"Ayo masuk," ucap pak Budi mempersilakan ketiga muridnya itu masuk ke dalam kamar. Setelah masuk, mereka langsung disambut senyum ramah istri pak Budi dan juga senyum manis Laras, putri pak Budi yang sedang terbaring sakit.
Sejenak Laras terkejut saat matanya bertemu pandang dengan Mitha, pelan ia menarik lengan ibunya yang berdiri di sebelahnya, lalu membisikkan sesuatu padanya.
"Kenapa, nak?" tanya pak Budi saat menyadari sejak tadi putrinya yang masih duduk di kelas 6 SD itu berbisik-bisik pada ibunya.
"Ini lho, si Laras kepingin foto sama Mitha. Dia ini kan fansnya sejak dulu," istri pak Budi menjelaskan.
Mendengar hal itu Mitha tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Seketika gadis itu berjalan mendekati tempat tidur Laras lalu duduk di sebelahnya. Meraih tangan gadis kecil itu lalu tersenyum.
"Siapa nama kamu?" tanya Mitha dengan suara lembut.
"Laras, Kak," jawabnya dengan wajah menunduk, malu.
"Kamu mau foto sama kakak?"
Laras mengangkat kepalanya lalu mengangguk cepat. Binar matanya tak bisa berbohong bahwa dia begitu senang dengan ajakan Mitha.
"Sebentar ya." Mitha membuka tas sekolahnya, mencari ponsel. Namun tanpa ia sadari ponselnya sudah bergetar sejak tadi. Ada beberapa panggilan tak terjawab dan juga notifikasi pesan singkat.
Wajah Mitha berubah panik. Ragu-ragu ia membuka notifikasinya. Namun belum sempat ia membaca pesan yang masuk, tiba-tiba ponsel itu bergetar lagi.
Mami Olla!
Gawat!
"Maaf, saya permisi sebentar," buru-buru Mitha keluar ruangan diiringi tatapan heran seisi kamar, tak terkecuali Dito. Cowok itu khawatir terjadi sesuatu pada Mitha, makanya ia diam-diam mengikuti gadis itu keluar.
"Halo, Mam?"
"Where are you, honey??"
"Mitha ... Mitha di sekolah, Mam," jawabnya gugup.
"Jangan bohong. Sekarang mami lagi ada di sekolah kamu."
Mati gue!!! Rutuk Mitha dalam hati.
"Share lokasi kamu sekarang."
"Tapi, Mam ...."
"Sekarang! Mami jemput kamu sekarang!"
Klik!
Telepon ditutup.
Mitha menghela napas panjang. Bahunya merosot turun. Habislah dia. Habis sudah. Baru juga sebentar ia merasakan kebahagiaan bisa bebas pergi ke tempat yang ia inginkan. Akhirnya ketahuan juga sama maminya.
Sekarang Mitha benar-benar sadar, bahwa ada batas antara mimpinya dengan dunia nyata.
"Astaga! Bikin kaget aja, sih!" Mitha terkejut bukan main saat ia membalikkan badan dan mendapati Dito sedang bersandar di samping pintu dengan melipat kedua tangannya didada.
"Mau pulang sekarang?" tanya Dito berjalan mendekati Mitha.
Gadis itu mengangguk lemas. "Padahal gue masih mau ngobrol banyak sama Laras."
"Yuk!" Dito menarik lengan Mitha, membawa gadis itu masuk lagi ke dalam ruangan tempat Laras di rawat. "Sini hape lo, biar gue yang ambil foto kalian."
Mitha tersenyum, setuju dengan ide Dito. Gadis itu lalu duduk tepat di samping Laras, ia peluk Laras sambil tersenyum lebar. Setidaknya ia bisa memberikan kenang-kenangan indah buat gadis kecil itu.
"Nanti fotonya aku kirim ke kamu ya," ujar Mitha sambil mencubit hidung Laras, gemas.
"Makasih ya, Kak. Boleh peluk?"
"Sure!" seru Mitha sambil memeluk erat putri pak Budi. "Get well soon, Laras. Next, kita ketemu lagi, ya," ucap Mitha mengusap punggung Laras.
Hatinya masih ingin berlama-lama disini, namun ia harus segera pulang. Masih banyak tanggung jawab yang harus ia selesaikan. Ditambah bonus ceramah dari mami Olla yang pastinya panjang, tak cukup kalau hanya dua hari dua malam.
