"Mitha??" gadis cantik itu menatap Mitha dengan mata membulat. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Berkali-kali ia mengerjap sebelum berjalan pelan mendekati bangku Mitha. "Elo ngapain disini??"
"Menurut elo??" jawab Mitha sekenanya. Mitha kenal betul siapa gadis yang sedang berdiri di hadapannya ini.
Gadis berpenampilan rapi dengan rambut hitam bergelombang tergerai indah, tubuh langsing dan garis wajah yang nyaris sempurna.
Awalnya, Mitha sempat terkagum-kagum dengan kecantikanny. Namun setelah beberapa kali mereka terlibat bersama dalam beberapa judul film televisi, barulah Mitha sadar bahwa kecantikan gadis itu tak dibarengi dengan attitude yang baik.
Mitha pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Vanilla sempat menampar seorang kru hanya karna salah memesan makanan. Padahal saat itu dia masih jadi artis pendatang baru. Ya, dialah Vanilla Angela. Artis dan juga seorang model yang sedang naik daun.
"Kok elo nggak cerita-cerita sih kalau sekolah disini juga," ucap Vanilla sambil duduk di depan bangku Mitha.
Mitha tersenyum miring. "Kita nggak sedekat itu kali. Gue aja nggak save nomer elo."
Vanilla tersentak mendengar jawaban sinis dari Mitha, namun ia masih berusaha tersenyum dan terlihat tak tersinggung.
"Kelas lo bukan disini kan?" tanya Mitha yang sudah mulai gerah dengan keberadaan Vanilla di dekatnya.
"Bukan. Gue lagi nyari ... Nah itu dia orangnya." Vanilla menunjuk Dito yang baru saja masuk ke dalam kelas.
"Dito!! Nih, buku catatan lo. Makasih ya." Vanilla tersenyum dengan tatapan penuh cinta kepada Dito. Sedangkan Dito hanya mengambil buku ditangan Vanilla dengan cepat lalu pergi ke bangkunya, bahkan ia sama sekali tak berniat melihat wajah gadis itu.
Mitha yang sejak tadi duduk diam hanya bisa memperhatikan interaksi antara dua orang di depannya itu. Terlihat jelas dimata Mitha kalau Vanilla jatuh hati pada Dito, namun Dito? Boro-boro, melihat ke arah Vanilla pun tidak.
Tumben ada cowok yang masih waras di dunia ini, batin Mitha.
Tepat saat bel masuk berbunyi, Vanilla pun pergi. Tentu saja setelah melambai-lambaikan tangan sok akrab ke arah Mitha dan juga Dito.
Sepertinya Vanilla harus kembali ke kelasnya dengan membawa perasaan kecewa. Pertama karna Dito masih saja cuek padanya, dan yang kedua karna Mitha ternyata satu kelas bahkan satu bangku dengan Dito.
Kenapa gadis itu selalu merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya?? Vanilla menghentakkan kakinya dengan perasaan jengkel luar biasa.
***
Ruang kelas IPA-1 kembali bergemuruh sesaat setelah Bayu sang ketua kelas mengumumkan bahwa jam terakhir mereka kosong.
Pak Budi, guru Bahasa Indonesia yang seharusnya mengajar mendadak harus segera pulang karena anaknya sakit, katanya sih kena tipes.
Tapi kabar berita itu belum dikonfirmasi kebenarannya. Kebetulan pak Budi adalah wali kelas IPA-1, jadi mereka berencana akan mengirim perwakilan kelas untuk menjenguk putri pak Budi yang kini sedang di rawat di rumah sakit.
"Jadi siapa mau nemenin gue jenguk anaknya pak Budi di rumah sakit?" seru Bayu yang sedang berdiri di depan kelas.
Suasana tetiba hening. Tak ada satupun yang menjawab. Bukan apa-apa, kalau ajakan ke mall atau cafe pastilah banyak yang ikut. Tapi kalau rumah sakit, membayangkan saja sudah ngeri.
"Tapi kan belum pasti anaknya pak Budi di rawat di rumah sakit," ujar Vino yang duduk dibarisan belakang.
"Udah pasti kok. Tadi gue sempat konfirmasi dulu sama kepala sekolah," jawab Bayu mantap. Cowok berkulit hitam manis itu terlihat sangat cocok dengan jabatan ketua kelas. Tegas dan gercep, alias gerak cepat.
"Sorry, Bay. Gue ada acara penting sepulang sekolah. Jadi gak bisa ikut," ucap Fahri.
"Gue juga, ada bimbingan belajar abis kelar sekolah. Nggak boleh telat," Lina, gadis berkacamata itu menimpali.
Beberapa siswa lain juga mengatakan kalau mereka tak bisa ikut, membut raut wajah Bayu tampak kecewa. Lalu tiba-tiba Dito mengangkat tangan.
"Gue ikut," ucapnya setelah tangannya turun.
"Gue juga!" seru Mitha tiba-tiba, tanpa berfikir. Bahkan dia sendiri tak sadar sudah ikut-ikutan mengangkat sebelah tangannya.
Beberapa pasang mata lalu menoleh ke arah Mitha. Merasa heran. Bukankah seorang Mitha bahkan tak punya waktu untuk hal-hal semacam itu? Jadwalnya padat. Ingat kan??
"Serius lo mau ikut?" Bayu menatap Mitha yang kini tampak gelisah. Melirik ke kiri kanan.
"Ehm ... Gue tanya Mami dulu ya? Hari ini ada jadwal atau ...."
"Udah nggak usah. Cewek kayak elo mana punya waktu buat kegiatan sosial," sindir Dito melirik tajam ke arahnya. "Kita berdua aja, Bay. Pulang sekolah langsung ya," ujar Dito yang diiringi tanda 'oke' oleh Bayu.
"Kok lo ngomongnya gitu, sih?" protes Mitha tak terima. Dia benar-benar berniat ikut menjenguk ke rumah sakit. Ini adalah pengalaman pertama baginya. Mana mungkin Dito mengerti.
Cowok di sebelahnya ini bahkan tak tahu, seseorang seperti Mitha juga menginginkan kehidupan normal seperti teman-temannya yang lain.
Apalagi setelah ia masuk ke sekolah formal seperti ini. Suasana kelas yang riuh, guru yang mengajar di depan kelas, ada seseorang yang bahkan mau berbagi buku dengannya, semua itu adalah hal yang baru bagi Mitha. Cowok itu nggak akan mengerti.
Dito, nggak mungkin paham! Batin Mitha dongkol.
"Maksudnya?"
"Ya gue beneran mau ikut ke rumah sakit. Memangnya nggak boleh?"
"Memangnya boleh sama manajer lo?" pertanyaan Dito barusan benar-benar membuat Mitha terdiam.
Memangnya maminya akan mengijinkan ia pergi bersama teman-temannya? Lalu jadwalnya sepulang sekolah bagaimana? Janji pemotretan, jadwal perawatan di salon, belum lagi kontrak syuting film televisi yang sudah ia tandatangani. Bukankah ia harus datang tepat waktu??
"Gimana? Nggak bisa jawab, kan?" timpal Dito tersenyum miring. Terlihat puas sekali saat gadis di depannya ini tak bisa lagi membantah ucapannya.
"Bisa kok. Gue mau berangkat bareng kalian." ngeyel.
Mitha benar-benar ngeyel. Hanya untuk membuktikan pada Dito bahwa ia juga bisa hidup normal seperti murid-murid lain.
Dito tersenyum sinis, meragukan kata-kata Mitha. Namun sebenarnya ia tak peduli juga sih. Mitha mau ikut atau tidak, itu bukanlah urusannya. Hidupnya sendiri saja sudah rumit, ia tak punya waktu untuk mengurusi hal remeh-temeh seperti ini.
Apalagi berurusan dengan seorang artis. Ia membenci profesi itu. Sama seperti ia membenci saudaranya yang berprofesi sama dengan Mitha. Saudara yang bahkan menganggapnya tak pernah ada di dunia ini.
Satu-satunya hal yang harus Dito lakukan adalah tetap menjadi yang terbaik dalam bidang akademi. Dengan begitu, ia bisa mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah di luar negeri dan melepaskan diri dari keluarga yang sebenarnya tak pernah menginginkannya, kecuali ayahnya yang memperlakukannya dengan baik sampai detik ini.
Namun, semakin dewasa, Dito semakin sadar bahwa ia tak mungkin selamanya bergantung pada keluarga Erlangga.
Apalagi setelah saudaranya menganggapnya hanya sebagai benalu di keluarganya. Betapa hancur hati Dito saat itu. Namun, tidak dengan sekarang.
Cowok berparas tampan itu sudah terbiasa dengan cacian dan hinaan yang keluar dari mulut saudaranya. Di depan semua orang, mereka berakting seolah menyayangi Dito sepenuh hati, namun di belakang orang, mereka menusuk hati Dito berkali-kali hingga Dito tak bisa merasakan sakit lagi.
Sekarang, yang bisa ia lakukan hanyalah bertahan, kalau ingin meraih impiannya, dan sepenuhnya keluar dari rumah itu. Memutuskan hubungan. Memutuskan segala ikatan yang sengaja dijalin oleh ayahnya delapan belas tahun yang lalu.
***
"Saya tunggu di depan ya, Non."Satu pesan masuk dari pak Jo. Sopir pribadi Mitha yang bertugas mengantar dan menjemput kemanapun Mitha pergi. Ke ujung dunia pun pak Jo siap mengantar.Pesan dari pak Jo kontan membuatnya gelisah. Jarinya mengetuk-ketuk meja, otaknya berpikir keras. Gimana caranya mengakali pak Jo supaya Mitha bisa pulang sendiri?Ini tidak mudah, tentu saja pak Jo akan lebih menurut pada mami Olla ketimbang Mitha. Apa memang benar tak ada cara lain?Ah, iya! Dito!Gadis itu melirik cowok disebelahnya. Dito sudah merapikan buku-bukunya ke dalam tas. Lima belas menit lagi bel tanda sekolah usai akan berbunyi."Dito," bisik Mitha yang dibalas Dito dengan menaikkan sebelas alis."Lo mau nggak ....""Enggak.""Dito!! Gue belum selesai ngomong.""Tapi gue udah."Mitha menghela napas. Lama-lama ia bisa terkena penyakit darah tinggi kalau harus berurusan dengan Dito setiap hari. Sepertinya ia harus
"Ayo masuk," ucap pak Budi mempersilakan ketiga muridnya itu masuk ke dalam kamar. Setelah masuk, mereka langsung disambut senyum ramah istri pak Budi dan juga senyum manis Laras, putri pak Budi yang sedang terbaring sakit.Sejenak Laras terkejut saat matanya bertemu pandang dengan Mitha, pelan ia menarik lengan ibunya yang berdiri di sebelahnya, lalu membisikkan sesuatu padanya."Kenapa, nak?" tanya pak Budi saat menyadari sejak tadi putrinya yang masih duduk di kelas 6 SD itu berbisik-bisik pada ibunya."Ini lho, si Laras kepingin foto sama Mitha. Dia ini kan fansnya sejak dulu," istri pak Budi menjelaskan.Mendengar hal itu Mitha tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Seketika gadis itu berjalan mendekati tempat tidur Laras lalu duduk di sebelahnya. Meraih tangan gadis kecil itu lalu tersenyum."Siapa nama kamu?" tanya Mitha dengan suara lembut."Laras, Kak," jawabnya dengan wajah menunduk, malu."Kamu mau foto sama kakak?"L
"Adryan? Sudah pulang, nak? Gimana syutingnya? Lancar?" sapa Ana, ibunya Adryan yang sibuk merapikan meja makan, tentu saja dibantu oleh asisten rumah tangganya."Lancar dong, Ma," jawab Adryan sambil memeluk ibunya sekilas."Sudah makan malam?"Adryan mengangguk. "Udah tadi di lokasi syuting, sama kru juga.""Makan apa? Nasi box lagi? Haduuh, kan sudah berkali-kali mama bilang, jangan sering-sering makan nasi box. Belum tentu sehat dan higienis, kan? Lagipula, kamu itu kan harus tetap menjaga penampilan, jangan sering-sering makan fast food. Nggak bagus buat tubuh kamu, nggak sehat. Mau mama bawain bekal kalau besok-besok ada syuting lagi?" tanya Ana setelah acara ceramahnya selesai."Nggak mau, ah.""Harusnya kamu tuh bersyukur, punya mama perhatian begini sama anaknya," gerutu Ana cemberut."Papa mana, Ma? Belum pulang dari kantor?" tanya Adryan mengalihkan pembicaraan, kalau nggak gitu mamanya bisa cemberut sepanjang h
