"aaagrhh sialan lu Ian!! Bisa gak sih ati ati dikit. Anjing! Mending gue diobatin Anggi aja.."
"Sabar El..." Anggi mencoba menenangkan El, yang masih kesakitan. Berjongkok sembari memandang wajah Elang yang kesakitan.
"Anggi ..."
"Sabar Napa ahh... Lu sama bokap lu dipukulin pakek apa sih. .." ujar Bagas yang ikut mengobati Elang.
"Cuma pakek tongkat baseball"
"Anjir!!" Ucap Septian spontan.
"Lu kalo buat masalah mending gausah pulang... Lu cari mati ya... Pulang pas buat masalah!" Bagas akhirnya mengomel, setelah ia coba menahannya
"El..."
"Ya sayang..." Dan pada akhirnya, Elang hanya mendengarkan omongan Anggi.
Bagas yang emosi, menepuk punggung Elang. Membuat lelaki itu terperanjat lagi karena rasa sakitnya. "Mampos lu!!" Seru Bagas dengan semangat.
"Bagas!!!" Anggi dan Elang dengan serempak memanggil lelaki itu. Anggi karena kasian dengan rasa sakit Elang, sementara Elang jelas berteriak karena rasa sakit itu.
"Udah deh El. Panggil dokter aja. Nanti malah tambah parah kamu diobatin Septian sama Elang"
"Gausah.. nnti malah tambah ribut sama keluarga gue"
"Kenapa?"
"Bukan urusan Anggi"
"Yaudah... Sini sini biar aku obatin aja deh"
"Gitu dong..."
"Gapapa nggi? Lu kan gak nyentuh cowok?" Bagas mencoba memastikan lagi pada Anggi setelah perempuan itu mencoba mengusirnya dari posisinya.
"Mau gimana lagi. Kalian ngobatinnya ngawor. Cowok gue nanti kenapa kenapa lagi"
"Gapapa lah ..gas" Bela Elang "Lagian tadi dia juga ngobatin Baron, gila terluka hati gue... Sama Baron dia dengan suka rela disentuh kulitnya. Sementara sama gue..."
"Itu salahmu... Kenapa kamu harus kayak gitu ke Baron heh? Kalo kamu gak kayak gitu aku juga gak akan ngobatin dia. Karena kamu semuanya jadi takut"
"Cowok emank selalu salah" gerutu Elang sambil memejamkan matanya, dan sesekali menahan perih yang menjalar ke seluruh tubuh.
Septian yang mendengar perdebatan Elang dan Anggi itu tersenyum.
"Napa?" Tanya Bagas yang penasaran.
"Seneng aja... Temen gue dah gak jadi sadboy lagi"
"Gue emank gak sadboy .. kampret"
"Iih gak ngaku... Kalo lu gak sadboy harusnya lu tetep baik baik aja Ama Bima. Nyatanya enggak"
"Jadi ceritanya ,mereka berdua ngambekan?"
"Enggak" bantah elang.
"Iya..." Bagas dan Septian berseru dengan serempak.
"Kenapa ngambek??"
"Sama sama suka Kamila. Gak ada yang bisa gantiin Kamila nya Elang" Septian menjawab dengan spontan. Lupa kalo ada perempuan yang ha dijaga perasaannya disana.
Anggi yang mendengarnya , menghentikan aktivitasnya mengobati kekasihnya. Menahan keterkejutan dan sayatan kecil pada batinnya. Anggi mencoba tenang, ia tidak ingin membuat masalah akibat rasa cemburunya sekali lagi.
Elang yang menyadari keterkejutan Anggi bangun dari posisi tengkurapnya. "Eh nggi, series kesukaan kamu dah tayangkan tadi malam"
"Oh iya..."
"Pasti belom nonton kan?"
"Belumlah... Kamu kan tau aku sama Bima semalam"
"Nonton yuk.., gue bawa laptop"
"Series apaan nggi"
"Le siento"
"Di Netflix?"
Anggi mengangguk, mendengar nada lesuh dan intonasi nada Anggi yang menurun. Septian mulai sadar ia mengatakan sesuatu yang salah.
Ia menatap Bagas. Berbisik pada telinga merah Bagas "gas... Gue salah ya?"
Bagas menatap sinis sahabatnya. Ia berkata lirih padanya "Anjir, lu playboy. Lu harus nya ngerti situasi gini artinya apaan"
"Hancur"
"Enggak, artinya lu mampus nanti sama Elang"
Septian menelan ludahnya. "Mati gue, mana gue baru cedera dari basket kemarin"
"Hmm El.. Anggi mau pergi aja ya"
"Lah... Anggi gak mau nonton Netflix bareng"
"Udah janjian sama Bima. Kan mau ngecat lagi"
"Ow.."
"El, nanti langsung minum obat inflamasi nya ya..., Jangan telat"
Anggi meraih tasnya. Bangkit dari ranjang. Sementara Elang dengan cepat mengenggam lengan Anggi.
"Elang ...!!"
"Maaf nggi!"
"Jangan gitu.."
"Maaf..., Anggi gak akan cuekin Elang kan?"
Anggi menatap Elang, menekan kuat kuat setiap rasa cemburunya. Dia berkata dengan nada lembut dan penuh penekanan. "Enggakk... El" Anggi menarik kuat kuat sudut bibirnya ke atas membentuk sebuah simpul senyum yang coba ia paksa.
"Makasih..." Sementara Elang , tersenyum penuh rasa lega.
Anggi menatap dua lelaki yang mengamatinya dari tadi "Ian , Bagas. Gue pamit ya. Assalamualaikum"
"Waalaikumsallam.." ucap mereka kompak. Lalu menatap Anggi yang keluar dan menutup pintu.
"Anggi gak marah kan sama elang" Bagas mencoba memperagakan apa yang Elang katakan dengan intonasi mengejek dan berlebihan. "Apaan tuh, jijik gue.. alay lu El"
Elang hanya membalasnya dengan menyunggingkan senyum sinis.
"Jadi? Ada yang mau cerita kenapa ukhti ukhtiii yang notabennya gak mau pacaran, tapi sekarang malah pacaran sama Setan nya sekolah?" Tanya Septian.
"Jelaslah karena dipaksa!" Ucap Bagas dengan semangat.
"Anggi dari mana sih?" Ujar Mawar senewon pada Anggi. Diikuti pandangan dari semua anak dikelasnya. "Sorry, tadi ada urusan bentar" "Emank urusannya penting banget?" "Maaf Bim" "Kalo mau ibadah di masjid, ingat sikon dulu. Kita itu lagi diburu buru" Bulan mencoba menambahi. "Diem lu Lan. Lu juga sama aja tukang telat! Cuma gara gara lu anak istimewa aja gak ada yang nyerca lu" Bima kemudian menatap Anggi "jadi orang harusnya tau diri. Bisa tanggung jawab sedikitlah. Kalo lu gak punya otak. Paling gak bisa tanggung jawab""Maaf Bim" "Yaudah cepet. . ,Besok lu bantu gue buat finishing akhir" "Hah?" "Hah heh hah heh.. kerja!!" Anggi dengan cepat berlari menghampiri Mawar dan kawan kawannya. Revi menatap sewot ke arah Mawar. "Lu sii war... Lu tau kan dari tadi si Bima lagi up..." "Up?" "Maksudnya badmood, up ditambahin"
"Sore Mawar" "Eh Ian" Mawar tersenyum dengan simpul sempurna pada lelaki itu. Membuat Melati dan Revi saling pandang. "Habis ngerjain panggung?" "Iya .., Septian ngapain disini?" "Mau ketemu Bima" "Ouw.." "Mawar, Mawar ada acara malem Minggu nanti?" "Enggak" "Ada!!" Revi dan Melati kompak membantah omongan Mawar. Dua perempuan itu melotot ke Mawar. "Oh iya .. ada lupa... Mau nonton sama Revi sama Melati , Anggi juga . ke bioskop" "Owhh.. yaudah kalo gitu. Lain kali aja. Nanti malam aku telepon ya" "Siapp..." "Daaa..." "Dada" "Apa apaan ni war" "Gak ada apa apa" "Perasaan barusan e
"Gue tau lu emank gak suka di samping gue. Tapi gausah keliatan banget begitu" Anggi hanya menatap Bimasakti, bibirnya sedikit ia naikkan sebagai respon apa yang cowok itu katakan padanya. "Enggak" "Enggak apa?! Enggak salah!?" Anggi masih menatap lelaki itu, ia gak habis pikir bagaimana Bimasakti bisa terus-terusan memiliki nada dan tampang yang selalu galak dihadapan orang lain. Apa Bimasakti gak pernah tertawa atau sekali kali lelah dengan sikap galaknya itu. "Lu itu gak pernah senyum ya?" Wajah bima mendadak bingung, ia hanya bisa merespon dengan kata "Hah?" "Lu itu gak pernah senyum?!!" Anggi kini mengulangi lagi dengan nada yang ia naikkan. "Lu berani teriak teriak ke gue!!" "Sorry!! Habis.. lu Hah, gue kirain gak denger" "Emank gue budek!" "Oke oke. