Narendra menggedor daun pintu apartemennya, setelah sebelumnya ia melihat lampu menyala. Terlebih, ia tak bisa membuka pintu tersebut menggunakan password yang biasa dipakai. Oleh karena itu, dirinya yakin bahwa ada orang di dalam.
"Woy, buka! Siapa yang berani masuk rumah orang tanpa izin?" teriaknya sembari terus menggedor pintu
Selang beberapa detik, pintu terbuka dan menampakkan sosok perempuan yang sangat dikena Narendra.
"Kak Anin?"
"Kamu nggak bisa ketuk pelan-pelan?" tanya Anindya santai.
"Apa katamu? Ketuk pintu pelan-pelan setelah kakak masuk ke dalam tanpa izinku dan mengubah paswordnya?"
Anindya terkekeh. "Izinmu?memangnya kamu pemilik apartemen ini? Justru pemilik apartemen ini yang menyuruhku dan suami tinggal di sini, serta mengubah password akses masuk."
Narendra mengusap kasar rambutnya. "Ah! Papa benar-benar melaksanakan ancamannya. Sial!"
"Urusanmu sama kakak sudah selesai, kan? Jadi, silakan selesaikan urusanmu dengan Papa. Kakak mau melanjutkan pertempuran yang tertunda karenamu."
Narendra yang sedang kalut mendadak polos mendengar kata-kata itu. Setelah suami Anindya muncul, barulah ia paham.
"Sudah, kan, Ren? Kami mau lanjut lagi," ujar pria bernama Riko itu.
Narendra membalikkan badan dan berlalu tanpa suara. Ia turun ke pelataran parkir menggunakan lift. Namun, ia tak menemukan mobilnya di area parkir yang sedang lengang itu. Dering gawai Narendra seakan-akan menjawab kegundahannya.
"Pulang ke rumah saja dan pakai taksi. Mulai detik ini, belajar hidup apa adanya tanpa fasilitas mewah lagi jika kamu memang sudah tak butuh Papa lagi," ucap seorang pria dari seberang gawai.
Narendra mengusap kasar wajahnya. "Oke, baiklah! Sekarang juga aku akan menikahi wanita itu."
Gelak tawa pria bernama Sadewo Handoko itu membahana di membran tipani Narendra. "Anak malas dan manja sepertimu memang akan melakukan apa saja demi harta."
"Besok, kita bicara di rumah. Aku juga punya satu permintaan mengenai pernikahan itu," jawabnya seraya melangkah menuju gerbang.
"Baiklah, besok Papa tunggu."
Usai mengakhiri panggilan suara, Narendra masih berkutat pada gawai. Dirinya menghubungi seorang wanita. "Tolong jemput aku di apartemen! Aku tak mau ada penolakan!" tegasnya yang sudah sampai ambang gerbang.
'Ah, semua ini gara-gara wanita sialan itu! Dia yang hamil, aku yang repot. Aku saja selalu mengingatkan setiap wanita yang tidur denganku untuk minum kontrasepsi pil terlebih dulu supaya tak hamil. Sekarang malah harus menikahi wanita hamil. Awas saja dia! Akan kubuat dia mengugat cerai secepatnya'. Narendra bersenandika.
Lima menit menunggu, pajero sport violet berhenti di depannya. Gegas dirinya melangkah menuju mobil dan mengambil posisi di samping pengemudi, sebelum yang punya mobil turun dan menyuruhnya menyetir.
"Pikiranku sedang kacau dan akan membahayakan jika menyetir." Narendra bersuara terlebih dahulu sebelum gadis di sampingnya bertanya.
"Jangan bilang kalau kamu tak diizinkan papamu tinggal di apartemen itu dan mobilmu juga diambil beliau?"
Narendra, hanya menjawab dengan menampakkan ekspresi senderut di wajah tampannya, sedangkan gadis bernama Felicia itu paham dengan air muka yang ditunjukkan sang kekasih.
