Narendra melepas pagutan bibirnya dengan kesal kala terdengar ketukan pintu. Felicia lekas mengancing bagian atas kemejanya yang terbuka, lalu beranjak dari pangkuan Narendra seraya merapikan rok span pendek warna kelabu. Felicia gegas meraih Map di meja tamu, lalu melangkah menuju pintu.
Tampak sosok cantik dengan setelan kemeja berbalut blazer putih dan celana panjang ketat berdiri di ambang pintu. Perempuan yang berprofesi sebagai sekretaris Narendra itu memegang beberapa Map dan sebuah tas bekal di tangan.
Felicia melangkah ke pinggir agar peremuan bernama Adelia itu bisa melewatinya terlebih dulu. Setelah Adelia sudah tak di ambang pintu, Felicia melangkah keluar tanpa pamit, lalu menutup pintu.
"Maaf, Pak, kalau saya menggangu," ucap Adelia hati-hati.
Semua karyawan tahu tentang hubungan Felicia dan Narendra. Felicia juga bekerja di perusahaan sama dengan Narendra. Ia yang,hanya lulusan SMA bisa bekerja di perusahaan milik pengusaha ternama itu, tentu saja tak luput dari pertolongan Narendra.
"Sudah biasa, Del. Santai saja. Apa Ada berkas yang harus saya tandatangani?"
"Ada, Pak." Wanita yang kerap disapa Adel itu meletakkan tumpukan map di meja kerja. "Oh, iya, ini ada titipan bekal. Kata satpam, sih, dari keluarga jauh Pak Sadewo."
Narendra menautkan alis. Ia memperhatikan tas bekal di tangan Adel. Netranya tak asing dengan benda itu.
"Taruh saja di situ," titah Rendra seraya menunjuk meja yang ada di depan sofa tamu, kemudian menandatangani beberapa berkas.
Adel menuruti titah bos tanpa bersuara. "Kalau begitu, saya permisi, ya, Pak." Adel meraih berkas yang sudah ditandatangani, lalu membawanya keluar.
Narendra membuka tas bekal dan mengeluarkan kotak bekal dari dalam. Ia sudah bisa menebak bahwa itu dari Anyelir. Namun, bukannya berterimakasih, lelaki berkemeja biru muda itu justru merutuki sang istri.
'Dasar wanita pandai cari muka, padahal tak berpengaruh apapun buatku. Justru, membuatku geli. Lagipula, kalau sampai Felicia melihat, bisa jadi masalah besar. Memang cari gara-gara, nih, cewek'.
Baru hendak mengirim pesan pada Anyelir untuk memarahinya, gawai Narendra berdering dan tertera nama Yudha di layar. "Ada apa?"
"Nongki, yuk. Mumpung Panji lagi mau kumpul sama kita," ucap suara dari balik gawai.
"Di rumahmu saja! Nanti aku bawa makanan, deh." Rendra melirik tas bekal yang sempat membuatnya kesal.
"Baiklah! Aku kabari Panji dulu. Ditunggu, Bro!" seru Yudha.
Panggilan terputus. Rendra lekas meraih tas bekal, kemudian melangkah keluar menuju pelataran parkir yang ada di basement.
Begitu sudah di mobil, Narendra melajukan kereta besinya dengan kecepatan sedang menuju kediaman Yudha. Akan tetapi, ia mampir untuk membeli makan siangnya sebab dirinya malas memakan masakan Anyelir.
Butuh waktu tiga puluh menit untuk tiba di rumah mewah dengan nuansa minimalis itu.
Usai memarkirkan mobil di halaman rumah sahabatnya itu, bangat Rendra masuk sebab pintu tak tertutup. Lelaki itu tahu, sudah ada Panji di dalam karena mobilnya lebih dulu parkir di sana. Terlebih, ketika semakin melangkah ke dalam, terdengar suara kedua sahabatnya itu sedang bercengkerama sembari tertawa kecil. Akan tetapi, sebelum mendekat, Rendra menghentikan langkah sesaat dan memfokuskan indra pendengaran. Membran tipaninya menangkap nama Anyelir disebut.
