Baskara merangkak naik menghantar kehangatan pada atmosfer bumi. Seakan-akan merestui akad nikah yang berlangsung hari ini.
Sesuai kesepakatan, pernikahan, hanya diketahui keluarga inti.
Adik perempuan dan kakak laki-laki Sadewo bersama pasangan masing-masing dan anak-anaknya, kedua kakak laki-laki almarhum Sekar --ibu Narendra-- Adik laki-laki dan kakak perempuan Darmawan, serta kedua adik perempuan Wulandari beserta anak-anak mereka, juga tentu saja Anindya dan suaminya. Tak ada tamu lain selain itu.
Dua jam lalu, Narendra dengan lancar mengucapkan ijab kabul. Sekarang, keluarga tampak saling bercengkerama dan berkenalan. Kehangatan dan keakraban tampak jelas terlihat. Namun, lain halnya dengan Narendra yang memilih berkutat pada gawai karena sedang bertengkar dengan Felicia.
Sementara itu, Anyelir memilih menikmati kue dan hidangan lain yang tersedia. Ia berusaha menyembunyikan rasa pusing dan mual yang melanda. Raga yang masih terlihat ramping berbalut kebaya biru muda itu dilanda hyperemesis gravidarum. "Anyelir, kamu masih mual, Nak?" Wulandari berbisik di telinganya.
Anyelir mengangguk. Ia merasa besyukur karena tamu satu per satu pamit pulang. Setelah semua tamu pulang, Anyelir minta izin beristirahat. Ia beristirahat di kamar Rendra sesuai titah mertuanya.
Sementara itu, suaminya tampak berganti pakaian. Anyelir yang masih belum terbiasa dengan statusnya sebagai istri sah Narendra, menutup wajahnya dengan bantal.
Narendra tersenyum sinis melihat tingkah istrinya itu. "Tak usah sok polos. Kalau tak biasa melihat lelaki telanjang, tak mungkin sampai hamil," sindir lelaki itu seraya mengenakan kaus casual warna kuning kenari dengan tulisan Pria Tampan di bagian dada.
Anyelir mengukir raut senderut, tetapi malas membela diri. Toh, tak ada yang mesti diklarifikasi karena ucapan sang suami benar. "Kau mau ke mana?" ucapnya lirih karena menahan pusing dan mual.
"Bukan urusanmu!" ketus pria yang sudah mengenakan celana tactical pendek cokelat susu itu seraya melangkah keluar kamar.
Ketika sedang menuruni anak tangga, Papa bertanya seraya menatapnya tajam. "Mau ke mana kau, Rendra? Istrimu sedang sakit, malah keluyuran."
"Aku tahu ada yang mau Papa sampaikan padaku, bukan?" Rendra mengalihkan pembicaraan. "Aku ada urusan sebentar. Nanti malam pasti sudah di rumah," lanjutnya seraya melangkah pergi.
Sadewo, hanya menggeleng melihat tingkah putranya. Lelaki muda itu, bahan tak pamit pada mertua yang memang sedang tak berada di dekatnya. Darmawan sedang istirahat di kamar khusus tamu , sedangkan Wulandari sedang membantu ART mereka yang kerap di sapa Mbak Dewi di dapur.
Sadewo tahu bahwa Narendra cukup peka dalam hal menebak. Putranya itu dapat menangkap makna tersirat dalam setiap percakapan meski tak dijelaskan secara gamblang. Narendra bisa mencerna pembicaraannya dengan Darmawan saat acara lamaran satu minggu yang lalu. Pria itu tahu bahwa sang ayah punya sebuah rencana untuk mengubahnya menjadi pria dewasa.
Sementara itu,Rendra nyaris membawa mobilnya terbang. Tujuannya adalah apartemen Felicia. Rendra tak perlu mengetuk pintu. Ia bisa masuk ke tempat tinggal kekasihnya itu, kecuali jika gadis itu mengganti kode akses. Namun, Rendra patut bernapas lega karena sang dayati belum mengganti kode. Artinya, sang kekasih masih mengharap kedatangannya.
Iris Narendra membesar kala melihat sang kekasih terkampai di sofabed marun. Netranya menangkap beberapa botol minuman keras dan camilan berupa kacang-kacangan dengan berbagai merek yang telah terbuka kemasannya terdapat di meja berbahan kayu mahoni dengan cat warna putih dan berkaca bening yang dilapis taplak bulu korea warna marun.
