"Mitha, kamu maju ke depan. Jawab pertanyaan nomer lima di papan tulis."
Mampus!!
Semua murid di kelas IPA-1 menatap kearah Paramitha Arasy, gadis tujuh belas tahun blasteran Indo-Belanda yang punya mata indah berwarna coklat muda. Juga rambut blonde yang panjang terurai sebahu.
Semua keindahan itu ia dapatkan dari gen ayahnya yang katanya asli orang Belanda, bukan dari hasil kerja pewarna rambut di salon seperti kebanyakan teman-teman artisnya yang lain.
Walau sesekali, Mitha pernah berniat untuk membuat rambutnya menjadi hitam agar tak terlihat terlalu mencolok diantara teman-temannya, namun maminya menolak mentah-mentah. Mata dan rambut indah yang dimiliki putrinya itu adalah sebuah karunia, sebuah aset, sebuah anugerah yang seharusnya disyukuri, bukan untuk dirubah.
Disaat gadis lain seusianya sedang gemar mewarnai rambut, memakai softlens dan juga memakai produk pemutih, hal itu tak berlaku bagi Mitha.
Kulitnya sudah putih sejak lahir, putih kemerahan kalau terkena sinar matahari. Bola matanya coklat muda, dihiasi bulu yang lentik. Bibirnya merah merona walaupun hanya pakai lipbalm saja.
Intinya, semua yang ada pada diri Mitha bisa menarik orang untuk melihatnya lebih dari dua kali. Menatapnya lebih lama tanpa pernah bosan.
Gadis cantik itu melirik ke kiri kanan. Mencari pertolongan, tapi pada siapa?? Ia bahkan belum sempat berkenalan dengan siapapun di kelas ini.
Hari ini, adalah hari pertamanya masuk sekolah. Lebih tepatnya, hari pertama dimana seorang Paramitha Arasy akhirnya kembali ke sekolah formal, karena sejak umur sepuluh tahun, Mitha sudah mengikuti metode home schooling.
Tak ada waktu baginya untuk menghabiskan berjam-jam di sekolah formal. Jadwalnya padat. Modeling, syuting iklan, bermain di beberapa judul ftv dan juga menghadiri beberapa talk show.
Bahkan Mitha terlalu lelah untuk sekedar hangout bersama teman-temannya di hari libur, karena sebenarnya Mitha tak punya teman untuk diajak pergi.
Karena rumor yang berkembang di media sosial akhir-akhir ini, yang menyatakan bahwa Mitha adalah korban eksploitasi anak, karena sejak kecil waktunya sudah dihabiskan untuk mencari uang di dunia entertaiment, padahal ia melakukan semua itu atas kehendaknya sendiri.
Tak ada paksaan dari siapapun, termasuk orang tuanya sekalipun. Makanya, mami Olla, ibu dari Mitha yang sekaligus merangkap sebagai managernya itu kalang kabut dan buru-buru mendaftarkan Mitha ke sekolah formal yang cukup bergengsi dikalangan artis.
Lalu, disinilah Mitha sekarang. Duduk tegak dengan wajah merah padam. Hatinya bergemuruh memaki keputusan maminya untuk masuk ke kelas IPA. Padahal maminya jelas tau betul bahwa sejak dulu Mitha tak pernah mahir dalam berhitung. Entah itu hanya berupa angka atau berbentuk uang sekalipun.
Gadis itu masih mematung di tempat duduknya, saat tiba-tiba seseorang yang duduk tepat disebelahnya menggeser sebuah buku yang sudah penuh dengan jawaban. Mulai dari nomer satu sampai sepuluh.
Seketika, sepasang bola mata Mitha membulat. Takjub. Ia selalu takjub dengan orang-orang yang bisa melakukan hal-hal yang tidak ia kuasai, termasuk berhitung.
"Boleh pinjem?" bibir Mitha bergerak tanpa suara.
Cowok disebelahnya itu hanya menaikkan sebelah alisnya, dan Mitha menganggap hal itu adalah sebuah persetujuan.
Ragu-ragu Mitha berdiri dan melangkah ke depan kelas. Tangannya sempat gemetar saat mulai menulis jawaban di white board. Bu Tina, guru Kimia yang punya tatapan setajam silet itu terus mengawasi Mitha dari balik kaca mata minusnya.