"Mau ke kantin bareng kita, nggak?" ajak Lina dan beberapa teman sekelas Mitha. Mereka sudah siap menuju kantin untuk mengisi perut sehabis pelajaran Fisika yang serasa menguras seluruh energi mereka.Apalagi Mitha, ia nggak mudeng sama sekali dengan apa yang dibicarakan oleh pak Rizal di depan kelas tadi. Kepalanya nyut-nyutan hanya demi melihat angka-angka itu di papan tulis. Kalau boleh memilih, lebih baik ia menghafal berlembar-lembar naskah drama, dari pada harus menghitung angka yang bahkan tak ada wujudnya itu. Huh!"Nggak deh. Gue bawa bekal. Nih." Mitha mengangkat tupperware yang ia ambil dari dalam tasnya. Isinya hanya roti lapis isi keju, irisan daging dan sayuran, juga sekotak susu rendah kalori.Mitha tak terbiasa makan terlalu banyak, apalagi jajan sembarangan. Tidak seperti teman-teman lainnya yang bebas makan ini itu, tidak begitu bagi Mitha. Pola makannya harus dijaga. Bahkan mami Olla sangat rajin menghitung berapa jumlah kalori yan
"Mitha, kamu maju ke depan. Jawab pertanyaan nomer lima di papan tulis."Mampus!!Semua murid di kelas IPA-1 menatap kearah Paramitha Arasy, gadis tujuh belas tahun blasteran Indo-Belanda yang punya mata indah berwarna coklat muda. Juga rambut blonde yang panjang terurai sebahu.Semua keindahan itu ia dapatkan dari gen ayahnya yang katanya asli orang Belanda, bukan dari hasil kerja pewarna rambut di salon seperti kebanyakan teman-teman artisnya yang lain.Walau sesekali, Mitha pernah berniat untuk membuat rambutnya menjadi hitam agar tak terlihat terlalu mencolok diantara teman-temannya, namun maminya menolak mentah-mentah. Mata dan rambut indah yang dimiliki putrinya itu adalah sebuah karunia, sebuah aset, sebuah anugerah yang seharusnya disyukuri, bukan untuk dirubah.Disaat gadis lain seusianya sedang gemar mewarnai rambut, memakai softlens dan juga memakai produk pemutih, hal itu tak berlaku bagi Mitha.Kulitnya sudah p
"Mau ke kantin bareng kita, nggak?" ajak Lina dan beberapa teman sekelas Mitha. Mereka sudah siap menuju kantin untuk mengisi perut sehabis pelajaran Fisika yang serasa menguras seluruh energi mereka.Apalagi Mitha, ia nggak mudeng sama sekali dengan apa yang dibicarakan oleh pak Rizal di depan kelas tadi. Kepalanya nyut-nyutan hanya demi melihat angka-angka itu di papan tulis. Kalau boleh memilih, lebih baik ia menghafal berlembar-lembar naskah drama, dari pada harus menghitung angka yang bahkan tak ada wujudnya itu. Huh!"Nggak deh. Gue bawa bekal. Nih." Mitha mengangkat tupperware yang ia ambil dari dalam tasnya. Isinya hanya roti lapis isi keju, irisan daging dan sayuran, juga sekotak susu rendah kalori.Mitha tak terbiasa makan terlalu banyak, apalagi jajan sembarangan. Tidak seperti teman-teman lainnya yang bebas makan ini itu, tidak begitu bagi Mitha. Pola makannya harus dijaga. Bahkan mami Olla sangat rajin menghitung berapa jumlah kalori yan
"Adryan? Sudah pulang, nak? Gimana syutingnya? Lancar?" sapa Ana, ibunya Adryan yang sibuk merapikan meja makan, tentu saja dibantu oleh asisten rumah tangganya."Lancar dong, Ma," jawab Adryan sambil memeluk ibunya sekilas."Sudah makan malam?"Adryan mengangguk. "Udah tadi di lokasi syuting, sama kru juga.""Makan apa? Nasi box lagi? Haduuh, kan sudah berkali-kali mama bilang, jangan sering-sering makan nasi box. Belum tentu sehat dan higienis, kan? Lagipula, kamu itu kan harus tetap menjaga penampilan, jangan sering-sering makan fast food. Nggak bagus buat tubuh kamu, nggak sehat. Mau mama bawain bekal kalau besok-besok ada syuting lagi?" tanya Ana setelah acara ceramahnya selesai."Nggak mau, ah.""Harusnya kamu tuh bersyukur, punya mama perhatian begini sama anaknya," gerutu Ana cemberut."Papa mana, Ma? Belum pulang dari kantor?" tanya Adryan mengalihkan pembicaraan, kalau nggak gitu mamanya bisa cemberut sepanjang h
"Ayo masuk," ucap pak Budi mempersilakan ketiga muridnya itu masuk ke dalam kamar. Setelah masuk, mereka langsung disambut senyum ramah istri pak Budi dan juga senyum manis Laras, putri pak Budi yang sedang terbaring sakit.Sejenak Laras terkejut saat matanya bertemu pandang dengan Mitha, pelan ia menarik lengan ibunya yang berdiri di sebelahnya, lalu membisikkan sesuatu padanya."Kenapa, nak?" tanya pak Budi saat menyadari sejak tadi putrinya yang masih duduk di kelas 6 SD itu berbisik-bisik pada ibunya."Ini lho, si Laras kepingin foto sama Mitha. Dia ini kan fansnya sejak dulu," istri pak Budi menjelaskan.Mendengar hal itu Mitha tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Seketika gadis itu berjalan mendekati tempat tidur Laras lalu duduk di sebelahnya. Meraih tangan gadis kecil itu lalu tersenyum."Siapa nama kamu?" tanya Mitha dengan suara lembut."Laras, Kak," jawabnya dengan wajah menunduk, malu."Kamu mau foto sama kakak?"L
"Saya tunggu di depan ya, Non."Satu pesan masuk dari pak Jo. Sopir pribadi Mitha yang bertugas mengantar dan menjemput kemanapun Mitha pergi. Ke ujung dunia pun pak Jo siap mengantar.Pesan dari pak Jo kontan membuatnya gelisah. Jarinya mengetuk-ketuk meja, otaknya berpikir keras. Gimana caranya mengakali pak Jo supaya Mitha bisa pulang sendiri?Ini tidak mudah, tentu saja pak Jo akan lebih menurut pada mami Olla ketimbang Mitha. Apa memang benar tak ada cara lain?Ah, iya! Dito!Gadis itu melirik cowok disebelahnya. Dito sudah merapikan buku-bukunya ke dalam tas. Lima belas menit lagi bel tanda sekolah usai akan berbunyi."Dito," bisik Mitha yang dibalas Dito dengan menaikkan sebelas alis."Lo mau nggak ....""Enggak.""Dito!! Gue belum selesai ngomong.""Tapi gue udah."Mitha menghela napas. Lama-lama ia bisa terkena penyakit darah tinggi kalau harus berurusan dengan Dito setiap hari. Sepertinya ia harus
"Mitha??" gadis cantik itu menatap Mitha dengan mata membulat. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Berkali-kali ia mengerjap sebelum berjalan pelan mendekati bangku Mitha. "Elo ngapain disini??" "Menurut elo??" jawab Mitha sekenanya. Mitha kenal betul siapa gadis yang sedang berdiri di hadapannya ini. Gadis berpenampilan rapi dengan rambut hitam bergelombang tergerai indah, tubuh langsing dan garis wajah yang nyaris sempurna. Awalnya, Mitha sempat terkagum-kagum dengan kecantikanny. Namun setelah beberapa kali mereka terlibat bersama dalam beberapa judul film televisi, barulah Mitha sadar bahwa kecantikan gadis itu tak dibarengi dengan attitude yang baik. Mitha pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Vanilla sempat menampar seorang kru hanya karna salah memesan makanan. Padahal saat itu dia masih jadi artis pendatang baru. Ya, dialah Vanilla Angela. Artis dan juga seorang model yang sedang naik daun. "Kok elo
"Mitha, kamu maju ke depan. Jawab pertanyaan nomer lima di papan tulis."Mampus!!Semua murid di kelas IPA-1 menatap kearah Paramitha Arasy, gadis tujuh belas tahun blasteran Indo-Belanda yang punya mata indah berwarna coklat muda. Juga rambut blonde yang panjang terurai sebahu.Semua keindahan itu ia dapatkan dari gen ayahnya yang katanya asli orang Belanda, bukan dari hasil kerja pewarna rambut di salon seperti kebanyakan teman-teman artisnya yang lain.Walau sesekali, Mitha pernah berniat untuk membuat rambutnya menjadi hitam agar tak terlihat terlalu mencolok diantara teman-temannya, namun maminya menolak mentah-mentah. Mata dan rambut indah yang dimiliki putrinya itu adalah sebuah karunia, sebuah aset, sebuah anugerah yang seharusnya disyukuri, bukan untuk dirubah.Disaat gadis lain seusianya sedang gemar mewarnai rambut, memakai softlens dan juga memakai produk pemutih, hal itu tak berlaku bagi Mitha.Kulitnya sudah p