"Astaga, Sayang! Kamu kenapa sampai begini?" Narendra mengangkat bagian belakang leher Felicia dengan lengan kanannya, sementara tangan kirinya mengangkat lembut dagu gadis bertanktop hitam model singlet itu.
Narendra menyesal mengirimkan foto dirinya yang mengenakan pakaian pengantin tradisional warna putih sebelum melaksanakan ijab Kabul tadi. Ia sama sekali tak memikirkan betapa sakitnya hati sang kekasih. Meski Feli tahu mereka akan tetap berhubungan, tentu saja ia gadis itu ingin dirinya yang ada di samping Narendra, bukan Anyelir.
"Sayang, maafkan aku!" ucap Narendra menempelkan keningnya dengan dahi Felicia.
Gadis itu membuka netranya sedikit, kemudian mendorong kasar Narendra. "Buat apa kamu ke sini? Belum puas menunjukan kebahagianmu padaku lewat foto? Tak sekalian saja kalian bercumbana di depanku."
"Tolong, maafkan aku! Aku tahu salah, tapi sumpah, aku bukan sengaja! Aku sungguh mencintaimu, Feli. Tolong jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku, hanya mencintaimu dan kamulah sumber kebahagiaanku."
Feli bangkit dari rebahnya, kemudian duduk bersila tanpa menatap Narendra yang berlutut di lantai, tepat di depannya. "Aku ragu melanjutkan hubungan ini, Ren. Semua orang akan memberi stempel pelakor padaku dan aku tak mau itu terjadi!"
Rendra bangkit dari posisinya, kemudian duduk di sofa, tepatnya di samping Felicia. "Tolong tatap mataku, Sayang." Rendra menggenggam lembut kedua tapak tangan Feli. "Kamu tak tahu bahwa taka da yang mengetahui pernikahan kami? Selain keluarga, hanya kamu yang tahu, Sayang." Meski gadis di sampingnya tak menurut titahnya, ia tetap berbicara.
Setelah mendengar itu, barulah Felicia menatap netra Rendra. "Are you serious? How about Yudha and Panji? Mereka tidak tahu juga?"
Narendra memberi jawaban melalui senyuman. Felicia mengubah raut senderutnya dan mengukir senyum termanis di wajah balut itu. Ada sedikit lega kala mengetahui bahwa tak akan ada perubahan pada hubungan mereka.
"Baiklah, aku percaya." Gadis itu menyeka bekas air mata yang masih membasahi pipi. "Oh, iya! Bagaimana dengan fasilitas yang disita papamu? Apa sudah dikembalikan?"
Pikiran buruk Narendra terhadap sang ayah kembali menyeruak. Namun,ia tak ingin mengecewakan Felicia. "Sepertinya, nanti malam. Aku langsung ke sini ketika tahu kamu marah padaku tanpa sempat berbicara banyak dengan Papa." Lelaki itu mengacak rambut sang kekasih dengan gemas. "Kamu pasti mau beli tas, ya? Sabar, ya, Sayangku!" Iya merangkul pundak Felicia, kemudian mendaratkan kecupan di dahi.
Gadis yang mengenakan celana pendek bahan katun warna abu-abu itu meyeringai. "Tahu saja kamu." Ia menyandarkan raga di dada bidang Narendra.
Posisi mereka mempermudah Narendra merangkulnya dari belakang seraya memberi kecupan menggoda di leher putih nan jenjang itu. Felicia tak menolak sehingga membawa mereka hanyut dalam buaian bhama.
Dua jam kemudian, permainan mesra itu berakhir bersamaan dengan suara tagar yang membelai membran tipani keduanya. Cuaca yang menakutkan itu seakan-akan pertanda bahwa setelah ini Narendra akan melalui hal yang mengerikan. Benar saja. Dering gawai lelaki itu seakan-akan memberi clue kejadian tak menyenangkan yang akan terjadi, apalagi tertera tulisan Papa di layar.
"Sayang, aku pulang dulu, ya. Papa menelepon pasti menyuruh pulang."
Tanpa menunggu jawaban sang kekasih, Narendra berlalu meninggalkannya seraya menerima panggilan di ponsel. "Iya, Pa! Aku segera pulang!" ucap Narendra tanpa memberi kesempatan sang ayah bicara terlebih dahulu.
"Baiklah! Tolong belikan rujak untuk istrimu."
"Oke!" ucapnya seraya masuk ke mobil dan memutuskan panggilan.
Lelaki itu berdengkus kesal. "Bukan anakku, tapi aku yang repot. Baru hari pertama sudah seperti ini. Huft!" Dirinya bermonolog sembari tetap fokus pada jalan.
***
Rinai masih tersisa dari hujan halau mentua. Biarpun demikian, hujan yang sempat deras itu menciptakan dingin yang menusuk kulit. Anila berhembus membelai lapisan epidermi. Suasana seperti ini biasanya disukai pasnagan pengantin baru, tetapi tak berlaku bagi Narendra dan Anyelir. Namun, kehangatan tetap menyeruak di hati mereka meski bukan karena sentuhan mesra. Amarah yang tertahan membuat hati Narendra panas.
Usai berdebat dengan sang ayah, ia memilih menyendiri di taman belakang seraya menyesap sebatang rokok di bibirnya. Netranya dengan jeli menyapu aksara demi aksara yang terukir di kertas beralas map biru dalam genggamannya.
Kekesalannya terhadap sang ayah yang membatasi fasilitasnya masih menguar di relung. Kini rasa itu meningkat menjadi membawang. Kata-kata sang ayah dua jam lalu, masih mengusik telinganya.
"Papa punya beberapa persyaratan penting. Sebenarnya, sudah ada di dalam perjanjian kontrak pernikahan ini, tetapi Papa harus menyampaikan beberapa hal yang paling penting," ucap Sadewo saat mereka sedang duduk di ruang santai. "Pertama, kau boleh berhubungan dengan kekasihmu itu, asal jangan sampai melukai Anyelir. Kalau dia merasa tersakiti, tinggalkan Felicia selama kamu masih menjadi suami Anyelir." Sadewo menghentikan penuturannya demi melihat manik wajah sang putra.
"Aku yakin, Anyelir tak akan tersakiti. Aku akan membuat dia tak jatuh cinta padaku."
"Terserah kamu! Asal jangan dengan cara yang membuatnya terluka!" Sadewo kembali mengatur napas." Kedua, Papa, hanya memberikanmu uang sebesar tujuh puluh juta rupiah dan sebuah rumah di Jakarta Pusat. Mobilmu ganti dengan yang lebih murah. Itu berlaku selama dua tahun pernikahan kalian."
Kalau permintaan pertama Sadewo masih dianggap remeh oleh Narendra, maka permintaan kedua ini membuatnya pedar. "What? Tujuh puluh juta selama dua tahun? Mana cukup, Pa? Makan lauk seadanya saja mungkin kurang, apalagi makan makanan mahal. Anyelir pun sedang hamil dan sebentar lagi melahirkan. Kalau dia melahirkan normal saja mungkin akan kurang, apalagi operasi. Kita tak tahu, kan, takdir Tuhan dan harus mempersiapkan kemungkinan terburuk. Belum lagi kebutuhan setelah punya anak. Papa menyuruhku menjual mobil? Mobilnya saja akan Papa ganti dengan yang lebih murah. Entah apa tujuannya," cerocos Narendra kesal.
Pria yang masih tampan di usia tak muda lagi itu tersenyum geli mendengar celotehan sang putra. "Rendra, kamu sekarang adalah kepala keluarga. Apa harus Papa kasih tahu tugas kepala keluarga itu apa? Memberi nafkah, kan? Apa iya, Papa yang memberi nafkah anak dan istrimu."
Narendra mengerti arah pembicaraan sang ayah. "Jadi, ini cara Papa untuk menyuruhku rajin bekerja? Aku tak mau di perusahaan itu, Pa."
"Ribuan pengangguran rela bekerja apa saja tanpa memilih, sementara kau yang pemalas ini tak sadar diri. Mau bekerja di perusahaan besar dengan kelakuan seperti ini? Mau kau hancurkan perusahaan yang Papa bangun susah payah? Belajarlah dari perusahaan kecil. Kalau kau bisa mengolahnya dengan baik, jangankan satu perusahaan besar, semua perusahaan Papa percayakan padamu! Paham?" Sadewo menaikkan suaranya satu oktaf. "Lagipula, tujuh puluh juta plus sebuah mobil itu cukup saja apabila tak kau gunakan untuk memanjakan pacarmu yang matre itu."
"Terserah Papa saja! Aku pusing!" Narendra beranjak dari duduknya dan hendak melangkah.
Namun, suara Sadewo menghentikan geraknya. "Surat kontrak pernikahan itu dibawa!"
