menyekolahkan, dan juga membiarkan ia tinggal di rumah yang mewah ini hingga sekarang.
***
"Ini punya siapa?" tanya mami Olla sambil mengangkat sebuah hoodie dengan sebelah tangannya.
"Mami dapet dari mana?" Mitha terkejut saat melihat hoodie Dito ada di tangan maminya. "Itu punya temen Mitha. Tadi siang Mitha pinjem sebentar."
"Pinjem? Maksudnya, kamu pakai hoodie ini tadi siang?"
Mitha mengangguk pelan.
"Mithaaaaa!!!!"
Gadis itu menutup kedua telinganya saat mendengar teriakan maminya. Bahkan mbak Sumi sang asisten rumah tangga sampai berlari dari dapur demi melihat apa yang sedang terjadi.
Namun, mbak Sumi segera kembali ke tempatnya semula saat mami Olla memberi isyarat kalau tidak terjadi apa-apa.
Wanita itu menghela napas sebentar, lalu memandang tajam ke arah Mitha yang sedang duduk di sofa sambil menonton televisi.
"Sudah berapa kali mami bilang, jangan pakai barang orang sembarangan. Gimana kalau kamu kena kuman? Gatel-gatel? Kulit kamu kan sensitif, sayang!"
Alis Mitha berkerut, wajahnya menunjukkan rasa penyesalan. Ia paham betul kenapa mami Olla bersikap seperti itu.
Dulu waktu masih kecil, Mitha pernah bertukar pakaian dengan teman mainnya karna baju Mitha basah, dan keesokan harinya kulit Mitha gatal-gatal kemerahan. Lebih dari dua minggu kulit Mitha yang memerah itu baru bisa sembuh.
Dokter bilang kalau kulit Mitha sangat sensitif, jadi ia dilarang menggunakan produk-produk kecantikan terlalu tebal, juga make up tak boleh lebih dari empat jam menempel di wajahnya. Semua baju dan apapun yang menempel ditubuh Mitha harus dicuci dengan sangat bersih dan disteril. Kalau tidak, bisa saja hal itu menimbulkan alergi pada kulit Mitha yang memang sensitif.
"I'm sorry, Mam. This is all my fault," sesal Mitha.
Mami Olla melempar hoodie itu ke dalam keranjang pakaian kotor lalu berjalan menghampiri Mitha di ruang televisi.
Wanita berparas cantik itu lalu duduk disamping putrinya, memeluknya dengan erat. Merasa menyesal karena tadi ia sempat membentak gadis itu.
"Maafin mami juga ya, sayang. Mami cuma nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Kamu mengerti, kan?"
Mitha mengangguk sambil tersenyum, lalu membalas pelukan maminya dengan erat.
Kalau dipikir-pikir, ia sungguh beruntung punya ibu seperti mami Olla yang begitu perhatian padanya. Bagaimana nasibnya kalau tak ada maminya. Pasti ia tak akan bisa sesukses sekarang.
Punya karier dan nama baik di dunia entertain. Mami Olla sudah membuat Mitha seperti bintang kejora yang sanggup menerangi seluruh gelapnya langit malam, hanya dengan satu sinarnya.
***
"Dito!!!"
Dito menoleh ke belakang karna merasa namanya dipanggil, namun saat mendapati yang memanggil adalah Mitha, ia pun kembali melangkah dan tak menghiraukan teriakan gadis bule itu.
"Hei, tungguin!" Mitha meraih lengan Dito dan menariknya hingga cowok itu oleng ke samping.
"Apaan, sih?!"
"Sorry." Mitha segera melepas tangannya. "Oh, ya. Hoodie lo kemarin ketinggalan di rumah. Besok deh gue bawa," Mitha berbohong, padahal hoodie itu masih masuk mesin cuci pagi ini.
"Buat lo aja. Nggak usah dikembaliin."
"Eh? Maksudnya?"
"Maksudnya, gue nggak mau berurusan sama elo lagi. Paham!" Dito mendorong pelan dahi Mitha dengan jari telunjuknya, lalu berlalu pergi masuk ke dalam kelas. Disusul Mitha yang berlari kecil mengejar Dito dari belakang.
"Nomer lo berapa? Biar gue save," tanya Mitha setelah mereka duduk di bangku, namun Dito nampak tak mengindahkan pertanyaan Mitha, ia malah sibuk meraut pensilnya yang sudah tumpul.
"Dito, gue tanya nomer hape lo berapa?" tanya Mitha lagi dengan nada sedikit kesal.
"Buat apa?"
"Buat ...."
"Kalau nggak penting nggak perlu di save, kan?" selanya.
"Siapa bilang nggak penting."
"Gue nggak berbagi nomer hape ke sembarang orang."
"Sembarang orang? Maksudnya?"