"Ya, jawabannya benar," ucap bu Tina manggut-manggut. Mitha yang masih tegak berdiri ikut tersenyum mendengar pujian gurunya itu. Lalu ... "Hebat kamu, Dito!" seru bu Tina seraya mengacungkan kedua jempolnya ke arah Dito.
Sial!
Jadi bu Tina tau kalau gue nyalin jawaban dari murid lain?? Batin Mitha sambil melirik tajam ke arah cowok disebelahnya tadi.
Seketika senyum diwajah Mitha memudar. Ia menyadari ada sesuatu yang salah. Ya, kini semua mata tertuju padanya. Semua murid di kelasnya cekikikan dan berbisik-bisik, menertawakannya. Mitha merasa dijebak dan dipermalukan.
Pasti mereka lagi ngatain gue habis-habisan, sial! Maki Mitha dalam hati.
***
"Lo mau ngerjain gue? Ha?" gertak Mitha sesaat setelah bel istirahat berbunyi. Ia kesal setengah mati dengan cowok yang duduk tepat di sebelahnya itu. Bisa-bisanya ia menjebak murid baru yang polos seperti dia.
Tega!!
Bukannya menanggapi ucapan Mitha, cowok yang bernama Dito itu justru mengeluarkan earphone dan menempelkannya di telinga. Seolah tak tertarik sama sekali berdebat dengan cewek cantik dengan wajah murka itu.
"Hei, gue lagi ngomong sama lo!" Mitha menarik bahu Dito hingga cowok itu berbalik ke arahnya. Untuk beberapa detik kemudian mata mereka bertemu. Hitam pekat milik Dito dan coklat muda milik Mitha.
Buru-buru Mitha memalingkan wajahnya saat ia merasa tatapan Dito terlalu mengintimidasi. Ini bukan lagi syuting sinetron kan? Padahal ia paling jago kalau soal memberikan tatapan mematikan pada lawan jenis. Namun tatapan Dito berbeda, terlalu kuat untuk dilawan.
"Lo haters ya? Atau fans fanatik? Lo mau apa? Tanda tangan gue? Foto bareng? Jabat tangan? Lo tinggal bilang, nggak usah belaga sok pinter kasih jawaban ke gue segala. Gue nggak sebodoh itu, ngerti!"
Dito tersenyum miring lalu melengos. Merasa buang-buang waktu bicara dengan cewek berambut pirang itu.
Ia pun bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan Mitha yang masih bersungut-sungut. Beberapa murid lain hanya bisa berkasak-kusuk, mereka bahkan tak berani mendekati Mitha.
Sosok yang tadinya hanya bisa mereka lihat di layar kaca, kini tiba-tiba menjadi teman satu kelas mereka. Dan satu hal yang mereka sadari sekarang, bahwa sikap Mitha ternyata tak seanggun seperti yang selama ini terlihat di layar televisi. Bahkan terkesan temperamental.
"Lo kenal gue nggak, sih?" tanya Mitha pada salah seorang murid yang duduk di depan bangkunya, tentu saja setelah cowok bangku sebelah itu pergi keluar kelas.
Ia hanya ingin memastikan, bahwa saat ini ia masih ada di dunia yang sama seperti kemarin, bukannya tersesat di dunia lain, dimana tak ada seorangpun yang mengenalinya sebagai seorang artis terkenal.
Gadis hitam manis yang ditanya itupun mengangguk ragu. "Paramitha Arasy, kan?"
"Nah!!" seru Mitha menjentikkan jari, merasa puas dengan jawaban teman sekelasnya itu. Jadi kenapa cowok disebelahnya tadi seolah tak tau siapa Mitha?? Apa mungkin dia nggak pernah nonton televisi? Ah, nggak mungkin kan? Wajah Mitha nggak cuma muncul di televisi, tapi juga di beberapa majalah, media social dan juga banner-banner iklan di tepi jalan
"Lo tau kan, siapa nama cowok yang duduk di sebelah gue tadi?" tanya Mitha lagi.
"Oh, Dito. Andito Erlangga."
Mitha manggut-manggut. "Apa coba kelebihan dia?" gumam Mitha, berbicara pada dirinya sendiri.
"Banyak," jawab temannya, membuat Mitha seketika menoleh penasaran.
"Dito itu siswa paling top disini. Prestasinya banyak. Nggak pernah absen jadi juara olimpiade MIPA setiap tahun. Sering mewakili sekolah juga di ajang kompetisi siswa teladan, ya semacam cerdas cermat gitu, tapi tingkat nasional. Pokoknya gini deh," gadis hitam manis itu mengacungkan jempolnya, memuji Dito.
Sepertinya benar, cowok itu bukan cowok sembarangan. Pantas saja lagaknya sengak bukan main. Kayak yang udah paling yes aja!
***
"Mitha??" gadis cantik itu menatap Mitha dengan mata membulat. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Berkali-kali ia mengerjap sebelum berjalan pelan mendekati bangku Mitha. "Elo ngapain disini??" "Menurut elo??" jawab Mitha sekenanya. Mitha kenal betul siapa gadis yang sedang berdiri di hadapannya ini. Gadis berpenampilan rapi dengan rambut hitam bergelombang tergerai indah, tubuh langsing dan garis wajah yang nyaris sempurna. Awalnya, Mitha sempat terkagum-kagum dengan kecantikanny. Namun setelah beberapa kali mereka terlibat bersama dalam beberapa judul film televisi, barulah Mitha sadar bahwa kecantikan gadis itu tak dibarengi dengan attitude yang baik. Mitha pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Vanilla sempat menampar seorang kru hanya karna salah memesan makanan. Padahal saat itu dia masih jadi artis pendatang baru. Ya, dialah Vanilla Angela. Artis dan juga seorang model yang sedang naik daun. "Kok elo
"Saya tunggu di depan ya, Non."Satu pesan masuk dari pak Jo. Sopir pribadi Mitha yang bertugas mengantar dan menjemput kemanapun Mitha pergi. Ke ujung dunia pun pak Jo siap mengantar.Pesan dari pak Jo kontan membuatnya gelisah. Jarinya mengetuk-ketuk meja, otaknya berpikir keras. Gimana caranya mengakali pak Jo supaya Mitha bisa pulang sendiri?Ini tidak mudah, tentu saja pak Jo akan lebih menurut pada mami Olla ketimbang Mitha. Apa memang benar tak ada cara lain?Ah, iya! Dito!Gadis itu melirik cowok disebelahnya. Dito sudah merapikan buku-bukunya ke dalam tas. Lima belas menit lagi bel tanda sekolah usai akan berbunyi."Dito," bisik Mitha yang dibalas Dito dengan menaikkan sebelas alis."Lo mau nggak ....""Enggak.""Dito!! Gue belum selesai ngomong.""Tapi gue udah."Mitha menghela napas. Lama-lama ia bisa terkena penyakit darah tinggi kalau harus berurusan dengan Dito setiap hari. Sepertinya ia harus
"Ayo masuk," ucap pak Budi mempersilakan ketiga muridnya itu masuk ke dalam kamar. Setelah masuk, mereka langsung disambut senyum ramah istri pak Budi dan juga senyum manis Laras, putri pak Budi yang sedang terbaring sakit.Sejenak Laras terkejut saat matanya bertemu pandang dengan Mitha, pelan ia menarik lengan ibunya yang berdiri di sebelahnya, lalu membisikkan sesuatu padanya."Kenapa, nak?" tanya pak Budi saat menyadari sejak tadi putrinya yang masih duduk di kelas 6 SD itu berbisik-bisik pada ibunya."Ini lho, si Laras kepingin foto sama Mitha. Dia ini kan fansnya sejak dulu," istri pak Budi menjelaskan.Mendengar hal itu Mitha tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Seketika gadis itu berjalan mendekati tempat tidur Laras lalu duduk di sebelahnya. Meraih tangan gadis kecil itu lalu tersenyum."Siapa nama kamu?" tanya Mitha dengan suara lembut."Laras, Kak," jawabnya dengan wajah menunduk, malu."Kamu mau foto sama kakak?"L
"Adryan? Sudah pulang, nak? Gimana syutingnya? Lancar?" sapa Ana, ibunya Adryan yang sibuk merapikan meja makan, tentu saja dibantu oleh asisten rumah tangganya."Lancar dong, Ma," jawab Adryan sambil memeluk ibunya sekilas."Sudah makan malam?"Adryan mengangguk. "Udah tadi di lokasi syuting, sama kru juga.""Makan apa? Nasi box lagi? Haduuh, kan sudah berkali-kali mama bilang, jangan sering-sering makan nasi box. Belum tentu sehat dan higienis, kan? Lagipula, kamu itu kan harus tetap menjaga penampilan, jangan sering-sering makan fast food. Nggak bagus buat tubuh kamu, nggak sehat. Mau mama bawain bekal kalau besok-besok ada syuting lagi?" tanya Ana setelah acara ceramahnya selesai."Nggak mau, ah.""Harusnya kamu tuh bersyukur, punya mama perhatian begini sama anaknya," gerutu Ana cemberut."Papa mana, Ma? Belum pulang dari kantor?" tanya Adryan mengalihkan pembicaraan, kalau nggak gitu mamanya bisa cemberut sepanjang h
"Mau ke kantin bareng kita, nggak?" ajak Lina dan beberapa teman sekelas Mitha. Mereka sudah siap menuju kantin untuk mengisi perut sehabis pelajaran Fisika yang serasa menguras seluruh energi mereka.Apalagi Mitha, ia nggak mudeng sama sekali dengan apa yang dibicarakan oleh pak Rizal di depan kelas tadi. Kepalanya nyut-nyutan hanya demi melihat angka-angka itu di papan tulis. Kalau boleh memilih, lebih baik ia menghafal berlembar-lembar naskah drama, dari pada harus menghitung angka yang bahkan tak ada wujudnya itu. Huh!"Nggak deh. Gue bawa bekal. Nih." Mitha mengangkat tupperware yang ia ambil dari dalam tasnya. Isinya hanya roti lapis isi keju, irisan daging dan sayuran, juga sekotak susu rendah kalori.Mitha tak terbiasa makan terlalu banyak, apalagi jajan sembarangan. Tidak seperti teman-teman lainnya yang bebas makan ini itu, tidak begitu bagi Mitha. Pola makannya harus dijaga. Bahkan mami Olla sangat rajin menghitung berapa jumlah kalori yan
"Mau ke kantin bareng kita, nggak?" ajak Lina dan beberapa teman sekelas Mitha. Mereka sudah siap menuju kantin untuk mengisi perut sehabis pelajaran Fisika yang serasa menguras seluruh energi mereka.Apalagi Mitha, ia nggak mudeng sama sekali dengan apa yang dibicarakan oleh pak Rizal di depan kelas tadi. Kepalanya nyut-nyutan hanya demi melihat angka-angka itu di papan tulis. Kalau boleh memilih, lebih baik ia menghafal berlembar-lembar naskah drama, dari pada harus menghitung angka yang bahkan tak ada wujudnya itu. Huh!"Nggak deh. Gue bawa bekal. Nih." Mitha mengangkat tupperware yang ia ambil dari dalam tasnya. Isinya hanya roti lapis isi keju, irisan daging dan sayuran, juga sekotak susu rendah kalori.Mitha tak terbiasa makan terlalu banyak, apalagi jajan sembarangan. Tidak seperti teman-teman lainnya yang bebas makan ini itu, tidak begitu bagi Mitha. Pola makannya harus dijaga. Bahkan mami Olla sangat rajin menghitung berapa jumlah kalori yan
"Adryan? Sudah pulang, nak? Gimana syutingnya? Lancar?" sapa Ana, ibunya Adryan yang sibuk merapikan meja makan, tentu saja dibantu oleh asisten rumah tangganya."Lancar dong, Ma," jawab Adryan sambil memeluk ibunya sekilas."Sudah makan malam?"Adryan mengangguk. "Udah tadi di lokasi syuting, sama kru juga.""Makan apa? Nasi box lagi? Haduuh, kan sudah berkali-kali mama bilang, jangan sering-sering makan nasi box. Belum tentu sehat dan higienis, kan? Lagipula, kamu itu kan harus tetap menjaga penampilan, jangan sering-sering makan fast food. Nggak bagus buat tubuh kamu, nggak sehat. Mau mama bawain bekal kalau besok-besok ada syuting lagi?" tanya Ana setelah acara ceramahnya selesai."Nggak mau, ah.""Harusnya kamu tuh bersyukur, punya mama perhatian begini sama anaknya," gerutu Ana cemberut."Papa mana, Ma? Belum pulang dari kantor?" tanya Adryan mengalihkan pembicaraan, kalau nggak gitu mamanya bisa cemberut sepanjang h
"Ayo masuk," ucap pak Budi mempersilakan ketiga muridnya itu masuk ke dalam kamar. Setelah masuk, mereka langsung disambut senyum ramah istri pak Budi dan juga senyum manis Laras, putri pak Budi yang sedang terbaring sakit.Sejenak Laras terkejut saat matanya bertemu pandang dengan Mitha, pelan ia menarik lengan ibunya yang berdiri di sebelahnya, lalu membisikkan sesuatu padanya."Kenapa, nak?" tanya pak Budi saat menyadari sejak tadi putrinya yang masih duduk di kelas 6 SD itu berbisik-bisik pada ibunya."Ini lho, si Laras kepingin foto sama Mitha. Dia ini kan fansnya sejak dulu," istri pak Budi menjelaskan.Mendengar hal itu Mitha tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Seketika gadis itu berjalan mendekati tempat tidur Laras lalu duduk di sebelahnya. Meraih tangan gadis kecil itu lalu tersenyum."Siapa nama kamu?" tanya Mitha dengan suara lembut."Laras, Kak," jawabnya dengan wajah menunduk, malu."Kamu mau foto sama kakak?"L
"Saya tunggu di depan ya, Non."Satu pesan masuk dari pak Jo. Sopir pribadi Mitha yang bertugas mengantar dan menjemput kemanapun Mitha pergi. Ke ujung dunia pun pak Jo siap mengantar.Pesan dari pak Jo kontan membuatnya gelisah. Jarinya mengetuk-ketuk meja, otaknya berpikir keras. Gimana caranya mengakali pak Jo supaya Mitha bisa pulang sendiri?Ini tidak mudah, tentu saja pak Jo akan lebih menurut pada mami Olla ketimbang Mitha. Apa memang benar tak ada cara lain?Ah, iya! Dito!Gadis itu melirik cowok disebelahnya. Dito sudah merapikan buku-bukunya ke dalam tas. Lima belas menit lagi bel tanda sekolah usai akan berbunyi."Dito," bisik Mitha yang dibalas Dito dengan menaikkan sebelas alis."Lo mau nggak ....""Enggak.""Dito!! Gue belum selesai ngomong.""Tapi gue udah."Mitha menghela napas. Lama-lama ia bisa terkena penyakit darah tinggi kalau harus berurusan dengan Dito setiap hari. Sepertinya ia harus
"Mitha??" gadis cantik itu menatap Mitha dengan mata membulat. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Berkali-kali ia mengerjap sebelum berjalan pelan mendekati bangku Mitha. "Elo ngapain disini??" "Menurut elo??" jawab Mitha sekenanya. Mitha kenal betul siapa gadis yang sedang berdiri di hadapannya ini. Gadis berpenampilan rapi dengan rambut hitam bergelombang tergerai indah, tubuh langsing dan garis wajah yang nyaris sempurna. Awalnya, Mitha sempat terkagum-kagum dengan kecantikanny. Namun setelah beberapa kali mereka terlibat bersama dalam beberapa judul film televisi, barulah Mitha sadar bahwa kecantikan gadis itu tak dibarengi dengan attitude yang baik. Mitha pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Vanilla sempat menampar seorang kru hanya karna salah memesan makanan. Padahal saat itu dia masih jadi artis pendatang baru. Ya, dialah Vanilla Angela. Artis dan juga seorang model yang sedang naik daun. "Kok elo
"Mitha, kamu maju ke depan. Jawab pertanyaan nomer lima di papan tulis."Mampus!!Semua murid di kelas IPA-1 menatap kearah Paramitha Arasy, gadis tujuh belas tahun blasteran Indo-Belanda yang punya mata indah berwarna coklat muda. Juga rambut blonde yang panjang terurai sebahu.Semua keindahan itu ia dapatkan dari gen ayahnya yang katanya asli orang Belanda, bukan dari hasil kerja pewarna rambut di salon seperti kebanyakan teman-teman artisnya yang lain.Walau sesekali, Mitha pernah berniat untuk membuat rambutnya menjadi hitam agar tak terlihat terlalu mencolok diantara teman-temannya, namun maminya menolak mentah-mentah. Mata dan rambut indah yang dimiliki putrinya itu adalah sebuah karunia, sebuah aset, sebuah anugerah yang seharusnya disyukuri, bukan untuk dirubah.Disaat gadis lain seusianya sedang gemar mewarnai rambut, memakai softlens dan juga memakai produk pemutih, hal itu tak berlaku bagi Mitha.Kulitnya sudah p