***
"Mami nggak mau kejadian kayak gini terulang lagi." Mami Olla membuka suara, sedangkan Mitha hanya bisa duduk diam sambil tertunduk lesu di dalam mobil mewah yang sedang melaju kencang membelah jalanan ibu kota menuju lokasi syuting film televisi yang proses syutingnya sudah mulai sejak satu jam yang lalu.
Mitha yang didapuk sebagai pemeran utamanya justru terlambat datang. Hal itulah sebenarnya yang membuat mami Olla geram. Wanita cantik mantan model ternama itu selalu mengajarkan tanggung jawab pada Mitha sejak dirinya mulai berkarier di dunia entertaiment.
Kalau kita bisa melakukan tanggung jawab kita dengan baik, pasti orang akan menghargai kita. Namun kalau kita mulai seenaknya sendiri, jangan harap orang lain bisa memahami.
"Kamu tau nggak sih, how precious you are. Mami jagain kamu mati-matian. Eh malah kamunya mulai kabur-kaburan kayak begini. Nanti kalau ada orang jahat gimana? Kalau ada fans yang berniat jelek sama kamu gimana? Kalau kamu dituduh tidak bertanggung jawab hanya karna terlambat datang bagaimana? Mami khawatir tau nggak, sih?" mami Olla memang suka meledak-ledak. Gampang sekali marah, namun gampang sekali reda. Dan disaat seperti inilah giliran Mitha bicara.
"Mam, Mitha cuma pergi sebentar kok. Nggak akan terjadi apa-apa," ucap Mitha lirih, merasa bersalah karna membuatnya ibunya khawatir.
"Jangan di ulangi lagi," tegas Olla.
"Iya, Mam."
"Promise?"
Mitha terdiam sesaat. "Promise."
"Mulai sekarang kamu nggak boleh kabur-kaburan kayak gini lagi. Mami akan suruh pak Jo awasin kamu selama di sekolah."
"Maksudnya?"
"Pak Jo nungguin kamu selama di sekolah, dari pagi sampai kamu pulang."
"Please Mam, don't do that! Mitha nggak mau. Kasian pak Jo kalau harus nungguin dari pagi."
"Nggak, keputusan mami sudah bulat."
"Mami!"
***
Tepat jam sembilan malam, proses syuting itu akhirnya selesai juga. Segera setelah pengambilan adegan selesai, Mitha buru-buru berjalan menuju ruang make up untuk mengapus riasan yang menempel di wajahnya.
"Yang bersih ya, mbak."
"Siap!" ujar juru make up artis yang sudah terlatih untuk merias para artis yang sedang melakukan syuting.
"Tumben hari ini lo telat, Mit. Biasanya always on time," suara Adryan, lawan main Mitha hari ini.
Mereka berdua sering terlibat dalam berbagai pekerjaan. Salah satunya ya bermain film televisi ini. Mereka juga pernah menjadi couple dalam pemotretan majalah remaja. Saking seringnya menjadi pasangan di layar kaca, banyak netizen yang mengira bahwa mereka terlibat cinlok alias cinta lokasi.
Padahal semua berita itu tidaklah benar, Mitha dengan tegas menyangkalnya. Bagaimana mau pacaran, kalau jatuh cinta saja belum pernah.
Diluar semua itu, mereka berdua memang bersahabat. Bagi Mitha, Adryan adalah sosok yang humble, dia juga sangat ramah dengan para fansnya.
"Ada urusan sebentar," jawab Mitha masih memejamkan mata, karna wajahnya sedang dibersihkan oleh MUA.
"Eh, kata mami Olla. Sekarang lo sekolah di Brawijaya? Bener?"
Mitha mengangguk.
"Gue juga sekolah disana, kok kita nggak ketemu ya?"
"Masa? Lo di kelas mana?"
"IPS-3."
"Waaah, beruntung banget lo masuk IPS. Gue juga pengen kali masuk kelas IPS. Biar nggak ketemu sama yang namanya Kimia, Fisika dan teman-temamnya. Pusing pala gue. Mana harus hafalin skrib." Mitha mendengus kesal.
Adryan tertawa renyah, membuat mbak-mbak MUA itu melirik sekilas. Sepertinya ia terpesona sekali dengan wajah tampan milik Adryan. Jangan-jangan mbak MUA itu fans beratnya.
"Lagian ngapain lo masuk kelas IPA? Ngitung duit aja lo nggak becus," goda Adryan sambil mengulum senyum.
"Sialan lo!" geram Mitha melempar kapas kotor bekas make up di wajahnya, namun meleset karna Adryan segera menghindar.