"Lo pikir aja sendiri."
Mitha mendengus kesal. Lalu ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju bangku milik Bayu.
Sang ketua kelas yang sedang asyik mengobrol dengan temannya itu terkejut menyadari Mitha sudah duduk di sebelahnya.
"Mitha? Lo ngapain disini?"
"Tulis nomer hape Dito sekarang." Mitha menyodorkan ponselnya ke arah Bayu, dan tanpa di komando Bayu pun dengan sigap mengeluarkan ponselnya mencari nama Dito dan menyalin nomernya ke ponsel Mitha.
"Udah, nih." Bayu mengembalikan ponsel milik Mitha dengan tatapan heran. "Kok lo nggak nanya langsung ke orangnya, sih? Kan Dito duduk satu bangku sama elo."
"Kayak nggak tau Dito aja. Dia itu kan patung berwujud manusia. Ngomong sama dia, udah kayak ngomong sama tembok."
Sontak Bayu dan teman sekelas lain yang sedang duduk bergerombol tertawa mendengar Mitha mengolok Dito. Malah ada teman lain yang mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Mitha.
"Thanks ya, Bay."
"Sip!" Bayu mengacungkan kedua jempolnya ke arah Mitha yang tersenyum lebar.
Gadis itu merasa puas karena sudah berhasil mendapatkan nomer ponsel Dito, walaupun ia harus mendapatkannya dari orang lain.
Bagaimana kalau para netizen yang budiman tau, kalau seorang Mitha sampai memohon hanya untuk mendapatkan nomer ponsel seorang cowok? Padahal yang terjadi biasanya adalah kebalikannya.
***
"Mau ke kantin bareng kita, nggak?" ajak Lina dan beberapa teman sekelas Mitha. Mereka sudah siap menuju kantin untuk mengisi perut sehabis pelajaran Fisika yang serasa menguras seluruh energi mereka.Apalagi Mitha, ia nggak mudeng sama sekali dengan apa yang dibicarakan oleh pak Rizal di depan kelas tadi. Kepalanya nyut-nyutan hanya demi melihat angka-angka itu di papan tulis. Kalau boleh memilih, lebih baik ia menghafal berlembar-lembar naskah drama, dari pada harus menghitung angka yang bahkan tak ada wujudnya itu. Huh!"Nggak deh. Gue bawa bekal. Nih." Mitha mengangkat tupperware yang ia ambil dari dalam tasnya. Isinya hanya roti lapis isi keju, irisan daging dan sayuran, juga sekotak susu rendah kalori.Mitha tak terbiasa makan terlalu banyak, apalagi jajan sembarangan. Tidak seperti teman-teman lainnya yang bebas makan ini itu, tidak begitu bagi Mitha. Pola makannya harus dijaga. Bahkan mami Olla sangat rajin menghitung berapa jumlah kalori yan
"Mitha, kamu maju ke depan. Jawab pertanyaan nomer lima di papan tulis."Mampus!!Semua murid di kelas IPA-1 menatap kearah Paramitha Arasy, gadis tujuh belas tahun blasteran Indo-Belanda yang punya mata indah berwarna coklat muda. Juga rambut blonde yang panjang terurai sebahu.Semua keindahan itu ia dapatkan dari gen ayahnya yang katanya asli orang Belanda, bukan dari hasil kerja pewarna rambut di salon seperti kebanyakan teman-teman artisnya yang lain.Walau sesekali, Mitha pernah berniat untuk membuat rambutnya menjadi hitam agar tak terlihat terlalu mencolok diantara teman-temannya, namun maminya menolak mentah-mentah. Mata dan rambut indah yang dimiliki putrinya itu adalah sebuah karunia, sebuah aset, sebuah anugerah yang seharusnya disyukuri, bukan untuk dirubah.Disaat gadis lain seusianya sedang gemar mewarnai rambut, memakai softlens dan juga memakai produk pemutih, hal itu tak berlaku bagi Mitha.Kulitnya sudah p
"Mitha??" gadis cantik itu menatap Mitha dengan mata membulat. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Berkali-kali ia mengerjap sebelum berjalan pelan mendekati bangku Mitha. "Elo ngapain disini??" "Menurut elo??" jawab Mitha sekenanya. Mitha kenal betul siapa gadis yang sedang berdiri di hadapannya ini. Gadis berpenampilan rapi dengan rambut hitam bergelombang tergerai indah, tubuh langsing dan garis wajah yang nyaris sempurna. Awalnya, Mitha sempat terkagum-kagum dengan kecantikanny. Namun setelah beberapa kali mereka terlibat bersama dalam beberapa judul film televisi, barulah Mitha sadar bahwa kecantikan gadis itu tak dibarengi dengan attitude yang baik. Mitha pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Vanilla sempat menampar seorang kru hanya karna salah memesan makanan. Padahal saat itu dia masih jadi artis pendatang baru. Ya, dialah Vanilla Angela. Artis dan juga seorang model yang sedang naik daun. "Kok elo
