"Saya tunggu di depan ya, Non."
Satu pesan masuk dari pak Jo. Sopir pribadi Mitha yang bertugas mengantar dan menjemput kemanapun Mitha pergi. Ke ujung dunia pun pak Jo siap mengantar.
Pesan dari pak Jo kontan membuatnya gelisah. Jarinya mengetuk-ketuk meja, otaknya berpikir keras. Gimana caranya mengakali pak Jo supaya Mitha bisa pulang sendiri?
Ini tidak mudah, tentu saja pak Jo akan lebih menurut pada mami Olla ketimbang Mitha. Apa memang benar tak ada cara lain?
Ah, iya! Dito!
Gadis itu melirik cowok disebelahnya. Dito sudah merapikan buku-bukunya ke dalam tas. Lima belas menit lagi bel tanda sekolah usai akan berbunyi.
"Dito," bisik Mitha yang dibalas Dito dengan menaikkan sebelas alis.
"Lo mau nggak ...."
"Enggak."
"Dito!! Gue belum selesai ngomong."
"Tapi gue udah."
Mitha menghela napas. Lama-lama ia bisa terkena penyakit darah tinggi kalau harus berurusan dengan Dito setiap hari. Sepertinya ia harus punya banyak-banyak stok kesabaran mulai sekarang.
"Tolongin gue," Mitha meraih lengan Dito, memohon. "Gue bener-bener mau ikut jenguk anaknya pak Budi, boleh ya."
"Siapa yang bilang nggak boleh?" ucap Dito berusaha menepis tangan Mitha, namun gagal. "Lepasin."
Mitha menggeleng. "Enggak. Sebelum lo setuju bantuin gue."
"Ogah."
Mitha memicingkan matanya. Menatap Dito lekat-lekat. Biasanya cara ini akan berhasil pada orang lain. Entahlah kalau dengan Dito.
"Lepasin dulu tangan gue."
"Janji dulu."
"Lepasin dulu."
"Nope!"
Dito menghela napas. "Oke. Terserah elo."
"Jadi gini, sopir gue nungguin di depan sekolah. Lo bantuin gue ya. Ngomong apa gitu buat alesan. Biar gue bisa ikut ke rumah sakit. Please ...," Mitha kembali memohon.
"Kenapa nggak lo aja yang ngomong sendiri?"
"Dia nggak mungkin percaya."
"Kok bisa gitu?"
"Kok jadi lo yang kepo?"
Dito mendengus kesal. "Oke, gue bantuin. Tapi inget ya, ini yang pertama dan yang terakhir."
"Itu kan buat elo. Nggak buat gue," Mitha tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya.
***
Bel sekolah berbunyi diiringi suara riuh rendah murid-murid yang berhamburan keluar kelas. Tawa dan senyum lebar menghiasi wajah-wajah lelah mereka setelah hampir delapan jam menghabiskan waktu di sekolah dengan segala aktivitasnya.
Senyum Mitha mengembang melihat pemandangan itu. Bibirnya bahkan ikut tersenyum saat melihat beberapa murid bergerombol dan bercanda sambil berjalan membawa tas ransel besar.
Lalu, ia melirik tas nya sendiri. Kecil memang. Isinya cuma dua buku tulis. Maminya melarang Mitha membawa tas ransel besar yang penuh dengan buku.
Alasannya, pundak Mitha bisa sakit, pegal-pegal dan hal itu bisa saja merusak moodnya. Karena sepulang sekolah, Mitha masih harus berkutat dengan seabrek kegiatan lain yang tentu saja juga melelahkan.
Jadi, demi kenyamanan anaknya. Mami Olla menyarankan Mitha untuk menaruh semua buku-buku pelajarannya di loker sekolah. Lalu bagaimana kalau ada PR? Gampang, biar pak Jo yang mengambilnya ke sekolah. Ketua yayasan sekolah itu kan kenalan mami Olla, jadi semuanya bisa diatur.
"Mitha, lo jadi ikut?" suara Bayu membuat Mitha sedikit terkejut.
"Jadi," jawab Mitha cepat dengan senyum lebar. Jujur saja, ia belum pernah merasa begitu bersemangat seperti sekarang. "Tapi gue ada urusan sebentar ya sama Dito," Mitha segera menarik lengan Dito dan tak melepaskannya lagi. Gadis itu takut kalau cowok disebelahnya ini kabur.