Setelah itu, tercipta keheningan di antara mereka sampai dua puluh menit kemudian, mobil tiba di pelataran parkir apartemen Felicia. Gegas sepasang kekasih itu melangkah ke lantai lima, menggunakan lift. Begitu tiba di rumah apartemen sederhana itu, Narendra lekas merebahkan raga di sofa bed marun yang ada di depan televisi, sementara Felicia melangkah menuju lemari pendingin untuk mengambil beberapa minuman beralkohol, setelah sebelumnya melepas higheels terlebih dulu. Beberapa detik kemudian, gadis bermata sipit itu menemui Narendra dengan membawa nampan berisi dua botol minuman berakohol dan dua gelas berkaki tinggi.
"Mungkin, kamu butuh ini, Sayang?"
Narendra mendongakkan wajahnya menatap sang kekasih yang sedang membungkuk meletakkan nampan di meja. Lelaki itu segera merengkuh tubuh ramping, tetapi sintal itu ke pelukannya. "Aku butuh kamu, Sayang," bisiknya lirih.
"Ayolah, kita minum dulu agar lebih seru," ajak gadis yang sengaja dua kancing bagian atas kemeja cokelat susunya.
"Baiklah, bidadariku!"
Setelah habis tiga gelas alkohol, bhama semakin menguasai Narendra, pun Felicia.
Narendra kerap menjadikan Felicia tempat pelampiasan syahwatnya kala pikirannya sedang kalut. Sang kekasih pun bersedia sebab lelaki itu sangat royal padanyaKedua insan itu melanjutkan permainan di kamar. Satu jam setengah mereka bercumbana, membuat keduanya kelelahan dan tertidur sampai pagi.
Narendra mengerjapkan netra kala cahaya baskara yang menembus jendela mengetuk kelopak matanya. Ternyata, Felicia sudah bangun dan membuka gordyn.
"Apa rencanamu hari ini, Sayang? Bagaimana caramu membujuk Papa agar mengembalikan semua fasilitas? "
Narendra mengubah posisi tidurnya menjadi duduk bersila di katil dengan selimut menutupi area perut sampai kaki. "Hanya ada satu cara, yaitu menuruti keinginannya." lelaki itu meraih celana panjangnya di lantai, kemudian berdiri, lalu mengenakannya.
Tampak raut wajah Felicia senderut. Narendra menghampiri gadis yang sedang duduk di depan meja rias itu. Ia memeluk lembut gadis berkaus ketat warna salem itu dari balik punggungnya.
"Jangan cemberut gitu, Sayang," ucapnya seraya memberi kecupan lembut pada pipi mulus Felicia. "Aku, sih, maunya kita tetap berhubungan meskipun aku sudah menikah. Lagi pula, aku menikahi dia, hanya untuk memperjelas status anaknya saja. Nggak apalah, aku sumbangkan namaku sebagai bapak dari bayi itu di akta lahirnya supaya gampang segala urusan administrasinya ketika dewasa nanti."
"Jadi, maksudmu, pernikahan kalian, hanya sekadar status saja, kan? Tak ada cinta di dalamnya?"
Narendra menuntun tubuh ramping Felicia agar memutar menghadapnya. "Mana bisa aku mencintainya, sedangkan melihatnya saja belum pernah. Kalaupun nanti sudah melihat, tak mungkin semudah itu aku jatuh cinta, Sayang."
"Benar, ya! Awas, kalau sampai kamu jatuh cinta padanya!"
"Tentu tidak, Sayang." Narendra mengecup bibir ranum di hadapannya. "Kalau begitu, aku pulang, ya, Beib."
Felicia mengangguk sembari mengulas senyum.
***
"Jadi, apa permintaanmu?" tanya Papa setelah mendengar langsung Narendra setuju dengan permintaannya."Aku tak mau ada yang tahu tentang pernikahanku. Aku sedang kuliah, Pa. Apa kata orang kalau tahu aku yang masih mahasiswa sudah menikah?Orang pasti berpikir kami hidup dari harta Papa karena tak banyak yang tahu kalau aku sudah bekerja di perusahaan Papa."
"Jelas orang tak tahu kalau kamu bekerja. Kamu itu status saja CEO, tapi tak pernah ke kantor, apalagi mengurus pekerjaan," sahut Papa kesal. "Ya sudah, Papa juga tak mau banyak orang yang tahu karena mereka akan berpikir kamu yang meghamili Anyelir dan itu tentu saja akan mencoreng muka Papa. Jadi, peenikahan kamu ini memang dirahasiakan."
