Elang melahap semua makanannya dengan semangat, sementara Bulan hanya menatapnya. Tak percaya bahwa satu jam lalu lelaki ini baru saja hampir membunuh seorang lelaki seperti iblis.
Elang menatap makanan Bulan yang masih utuh dan tidak tersentuh sama sekali. "Kok gak dimakan?"
"Liat lu makan aja udah kenyang gue"
"Oke. Buat gue ya"
"Sana .." Bulan menggeser mangkok makanannya ke depan Elang. "Habis ini mau kemana?"
"Pulanglah"
Mendengar kalimat itu, perasaan Bulan berubah jadi tidak enak. Rumah, menurut sebagian orang mungkin tempat yang menyenangkan. Tapi itu tidak pernah terpikirkan dalam benak Bulan. Rumah itu seperti kuburan baginya.
"Gue nginep tempat lu ya"
"Iih ogah"
"Ah"
"Lu tuh dah enak ya. Gak ada siapa siapa dirumah lu. Ngapain malah pulang ke rumah gue?. Lu tau kan rumah gue kayak gimana"
"Yaudah, lu nginep tempat gue ya"
Elang menipiskan matanya, menatap Bulan lalu menempeleng kepalanya. "Gila lu"
"Kok Gila?"
" Geblek. Di rumah lu, malam malam cuma ada lu sama gue. Yang ada nanti kita buat anak"
"Bagus" Bulan tersenyum dengan bangga
"Bagus?.." Elang menatap Bulan, ia kembali menipiskan penglihatannya. "Bisa bisanya lu ngomong begitu didepan cowok. Jangan gitu. Nanti lu dikira cewek murahan lan"
"Gue cuma kayak gini sama lu doang" seru Bulan, perempuan itu merebut sendok yang digenggam elang lalu memberi suapan pada dirinya sendiri.
"Lan?" Elang menghembuskan nafas panjang. "Lu cantik tau"
"Yes"
"Lu bisa cari cowok lain"
"Agrrh" Bulan memutar bola matanya. Lalu berdiri.
"Mau kemana?"
"Pulang! Itu kan yang lu mau?!"
"Lu marah?"
"Iyalah!"
"Gue cuma ngusulin"
"Gue tuh suka sama lu, ngerti gak sih Lang!! Apa susahnya sih lu mencoba ama gue!! Apa salahnya sih!"
Teriakan Bulan membuat setiap orang memandang mereka sekarang. Elang yang merasa malu akhirnya meminta maaf pada semua orang yang ada disekitarnya.
"Duduk Lan!" Elang mencoba bersikap tegas sekarang.
"Gue mau pulang" Bulan mengambil tasnya lalu berjalan pergi meninggalkan Elang yang menjadi pusat perhatian orang saat itu.
-----
Genggaman tangan Bulan dan Elang, masih terngiang-ngiang diotak Anggi. Perasaannya tidak karuan itu masih ada sampai sekarang, bahkan sekarang air matanya datang tanpa permisi.
Ia benar-benar tak pernah menyangka dia akan tersakiti oleh Elang, orang yang memaksanya berpacaran.
Anggi kembali berbaring, memeluk guling yang menemani setiap tidur malamnya. Memaksa diri sendiri untuk jatuh dan terdekap oleh mimpi. Saat ia berhasil dalam fase itu ,justru yang ia temui. Kesedihan yang lebih besar lagi.
Ia melihat Elang bersama Perempuan lain dipelaminan. Anggi hanya bisa tertunduk, sekali lagi menangis dengan perasaan campur aduk yang gak terbayangkan sebelumnya. Tapi tiba tiba ia melihat sosok Bimasakti berwajah masam didepannya, berkata dengan lantang. "Bangun! cengeng!"