"Nggak perlu pegangan tangan juga kali. Lo kan bukan nenek-nenek," keluh Dito merasa risih.
"Anggep aja gue nenek-nenek," jawab Mitha cuek dan terus melangkah ke depan.
"Lepasin, gue risih tau."
"Nggak. Gue butuh kekuatan menghadapi sopir gue. Anggep aja gue lagi isi baterai."
Dito memutar bola matanya. Sepertinya ia tak akan bisa menang melawan gadis keras kepala ini.
Pak Jo melambaikan tangan begitu ia melihat Mitha berjalan mendekatinya. Namun satu hal yang membuatnya heran, kenapa Mitha datang berdua dengan menggandeng seorang cowok? Apa majikannya ini nggak sadar kelakuannya membuat banyak pasang mata mengarah kepadanya?
"Non Mitha sakit?" tanya pak Jo setelah Mitha berdiri tepat di depannya. "Kok diantar sama temannya, pegangan tangan lagi."
"Eh?? Enggak kok, Pak. Mitha cuma ... Emm ...."
"Mitha mau ngerjain tugas kelompok dulu sama saya dan teman yang lain, Pak," sela Dito tiba-tiba, diiringi Mitha yang mengangguk setuju.
"Oh, masih belum selesai sekolahnya. Ya udah pak Jo tungguin disini aja, ya. Lama nggak?"
"Jangan ditungguin." Mitha menggeleng cepat. "Pak Jo pulang aja. Nanti Mitha pulangnya diantar sama dia," gadis itu menunjuk Dito tanpa sadar.
"Kok gue?"
Seketika Mitha melotot ke arah Dito. Memberi isyarat bahwa seharusnya cowok itu mengangguk setuju.
"Oh, iya Pak. Nanti saya yang antar Mitha pulang."
"Memang sudah ijin sama bos Mami?"
"Udah!" jawab Mitha cepat. "Tadi udah telpon Mami kok," imbuhnya dengan wajah serius, biar lebih meyakinkan.
Pak Jo manggut-manggut. "Kalau gitu pak Jo pulang sekarang ya."
"Iya, ati-ati ya, Pak!" Mitha melambaikan tangan ke arah pak Jo yang siap melaju di dalam mobilnya. Saat pak Jo sudah berlalu dari hadapannya Mitha langsung melompat gembira.
"Yeeyyy! It worked!" teriaknya sambil mengayunkan tangan Dito, dan entah mengapa tanpa sadar Dito pun ikut tersenyum melihat Mitha tertawa bahagia. Ia seperti merasakan sesuatu yang lain dihatinya. Perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
***
"Nih, pakai," Dito menyodorkan hoodie yang diambil dari dalam tas ranselnya pada Mitha.
Gadis itu mengernyit, tak mengerti apa maksud Dito menyodorkan hoodie bernada grey dengan ukuran besar itu padanya.
"Lo mau jadi pusat perhatian di rumah sakit?"
Seketika mulut Mitha membulat, dan segera meraih hoodie dari tangan Dito lalu memakainya. Aroma lavender langsung menyeruak begitu hoodie itu menempel di tubuhnya. Tanpa sadar bibir Mitha menarik senyum.
"Makasih ya," ucap Mitha tulus, namun lagi-lagi Dito hanya merespon dengan menaikkan kedua alisnya.
Sedangkan Bayu sempat tertawa melihat penampilan Mitha yang seperti tenggelam dalam hoodie milik Dito.
"Kayak jamur lo, Mit," canda Bayu yang berjalan di depan, sebelah tangannya membawa satu keranjang buah-buahan dan sebelahnya lagi satu kantong snack yang mereka beli di minimarket. Lalu, mereka bergegas melangkah masuk ke dalam rumah sakit.
Bayu, Mitha dan Dito berjalan pelan menyusuri koridor kamar VIP. Kepala mereka sesekali menoleh kiri kanan, mencari nomor kamar yang di tempati oleh pak Budi. Koridor VIP itu nampak begitu hening, tak seperti koridor umum yang masih tampak ramai. Disini suasananya tenang, hanya ada beberapa kamar saja disana. Kamar pak Budi salah satunya.
SMA Brawijaya memang termasuk sekolah elite yang sangat memperhatikan kesejahteraan semua guru-gurunya. Mulai dari gaji dan juga jaminan kesehatan seluruh keluarga intinya.
Maka dari itu, pak Budi memasukkan anaknya ke kamar VIP atas rekomendasi sekolah. Dan tentu saja pak Budi mendapatkan bantuan biaya dari pihak sekolah juga.