"Saya tunggu di depan ya, Non."Satu pesan masuk dari pak Jo. Sopir pribadi Mitha yang bertugas mengantar dan menjemput kemanapun Mitha pergi. Ke ujung dunia pun pak Jo siap mengantar.Pesan dari pak Jo kontan membuatnya gelisah. Jarinya mengetuk-ketuk meja, otaknya berpikir keras. Gimana caranya mengakali pak Jo supaya Mitha bisa pulang sendiri?Ini tidak mudah, tentu saja pak Jo akan lebih menurut pada mami Olla ketimbang Mitha. Apa memang benar tak ada cara lain?Ah, iya! Dito!Gadis itu melirik cowok disebelahnya. Dito sudah merapikan buku-bukunya ke dalam tas. Lima belas menit lagi bel tanda sekolah usai akan berbunyi."Dito," bisik Mitha yang dibalas Dito dengan menaikkan sebelas alis."Lo mau nggak ....""Enggak.""Dito!! Gue belum selesai ngomong.""Tapi gue udah."Mitha menghela napas. Lama-lama ia bisa terkena penyakit darah tinggi kalau harus berurusan dengan Dito setiap hari. Sepertinya ia harus
"Ayo masuk," ucap pak Budi mempersilakan ketiga muridnya itu masuk ke dalam kamar. Setelah masuk, mereka langsung disambut senyum ramah istri pak Budi dan juga senyum manis Laras, putri pak Budi yang sedang terbaring sakit.Sejenak Laras terkejut saat matanya bertemu pandang dengan Mitha, pelan ia menarik lengan ibunya yang berdiri di sebelahnya, lalu membisikkan sesuatu padanya."Kenapa, nak?" tanya pak Budi saat menyadari sejak tadi putrinya yang masih duduk di kelas 6 SD itu berbisik-bisik pada ibunya."Ini lho, si Laras kepingin foto sama Mitha. Dia ini kan fansnya sejak dulu," istri pak Budi menjelaskan.Mendengar hal itu Mitha tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Seketika gadis itu berjalan mendekati tempat tidur Laras lalu duduk di sebelahnya. Meraih tangan gadis kecil itu lalu tersenyum."Siapa nama kamu?" tanya Mitha dengan suara lembut."Laras, Kak," jawabnya dengan wajah menunduk, malu."Kamu mau foto sama kakak?"L
"Mau ke kantin bareng kita, nggak?" ajak Lina dan beberapa teman sekelas Mitha. Mereka sudah siap menuju kantin untuk mengisi perut sehabis pelajaran Fisika yang serasa menguras seluruh energi mereka.Apalagi Mitha, ia nggak mudeng sama sekali dengan apa yang dibicarakan oleh pak Rizal di depan kelas tadi. Kepalanya nyut-nyutan hanya demi melihat angka-angka itu di papan tulis. Kalau boleh memilih, lebih baik ia menghafal berlembar-lembar naskah drama, dari pada harus menghitung angka yang bahkan tak ada wujudnya itu. Huh!"Nggak deh. Gue bawa bekal. Nih." Mitha mengangkat tupperware yang ia ambil dari dalam tasnya. Isinya hanya roti lapis isi keju, irisan daging dan sayuran, juga sekotak susu rendah kalori.Mitha tak terbiasa makan terlalu banyak, apalagi jajan sembarangan. Tidak seperti teman-teman lainnya yang bebas makan ini itu, tidak begitu bagi Mitha. Pola makannya harus dijaga. Bahkan mami Olla sangat rajin menghitung berapa jumlah kalori yan
"Adryan? Sudah pulang, nak? Gimana syutingnya? Lancar?" sapa Ana, ibunya Adryan yang sibuk merapikan meja makan, tentu saja dibantu oleh asisten rumah tangganya."Lancar dong, Ma," jawab Adryan sambil memeluk ibunya sekilas."Sudah makan malam?"Adryan mengangguk. "Udah tadi di lokasi syuting, sama kru juga.""Makan apa? Nasi box lagi? Haduuh, kan sudah berkali-kali mama bilang, jangan sering-sering makan nasi box. Belum tentu sehat dan higienis, kan? Lagipula, kamu itu kan harus tetap menjaga penampilan, jangan sering-sering makan fast food. Nggak bagus buat tubuh kamu, nggak sehat. Mau mama bawain bekal kalau besok-besok ada syuting lagi?" tanya Ana setelah acara ceramahnya selesai."Nggak mau, ah.""Harusnya kamu tuh bersyukur, punya mama perhatian begini sama anaknya," gerutu Ana cemberut."Papa mana, Ma? Belum pulang dari kantor?" tanya Adryan mengalihkan pembicaraan, kalau nggak gitu mamanya bisa cemberut sepanjang h
"Ayo masuk," ucap pak Budi mempersilakan ketiga muridnya itu masuk ke dalam kamar. Setelah masuk, mereka langsung disambut senyum ramah istri pak Budi dan juga senyum manis Laras, putri pak Budi yang sedang terbaring sakit.Sejenak Laras terkejut saat matanya bertemu pandang dengan Mitha, pelan ia menarik lengan ibunya yang berdiri di sebelahnya, lalu membisikkan sesuatu padanya."Kenapa, nak?" tanya pak Budi saat menyadari sejak tadi putrinya yang masih duduk di kelas 6 SD itu berbisik-bisik pada ibunya."Ini lho, si Laras kepingin foto sama Mitha. Dia ini kan fansnya sejak dulu," istri pak Budi menjelaskan.Mendengar hal itu Mitha tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Seketika gadis itu berjalan mendekati tempat tidur Laras lalu duduk di sebelahnya. Meraih tangan gadis kecil itu lalu tersenyum."Siapa nama kamu?" tanya Mitha dengan suara lembut."Laras, Kak," jawabnya dengan wajah menunduk, malu."Kamu mau foto sama kakak?"L
"Saya tunggu di depan ya, Non."Satu pesan masuk dari pak Jo. Sopir pribadi Mitha yang bertugas mengantar dan menjemput kemanapun Mitha pergi. Ke ujung dunia pun pak Jo siap mengantar.Pesan dari pak Jo kontan membuatnya gelisah. Jarinya mengetuk-ketuk meja, otaknya berpikir keras. Gimana caranya mengakali pak Jo supaya Mitha bisa pulang sendiri?Ini tidak mudah, tentu saja pak Jo akan lebih menurut pada mami Olla ketimbang Mitha. Apa memang benar tak ada cara lain?Ah, iya! Dito!Gadis itu melirik cowok disebelahnya. Dito sudah merapikan buku-bukunya ke dalam tas. Lima belas menit lagi bel tanda sekolah usai akan berbunyi."Dito," bisik Mitha yang dibalas Dito dengan menaikkan sebelas alis."Lo mau nggak ....""Enggak.""Dito!! Gue belum selesai ngomong.""Tapi gue udah."Mitha menghela napas. Lama-lama ia bisa terkena penyakit darah tinggi kalau harus berurusan dengan Dito setiap hari. Sepertinya ia harus
"Mitha??" gadis cantik itu menatap Mitha dengan mata membulat. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Berkali-kali ia mengerjap sebelum berjalan pelan mendekati bangku Mitha. "Elo ngapain disini??" "Menurut elo??" jawab Mitha sekenanya. Mitha kenal betul siapa gadis yang sedang berdiri di hadapannya ini. Gadis berpenampilan rapi dengan rambut hitam bergelombang tergerai indah, tubuh langsing dan garis wajah yang nyaris sempurna. Awalnya, Mitha sempat terkagum-kagum dengan kecantikanny. Namun setelah beberapa kali mereka terlibat bersama dalam beberapa judul film televisi, barulah Mitha sadar bahwa kecantikan gadis itu tak dibarengi dengan attitude yang baik. Mitha pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Vanilla sempat menampar seorang kru hanya karna salah memesan makanan. Padahal saat itu dia masih jadi artis pendatang baru. Ya, dialah Vanilla Angela. Artis dan juga seorang model yang sedang naik daun. "Kok elo
"Mitha, kamu maju ke depan. Jawab pertanyaan nomer lima di papan tulis."Mampus!!Semua murid di kelas IPA-1 menatap kearah Paramitha Arasy, gadis tujuh belas tahun blasteran Indo-Belanda yang punya mata indah berwarna coklat muda. Juga rambut blonde yang panjang terurai sebahu.Semua keindahan itu ia dapatkan dari gen ayahnya yang katanya asli orang Belanda, bukan dari hasil kerja pewarna rambut di salon seperti kebanyakan teman-teman artisnya yang lain.Walau sesekali, Mitha pernah berniat untuk membuat rambutnya menjadi hitam agar tak terlihat terlalu mencolok diantara teman-temannya, namun maminya menolak mentah-mentah. Mata dan rambut indah yang dimiliki putrinya itu adalah sebuah karunia, sebuah aset, sebuah anugerah yang seharusnya disyukuri, bukan untuk dirubah.Disaat gadis lain seusianya sedang gemar mewarnai rambut, memakai softlens dan juga memakai produk pemutih, hal itu tak berlaku bagi Mitha.Kulitnya sudah p