Mata Anggi terbuka dengan lebar, ia bahkan melotot. Ia terbangun dan langsung terduduk diranjangnya. Mimpi yang benar-benar buruk untuknya. Anggi menatap setiap dinding kamar kosnya, ia berfikir tentang mimpinya yang mungkin bisa jadi nyata. Suatu hari, Elang akan bersama wanita lain, menua dengannya, lalu menjadikan Anggi pengalaman hidup yang bahkan mungkin tidak diketahui siapapun.
Pengalaman hidup yang tidak diketahui siapapun. Ini terkesan tak adil di hati Anggi. Dia juga ingin semua orang tau, bahwa Anggi juga bagian pengalaman hidup Elang. Meski hanya jadi pengalaman.
Anggi mengusap air matanya, mandi dengan segera memakai seragam dan melakukan persiapan apa yang dibutuhkannya untuk dibawa ke Sekolah.
Sepanjang jam pertama sekolah, Anggi bener2 mengabaikan pesan dari Elang.
Ngii
Ngii
Ngii
Ang-gii Prameswari
Anggi lagi sibuk?
Anggi
Anggi masih marah?
Anggi marah lagi??
Anggi aku kangen
Anggi
Anggi
Anggi masih marah karena haid nya belum kelar nih
Nggi!
Anggi
Anggi menatap setiap pesan pesan itu. Hanya dia baca, tapi kembali mengabaikannya.
"Woey... Elang buat ulah" Raffi berseru pada setiap siswa yang ada diruang kelas Anggi. Disusul Revi yang dengan langkah kecilnya menghampiri kami. Sementara setiap siswa mulai berlari keluar, mencoba melihat keributan yang terjadi.
"Gila Elang Gila..."
"Ada apa sih?!"
"Sumpah ,itu anak bisa mati"
"Emank Elang ngapain?" Bimasakti yang mengabaikan omongan Raffi pada akhirnya terpengaruh juga karena wajah khawatir dari Revi yang gak biasa.
"Baron bisa mati deh Bim, lu harus ngehentiin Elang"
"Ya emank Baron diapain!!!"
"Wajahnya terus terusan dipukul sama bola basket"
"Hah?! Apa apaan si tuh anak!" Bima dengan cepat bangkit dan keluar dari ruangan.
"Kok bisa?"
"Gak tau... Kayaknya Elang lagi badmood banget deh .."
"Apa apaan" Anggi ikut bangkit, ia berlari kecil menuju tempat biasanya Elang melakukan aksi eksekusi bullyan.nya.
Saat ia mulai masuk dalam kerumunan, ia mendengar teriakan paling kencang dari Bima. Sebuah beberapa hantaman dan sebuah dentuman keras ke lantai. Saat Anggi sudah berada dibarisan paling depan, ia melihat Bima dan Elang yang bergulat hebat. Sementara Septian, Angga Dan Bagas seolah masih mencoba mencari cara menghentikan mereka berdua.
"APAA APAAAN INI. BERHENTI!!!" suara nyaring dan tegas Pak Rahman, wakil kepala sekolah Budi Utama. Satu satunya orang yang berani menegakkan keadilan di sekolah ini. Meski tetap ia tidak punya kuasa cukup untuk membuat anak istimewa keluar dari sekolah"BIMA!!! ELANG BISA BISANYA KALIAN BERANTEM . DISEKOLAH!! HEH!!!"
"Bapak gak liat ada orang yang mau dibuat mati sama dia?!" Bima menjelaskan sembari mengusap darah yang keluar dari bibirnya.
Pak Rahman melihat Baron yang sudah babak belur. Mendekat padanya untuk memastikan siswanya baik baik aja. Pak Rahman menatap Elang, benar benar tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ia mulai melihat setiap siswa yang menonton pertengkaran ini. "Benar benar gak punya empati kah kalian? Hal begini ditonton??. Siapa disini yang anak PMI?"
Anggi dan beberapa orang yang juga Anggi kenal maju ke depan. "kalian obati tiga anak ini. Setelah itu bawa ke ruangan bapak"sambung Pak Rahman.
"Baik Pak"
Bima , Baron dan Elang duduk ditempat tidur UKS dibatasi oleh tirai untuk mengurangi emosi mereka.
"Awas aja Sampek ada yang ngobatin Baron" Elang kembali berulah dengan kata katanya.
Semua anggota UKS saling bertatapan termasuk Anggi.
"Awas aja kalo Sampek gak ada yang ngobatin Baron" Bima menambah masalah sekarang.
Semuanya benar-benar dibuat bingung. Dua lelaki paling kejam, memberikan titahnya.
"Eh gimana nih?"
"Aduhduh ada ada aja siih"
"Gausah obati Baron aja gimana? Soalnya kalo Bima gak sekejam Elang"
"Bener sih.."
Anggi yang mendengar keputusan itu gak bisa tinggal diam. "Yaudah, aku aja yang ngobatin"
"Nggi?! Lu yakin"
"Yess!!" Dengan cepat Anggi mengambil kapas dan peralatan yang dibutuhkan. Masuk ke tempat Baron yang sudah babak belur.
Anggi melihat air mata Baron yang tiba tiba keluar. "Makasih nggi, makasih"
"Sama sama.. sini obati muka lu dulu. Emank kenapa lu Sampek dihajar Elang sih?"
"Gue gak mau jadi budak nya buat seminggu ini"
"Apa?? Budak?? Kenapa dia nyuruh lu jadi budaknya?"
"Gak tau gue... Gue juga ngerasa gak pernah punya salah sama Elang"
"Siapa yang ngobatin Baron heh!!" Elang berteriak dengan kencang , bener2 memenuhi ruang UKS.
Anggi berjalan ke ruangan Elang dengan meyakinkan dan berkata. "Gue" Anggi menatap sinis pada kekasihnya sendiri "izinkan gue ngobatin dia, dan gue akan jadi budak lu buat seminggu"
Elang terdiam.
"Kenapa? Itu kan yang kamu mau?!"
Anggi kembali berbalik meninggalkan kamar Elang menuju ke Baron dan mengobati lukanya hingga tuntas. Sementara yang dilakukan Elang diam hingga semuanya selesai. Dia tidak pernah bisa berkutik saat si manjanya itu mulai bersikap tegas.
Dan hukuman yang Elan dapatkan, membersihkan auditorium tanpa bantuan OG dan OB.
"Curang kenapa Bima juga gak dihukum pak!"
"Curang? Curang? Kamu bisa berkata curang? Sedangkan dirimu sendiri adalah seseorang yang harusnya sudah dikeluarkan sekolah dari lama"
Elang kembali menunduk "maaf pak" katanya sekali lagi.
Anggi mengeluarkan nafas panjang. Menatap Ubin lantai, ia berfikir tentang Elang yang selalu begini saat ia berhenti peduli soal kekasihnya.
Sekujur tubuhnya dipenuhi rasa takut sekarang, Bukan karena kelakuan iblis elang. Tapi sesuatu yang mungkin akan dilakukan keluarga Elang.
"Sorry gue telat" ucapan Elang sangat dingin. Ia kembali menutup pintu kamar hotel. Dan duduk di atas ranjang.
"Sini liatin wajah kamu" Anggi melihat wajah dengan tambahan luka lebih banyak. "Ba-danmu gi-mana?"
Elang tersenyum "enggak papa"
"Elangg..."
"Beneran, kalo ada Anggi semuanya gapapa. Ta-pi anggi jangan cuekin Elang lagi..." Nada Elang yang begitu manja, membuat rasa bersalah memenuhi hatinya sekarang. Anggi mulai menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi, jika tadi pagi ia tak mendiamkan Elang, pasti gak akan begini, dia tak akan menghajar Baron, dan keluarga Elang juga gak akan menghajarnya. Ia tau bagaimana Elang, tapi Anggi malah bergulat dengan emosinya sendiri.
Sebuah ketukan pintu membuat Anggi dan Elang kembali saling pandang. "Biar aku yang buka" kata Elang. "Gue hubungi Bagas tadi buat nyari obat antiinflamasi"
Elang membuka pintu. Ia mendapati sosok tambahan bersama Bagas, Septian.
"Ian? Gas??"
"Kenapa masa gue gak boleh tau luka lu! Cepet buka baju lu. Kita oba-" Septian memandang sosok Anggi. Lalu menatap Elang, meminta kejelasan. "Emank bisa ya, request anak PMR buat ngobatin luka diluar sekolah?"
Bagas tersenyum kaku pada Elang "sorry gue lupa..."
"Ini ada apa ya??" Tanya Septian sekali lagi.
"Gak ada apa apa" kata Anggi. "El duduk, lukamu harus cepet diobati biar gak tambah parah"
Elang seperti seorang anak yang duduk diranjang, dan menuruti kata Anggi dengan patuh.
Septian masih memandang dengan keheranan. "Gue bener bener butuh penjelasan"
"Mereka pacaran" jelas Bagas singkat.
"Gue pikir lu pacaran sama Bulan, udah Sampek pegangan dan pelukan gitu, gue pikir lu-"
Elang memberikan jari tengah pada Ian, sebelum Ian kembali membuat kata kata "diem gausah banyak bacot Ian, gue gak pernah pacaran sama Bulan"
"Okee..."
Sesaat mereka dalam keheningan sampai Septian kembali berbicara. "Bisakah kita ngundang cewek lagi? Gue ngerasa gimana gitu. Ngeliat cewek syar'i sama kita ,cuma sendirian. Gue kayak yang ngerasa berdosa aja gitu"
"Mau ngundang siapa?? Bulan?? Gila lu" ujar Bagas.
"Ma-war?"
"Mawar siapa?" Ujar Elang.
"Temen gue.. "
"Undang Mawar ya nggi?"
"Gausah jangan."
"Kenapa?"
"Dia emberr.. nanti bisa bisa malah satu kos tau"
"Susah ..." Septian kembali menatap Anggi "tapi ini bener- bener bikin surprise buat gue. Karena setelah kejadian itu, gue gak pernah liat elang Deket sama cewek selain sama Bulan. Apalagi liat pacarnya sekarang . Waoow"
"Kenapa?" Anggi menatap sinis Septian.
"Neraka dan Surga"
"Anjiir lu Ian"
"Mending lu pergi dari pada buat El tambah emosi"
"Sorry sorry deh.. "
"Oh ya gimana keadaan Bima"
"Gapapa gas, dia mah kalo masih ada tugas yang diamanatkan sama dia, kayak manusia kebal dia. Rasa sakitnya ilang semua. Dia masih lukis Sampek sekarang"
"Masih??? Emank dia gak pulang Ian" Anggi mulai penasaran.
"Enggaklah. Ngapain juga"
"Dia gak pulang dari kemari Lo Ian"
"Buat anak anak kayak kita, Gak pulang merupakan hal yang paling menyenangkan, kita mending tidur diluar terkadang dari pada dirumah" ucap Elang.