Narendra bukan tipe lelaki sabar. Ia memilih bertanya langsung daripada menyimpan rasa penasaran lebih lama.
"Anyelir? Cewek mana lagi, nih?" tanya Rendra pura-pura tak tahu.
"Wah! Kura-kura dalam perahu dia. Pura-pura tak tahu, nih, ye!" goda Yudha.
"Kau gimana, sih, Ren? Punya keluarga cantik tak bilang-bilang."
Narendra menautkan alis. "Maksud kalian?"
"Iya! Anyelir itu keluargamu, kan? Kenapa tak pernah kenalkan pada kami?" sahut Panji.
Narendra tak tahu mesti menjawab apa. Anyelir tak memberitahu apapun mengenai ini. "Ketemu di mana? Tahu dari mana kalau dia keluargaku?"
"Itu, si Panji kemarin ketemu sama dia di rumah Papamu. Malahan, diantar Panji ke pasar."
Narendra tergemap mendengar penuturan Yudha. Namun, dirinya buru-buru mengubah mimik wajah kagetnya menjadi agak santai meskipun sulit. "Bagaimana bisa? Papaku mengizinkan?"
"Mengizinkan, dong. Aku pria baik-baik, tak sepertimu, Bro!" canda Panji.
Lelaki berkemeja lengan panjang motif garis vertikal warna cokelat tua itu kembali merutuki Anyelir. Kali ini ia kesal gadis itu tak memberitahunya soal pertemuannya dengan Panji.
"Jadi, maksudmu aku bukan pria baik-baik?"
Panji dan Yudha kompak menertawakan wajah menyebalkan Narendra.
"Santai saja, Bro!" ujar Panji. "Eh, tapi Anyelir tipe jaga harga diri juga, ya. Dia tak izinkan aku masuk ke rumahnya."
Lagi, Narendra dibuat tergemap oleh pekataan Panji. "Jadi, kau antar sampai rumah?"
"Memangnya kau pikir, bakal ku antar sampai ujung gang? Memangnya, anak sekolahan?"
"Kau sudah tahu tentang dia?" Narendra mencoba mencari tahu, sampai mana Papa menceritakan tentang Anyelir.
"Iya, aku tahu dia sudah menikah, tapi Papamu bilang, hanya sekadar untuk memperjelas status bayinya di akta lahir saja. Suaminya tak akan berani menuntut, kecuali sanggup memberikan satu setengah miliar untuk Papamu. Benar begitu, Ren?"
Kali ini, Rendra semakin terperanjat. Ia kesal karena Papa dan Anyelir tak memberitahu apa saja yang mereka ceritakan pada Panji. Bagaimana kalau yang dirinya katakan, tak sama dengan yang mereka sampaikan kepada Panji.
. "Oh, kalau itu aku kurang paham. Kalian, kan, tahu sendiri. Aku tak pernah ikut campur masalah keluarga." Akhirnya, kalimat itu yang terlontar dari mulut Rendra. "Oh, iya. Anyelir juga tinggal bersamaku."Giliran Yudha dan Panji yang dibuat terperangah oleh Rendra. "What?"
"Aku menjaganya agar suaminya tak mengganggu dia. Tenang saja, kadang aku mengajak Felicia ke rumah. Kak Anindya juga sesekali datang," kilah Rendra. Ia berharap, dirinya tak salah bicara.
"Kami kira, kau tipe penyuka segala wanita, termasuk keluarga sendiri. Meski bukan keluarga angkat, tapi sepertinya Papamu menganggapnya seperti putri kandung," sahut Panji.
"Aku tak segila itu!" Narendra hamoir melupakan sesuatu yang masih menempel di tangan. "Astaga! Aku sampai lupa mau memberi ini." Ia meletakkan tas bekal dan dua bungkus nasi, serta camilan di meja.
"Wah, jangan-jangan Anyelir yang masak ini." Yudha meraih tas bekal dan mengangkatnya sejajar dengan netra.
"Kalian makan saja. Aku sudah beli untukku."
Gegas Panji merampas tas bekal dari tangan Yudha dan membawanya ke dapur. Dirinya memindahkan nasi serta lauk yang berupa semur daging dan sayur capcay telur puyuh itu ke wadah lain. Makanan tersebut cukup untuk dua orang dengan porsi sangat mengenyangkan.
Panji setengah berteriak memanggil Yudha dan Narendra agar menyusulnya.
"Masakan Anyelir memang enak. Nasi gorengnya juga enak," puji Panji kala kedua temannya sudah di meja makan.
"Jadi, Anyelir antar sarapan juga?"
"Iya, katanya mau antar buatmu, tapi kau sudah berangkat kerja. Jadi, buatku saja."
"Loh, katamu tadi Anyelir tinggak bersamamu, Ren. Lalu, kenapa dia mengantar sarapan untukmu ke runah Om Dewo?"
Narendra lupa bahwa Yudha bukan tipe yang mudah dibohongi. "Baru hari ini, Yud. Kemarin belum," tukasnya.
Narendra bernapas lega sebab Yudha tak lagi bertanya.
"Kau kenapa tak mau makan masakan Anyelir? Kan, enak!" tanya Panji.
Rendra memperhatikan kedua sahabatnya yang makan dengan belalah. Dirinya menelan ludah. Ia pun mengambil sedikit lauk, lalu dipindahkan ke makanannya.
'Pantas saja mereka lahap. Memang enak, sih!' puji Rendra dalam hati.
"Aku, hanya mau berbagi sama kalian saja."
"Oh, iya! Aku boleh main ke rumahmu untuk pendekatan dengan Anyelir, kan?" Panji kembali bersuara.
Narendra merasa ada rasa sakit sedikit kala mendengar itu. "Terserah padamu," ucapnya untuk mengalihkan rasa cemburu yang sedikit menyeruak.
Tak ada respons dari Panji dan Yudha. Narendra pun merasa kebohongan hari ini aman dan berjalan lancar.
Narendra menekan pedal rem kala mobil mewahnya tiba di halaman rumah. Dilihatnya dari celah lubang angin, tampak tak ada cahaya dari rumah sederhana itu. Pasti sudah tidur, pikirnya. Ia melirik Alexander Christie di pergelangan kiri. Pukul 01.05. Narendra gegas turun dari mobil lalu melangkah menuju pintu, lalu membukanya dengan kunci duplikat. Sengaja dirinya membuat kunci duplikat sebab ia tahu akan sering pulang malam. Begitu pintu terbuka, ruang tamu memang gelap, tetapi ada cahaya dari arah dapur.'Apa iya, Anyelir memasak tengah malam begini? Ah, mungkin ia haus, lalu minum ke dapur', gumamnya.Namun, dirinya terkesiap melihat istrinya tertidur di meja makan. Raga bagian bawahnya duduk di kursi, kepalanya bersandar pada meja makan dengan beralaskan lengan. Diperhatikan wajah polos natural yang sering ia kagumi tanpa sengaja.'Wajar, sih, Panji menyukainya'. Namun, buru-buru ditepis pikirannya.Dirinya hendak melangkah ke kama
Buana terus berputar pada poros, membawa perubahan waktu dari menit ke menit. Tak terasa sepuluh hari telah dilewati Anyelir dan Narendra di rumah baru dengan status yang baru pula. Meski sama sekali tak ada kebahagiaan di rumah itu, tetapi Anyelir tetap menjalankan kesehariannya dengan tegar. Perempuan itu berniat ke rumah sakit untuk memeriksa kandungannya. Sadewo pernah memberinya uang untuk mengontrol kehamilan. Meski pria itu merupakan dokter kandungan langganan Anyelir, tetapi terkadang dirinya tak bertugas. Jadi, untuk persiapan apabila dirinya sedang tak praktik, menantunya itu tetap bisa mengontrol kandungan.Bagsakara yang memancarkan kehangatan, menambah kekesalan di hati Anyelir. Sejak sebelum sarapan, ia sudah menanti sang suami bangun sebab dirinya hendak meminta tolong pada lelakiitu untuk mengantarnya ke rumah sakit. Akan tetapi, Narendra malah pergi begitu saja tanpa pamit, bahkan tak melirik istrinya sama sekal
WANITA BERHAK BAHAGIASemburat mentari muncul di sela mega yang masih berwarna kelabu, sisa hujan semalam. Namun, tetap memberi cahaya terang di sebagian bentala. Kehangatan baskara memberi semangat tersendiri bagi Anyelir.Luka dan nyeri di hatinya tentu masih sangat terasa. Namun, sejak bangun subuh tadi, dirinya bertekad untuk tetap tegar dan kuat dan mengikuti keinginan sang suami untuk tak mencampuri urusannya. Ia pun berusaha bahagia dengan caranya sendiri. Biarpun demikian, ia tetap melakukan tugas sebagai istri. Anyelir tak peduli dengan perjanjian pernikahan bagian itu sebab jika tak melakukan apapun, membuat dirinya jenuh.Seperti saat ini, ia baru selesai menyiapkan air hangat untuk suaminya mandi. Setelah itu, dirinya mengeluarkan pakaian kerja Narendra yang sudah disetrika subuh tadi. Biasanya, Anyelir menggosok baju kerja sang suami saat malam, tetapi semalam suasana hati perempuan itu sedang tak baik-baik saja sehingga memilih tidur lebih cepat.
Hari terus berganti. Tak terasa hampir satu bulan Anyelir menjalani kehidupan bersama suami di tempat tinggal barunya. Ia merasa waktu berjalan sangat lambat. Memang benar, apabila kehidupan yang dijalani tak sesuai harapan, maka waktu akan terasa lama bergulir.Narendra semakin sering membawa Felicia ke rumah dan Anyelir sudah terbiasa dengan itu. Sakit? Pasti. Namun, ada banyak cara untuk mengalihkan rasa sakit. Kalau sudah lelah mengerjakan pekerjaan rumah, dirinya berkirim pesan dengan Panji atau Gilang. Kadang, ia tak menolak kala kedua lelaki itu mengajaknya jalan-jalan.Setiap insan butuh hiburan meski, hanya sekadar menemani seseorang belanja ke minimarket. Kalau suami sendiri tak peduli akan kebutuhan hati istrinya, maka tak ada salahnya menerima tawaran bantuan dari orang lain.Hari ini, Anyelir sedang tak ingin keluar rumah. Dirinya memilih berkutat dengan tanaman. Ia menyiram berbagai tanaman di halaman belakang rumah yang m
Anyelir pun segera menemui Dokter Devan dan berkosultasi. Tentu saja setelah mengantri."Kandunganmu sangat lemah, Anyelir. Aku kasih resep obat penguat janin, tetapi kau harus istirahat total. Sedikit pun kau bekerja atau berpikir serius, kau akan kehilangan calon bayimu," jelas Dokter Devan.Anyelir mencangah mendengar penjelasan tersebut. "Kau sungguh membuatku takut, Dokter.""Takut kehilangan anakmu?""Tentu saja.""Kalau begitu, turuti saranku, Nona cantik."Entah kenapa, Anyelir tak suka mendengar panggilan itu. Ia merasa sang dokter, hanya sekadar merayu saja."Baiklah, terimakasih, Dokter. Kalau begitu, aku pulang dulu, ya." Anyelir terpaksa mengurai senyum. "Oh, iya! Sekadar memberitahu. Adikmu adalah sahabatku sejak kecil.""What? Really?""Jangan sering berbahas
BAB 11Sementara itu, ketika sudah di mobil, Anyelir memilih diam daripada banyak bicara. Setiap ucapan atau pertanyaan dari Dokter Devan, hanya dijawab sekadarnya."Kita mampir ke minimarket sebentar, ya. Ada yang mau kubeli," ucap sang dokter."Baiklah! Aku juga ingin membeli camilan dan susu hamil."Devan tak menjawab. Pria itu fokus pada jalan di depan saja. Sepuluh menit kemudian, sebuah minimarket terkenal se-Indonesia, terpampang di netra Anyelir. Kedua insan itu gegas turun, kemudian melangkah masuk. Anyelir berjalan ke rak makanan, sedangkan Devan menuju rak sabun, sampo, dan peralatan rumah lainnya.Ketika sedang asyik memasukkan beberapa pilihan makanan ke keranjang pastik warna merah, suara seorang perempuan membuatnya menoleh. "Wah, ada cewek kampung masuk minimarket, nih."Perempuan di sampingnya menoleh ke Anyelir. "isi keranjangnya camilan semua. Sebelum menikah dengan orang kaya, tak pernah makan camilan sebanyak
September telah berakhir sejak tiga hari yang lalu. Di hari ketiga Oktober, langit Jakarta tetap redum seperti hari sebelumnya. Mentari, hanya muncul sekali dalam satu minggu. Hal yang senada dengan hari-hari yang dilalui Anyelir. Kelabu sebab tanpa kasih sayang dan perhatian seorang suami. Dirinya punya kekasih halal, tetapi seperti janda.Sejak subuh tadi, Sadewo menghubungi Narendra. Beliau mewajibkan ia, Anyelir, dan Anindya untuk berkunjung ke rumahnya.Anyelir menebak, mertuanya akan membicarakan perihal keributan di minimarket milik Frans kemarin. Namun, ia tak menceritakan hal tersebut kepada Narendra. Toh, tak ada gunanya, hanya akan memperpanjang masalah dan membuatnya semakin pusing.Ia dan Narendra sedang berada dalam perjalanan menuju rumah Sadewo. Mereka gegas masuk ke dalam, ketika mobil sudah terparkir manis di halaman rumah dokter sekaligus pengusaha itu.Pint
Suasana Arunika yang kelabu, menciptakan dingin membelai lapisan epidermi. Namun, tak menyurutkan semangat Narendra untuk mandi sebab dirinya akan mengisi Hari Minggu ini dengan jalan-jalan bersama Felicia.Usai mandi, dirinya mendengar suara lelaki sedang bercengkerama dengan istrinya dan ia sangat mengenali suara tersebut. Lelaki itu pun gegas mengenakan kemeja lengan pendek warna biru dan celana chino panjang warna hitam. Tak lupa dirinya menyemprotkan parfum ke sebagian tubuh, lalu mengoleskan gel di rambut.Setelah itu, Narendra lekas menuju sumber suara. Dirinya sedikit terkesiap kala mendapati Panji asyik bercanda dengan istrinya."Panji!" sapanya. "Pagi sekali kau ke sini.""Iya, mau sarapan bareng wanita cantik," ucapnya sembari melirik Anyelir yang tampak tersipu. "Kau mau ke mana? Tak mau sarapan dengan kami?""Dia mana pernah mau makan masakank
"Kalian berdua sengaja mengikuti aku?"Spontan Anyelir dan Panji bersirobok. Posisi Anyelir yang sedikit merenggangkan jarak dengan lelaki di sampingnya, membuat Narendra melihat pegangan tangan keduanya.Belum sempat Panji dan Anyelir menjawab, Narendra terlebih dulu bersuara. "Jangan manja, Nye! sudah dewasa masih minta dituntun segala. Kan, tak menyeberang jalan. Kenapa harus digandeng segala? Tak akan hilang juga, kan?" racau Narendra.Panji baru hendak menjawab, tetapi kalah cepat dengan sang Felicia. "Kau ini kenapa? Kenapa diriku terlihat tak suka melihat mereka gandengan? Tak mungkin, kan, kau cemburu ketika ada lelaki yang mendekati saudaramu?" Felicia sengaja menekan kata-kata cemburu dan saudara untuk memberi kode kepada sang kekasih agar menyadari bahwa dirinya membuat kesal."Aku pun heran. sejak pagi tadi kekasihmu ini aneh, Fel. Sepertinya, dia tak suka aku mendekati saudaranya ini, padahal dia tahu bahwa aku tak mungkin menyakiti Any
Suasana Arunika yang kelabu, menciptakan dingin membelai lapisan epidermi. Namun, tak menyurutkan semangat Narendra untuk mandi sebab dirinya akan mengisi Hari Minggu ini dengan jalan-jalan bersama Felicia.Usai mandi, dirinya mendengar suara lelaki sedang bercengkerama dengan istrinya dan ia sangat mengenali suara tersebut. Lelaki itu pun gegas mengenakan kemeja lengan pendek warna biru dan celana chino panjang warna hitam. Tak lupa dirinya menyemprotkan parfum ke sebagian tubuh, lalu mengoleskan gel di rambut.Setelah itu, Narendra lekas menuju sumber suara. Dirinya sedikit terkesiap kala mendapati Panji asyik bercanda dengan istrinya."Panji!" sapanya. "Pagi sekali kau ke sini.""Iya, mau sarapan bareng wanita cantik," ucapnya sembari melirik Anyelir yang tampak tersipu. "Kau mau ke mana? Tak mau sarapan dengan kami?""Dia mana pernah mau makan masakank
September telah berakhir sejak tiga hari yang lalu. Di hari ketiga Oktober, langit Jakarta tetap redum seperti hari sebelumnya. Mentari, hanya muncul sekali dalam satu minggu. Hal yang senada dengan hari-hari yang dilalui Anyelir. Kelabu sebab tanpa kasih sayang dan perhatian seorang suami. Dirinya punya kekasih halal, tetapi seperti janda.Sejak subuh tadi, Sadewo menghubungi Narendra. Beliau mewajibkan ia, Anyelir, dan Anindya untuk berkunjung ke rumahnya.Anyelir menebak, mertuanya akan membicarakan perihal keributan di minimarket milik Frans kemarin. Namun, ia tak menceritakan hal tersebut kepada Narendra. Toh, tak ada gunanya, hanya akan memperpanjang masalah dan membuatnya semakin pusing.Ia dan Narendra sedang berada dalam perjalanan menuju rumah Sadewo. Mereka gegas masuk ke dalam, ketika mobil sudah terparkir manis di halaman rumah dokter sekaligus pengusaha itu.Pint
BAB 11Sementara itu, ketika sudah di mobil, Anyelir memilih diam daripada banyak bicara. Setiap ucapan atau pertanyaan dari Dokter Devan, hanya dijawab sekadarnya."Kita mampir ke minimarket sebentar, ya. Ada yang mau kubeli," ucap sang dokter."Baiklah! Aku juga ingin membeli camilan dan susu hamil."Devan tak menjawab. Pria itu fokus pada jalan di depan saja. Sepuluh menit kemudian, sebuah minimarket terkenal se-Indonesia, terpampang di netra Anyelir. Kedua insan itu gegas turun, kemudian melangkah masuk. Anyelir berjalan ke rak makanan, sedangkan Devan menuju rak sabun, sampo, dan peralatan rumah lainnya.Ketika sedang asyik memasukkan beberapa pilihan makanan ke keranjang pastik warna merah, suara seorang perempuan membuatnya menoleh. "Wah, ada cewek kampung masuk minimarket, nih."Perempuan di sampingnya menoleh ke Anyelir. "isi keranjangnya camilan semua. Sebelum menikah dengan orang kaya, tak pernah makan camilan sebanyak
Anyelir pun segera menemui Dokter Devan dan berkosultasi. Tentu saja setelah mengantri."Kandunganmu sangat lemah, Anyelir. Aku kasih resep obat penguat janin, tetapi kau harus istirahat total. Sedikit pun kau bekerja atau berpikir serius, kau akan kehilangan calon bayimu," jelas Dokter Devan.Anyelir mencangah mendengar penjelasan tersebut. "Kau sungguh membuatku takut, Dokter.""Takut kehilangan anakmu?""Tentu saja.""Kalau begitu, turuti saranku, Nona cantik."Entah kenapa, Anyelir tak suka mendengar panggilan itu. Ia merasa sang dokter, hanya sekadar merayu saja."Baiklah, terimakasih, Dokter. Kalau begitu, aku pulang dulu, ya." Anyelir terpaksa mengurai senyum. "Oh, iya! Sekadar memberitahu. Adikmu adalah sahabatku sejak kecil.""What? Really?""Jangan sering berbahas
Hari terus berganti. Tak terasa hampir satu bulan Anyelir menjalani kehidupan bersama suami di tempat tinggal barunya. Ia merasa waktu berjalan sangat lambat. Memang benar, apabila kehidupan yang dijalani tak sesuai harapan, maka waktu akan terasa lama bergulir.Narendra semakin sering membawa Felicia ke rumah dan Anyelir sudah terbiasa dengan itu. Sakit? Pasti. Namun, ada banyak cara untuk mengalihkan rasa sakit. Kalau sudah lelah mengerjakan pekerjaan rumah, dirinya berkirim pesan dengan Panji atau Gilang. Kadang, ia tak menolak kala kedua lelaki itu mengajaknya jalan-jalan.Setiap insan butuh hiburan meski, hanya sekadar menemani seseorang belanja ke minimarket. Kalau suami sendiri tak peduli akan kebutuhan hati istrinya, maka tak ada salahnya menerima tawaran bantuan dari orang lain.Hari ini, Anyelir sedang tak ingin keluar rumah. Dirinya memilih berkutat dengan tanaman. Ia menyiram berbagai tanaman di halaman belakang rumah yang m
WANITA BERHAK BAHAGIASemburat mentari muncul di sela mega yang masih berwarna kelabu, sisa hujan semalam. Namun, tetap memberi cahaya terang di sebagian bentala. Kehangatan baskara memberi semangat tersendiri bagi Anyelir.Luka dan nyeri di hatinya tentu masih sangat terasa. Namun, sejak bangun subuh tadi, dirinya bertekad untuk tetap tegar dan kuat dan mengikuti keinginan sang suami untuk tak mencampuri urusannya. Ia pun berusaha bahagia dengan caranya sendiri. Biarpun demikian, ia tetap melakukan tugas sebagai istri. Anyelir tak peduli dengan perjanjian pernikahan bagian itu sebab jika tak melakukan apapun, membuat dirinya jenuh.Seperti saat ini, ia baru selesai menyiapkan air hangat untuk suaminya mandi. Setelah itu, dirinya mengeluarkan pakaian kerja Narendra yang sudah disetrika subuh tadi. Biasanya, Anyelir menggosok baju kerja sang suami saat malam, tetapi semalam suasana hati perempuan itu sedang tak baik-baik saja sehingga memilih tidur lebih cepat.
Buana terus berputar pada poros, membawa perubahan waktu dari menit ke menit. Tak terasa sepuluh hari telah dilewati Anyelir dan Narendra di rumah baru dengan status yang baru pula. Meski sama sekali tak ada kebahagiaan di rumah itu, tetapi Anyelir tetap menjalankan kesehariannya dengan tegar. Perempuan itu berniat ke rumah sakit untuk memeriksa kandungannya. Sadewo pernah memberinya uang untuk mengontrol kehamilan. Meski pria itu merupakan dokter kandungan langganan Anyelir, tetapi terkadang dirinya tak bertugas. Jadi, untuk persiapan apabila dirinya sedang tak praktik, menantunya itu tetap bisa mengontrol kandungan.Bagsakara yang memancarkan kehangatan, menambah kekesalan di hati Anyelir. Sejak sebelum sarapan, ia sudah menanti sang suami bangun sebab dirinya hendak meminta tolong pada lelakiitu untuk mengantarnya ke rumah sakit. Akan tetapi, Narendra malah pergi begitu saja tanpa pamit, bahkan tak melirik istrinya sama sekal
Narendra menekan pedal rem kala mobil mewahnya tiba di halaman rumah. Dilihatnya dari celah lubang angin, tampak tak ada cahaya dari rumah sederhana itu. Pasti sudah tidur, pikirnya. Ia melirik Alexander Christie di pergelangan kiri. Pukul 01.05. Narendra gegas turun dari mobil lalu melangkah menuju pintu, lalu membukanya dengan kunci duplikat. Sengaja dirinya membuat kunci duplikat sebab ia tahu akan sering pulang malam. Begitu pintu terbuka, ruang tamu memang gelap, tetapi ada cahaya dari arah dapur.'Apa iya, Anyelir memasak tengah malam begini? Ah, mungkin ia haus, lalu minum ke dapur', gumamnya.Namun, dirinya terkesiap melihat istrinya tertidur di meja makan. Raga bagian bawahnya duduk di kursi, kepalanya bersandar pada meja makan dengan beralaskan lengan. Diperhatikan wajah polos natural yang sering ia kagumi tanpa sengaja.'Wajar, sih, Panji menyukainya'. Namun, buru-buru ditepis pikirannya.Dirinya hendak melangkah ke kama