"Lagi pula, kenapa harus ditolong, sih, Pa? Biarkan saja dia menanggung susahnya sendiri."
"Nanti kamu akan tahu. Yang jelas, Papa punya hutang budi pada keluarga Anyelir." Papa mengatur napas sesaat. "Lagi pula, Papa, kan, sudah katakan sebelumnya bahwa pernikahan kalian, hanya sampai bayi Anyelir berusia satu tahun. Setelah itu, kamu bisa bebas lagi."
"Baiklah, kalau begitu. Kapan pernikahan dilaksanakan?" tanya Narendra.
"Minggu depan. Nanti malam, kita ke tempat Anyelir. Kamu belum pernah bertemu dengannya, kan?"
"Baiklah!"
Sesungguhnya, beberapa pertanyaan menyeruak di relung. Apa yang dilakukan ayah Anyelir sehingga Papa merasa sampai berhutang budi padanya. Kenapa Papa memberi waktu sampai bayi Anyelir berusia satu tahun? Kenapa tak sebulan setelah bayinya lahir saja?
Akan tetapi, semua pertanyaan itu, hanya bercokol di koroh. Ia tak ingin berdebat karena tak mau menjadi miskin, hanya karena menolak keinginan Papa.
Langit kelabu terukir di hari kedua bulan September. Seakan-akan menggambarkan suasana hati Narendra yang sedang redum.Narendra dan Sadewo sedang dalam perjalanan menuju rumah Anyelir. Namun, tak ada suara di antara mereka. Tiga puluh menit bukan waktu singkat untuk kedua insan itu meskipun dalam suasana hening. Kesunyian, hanya ada di mobil, tidak untuk pemikiran mereka.Keduanya hanyut dalam pemikiran masing-masing. Narendra sibuk merutuki keinginan konyol sang ayah. Ia sangat tak rela melepas masa muda yang penuh sukacita.Narendra, hanya mahasiswa yang malas. Dirinya memang tak pernah bolos. Namun, hadir pun percuma sebab saat dosen sedang memberi materi, pria berhidung bangir itu sibuk berkutat dengan gawai, tentu saja tanpa ketahuan dosen. Kadang, ia mengusili Yudha dan Panji --sahabatnya--.Sadewo mwmberi amanah kepada Narendra untuk menjadi CEO di salah satu perusahaan miliknya. Namun, dengan dalih perusahaan itu bukan yang ia i
Baskara merangkak naik menghantar kehangatan pada atmosfer bumi. Seakan-akan merestui akad nikah yang berlangsung hari ini.Sesuai kesepakatan, pernikahan, hanya diketahui keluarga inti.Adik perempuan dan kakak laki-laki Sadewo bersama pasangan masing-masing dan anak-anaknya, kedua kakak laki-laki almarhum Sekar --ibu Narendra-- Adik laki-laki dan kakak perempuan Darmawan, serta kedua adik perempuan Wulandari beserta anak-anak mereka, juga tentu saja Anindya dan suaminya. Tak ada tamu lain selain itu.Dua jam lalu, Narendra dengan lancar mengucapkan ijab kabul. Sekarang, keluarga tampak saling bercengkerama dan berkenalan. Kehangatan dan keakraban tampak jelas terlihat. Namun, lain halnya dengan Narendra yang memilih berkutat pada gawai karena sedang bertengkar dengan Felicia.Sementara itu, Anyelir memilih menikmati kue dan hidangan lain yang tersedia. Ia berusaha menyembunyikan rasa pusing dan mual yang
Udara September begitu sejuk setelah beberapa hari hujan melanda bentala bagian barat Indonesia, tak terkecuali Jakarta Pusat. Namun, tak sesejuk hati Anyelir dan Narendra yang menjalani hari kedua di rumah baru. Rumah sederhana tak bertingkat itu menjadi saksi pertama ketidakharmonisan hubungan penghuninya.Anyelir tetap membuat sarapan untuk kekasih halalnya meski ia sudah tahu tak akan disentuh lelaki itu. Akan tetapi, dirinya tetap berusaha menjadi istri yang baik meskipun tak mendapat respons baik suami.“Aku, kan, sudah bilang, tak usah buatkan sarapan lagi. Percuma, aku tak mau makan. Tak usah melakukan hal yang sia-sia dan membuat makanan mubazir.”“Tak ada yang sia-sia dan taka da yang mubazir. Aku bisa antar ke rumah Papa atau ke rumah orang tuaku. Anggap saja Tuhan menyuruhku beramal.”“
Narendra melepas pagutan bibirnya dengan kesal kala terdengar ketukan pintu. Felicia lekas mengancing bagian atas kemejanya yang terbuka, lalu beranjak dari pangkuan Narendra seraya merapikan rok span pendek warna kelabu. Felicia gegas meraih Map di meja tamu, lalu melangkah menuju pintu.Tampak sosok cantik dengan setelan kemeja berbalut blazer putih dan celana panjang ketat berdiri di ambang pintu. Perempuan yang berprofesi sebagai sekretaris Narendra itu memegang beberapa Map dan sebuah tas bekal di tangan.Felicia melangkah ke pinggir agar peremuan bernama Adelia itu bisa melewatinya terlebih dulu. Setelah Adelia sudah tak di ambang pintu, Felicia melangkah keluar tanpa pamit, lalu menutup pintu."Maaf, Pak, kalau saya menggangu," ucap Adelia hati-hati.Semua karyawan tahu tentang hubungan Felicia dan Narendra. Felicia juga bekerja di perusahaan sama dengan Narendra. Ia yang,hanya lulusan SMA bisa bekerja di perusahaan milik pengusah
Narendra menekan pedal rem kala mobil mewahnya tiba di halaman rumah. Dilihatnya dari celah lubang angin, tampak tak ada cahaya dari rumah sederhana itu. Pasti sudah tidur, pikirnya. Ia melirik Alexander Christie di pergelangan kiri. Pukul 01.05. Narendra gegas turun dari mobil lalu melangkah menuju pintu, lalu membukanya dengan kunci duplikat. Sengaja dirinya membuat kunci duplikat sebab ia tahu akan sering pulang malam. Begitu pintu terbuka, ruang tamu memang gelap, tetapi ada cahaya dari arah dapur.'Apa iya, Anyelir memasak tengah malam begini? Ah, mungkin ia haus, lalu minum ke dapur', gumamnya.Namun, dirinya terkesiap melihat istrinya tertidur di meja makan. Raga bagian bawahnya duduk di kursi, kepalanya bersandar pada meja makan dengan beralaskan lengan. Diperhatikan wajah polos natural yang sering ia kagumi tanpa sengaja.'Wajar, sih, Panji menyukainya'. Namun, buru-buru ditepis pikirannya.Dirinya hendak melangkah ke kama
Buana terus berputar pada poros, membawa perubahan waktu dari menit ke menit. Tak terasa sepuluh hari telah dilewati Anyelir dan Narendra di rumah baru dengan status yang baru pula. Meski sama sekali tak ada kebahagiaan di rumah itu, tetapi Anyelir tetap menjalankan kesehariannya dengan tegar. Perempuan itu berniat ke rumah sakit untuk memeriksa kandungannya. Sadewo pernah memberinya uang untuk mengontrol kehamilan. Meski pria itu merupakan dokter kandungan langganan Anyelir, tetapi terkadang dirinya tak bertugas. Jadi, untuk persiapan apabila dirinya sedang tak praktik, menantunya itu tetap bisa mengontrol kandungan.Bagsakara yang memancarkan kehangatan, menambah kekesalan di hati Anyelir. Sejak sebelum sarapan, ia sudah menanti sang suami bangun sebab dirinya hendak meminta tolong pada lelakiitu untuk mengantarnya ke rumah sakit. Akan tetapi, Narendra malah pergi begitu saja tanpa pamit, bahkan tak melirik istrinya sama sekal
WANITA BERHAK BAHAGIASemburat mentari muncul di sela mega yang masih berwarna kelabu, sisa hujan semalam. Namun, tetap memberi cahaya terang di sebagian bentala. Kehangatan baskara memberi semangat tersendiri bagi Anyelir.Luka dan nyeri di hatinya tentu masih sangat terasa. Namun, sejak bangun subuh tadi, dirinya bertekad untuk tetap tegar dan kuat dan mengikuti keinginan sang suami untuk tak mencampuri urusannya. Ia pun berusaha bahagia dengan caranya sendiri. Biarpun demikian, ia tetap melakukan tugas sebagai istri. Anyelir tak peduli dengan perjanjian pernikahan bagian itu sebab jika tak melakukan apapun, membuat dirinya jenuh.Seperti saat ini, ia baru selesai menyiapkan air hangat untuk suaminya mandi. Setelah itu, dirinya mengeluarkan pakaian kerja Narendra yang sudah disetrika subuh tadi. Biasanya, Anyelir menggosok baju kerja sang suami saat malam, tetapi semalam suasana hati perempuan itu sedang tak baik-baik saja sehingga memilih tidur lebih cepat.
Hari terus berganti. Tak terasa hampir satu bulan Anyelir menjalani kehidupan bersama suami di tempat tinggal barunya. Ia merasa waktu berjalan sangat lambat. Memang benar, apabila kehidupan yang dijalani tak sesuai harapan, maka waktu akan terasa lama bergulir.Narendra semakin sering membawa Felicia ke rumah dan Anyelir sudah terbiasa dengan itu. Sakit? Pasti. Namun, ada banyak cara untuk mengalihkan rasa sakit. Kalau sudah lelah mengerjakan pekerjaan rumah, dirinya berkirim pesan dengan Panji atau Gilang. Kadang, ia tak menolak kala kedua lelaki itu mengajaknya jalan-jalan.Setiap insan butuh hiburan meski, hanya sekadar menemani seseorang belanja ke minimarket. Kalau suami sendiri tak peduli akan kebutuhan hati istrinya, maka tak ada salahnya menerima tawaran bantuan dari orang lain.Hari ini, Anyelir sedang tak ingin keluar rumah. Dirinya memilih berkutat dengan tanaman. Ia menyiram berbagai tanaman di halaman belakang rumah yang m
"Kalian berdua sengaja mengikuti aku?"Spontan Anyelir dan Panji bersirobok. Posisi Anyelir yang sedikit merenggangkan jarak dengan lelaki di sampingnya, membuat Narendra melihat pegangan tangan keduanya.Belum sempat Panji dan Anyelir menjawab, Narendra terlebih dulu bersuara. "Jangan manja, Nye! sudah dewasa masih minta dituntun segala. Kan, tak menyeberang jalan. Kenapa harus digandeng segala? Tak akan hilang juga, kan?" racau Narendra.Panji baru hendak menjawab, tetapi kalah cepat dengan sang Felicia. "Kau ini kenapa? Kenapa diriku terlihat tak suka melihat mereka gandengan? Tak mungkin, kan, kau cemburu ketika ada lelaki yang mendekati saudaramu?" Felicia sengaja menekan kata-kata cemburu dan saudara untuk memberi kode kepada sang kekasih agar menyadari bahwa dirinya membuat kesal."Aku pun heran. sejak pagi tadi kekasihmu ini aneh, Fel. Sepertinya, dia tak suka aku mendekati saudaranya ini, padahal dia tahu bahwa aku tak mungkin menyakiti Any
Suasana Arunika yang kelabu, menciptakan dingin membelai lapisan epidermi. Namun, tak menyurutkan semangat Narendra untuk mandi sebab dirinya akan mengisi Hari Minggu ini dengan jalan-jalan bersama Felicia.Usai mandi, dirinya mendengar suara lelaki sedang bercengkerama dengan istrinya dan ia sangat mengenali suara tersebut. Lelaki itu pun gegas mengenakan kemeja lengan pendek warna biru dan celana chino panjang warna hitam. Tak lupa dirinya menyemprotkan parfum ke sebagian tubuh, lalu mengoleskan gel di rambut.Setelah itu, Narendra lekas menuju sumber suara. Dirinya sedikit terkesiap kala mendapati Panji asyik bercanda dengan istrinya."Panji!" sapanya. "Pagi sekali kau ke sini.""Iya, mau sarapan bareng wanita cantik," ucapnya sembari melirik Anyelir yang tampak tersipu. "Kau mau ke mana? Tak mau sarapan dengan kami?""Dia mana pernah mau makan masakank
September telah berakhir sejak tiga hari yang lalu. Di hari ketiga Oktober, langit Jakarta tetap redum seperti hari sebelumnya. Mentari, hanya muncul sekali dalam satu minggu. Hal yang senada dengan hari-hari yang dilalui Anyelir. Kelabu sebab tanpa kasih sayang dan perhatian seorang suami. Dirinya punya kekasih halal, tetapi seperti janda.Sejak subuh tadi, Sadewo menghubungi Narendra. Beliau mewajibkan ia, Anyelir, dan Anindya untuk berkunjung ke rumahnya.Anyelir menebak, mertuanya akan membicarakan perihal keributan di minimarket milik Frans kemarin. Namun, ia tak menceritakan hal tersebut kepada Narendra. Toh, tak ada gunanya, hanya akan memperpanjang masalah dan membuatnya semakin pusing.Ia dan Narendra sedang berada dalam perjalanan menuju rumah Sadewo. Mereka gegas masuk ke dalam, ketika mobil sudah terparkir manis di halaman rumah dokter sekaligus pengusaha itu.Pint
BAB 11Sementara itu, ketika sudah di mobil, Anyelir memilih diam daripada banyak bicara. Setiap ucapan atau pertanyaan dari Dokter Devan, hanya dijawab sekadarnya."Kita mampir ke minimarket sebentar, ya. Ada yang mau kubeli," ucap sang dokter."Baiklah! Aku juga ingin membeli camilan dan susu hamil."Devan tak menjawab. Pria itu fokus pada jalan di depan saja. Sepuluh menit kemudian, sebuah minimarket terkenal se-Indonesia, terpampang di netra Anyelir. Kedua insan itu gegas turun, kemudian melangkah masuk. Anyelir berjalan ke rak makanan, sedangkan Devan menuju rak sabun, sampo, dan peralatan rumah lainnya.Ketika sedang asyik memasukkan beberapa pilihan makanan ke keranjang pastik warna merah, suara seorang perempuan membuatnya menoleh. "Wah, ada cewek kampung masuk minimarket, nih."Perempuan di sampingnya menoleh ke Anyelir. "isi keranjangnya camilan semua. Sebelum menikah dengan orang kaya, tak pernah makan camilan sebanyak
Anyelir pun segera menemui Dokter Devan dan berkosultasi. Tentu saja setelah mengantri."Kandunganmu sangat lemah, Anyelir. Aku kasih resep obat penguat janin, tetapi kau harus istirahat total. Sedikit pun kau bekerja atau berpikir serius, kau akan kehilangan calon bayimu," jelas Dokter Devan.Anyelir mencangah mendengar penjelasan tersebut. "Kau sungguh membuatku takut, Dokter.""Takut kehilangan anakmu?""Tentu saja.""Kalau begitu, turuti saranku, Nona cantik."Entah kenapa, Anyelir tak suka mendengar panggilan itu. Ia merasa sang dokter, hanya sekadar merayu saja."Baiklah, terimakasih, Dokter. Kalau begitu, aku pulang dulu, ya." Anyelir terpaksa mengurai senyum. "Oh, iya! Sekadar memberitahu. Adikmu adalah sahabatku sejak kecil.""What? Really?""Jangan sering berbahas
Hari terus berganti. Tak terasa hampir satu bulan Anyelir menjalani kehidupan bersama suami di tempat tinggal barunya. Ia merasa waktu berjalan sangat lambat. Memang benar, apabila kehidupan yang dijalani tak sesuai harapan, maka waktu akan terasa lama bergulir.Narendra semakin sering membawa Felicia ke rumah dan Anyelir sudah terbiasa dengan itu. Sakit? Pasti. Namun, ada banyak cara untuk mengalihkan rasa sakit. Kalau sudah lelah mengerjakan pekerjaan rumah, dirinya berkirim pesan dengan Panji atau Gilang. Kadang, ia tak menolak kala kedua lelaki itu mengajaknya jalan-jalan.Setiap insan butuh hiburan meski, hanya sekadar menemani seseorang belanja ke minimarket. Kalau suami sendiri tak peduli akan kebutuhan hati istrinya, maka tak ada salahnya menerima tawaran bantuan dari orang lain.Hari ini, Anyelir sedang tak ingin keluar rumah. Dirinya memilih berkutat dengan tanaman. Ia menyiram berbagai tanaman di halaman belakang rumah yang m
WANITA BERHAK BAHAGIASemburat mentari muncul di sela mega yang masih berwarna kelabu, sisa hujan semalam. Namun, tetap memberi cahaya terang di sebagian bentala. Kehangatan baskara memberi semangat tersendiri bagi Anyelir.Luka dan nyeri di hatinya tentu masih sangat terasa. Namun, sejak bangun subuh tadi, dirinya bertekad untuk tetap tegar dan kuat dan mengikuti keinginan sang suami untuk tak mencampuri urusannya. Ia pun berusaha bahagia dengan caranya sendiri. Biarpun demikian, ia tetap melakukan tugas sebagai istri. Anyelir tak peduli dengan perjanjian pernikahan bagian itu sebab jika tak melakukan apapun, membuat dirinya jenuh.Seperti saat ini, ia baru selesai menyiapkan air hangat untuk suaminya mandi. Setelah itu, dirinya mengeluarkan pakaian kerja Narendra yang sudah disetrika subuh tadi. Biasanya, Anyelir menggosok baju kerja sang suami saat malam, tetapi semalam suasana hati perempuan itu sedang tak baik-baik saja sehingga memilih tidur lebih cepat.
Buana terus berputar pada poros, membawa perubahan waktu dari menit ke menit. Tak terasa sepuluh hari telah dilewati Anyelir dan Narendra di rumah baru dengan status yang baru pula. Meski sama sekali tak ada kebahagiaan di rumah itu, tetapi Anyelir tetap menjalankan kesehariannya dengan tegar. Perempuan itu berniat ke rumah sakit untuk memeriksa kandungannya. Sadewo pernah memberinya uang untuk mengontrol kehamilan. Meski pria itu merupakan dokter kandungan langganan Anyelir, tetapi terkadang dirinya tak bertugas. Jadi, untuk persiapan apabila dirinya sedang tak praktik, menantunya itu tetap bisa mengontrol kandungan.Bagsakara yang memancarkan kehangatan, menambah kekesalan di hati Anyelir. Sejak sebelum sarapan, ia sudah menanti sang suami bangun sebab dirinya hendak meminta tolong pada lelakiitu untuk mengantarnya ke rumah sakit. Akan tetapi, Narendra malah pergi begitu saja tanpa pamit, bahkan tak melirik istrinya sama sekal
Narendra menekan pedal rem kala mobil mewahnya tiba di halaman rumah. Dilihatnya dari celah lubang angin, tampak tak ada cahaya dari rumah sederhana itu. Pasti sudah tidur, pikirnya. Ia melirik Alexander Christie di pergelangan kiri. Pukul 01.05. Narendra gegas turun dari mobil lalu melangkah menuju pintu, lalu membukanya dengan kunci duplikat. Sengaja dirinya membuat kunci duplikat sebab ia tahu akan sering pulang malam. Begitu pintu terbuka, ruang tamu memang gelap, tetapi ada cahaya dari arah dapur.'Apa iya, Anyelir memasak tengah malam begini? Ah, mungkin ia haus, lalu minum ke dapur', gumamnya.Namun, dirinya terkesiap melihat istrinya tertidur di meja makan. Raga bagian bawahnya duduk di kursi, kepalanya bersandar pada meja makan dengan beralaskan lengan. Diperhatikan wajah polos natural yang sering ia kagumi tanpa sengaja.'Wajar, sih, Panji menyukainya'. Namun, buru-buru ditepis pikirannya.Dirinya hendak melangkah ke kama