"Iya ngii. Kalo kata Bima. Tuhan itu adil. Kita diberi kaya tapi gak buat bahagia"
"aaagrhh sialan lu Ian!! Bisa gak sih ati ati dikit. Anjing! Mending gue diobatin Anggi aja.." "Sabar El..." Anggi mencoba menenangkan El, yang masih kesakitan. Berjongkok sembari memandang wajah Elang yang kesakitan. "Anggi ..." "Sabar Napa ahh... Lu sama bokap lu dipukulin pakek apa sih. .." ujar Bagas yang ikut mengobati Elang. "Cuma pakek tongkat baseball" "Anjir!!" Ucap Septian spontan. "Lu kalo buat masalah mending gausah pulang... Lu cari mati ya... Pulang pas buat masalah!" Bagas akhirnya mengomel, setelah ia coba menahannya "El..." "Ya sayang..." Dan pada akhirnya, Elang hanya mendengarkan omongan Anggi. Bagas yang emosi, menepuk punggung Elang. Membuat lelaki itu terperanjat lagi karena rasa sakitnya. "Mampos lu!!" Seru Bagas dengan semangat. "Bagas!!!" Anggi dan Elang dengan serempak memanggil lelaki itu. Anggi karena kasian dengan rasa sakit Elang, sementar
"Anggi dari mana sih?" Ujar Mawar senewon pada Anggi. Diikuti pandangan dari semua anak dikelasnya. "Sorry, tadi ada urusan bentar" "Emank urusannya penting banget?" "Maaf Bim" "Kalo mau ibadah di masjid, ingat sikon dulu. Kita itu lagi diburu buru" Bulan mencoba menambahi. "Diem lu Lan. Lu juga sama aja tukang telat! Cuma gara gara lu anak istimewa aja gak ada yang nyerca lu" Bima kemudian menatap Anggi "jadi orang harusnya tau diri. Bisa tanggung jawab sedikitlah. Kalo lu gak punya otak. Paling gak bisa tanggung jawab""Maaf Bim" "Yaudah cepet. . ,Besok lu bantu gue buat finishing akhir" "Hah?" "Hah heh hah heh.. kerja!!" Anggi dengan cepat berlari menghampiri Mawar dan kawan kawannya. Revi menatap sewot ke arah Mawar. "Lu sii war... Lu tau kan dari tadi si Bima lagi up..." "Up?" "Maksudnya badmood, up ditambahin"
"Sore Mawar" "Eh Ian" Mawar tersenyum dengan simpul sempurna pada lelaki itu. Membuat Melati dan Revi saling pandang. "Habis ngerjain panggung?" "Iya .., Septian ngapain disini?" "Mau ketemu Bima" "Ouw.." "Mawar, Mawar ada acara malem Minggu nanti?" "Enggak" "Ada!!" Revi dan Melati kompak membantah omongan Mawar. Dua perempuan itu melotot ke Mawar. "Oh iya .. ada lupa... Mau nonton sama Revi sama Melati , Anggi juga . ke bioskop" "Owhh.. yaudah kalo gitu. Lain kali aja. Nanti malam aku telepon ya" "Siapp..." "Daaa..." "Dada" "Apa apaan ni war" "Gak ada apa apa" "Perasaan barusan e
"Gue tau lu emank gak suka di samping gue. Tapi gausah keliatan banget begitu" Anggi hanya menatap Bimasakti, bibirnya sedikit ia naikkan sebagai respon apa yang cowok itu katakan padanya. "Enggak" "Enggak apa?! Enggak salah!?" Anggi masih menatap lelaki itu, ia gak habis pikir bagaimana Bimasakti bisa terus-terusan memiliki nada dan tampang yang selalu galak dihadapan orang lain. Apa Bimasakti gak pernah tertawa atau sekali kali lelah dengan sikap galaknya itu. "Lu itu gak pernah senyum ya?" Wajah bima mendadak bingung, ia hanya bisa merespon dengan kata "Hah?" "Lu itu gak pernah senyum?!!" Anggi kini mengulangi lagi dengan nada yang ia naikkan. "Lu berani teriak teriak ke gue!!" "Sorry!! Habis.. lu Hah, gue kirain gak denger" "Emank gue budek!" "Oke oke. Gue yang salah. Bima memang selalu benar. Anak istimewa selalu benar. Enaknya jadi anak orang kaya ya bim" Bima diam sesaat, i
Elang menatap lurus pada ring basket, setiap keheningan mulai tercipta. Dadanya yang masih berdegup cepat itu harus ia buat tenang segera. Ia memejamkan matanya, mencoba menenangkan dirinya. Tidak bisa. Matanya mulai menyusuri kerumunan manusia yang menatapnya, memberi support padanya. Menemukan morfin yang tepat untuknya. Hingga dengan cepat, degup itu berubah jadi begitu tenang. Ia melemparnya, satu shoot darinya membuat SMA Budi Utama kembali membawa juara basket antar SMA dijakarta. Semua memeluk tubuhnya, sementara matanya tertuju pada gadis imut yang selalu menjadi morfin untuknya. "ELANG! ELANG! ELANG" sorak namanya mengema seantero gedung. Ia memejamkan mata, menikmati setiap kesuksesan dan hiruk pikuk yang memujanya. Basket adalah satu bagian dimana orang orang betul memujanya tanpa topeng. Karena itu Elang selalu menyukainya. Seorang gadis berkuncir satu berlari kecil menghampiri Elang, memberikan sebuah bunga mawar, ungkapan selamat atas keberhasilannya. "Selamat" k
"Assalamualaikum mbak indah" "Waalaikumsallam Anggii" Mbak indah memeluk erat gadis mungil itu "makin kecil aja kamu nggi" "Iih mbakk" "Iy bawaanya berat berat terus sih, manknya tambah kecil" "Satu lagi nih ikut ikut" Elang memeluk erat mbak indah sangat lama, seolah olah ia gak ingin melepaskan perempuan yang dari kecil merawatnya itu. "Mbak aku bawain buah ini, kata dokter tadi susah makan ya..." "Kok repot repot sih tuan" "Soalnya mbak gak mau makan. Mbak harus makan" "Iya iya" "Sini, aku suapin" Elang dengan telaten menyuapi buah buah itu, Anggi selalu terharu saat Elang mulai menunjukkan sisi kedewasaannya yang ini. Ia merapikan rambut mbak indah yang berantakan. Lalu sekali lagi memberikan buah kedalam mulutnya. "Gimana tuan, sekolahnya hari ini?" "Aku menang basket mbak" "Gak buat ulah lagi kan?" "Elang gak buat ulah? Mana bisa sih mbak" "Elang..." "Mbak, si ukhti ini cupu. Dia gak pernah pergi kemana mana selain ke masjid sama perpustakaan. Gak bakal t
Hari ini weekend ,libur harusnya. Tapi gak buat 2 IPA 3A mereka mendapat giliran mendesain dekor panggung untuk pementasan drama di auditorium. Meski Anggi lagi badmood parah dan kram nya makin parah, tetep dia harus ke auditorium. Karena benar aja, Bima udah disana lebih awal sambil melototin satu persatu anak IPA3A buat di cek satu satu. Bisa tebak lah kalo Sampek gak Dateng, gak cewek atau cowok , mungkin bakal digantung di tiang bendera."Iih ada susu""Ambil satu satu, gausah rakus""Dari siapa Bim""Bu Ratna""Sama brownies juga??""Iyee ..""Baik banget itu emank ibu pentas seni"Bima menatap setiap orang , mengamati sekali lagi orang orang yang datang . "Jangan bilang cuma Bulan yang belum Dateng""Iya Bim. Cuma Bulan""Sialan banget tuh Anak""Tahan emosi Bim" saran mawar. "ntar juga dateng""Ah tu Dateng" Bulan dengan kuncir rambut dan kaos oblongny
"Gue tau lu emank gak suka di samping gue. Tapi gausah keliatan banget begitu" Anggi hanya menatap Bimasakti, bibirnya sedikit ia naikkan sebagai respon apa yang cowok itu katakan padanya. "Enggak" "Enggak apa?! Enggak salah!?" Anggi masih menatap lelaki itu, ia gak habis pikir bagaimana Bimasakti bisa terus-terusan memiliki nada dan tampang yang selalu galak dihadapan orang lain. Apa Bimasakti gak pernah tertawa atau sekali kali lelah dengan sikap galaknya itu. "Lu itu gak pernah senyum ya?" Wajah bima mendadak bingung, ia hanya bisa merespon dengan kata "Hah?" "Lu itu gak pernah senyum?!!" Anggi kini mengulangi lagi dengan nada yang ia naikkan. "Lu berani teriak teriak ke gue!!" "Sorry!! Habis.. lu Hah, gue kirain gak denger" "Emank gue budek!" "Oke oke. Gue yang salah. Bima memang selalu benar. Anak istimewa selalu benar. Enaknya jadi anak orang kaya ya bim" Bima diam sesaat, i
"Sore Mawar" "Eh Ian" Mawar tersenyum dengan simpul sempurna pada lelaki itu. Membuat Melati dan Revi saling pandang. "Habis ngerjain panggung?" "Iya .., Septian ngapain disini?" "Mau ketemu Bima" "Ouw.." "Mawar, Mawar ada acara malem Minggu nanti?" "Enggak" "Ada!!" Revi dan Melati kompak membantah omongan Mawar. Dua perempuan itu melotot ke Mawar. "Oh iya .. ada lupa... Mau nonton sama Revi sama Melati , Anggi juga . ke bioskop" "Owhh.. yaudah kalo gitu. Lain kali aja. Nanti malam aku telepon ya" "Siapp..." "Daaa..." "Dada" "Apa apaan ni war" "Gak ada apa apa" "Perasaan barusan e
"Anggi dari mana sih?" Ujar Mawar senewon pada Anggi. Diikuti pandangan dari semua anak dikelasnya. "Sorry, tadi ada urusan bentar" "Emank urusannya penting banget?" "Maaf Bim" "Kalo mau ibadah di masjid, ingat sikon dulu. Kita itu lagi diburu buru" Bulan mencoba menambahi. "Diem lu Lan. Lu juga sama aja tukang telat! Cuma gara gara lu anak istimewa aja gak ada yang nyerca lu" Bima kemudian menatap Anggi "jadi orang harusnya tau diri. Bisa tanggung jawab sedikitlah. Kalo lu gak punya otak. Paling gak bisa tanggung jawab""Maaf Bim" "Yaudah cepet. . ,Besok lu bantu gue buat finishing akhir" "Hah?" "Hah heh hah heh.. kerja!!" Anggi dengan cepat berlari menghampiri Mawar dan kawan kawannya. Revi menatap sewot ke arah Mawar. "Lu sii war... Lu tau kan dari tadi si Bima lagi up..." "Up?" "Maksudnya badmood, up ditambahin"
"aaagrhh sialan lu Ian!! Bisa gak sih ati ati dikit. Anjing! Mending gue diobatin Anggi aja.." "Sabar El..." Anggi mencoba menenangkan El, yang masih kesakitan. Berjongkok sembari memandang wajah Elang yang kesakitan. "Anggi ..." "Sabar Napa ahh... Lu sama bokap lu dipukulin pakek apa sih. .." ujar Bagas yang ikut mengobati Elang. "Cuma pakek tongkat baseball" "Anjir!!" Ucap Septian spontan. "Lu kalo buat masalah mending gausah pulang... Lu cari mati ya... Pulang pas buat masalah!" Bagas akhirnya mengomel, setelah ia coba menahannya "El..." "Ya sayang..." Dan pada akhirnya, Elang hanya mendengarkan omongan Anggi. Bagas yang emosi, menepuk punggung Elang. Membuat lelaki itu terperanjat lagi karena rasa sakitnya. "Mampos lu!!" Seru Bagas dengan semangat. "Bagas!!!" Anggi dan Elang dengan serempak memanggil lelaki itu. Anggi karena kasian dengan rasa sakit Elang, sementar
Elang melahap semua makanannya dengan semangat, sementara Bulan hanya menatapnya. Tak percaya bahwa satu jam lalu lelaki ini baru saja hampir membunuh seorang lelaki seperti iblis. Elang menatap makanan Bulan yang masih utuh dan tidak tersentuh sama sekali. "Kok gak dimakan?" "Liat lu makan aja udah kenyang gue" "Oke. Buat gue ya" "Sana .." Bulan menggeser mangkok makanannya ke depan Elang. "Habis ini mau kemana?" "Pulanglah" Mendengar kalimat itu, perasaan Bulan berubah jadi tidak enak. Rumah, menurut sebagian orang mungkin tempat yang menyenangkan. Tapi itu tidak pernah terpikirkan dalam benak Bulan. Rumah itu seperti kuburan baginya. "Gue nginep tempat lu ya" "Iih ogah" "Ah" "Lu tuh dah enak ya. Gak ada siapa siapa dirumah lu. Ngapain malah pulang ke rumah gue?. Lu tau kan rumah gue kayak gimana" "Yaudah, lu nginep tempat gue ya" Elang me