"Itu kamarnya." Bayu menunjuk salah satu kamar di pojok ruangan. Mitha dan Dito mengangguk dan berjalan mengikuti sang ketua kelas.
Pintu di hadapannya terbuka setelah Bayu mengetuk beberapa kali. Pak Budi sendiri yang kebetulan membuka pintu, beliau sedikit terkejut melihat ketiga muridnya ada di rumah sakit. Terlebih melihat Mitha dalam balutan hoodie yang kebesaran, hampir saja pak Budi tak mengenali murid barunya itu.
"Ayo, masuk."
***
"Ayo masuk," ucap pak Budi mempersilakan ketiga muridnya itu masuk ke dalam kamar. Setelah masuk, mereka langsung disambut senyum ramah istri pak Budi dan juga senyum manis Laras, putri pak Budi yang sedang terbaring sakit.Sejenak Laras terkejut saat matanya bertemu pandang dengan Mitha, pelan ia menarik lengan ibunya yang berdiri di sebelahnya, lalu membisikkan sesuatu padanya."Kenapa, nak?" tanya pak Budi saat menyadari sejak tadi putrinya yang masih duduk di kelas 6 SD itu berbisik-bisik pada ibunya."Ini lho, si Laras kepingin foto sama Mitha. Dia ini kan fansnya sejak dulu," istri pak Budi menjelaskan.Mendengar hal itu Mitha tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Seketika gadis itu berjalan mendekati tempat tidur Laras lalu duduk di sebelahnya. Meraih tangan gadis kecil itu lalu tersenyum."Siapa nama kamu?" tanya Mitha dengan suara lembut."Laras, Kak," jawabnya dengan wajah menunduk, malu."Kamu mau foto sama kakak?"L
"Adryan? Sudah pulang, nak? Gimana syutingnya? Lancar?" sapa Ana, ibunya Adryan yang sibuk merapikan meja makan, tentu saja dibantu oleh asisten rumah tangganya."Lancar dong, Ma," jawab Adryan sambil memeluk ibunya sekilas."Sudah makan malam?"Adryan mengangguk. "Udah tadi di lokasi syuting, sama kru juga.""Makan apa? Nasi box lagi? Haduuh, kan sudah berkali-kali mama bilang, jangan sering-sering makan nasi box. Belum tentu sehat dan higienis, kan? Lagipula, kamu itu kan harus tetap menjaga penampilan, jangan sering-sering makan fast food. Nggak bagus buat tubuh kamu, nggak sehat. Mau mama bawain bekal kalau besok-besok ada syuting lagi?" tanya Ana setelah acara ceramahnya selesai."Nggak mau, ah.""Harusnya kamu tuh bersyukur, punya mama perhatian begini sama anaknya," gerutu Ana cemberut."Papa mana, Ma? Belum pulang dari kantor?" tanya Adryan mengalihkan pembicaraan, kalau nggak gitu mamanya bisa cemberut sepanjang h
"Mau ke kantin bareng kita, nggak?" ajak Lina dan beberapa teman sekelas Mitha. Mereka sudah siap menuju kantin untuk mengisi perut sehabis pelajaran Fisika yang serasa menguras seluruh energi mereka.Apalagi Mitha, ia nggak mudeng sama sekali dengan apa yang dibicarakan oleh pak Rizal di depan kelas tadi. Kepalanya nyut-nyutan hanya demi melihat angka-angka itu di papan tulis. Kalau boleh memilih, lebih baik ia menghafal berlembar-lembar naskah drama, dari pada harus menghitung angka yang bahkan tak ada wujudnya itu. Huh!"Nggak deh. Gue bawa bekal. Nih." Mitha mengangkat tupperware yang ia ambil dari dalam tasnya. Isinya hanya roti lapis isi keju, irisan daging dan sayuran, juga sekotak susu rendah kalori.Mitha tak terbiasa makan terlalu banyak, apalagi jajan sembarangan. Tidak seperti teman-teman lainnya yang bebas makan ini itu, tidak begitu bagi Mitha. Pola makannya harus dijaga. Bahkan mami Olla sangat rajin menghitung berapa jumlah kalori yan
"Mitha, kamu maju ke depan. Jawab pertanyaan nomer lima di papan tulis."Mampus!!Semua murid di kelas IPA-1 menatap kearah Paramitha Arasy, gadis tujuh belas tahun blasteran Indo-Belanda yang punya mata indah berwarna coklat muda. Juga rambut blonde yang panjang terurai sebahu.Semua keindahan itu ia dapatkan dari gen ayahnya yang katanya asli orang Belanda, bukan dari hasil kerja pewarna rambut di salon seperti kebanyakan teman-teman artisnya yang lain.Walau sesekali, Mitha pernah berniat untuk membuat rambutnya menjadi hitam agar tak terlihat terlalu mencolok diantara teman-temannya, namun maminya menolak mentah-mentah. Mata dan rambut indah yang dimiliki putrinya itu adalah sebuah karunia, sebuah aset, sebuah anugerah yang seharusnya disyukuri, bukan untuk dirubah.Disaat gadis lain seusianya sedang gemar mewarnai rambut, memakai softlens dan juga memakai produk pemutih, hal itu tak berlaku bagi Mitha.Kulitnya sudah p
"Mitha??" gadis cantik itu menatap Mitha dengan mata membulat. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Berkali-kali ia mengerjap sebelum berjalan pelan mendekati bangku Mitha. "Elo ngapain disini??" "Menurut elo??" jawab Mitha sekenanya. Mitha kenal betul siapa gadis yang sedang berdiri di hadapannya ini. Gadis berpenampilan rapi dengan rambut hitam bergelombang tergerai indah, tubuh langsing dan garis wajah yang nyaris sempurna. Awalnya, Mitha sempat terkagum-kagum dengan kecantikanny. Namun setelah beberapa kali mereka terlibat bersama dalam beberapa judul film televisi, barulah Mitha sadar bahwa kecantikan gadis itu tak dibarengi dengan attitude yang baik. Mitha pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Vanilla sempat menampar seorang kru hanya karna salah memesan makanan. Padahal saat itu dia masih jadi artis pendatang baru. Ya, dialah Vanilla Angela. Artis dan juga seorang model yang sedang naik daun. "Kok elo
"Mau ke kantin bareng kita, nggak?" ajak Lina dan beberapa teman sekelas Mitha. Mereka sudah siap menuju kantin untuk mengisi perut sehabis pelajaran Fisika yang serasa menguras seluruh energi mereka.Apalagi Mitha, ia nggak mudeng sama sekali dengan apa yang dibicarakan oleh pak Rizal di depan kelas tadi. Kepalanya nyut-nyutan hanya demi melihat angka-angka itu di papan tulis. Kalau boleh memilih, lebih baik ia menghafal berlembar-lembar naskah drama, dari pada harus menghitung angka yang bahkan tak ada wujudnya itu. Huh!"Nggak deh. Gue bawa bekal. Nih." Mitha mengangkat tupperware yang ia ambil dari dalam tasnya. Isinya hanya roti lapis isi keju, irisan daging dan sayuran, juga sekotak susu rendah kalori.Mitha tak terbiasa makan terlalu banyak, apalagi jajan sembarangan. Tidak seperti teman-teman lainnya yang bebas makan ini itu, tidak begitu bagi Mitha. Pola makannya harus dijaga. Bahkan mami Olla sangat rajin menghitung berapa jumlah kalori yan
"Adryan? Sudah pulang, nak? Gimana syutingnya? Lancar?" sapa Ana, ibunya Adryan yang sibuk merapikan meja makan, tentu saja dibantu oleh asisten rumah tangganya."Lancar dong, Ma," jawab Adryan sambil memeluk ibunya sekilas."Sudah makan malam?"Adryan mengangguk. "Udah tadi di lokasi syuting, sama kru juga.""Makan apa? Nasi box lagi? Haduuh, kan sudah berkali-kali mama bilang, jangan sering-sering makan nasi box. Belum tentu sehat dan higienis, kan? Lagipula, kamu itu kan harus tetap menjaga penampilan, jangan sering-sering makan fast food. Nggak bagus buat tubuh kamu, nggak sehat. Mau mama bawain bekal kalau besok-besok ada syuting lagi?" tanya Ana setelah acara ceramahnya selesai."Nggak mau, ah.""Harusnya kamu tuh bersyukur, punya mama perhatian begini sama anaknya," gerutu Ana cemberut."Papa mana, Ma? Belum pulang dari kantor?" tanya Adryan mengalihkan pembicaraan, kalau nggak gitu mamanya bisa cemberut sepanjang h
"Ayo masuk," ucap pak Budi mempersilakan ketiga muridnya itu masuk ke dalam kamar. Setelah masuk, mereka langsung disambut senyum ramah istri pak Budi dan juga senyum manis Laras, putri pak Budi yang sedang terbaring sakit.Sejenak Laras terkejut saat matanya bertemu pandang dengan Mitha, pelan ia menarik lengan ibunya yang berdiri di sebelahnya, lalu membisikkan sesuatu padanya."Kenapa, nak?" tanya pak Budi saat menyadari sejak tadi putrinya yang masih duduk di kelas 6 SD itu berbisik-bisik pada ibunya."Ini lho, si Laras kepingin foto sama Mitha. Dia ini kan fansnya sejak dulu," istri pak Budi menjelaskan.Mendengar hal itu Mitha tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Seketika gadis itu berjalan mendekati tempat tidur Laras lalu duduk di sebelahnya. Meraih tangan gadis kecil itu lalu tersenyum."Siapa nama kamu?" tanya Mitha dengan suara lembut."Laras, Kak," jawabnya dengan wajah menunduk, malu."Kamu mau foto sama kakak?"L
"Saya tunggu di depan ya, Non."Satu pesan masuk dari pak Jo. Sopir pribadi Mitha yang bertugas mengantar dan menjemput kemanapun Mitha pergi. Ke ujung dunia pun pak Jo siap mengantar.Pesan dari pak Jo kontan membuatnya gelisah. Jarinya mengetuk-ketuk meja, otaknya berpikir keras. Gimana caranya mengakali pak Jo supaya Mitha bisa pulang sendiri?Ini tidak mudah, tentu saja pak Jo akan lebih menurut pada mami Olla ketimbang Mitha. Apa memang benar tak ada cara lain?Ah, iya! Dito!Gadis itu melirik cowok disebelahnya. Dito sudah merapikan buku-bukunya ke dalam tas. Lima belas menit lagi bel tanda sekolah usai akan berbunyi."Dito," bisik Mitha yang dibalas Dito dengan menaikkan sebelas alis."Lo mau nggak ....""Enggak.""Dito!! Gue belum selesai ngomong.""Tapi gue udah."Mitha menghela napas. Lama-lama ia bisa terkena penyakit darah tinggi kalau harus berurusan dengan Dito setiap hari. Sepertinya ia harus
"Mitha??" gadis cantik itu menatap Mitha dengan mata membulat. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Berkali-kali ia mengerjap sebelum berjalan pelan mendekati bangku Mitha. "Elo ngapain disini??" "Menurut elo??" jawab Mitha sekenanya. Mitha kenal betul siapa gadis yang sedang berdiri di hadapannya ini. Gadis berpenampilan rapi dengan rambut hitam bergelombang tergerai indah, tubuh langsing dan garis wajah yang nyaris sempurna. Awalnya, Mitha sempat terkagum-kagum dengan kecantikanny. Namun setelah beberapa kali mereka terlibat bersama dalam beberapa judul film televisi, barulah Mitha sadar bahwa kecantikan gadis itu tak dibarengi dengan attitude yang baik. Mitha pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Vanilla sempat menampar seorang kru hanya karna salah memesan makanan. Padahal saat itu dia masih jadi artis pendatang baru. Ya, dialah Vanilla Angela. Artis dan juga seorang model yang sedang naik daun. "Kok elo
"Mitha, kamu maju ke depan. Jawab pertanyaan nomer lima di papan tulis."Mampus!!Semua murid di kelas IPA-1 menatap kearah Paramitha Arasy, gadis tujuh belas tahun blasteran Indo-Belanda yang punya mata indah berwarna coklat muda. Juga rambut blonde yang panjang terurai sebahu.Semua keindahan itu ia dapatkan dari gen ayahnya yang katanya asli orang Belanda, bukan dari hasil kerja pewarna rambut di salon seperti kebanyakan teman-teman artisnya yang lain.Walau sesekali, Mitha pernah berniat untuk membuat rambutnya menjadi hitam agar tak terlihat terlalu mencolok diantara teman-temannya, namun maminya menolak mentah-mentah. Mata dan rambut indah yang dimiliki putrinya itu adalah sebuah karunia, sebuah aset, sebuah anugerah yang seharusnya disyukuri, bukan untuk dirubah.Disaat gadis lain seusianya sedang gemar mewarnai rambut, memakai softlens dan juga memakai produk pemutih, hal itu tak berlaku bagi Mitha.Kulitnya sudah p