Lalu suasana mendadak hening. Adryan menopang wajahnya dengan satu tangan menghadap ke arah Mitha tanpa berkedip.
"Apa?" tanya Mitha yang merasa diperhatikan sejak tadi.
"Cantik banget sih."
Mitha melirik Adryan sekilas. "Baru tau?"
"Enggak, udah lama."
Gadis itu tertawa lagi, merasa geli dengan tingkah konyol Adryan.
"Nonton yuk!" ajak Adryan saat wajah Mitha sudah bersih sempurna.
"Gue lagi dihukum sama nyokap."
"Kenapa lagi?" tanya Adryan penasaran.
"Rahasia," ucap Mitha sambil berlalu meninggalkan Adryan di ruang make up bersama mbak MUA yang sejak tadi tak berhenti tersenyum.
***
"Adryan? Sudah pulang, nak? Gimana syutingnya? Lancar?" sapa Ana, ibunya Adryan yang sibuk merapikan meja makan, tentu saja dibantu oleh asisten rumah tangganya."Lancar dong, Ma," jawab Adryan sambil memeluk ibunya sekilas."Sudah makan malam?"Adryan mengangguk. "Udah tadi di lokasi syuting, sama kru juga.""Makan apa? Nasi box lagi? Haduuh, kan sudah berkali-kali mama bilang, jangan sering-sering makan nasi box. Belum tentu sehat dan higienis, kan? Lagipula, kamu itu kan harus tetap menjaga penampilan, jangan sering-sering makan fast food. Nggak bagus buat tubuh kamu, nggak sehat. Mau mama bawain bekal kalau besok-besok ada syuting lagi?" tanya Ana setelah acara ceramahnya selesai."Nggak mau, ah.""Harusnya kamu tuh bersyukur, punya mama perhatian begini sama anaknya," gerutu Ana cemberut."Papa mana, Ma? Belum pulang dari kantor?" tanya Adryan mengalihkan pembicaraan, kalau nggak gitu mamanya bisa cemberut sepanjang h
"Mau ke kantin bareng kita, nggak?" ajak Lina dan beberapa teman sekelas Mitha. Mereka sudah siap menuju kantin untuk mengisi perut sehabis pelajaran Fisika yang serasa menguras seluruh energi mereka.Apalagi Mitha, ia nggak mudeng sama sekali dengan apa yang dibicarakan oleh pak Rizal di depan kelas tadi. Kepalanya nyut-nyutan hanya demi melihat angka-angka itu di papan tulis. Kalau boleh memilih, lebih baik ia menghafal berlembar-lembar naskah drama, dari pada harus menghitung angka yang bahkan tak ada wujudnya itu. Huh!"Nggak deh. Gue bawa bekal. Nih." Mitha mengangkat tupperware yang ia ambil dari dalam tasnya. Isinya hanya roti lapis isi keju, irisan daging dan sayuran, juga sekotak susu rendah kalori.Mitha tak terbiasa makan terlalu banyak, apalagi jajan sembarangan. Tidak seperti teman-teman lainnya yang bebas makan ini itu, tidak begitu bagi Mitha. Pola makannya harus dijaga. Bahkan mami Olla sangat rajin menghitung berapa jumlah kalori yan
"Mitha, kamu maju ke depan. Jawab pertanyaan nomer lima di papan tulis."Mampus!!Semua murid di kelas IPA-1 menatap kearah Paramitha Arasy, gadis tujuh belas tahun blasteran Indo-Belanda yang punya mata indah berwarna coklat muda. Juga rambut blonde yang panjang terurai sebahu.Semua keindahan itu ia dapatkan dari gen ayahnya yang katanya asli orang Belanda, bukan dari hasil kerja pewarna rambut di salon seperti kebanyakan teman-teman artisnya yang lain.Walau sesekali, Mitha pernah berniat untuk membuat rambutnya menjadi hitam agar tak terlihat terlalu mencolok diantara teman-temannya, namun maminya menolak mentah-mentah. Mata dan rambut indah yang dimiliki putrinya itu adalah sebuah karunia, sebuah aset, sebuah anugerah yang seharusnya disyukuri, bukan untuk dirubah.Disaat gadis lain seusianya sedang gemar mewarnai rambut, memakai softlens dan juga memakai produk pemutih, hal itu tak berlaku bagi Mitha.Kulitnya sudah p