Narendra melirik sekilas map di meja, lalu meraihnya kasar dan berlalu dari hadapan Sadewo yang belum selesai bicara.
"Tak usah risau!" Suara seorang perempuan menyadarkan Narendra dari lamunan. "Papa akan memberikan tujuh puluh persen hartanya untukmu jika kau mampu menjadi kepala keluarga yang baik, apalagi jika kau memperlakukan Anyelir dengan istimewa."
"Are you serious? Papa tak mengatakan itu padaku."
"Bagaimana mau mengatakan padamu? Kau saja langsung pergi, padahal Papa belum selesai bicara." Perempuan yang tak lain adalah Anindya itu sukses menghibur sedikit hatinya yang masygul. "Saranku, sih, lebih baik lanjutkan hubunganmu dengan Felicia tanpa ketahuan Papa. Beraktinglah sebagai suami yang baik di depan Papa. Kalau di belakang Papa, sih, terserah padamu."
Narendra mengangguk tanda mengerti. Kini, hatinya sedikit tenang. "Baiklah, toh Papa akan jarang ke rumahku nanti. Kurasa dua tahun akan terasa seru sedikit bermain peran. Thank's, saranmu, Kak!"
Kedua insan itu memutuskan ke kamar masing-masing karena udara semakin dingin. Alexander Christie di pergelangan tangan Rendra menunjukkan pukul 21.30.
Rendra membuka pintu kamar, lalu melangkah ke dalam. Dilihatnya Anyelir tidur di sofa bed warna abu-abu yang terletak di dekat jendela. Ada rasa tak tega melihat perempuan hamil yang perutnya belum terlihat membuncit itu tidur meringkuk.
'Ah, ngapain aku peduli, sih?' gumamnya.
Namun, lelaki berkaus lengan pendek warna cokelat itu teringat ucapan Anindya. Kalau Papa masuk kamar saat ia ke dapur untuk minum dan melihat Anyelir tidur di sofa, tentu saja lelaki itu akan marah.
'Kenapa dia tidur di situ, sih? Merepotkan saja'. Rendra menggendong Anyelir persis seperti ia menggendong Felicia tempo hari.
Ketika membaringkan tubuh ramping Anyelir, wajah mereka tak sengaja berdekatan. Narendra tampak menyunggingkan senyum kala melihat wajah cantik alami itu.
'Astaga! Sadar, Ren! Ingat Felicia! Jangan sampai menyukainya'.
Rendra yang semula kebingungan memilih tidur di sofa atau tempat tidur, menjatuhkan pilihan di samping Anyelir. Hatinya beralasan jika Anyelir sedang turun untuk minum dan Papanya memeriksa ke kamar, bisa menjadi masalah kalau dia ketahuan tidur di sofa.
Tiba-tiba, ia tak sabar untuk pindah ke rumah baru meskipun menurut dugaannya, rumah itu tak besar, apalagi mewah. Narendra mengatupkan netra, berharap waktu cepat berlalu.
Udara September begitu sejuk setelah beberapa hari hujan melanda bentala bagian barat Indonesia, tak terkecuali Jakarta Pusat. Namun, tak sesejuk hati Anyelir dan Narendra yang menjalani hari kedua di rumah baru. Rumah sederhana tak bertingkat itu menjadi saksi pertama ketidakharmonisan hubungan penghuninya.Anyelir tetap membuat sarapan untuk kekasih halalnya meski ia sudah tahu tak akan disentuh lelaki itu. Akan tetapi, dirinya tetap berusaha menjadi istri yang baik meskipun tak mendapat respons baik suami.“Aku, kan, sudah bilang, tak usah buatkan sarapan lagi. Percuma, aku tak mau makan. Tak usah melakukan hal yang sia-sia dan membuat makanan mubazir.”“Tak ada yang sia-sia dan taka da yang mubazir. Aku bisa antar ke rumah Papa atau ke rumah orang tuaku. Anggap saja Tuhan menyuruhku beramal.”“
Narendra melepas pagutan bibirnya dengan kesal kala terdengar ketukan pintu. Felicia lekas mengancing bagian atas kemejanya yang terbuka, lalu beranjak dari pangkuan Narendra seraya merapikan rok span pendek warna kelabu. Felicia gegas meraih Map di meja tamu, lalu melangkah menuju pintu.Tampak sosok cantik dengan setelan kemeja berbalut blazer putih dan celana panjang ketat berdiri di ambang pintu. Perempuan yang berprofesi sebagai sekretaris Narendra itu memegang beberapa Map dan sebuah tas bekal di tangan.Felicia melangkah ke pinggir agar peremuan bernama Adelia itu bisa melewatinya terlebih dulu. Setelah Adelia sudah tak di ambang pintu, Felicia melangkah keluar tanpa pamit, lalu menutup pintu."Maaf, Pak, kalau saya menggangu," ucap Adelia hati-hati.Semua karyawan tahu tentang hubungan Felicia dan Narendra. Felicia juga bekerja di perusahaan sama dengan Narendra. Ia yang,hanya lulusan SMA bisa bekerja di perusahaan milik pengusah
Narendra menekan pedal rem kala mobil mewahnya tiba di halaman rumah. Dilihatnya dari celah lubang angin, tampak tak ada cahaya dari rumah sederhana itu. Pasti sudah tidur, pikirnya. Ia melirik Alexander Christie di pergelangan kiri. Pukul 01.05. Narendra gegas turun dari mobil lalu melangkah menuju pintu, lalu membukanya dengan kunci duplikat. Sengaja dirinya membuat kunci duplikat sebab ia tahu akan sering pulang malam. Begitu pintu terbuka, ruang tamu memang gelap, tetapi ada cahaya dari arah dapur.'Apa iya, Anyelir memasak tengah malam begini? Ah, mungkin ia haus, lalu minum ke dapur', gumamnya.Namun, dirinya terkesiap melihat istrinya tertidur di meja makan. Raga bagian bawahnya duduk di kursi, kepalanya bersandar pada meja makan dengan beralaskan lengan. Diperhatikan wajah polos natural yang sering ia kagumi tanpa sengaja.'Wajar, sih, Panji menyukainya'. Namun, buru-buru ditepis pikirannya.Dirinya hendak melangkah ke kama
Buana terus berputar pada poros, membawa perubahan waktu dari menit ke menit. Tak terasa sepuluh hari telah dilewati Anyelir dan Narendra di rumah baru dengan status yang baru pula. Meski sama sekali tak ada kebahagiaan di rumah itu, tetapi Anyelir tetap menjalankan kesehariannya dengan tegar. Perempuan itu berniat ke rumah sakit untuk memeriksa kandungannya. Sadewo pernah memberinya uang untuk mengontrol kehamilan. Meski pria itu merupakan dokter kandungan langganan Anyelir, tetapi terkadang dirinya tak bertugas. Jadi, untuk persiapan apabila dirinya sedang tak praktik, menantunya itu tetap bisa mengontrol kandungan.Bagsakara yang memancarkan kehangatan, menambah kekesalan di hati Anyelir. Sejak sebelum sarapan, ia sudah menanti sang suami bangun sebab dirinya hendak meminta tolong pada lelakiitu untuk mengantarnya ke rumah sakit. Akan tetapi, Narendra malah pergi begitu saja tanpa pamit, bahkan tak melirik istrinya sama sekal
WANITA BERHAK BAHAGIASemburat mentari muncul di sela mega yang masih berwarna kelabu, sisa hujan semalam. Namun, tetap memberi cahaya terang di sebagian bentala. Kehangatan baskara memberi semangat tersendiri bagi Anyelir.Luka dan nyeri di hatinya tentu masih sangat terasa. Namun, sejak bangun subuh tadi, dirinya bertekad untuk tetap tegar dan kuat dan mengikuti keinginan sang suami untuk tak mencampuri urusannya. Ia pun berusaha bahagia dengan caranya sendiri. Biarpun demikian, ia tetap melakukan tugas sebagai istri. Anyelir tak peduli dengan perjanjian pernikahan bagian itu sebab jika tak melakukan apapun, membuat dirinya jenuh.Seperti saat ini, ia baru selesai menyiapkan air hangat untuk suaminya mandi. Setelah itu, dirinya mengeluarkan pakaian kerja Narendra yang sudah disetrika subuh tadi. Biasanya, Anyelir menggosok baju kerja sang suami saat malam, tetapi semalam suasana hati perempuan itu sedang tak baik-baik saja sehingga memilih tidur lebih cepat.