Hari ini weekend ,libur harusnya. Tapi gak buat 2 IPA 3A mereka mendapat giliran mendesain dekor panggung untuk pementasan drama di auditorium. Meski Anggi lagi badmood parah dan kram nya makin parah, tetep dia harus ke auditorium. Karena benar aja, Bima udah disana lebih awal sambil melototin satu persatu anak IPA3A buat di cek satu satu. Bisa tebak lah kalo Sampek gak Dateng, gak cewek atau cowok , mungkin bakal digantung di tiang bendera."Iih ada susu""Ambil satu satu, gausah rakus""Dari siapa Bim""Bu Ratna""Sama brownies juga??""Iyee ..""Baik banget itu emank ibu pentas seni"Bima menatap setiap orang , mengamati sekali lagi orang orang yang datang . "Jangan bilang cuma Bulan yang belum Dateng""Iya Bim. Cuma Bulan""Sialan banget tuh Anak""Tahan emosi Bim" saran mawar. "ntar juga dateng""Ah tu Dateng" Bulan dengan kuncir rambut dan kaos oblongny
"Assalamualaikum mbak indah" "Waalaikumsallam Anggii" Mbak indah memeluk erat gadis mungil itu "makin kecil aja kamu nggi" "Iih mbakk" "Iy bawaanya berat berat terus sih, manknya tambah kecil" "Satu lagi nih ikut ikut" Elang memeluk erat mbak indah sangat lama, seolah olah ia gak ingin melepaskan perempuan yang dari kecil merawatnya itu. "Mbak aku bawain buah ini, kata dokter tadi susah makan ya..." "Kok repot repot sih tuan" "Soalnya mbak gak mau makan. Mbak harus makan" "Iya iya" "Sini, aku suapin" Elang dengan telaten menyuapi buah buah itu, Anggi selalu terharu saat Elang mulai menunjukkan sisi kedewasaannya yang ini. Ia merapikan rambut mbak indah yang berantakan. Lalu sekali lagi memberikan buah kedalam mulutnya. "Gimana tuan, sekolahnya hari ini?" "Aku menang basket mbak" "Gak buat ulah lagi kan?" "Elang gak buat ulah? Mana bisa sih mbak" "Elang..." "Mbak, si ukhti ini cupu. Dia gak pernah pergi kemana mana selain ke masjid sama perpustakaan. Gak bakal t
Elang menatap lurus pada ring basket, setiap keheningan mulai tercipta. Dadanya yang masih berdegup cepat itu harus ia buat tenang segera. Ia memejamkan matanya, mencoba menenangkan dirinya. Tidak bisa. Matanya mulai menyusuri kerumunan manusia yang menatapnya, memberi support padanya. Menemukan morfin yang tepat untuknya. Hingga dengan cepat, degup itu berubah jadi begitu tenang. Ia melemparnya, satu shoot darinya membuat SMA Budi Utama kembali membawa juara basket antar SMA dijakarta. Semua memeluk tubuhnya, sementara matanya tertuju pada gadis imut yang selalu menjadi morfin untuknya. "ELANG! ELANG! ELANG" sorak namanya mengema seantero gedung. Ia memejamkan mata, menikmati setiap kesuksesan dan hiruk pikuk yang memujanya. Basket adalah satu bagian dimana orang orang betul memujanya tanpa topeng. Karena itu Elang selalu menyukainya. Seorang gadis berkuncir satu berlari kecil menghampiri Elang, memberikan sebuah bunga mawar, ungkapan selamat atas keberhasilannya. "Selamat" k