"Mitha??" gadis cantik itu menatap Mitha dengan mata membulat. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Berkali-kali ia mengerjap sebelum berjalan pelan mendekati bangku Mitha. "Elo ngapain disini??" "Menurut elo??" jawab Mitha sekenanya. Mitha kenal betul siapa gadis yang sedang berdiri di hadapannya ini. Gadis berpenampilan rapi dengan rambut hitam bergelombang tergerai indah, tubuh langsing dan garis wajah yang nyaris sempurna. Awalnya, Mitha sempat terkagum-kagum dengan kecantikanny. Namun setelah beberapa kali mereka terlibat bersama dalam beberapa judul film televisi, barulah Mitha sadar bahwa kecantikan gadis itu tak dibarengi dengan attitude yang baik. Mitha pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Vanilla sempat menampar seorang kru hanya karna salah memesan makanan. Padahal saat itu dia masih jadi artis pendatang baru. Ya, dialah Vanilla Angela. Artis dan juga seorang model yang sedang naik daun. "Kok elo
"Saya tunggu di depan ya, Non."Satu pesan masuk dari pak Jo. Sopir pribadi Mitha yang bertugas mengantar dan menjemput kemanapun Mitha pergi. Ke ujung dunia pun pak Jo siap mengantar.Pesan dari pak Jo kontan membuatnya gelisah. Jarinya mengetuk-ketuk meja, otaknya berpikir keras. Gimana caranya mengakali pak Jo supaya Mitha bisa pulang sendiri?Ini tidak mudah, tentu saja pak Jo akan lebih menurut pada mami Olla ketimbang Mitha. Apa memang benar tak ada cara lain?Ah, iya! Dito!Gadis itu melirik cowok disebelahnya. Dito sudah merapikan buku-bukunya ke dalam tas. Lima belas menit lagi bel tanda sekolah usai akan berbunyi."Dito," bisik Mitha yang dibalas Dito dengan menaikkan sebelas alis."Lo mau nggak ....""Enggak.""Dito!! Gue belum selesai ngomong.""Tapi gue udah."Mitha menghela napas. Lama-lama ia bisa terkena penyakit darah tinggi kalau harus berurusan dengan Dito setiap hari. Sepertinya ia harus
"Mau ke kantin bareng kita, nggak?" ajak Lina dan beberapa teman sekelas Mitha. Mereka sudah siap menuju kantin untuk mengisi perut sehabis pelajaran Fisika yang serasa menguras seluruh energi mereka.Apalagi Mitha, ia nggak mudeng sama sekali dengan apa yang dibicarakan oleh pak Rizal di depan kelas tadi. Kepalanya nyut-nyutan hanya demi melihat angka-angka itu di papan tulis. Kalau boleh memilih, lebih baik ia menghafal berlembar-lembar naskah drama, dari pada harus menghitung angka yang bahkan tak ada wujudnya itu. Huh!"Nggak deh. Gue bawa bekal. Nih." Mitha mengangkat tupperware yang ia ambil dari dalam tasnya. Isinya hanya roti lapis isi keju, irisan daging dan sayuran, juga sekotak susu rendah kalori.Mitha tak terbiasa makan terlalu banyak, apalagi jajan sembarangan. Tidak seperti teman-teman lainnya yang bebas makan ini itu, tidak begitu bagi Mitha. Pola makannya harus dijaga. Bahkan mami Olla sangat rajin menghitung berapa jumlah kalori yan
"Adryan? Sudah pulang, nak? Gimana syutingnya? Lancar?" sapa Ana, ibunya Adryan yang sibuk merapikan meja makan, tentu saja dibantu oleh asisten rumah tangganya."Lancar dong, Ma," jawab Adryan sambil memeluk ibunya sekilas."Sudah makan malam?"Adryan mengangguk. "Udah tadi di lokasi syuting, sama kru juga.""Makan apa? Nasi box lagi? Haduuh, kan sudah berkali-kali mama bilang, jangan sering-sering makan nasi box. Belum tentu sehat dan higienis, kan? Lagipula, kamu itu kan harus tetap menjaga penampilan, jangan sering-sering makan fast food. Nggak bagus buat tubuh kamu, nggak sehat. Mau mama bawain bekal kalau besok-besok ada syuting lagi?" tanya Ana setelah acara ceramahnya selesai."Nggak mau, ah.""Harusnya kamu tuh bersyukur, punya mama perhatian begini sama anaknya," gerutu Ana cemberut."Papa mana, Ma? Belum pulang dari kantor?" tanya Adryan mengalihkan pembicaraan, kalau nggak gitu mamanya bisa cemberut sepanjang h
"Ayo masuk," ucap pak Budi mempersilakan ketiga muridnya itu masuk ke dalam kamar. Setelah masuk, mereka langsung disambut senyum ramah istri pak Budi dan juga senyum manis Laras, putri pak Budi yang sedang terbaring sakit.Sejenak Laras terkejut saat matanya bertemu pandang dengan Mitha, pelan ia menarik lengan ibunya yang berdiri di sebelahnya, lalu membisikkan sesuatu padanya."Kenapa, nak?" tanya pak Budi saat menyadari sejak tadi putrinya yang masih duduk di kelas 6 SD itu berbisik-bisik pada ibunya."Ini lho, si Laras kepingin foto sama Mitha. Dia ini kan fansnya sejak dulu," istri pak Budi menjelaskan.Mendengar hal itu Mitha tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Seketika gadis itu berjalan mendekati tempat tidur Laras lalu duduk di sebelahnya. Meraih tangan gadis kecil itu lalu tersenyum."Siapa nama kamu?" tanya Mitha dengan suara lembut."Laras, Kak," jawabnya dengan wajah menunduk, malu."Kamu mau foto sama kakak?"L
"Saya tunggu di depan ya, Non."Satu pesan masuk dari pak Jo. Sopir pribadi Mitha yang bertugas mengantar dan menjemput kemanapun Mitha pergi. Ke ujung dunia pun pak Jo siap mengantar.Pesan dari pak Jo kontan membuatnya gelisah. Jarinya mengetuk-ketuk meja, otaknya berpikir keras. Gimana caranya mengakali pak Jo supaya Mitha bisa pulang sendiri?Ini tidak mudah, tentu saja pak Jo akan lebih menurut pada mami Olla ketimbang Mitha. Apa memang benar tak ada cara lain?Ah, iya! Dito!Gadis itu melirik cowok disebelahnya. Dito sudah merapikan buku-bukunya ke dalam tas. Lima belas menit lagi bel tanda sekolah usai akan berbunyi."Dito," bisik Mitha yang dibalas Dito dengan menaikkan sebelas alis."Lo mau nggak ....""Enggak.""Dito!! Gue belum selesai ngomong.""Tapi gue udah."Mitha menghela napas. Lama-lama ia bisa terkena penyakit darah tinggi kalau harus berurusan dengan Dito setiap hari. Sepertinya ia harus
"Mitha??" gadis cantik itu menatap Mitha dengan mata membulat. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Berkali-kali ia mengerjap sebelum berjalan pelan mendekati bangku Mitha. "Elo ngapain disini??" "Menurut elo??" jawab Mitha sekenanya. Mitha kenal betul siapa gadis yang sedang berdiri di hadapannya ini. Gadis berpenampilan rapi dengan rambut hitam bergelombang tergerai indah, tubuh langsing dan garis wajah yang nyaris sempurna. Awalnya, Mitha sempat terkagum-kagum dengan kecantikanny. Namun setelah beberapa kali mereka terlibat bersama dalam beberapa judul film televisi, barulah Mitha sadar bahwa kecantikan gadis itu tak dibarengi dengan attitude yang baik. Mitha pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Vanilla sempat menampar seorang kru hanya karna salah memesan makanan. Padahal saat itu dia masih jadi artis pendatang baru. Ya, dialah Vanilla Angela. Artis dan juga seorang model yang sedang naik daun. "Kok elo
"Mitha, kamu maju ke depan. Jawab pertanyaan nomer lima di papan tulis."Mampus!!Semua murid di kelas IPA-1 menatap kearah Paramitha Arasy, gadis tujuh belas tahun blasteran Indo-Belanda yang punya mata indah berwarna coklat muda. Juga rambut blonde yang panjang terurai sebahu.Semua keindahan itu ia dapatkan dari gen ayahnya yang katanya asli orang Belanda, bukan dari hasil kerja pewarna rambut di salon seperti kebanyakan teman-teman artisnya yang lain.Walau sesekali, Mitha pernah berniat untuk membuat rambutnya menjadi hitam agar tak terlihat terlalu mencolok diantara teman-temannya, namun maminya menolak mentah-mentah. Mata dan rambut indah yang dimiliki putrinya itu adalah sebuah karunia, sebuah aset, sebuah anugerah yang seharusnya disyukuri, bukan untuk dirubah.Disaat gadis lain seusianya sedang gemar mewarnai rambut, memakai softlens dan juga memakai produk pemutih, hal itu tak berlaku bagi Mitha.Kulitnya sudah p