Hari terus berganti. Tak terasa hampir satu bulan Anyelir menjalani kehidupan bersama suami di tempat tinggal barunya. Ia merasa waktu berjalan sangat lambat. Memang benar, apabila kehidupan yang dijalani tak sesuai harapan, maka waktu akan terasa lama bergulir.Narendra semakin sering membawa Felicia ke rumah dan Anyelir sudah terbiasa dengan itu. Sakit? Pasti. Namun, ada banyak cara untuk mengalihkan rasa sakit. Kalau sudah lelah mengerjakan pekerjaan rumah, dirinya berkirim pesan dengan Panji atau Gilang. Kadang, ia tak menolak kala kedua lelaki itu mengajaknya jalan-jalan.Setiap insan butuh hiburan meski, hanya sekadar menemani seseorang belanja ke minimarket. Kalau suami sendiri tak peduli akan kebutuhan hati istrinya, maka tak ada salahnya menerima tawaran bantuan dari orang lain.Hari ini, Anyelir sedang tak ingin keluar rumah. Dirinya memilih berkutat dengan tanaman. Ia menyiram berbagai tanaman di halaman belakang rumah yang m
Anyelir pun segera menemui Dokter Devan dan berkosultasi. Tentu saja setelah mengantri."Kandunganmu sangat lemah, Anyelir. Aku kasih resep obat penguat janin, tetapi kau harus istirahat total. Sedikit pun kau bekerja atau berpikir serius, kau akan kehilangan calon bayimu," jelas Dokter Devan.Anyelir mencangah mendengar penjelasan tersebut. "Kau sungguh membuatku takut, Dokter.""Takut kehilangan anakmu?""Tentu saja.""Kalau begitu, turuti saranku, Nona cantik."Entah kenapa, Anyelir tak suka mendengar panggilan itu. Ia merasa sang dokter, hanya sekadar merayu saja."Baiklah, terimakasih, Dokter. Kalau begitu, aku pulang dulu, ya." Anyelir terpaksa mengurai senyum. "Oh, iya! Sekadar memberitahu. Adikmu adalah sahabatku sejak kecil.""What? Really?""Jangan sering berbahas
BAB 11Sementara itu, ketika sudah di mobil, Anyelir memilih diam daripada banyak bicara. Setiap ucapan atau pertanyaan dari Dokter Devan, hanya dijawab sekadarnya."Kita mampir ke minimarket sebentar, ya. Ada yang mau kubeli," ucap sang dokter."Baiklah! Aku juga ingin membeli camilan dan susu hamil."Devan tak menjawab. Pria itu fokus pada jalan di depan saja. Sepuluh menit kemudian, sebuah minimarket terkenal se-Indonesia, terpampang di netra Anyelir. Kedua insan itu gegas turun, kemudian melangkah masuk. Anyelir berjalan ke rak makanan, sedangkan Devan menuju rak sabun, sampo, dan peralatan rumah lainnya.Ketika sedang asyik memasukkan beberapa pilihan makanan ke keranjang pastik warna merah, suara seorang perempuan membuatnya menoleh. "Wah, ada cewek kampung masuk minimarket, nih."Perempuan di sampingnya menoleh ke Anyelir. "isi keranjangnya camilan semua. Sebelum menikah dengan orang kaya, tak pernah makan camilan sebanyak
"Kalian berdua sengaja mengikuti aku?"Spontan Anyelir dan Panji bersirobok. Posisi Anyelir yang sedikit merenggangkan jarak dengan lelaki di sampingnya, membuat Narendra melihat pegangan tangan keduanya.Belum sempat Panji dan Anyelir menjawab, Narendra terlebih dulu bersuara. "Jangan manja, Nye! sudah dewasa masih minta dituntun segala. Kan, tak menyeberang jalan. Kenapa harus digandeng segala? Tak akan hilang juga, kan?" racau Narendra.Panji baru hendak menjawab, tetapi kalah cepat dengan sang Felicia. "Kau ini kenapa? Kenapa diriku terlihat tak suka melihat mereka gandengan? Tak mungkin, kan, kau cemburu ketika ada lelaki yang mendekati saudaramu?" Felicia sengaja menekan kata-kata cemburu dan saudara untuk memberi kode kepada sang kekasih agar menyadari bahwa dirinya membuat kesal."Aku pun heran. sejak pagi tadi kekasihmu ini aneh, Fel. Sepertinya, dia tak suka aku mendekati saudaranya ini, padahal dia tahu bahwa aku tak mungkin menyakiti Any
Suasana Arunika yang kelabu, menciptakan dingin membelai lapisan epidermi. Namun, tak menyurutkan semangat Narendra untuk mandi sebab dirinya akan mengisi Hari Minggu ini dengan jalan-jalan bersama Felicia.Usai mandi, dirinya mendengar suara lelaki sedang bercengkerama dengan istrinya dan ia sangat mengenali suara tersebut. Lelaki itu pun gegas mengenakan kemeja lengan pendek warna biru dan celana chino panjang warna hitam. Tak lupa dirinya menyemprotkan parfum ke sebagian tubuh, lalu mengoleskan gel di rambut.Setelah itu, Narendra lekas menuju sumber suara. Dirinya sedikit terkesiap kala mendapati Panji asyik bercanda dengan istrinya."Panji!" sapanya. "Pagi sekali kau ke sini.""Iya, mau sarapan bareng wanita cantik," ucapnya sembari melirik Anyelir yang tampak tersipu. "Kau mau ke mana? Tak mau sarapan dengan kami?""Dia mana pernah mau makan masakank
September telah berakhir sejak tiga hari yang lalu. Di hari ketiga Oktober, langit Jakarta tetap redum seperti hari sebelumnya. Mentari, hanya muncul sekali dalam satu minggu. Hal yang senada dengan hari-hari yang dilalui Anyelir. Kelabu sebab tanpa kasih sayang dan perhatian seorang suami. Dirinya punya kekasih halal, tetapi seperti janda.Sejak subuh tadi, Sadewo menghubungi Narendra. Beliau mewajibkan ia, Anyelir, dan Anindya untuk berkunjung ke rumahnya.Anyelir menebak, mertuanya akan membicarakan perihal keributan di minimarket milik Frans kemarin. Namun, ia tak menceritakan hal tersebut kepada Narendra. Toh, tak ada gunanya, hanya akan memperpanjang masalah dan membuatnya semakin pusing.Ia dan Narendra sedang berada dalam perjalanan menuju rumah Sadewo. Mereka gegas masuk ke dalam, ketika mobil sudah terparkir manis di halaman rumah dokter sekaligus pengusaha itu.Pint
BAB 11Sementara itu, ketika sudah di mobil, Anyelir memilih diam daripada banyak bicara. Setiap ucapan atau pertanyaan dari Dokter Devan, hanya dijawab sekadarnya."Kita mampir ke minimarket sebentar, ya. Ada yang mau kubeli," ucap sang dokter."Baiklah! Aku juga ingin membeli camilan dan susu hamil."Devan tak menjawab. Pria itu fokus pada jalan di depan saja. Sepuluh menit kemudian, sebuah minimarket terkenal se-Indonesia, terpampang di netra Anyelir. Kedua insan itu gegas turun, kemudian melangkah masuk. Anyelir berjalan ke rak makanan, sedangkan Devan menuju rak sabun, sampo, dan peralatan rumah lainnya.Ketika sedang asyik memasukkan beberapa pilihan makanan ke keranjang pastik warna merah, suara seorang perempuan membuatnya menoleh. "Wah, ada cewek kampung masuk minimarket, nih."Perempuan di sampingnya menoleh ke Anyelir. "isi keranjangnya camilan semua. Sebelum menikah dengan orang kaya, tak pernah makan camilan sebanyak
Anyelir pun segera menemui Dokter Devan dan berkosultasi. Tentu saja setelah mengantri."Kandunganmu sangat lemah, Anyelir. Aku kasih resep obat penguat janin, tetapi kau harus istirahat total. Sedikit pun kau bekerja atau berpikir serius, kau akan kehilangan calon bayimu," jelas Dokter Devan.Anyelir mencangah mendengar penjelasan tersebut. "Kau sungguh membuatku takut, Dokter.""Takut kehilangan anakmu?""Tentu saja.""Kalau begitu, turuti saranku, Nona cantik."Entah kenapa, Anyelir tak suka mendengar panggilan itu. Ia merasa sang dokter, hanya sekadar merayu saja."Baiklah, terimakasih, Dokter. Kalau begitu, aku pulang dulu, ya." Anyelir terpaksa mengurai senyum. "Oh, iya! Sekadar memberitahu. Adikmu adalah sahabatku sejak kecil.""What? Really?""Jangan sering berbahas
Hari terus berganti. Tak terasa hampir satu bulan Anyelir menjalani kehidupan bersama suami di tempat tinggal barunya. Ia merasa waktu berjalan sangat lambat. Memang benar, apabila kehidupan yang dijalani tak sesuai harapan, maka waktu akan terasa lama bergulir.Narendra semakin sering membawa Felicia ke rumah dan Anyelir sudah terbiasa dengan itu. Sakit? Pasti. Namun, ada banyak cara untuk mengalihkan rasa sakit. Kalau sudah lelah mengerjakan pekerjaan rumah, dirinya berkirim pesan dengan Panji atau Gilang. Kadang, ia tak menolak kala kedua lelaki itu mengajaknya jalan-jalan.Setiap insan butuh hiburan meski, hanya sekadar menemani seseorang belanja ke minimarket. Kalau suami sendiri tak peduli akan kebutuhan hati istrinya, maka tak ada salahnya menerima tawaran bantuan dari orang lain.Hari ini, Anyelir sedang tak ingin keluar rumah. Dirinya memilih berkutat dengan tanaman. Ia menyiram berbagai tanaman di halaman belakang rumah yang m
WANITA BERHAK BAHAGIASemburat mentari muncul di sela mega yang masih berwarna kelabu, sisa hujan semalam. Namun, tetap memberi cahaya terang di sebagian bentala. Kehangatan baskara memberi semangat tersendiri bagi Anyelir.Luka dan nyeri di hatinya tentu masih sangat terasa. Namun, sejak bangun subuh tadi, dirinya bertekad untuk tetap tegar dan kuat dan mengikuti keinginan sang suami untuk tak mencampuri urusannya. Ia pun berusaha bahagia dengan caranya sendiri. Biarpun demikian, ia tetap melakukan tugas sebagai istri. Anyelir tak peduli dengan perjanjian pernikahan bagian itu sebab jika tak melakukan apapun, membuat dirinya jenuh.Seperti saat ini, ia baru selesai menyiapkan air hangat untuk suaminya mandi. Setelah itu, dirinya mengeluarkan pakaian kerja Narendra yang sudah disetrika subuh tadi. Biasanya, Anyelir menggosok baju kerja sang suami saat malam, tetapi semalam suasana hati perempuan itu sedang tak baik-baik saja sehingga memilih tidur lebih cepat.
Buana terus berputar pada poros, membawa perubahan waktu dari menit ke menit. Tak terasa sepuluh hari telah dilewati Anyelir dan Narendra di rumah baru dengan status yang baru pula. Meski sama sekali tak ada kebahagiaan di rumah itu, tetapi Anyelir tetap menjalankan kesehariannya dengan tegar. Perempuan itu berniat ke rumah sakit untuk memeriksa kandungannya. Sadewo pernah memberinya uang untuk mengontrol kehamilan. Meski pria itu merupakan dokter kandungan langganan Anyelir, tetapi terkadang dirinya tak bertugas. Jadi, untuk persiapan apabila dirinya sedang tak praktik, menantunya itu tetap bisa mengontrol kandungan.Bagsakara yang memancarkan kehangatan, menambah kekesalan di hati Anyelir. Sejak sebelum sarapan, ia sudah menanti sang suami bangun sebab dirinya hendak meminta tolong pada lelakiitu untuk mengantarnya ke rumah sakit. Akan tetapi, Narendra malah pergi begitu saja tanpa pamit, bahkan tak melirik istrinya sama sekal
Narendra menekan pedal rem kala mobil mewahnya tiba di halaman rumah. Dilihatnya dari celah lubang angin, tampak tak ada cahaya dari rumah sederhana itu. Pasti sudah tidur, pikirnya. Ia melirik Alexander Christie di pergelangan kiri. Pukul 01.05. Narendra gegas turun dari mobil lalu melangkah menuju pintu, lalu membukanya dengan kunci duplikat. Sengaja dirinya membuat kunci duplikat sebab ia tahu akan sering pulang malam. Begitu pintu terbuka, ruang tamu memang gelap, tetapi ada cahaya dari arah dapur.'Apa iya, Anyelir memasak tengah malam begini? Ah, mungkin ia haus, lalu minum ke dapur', gumamnya.Namun, dirinya terkesiap melihat istrinya tertidur di meja makan. Raga bagian bawahnya duduk di kursi, kepalanya bersandar pada meja makan dengan beralaskan lengan. Diperhatikan wajah polos natural yang sering ia kagumi tanpa sengaja.'Wajar, sih, Panji menyukainya'. Namun, buru-buru ditepis pikirannya.Dirinya hendak melangkah ke kama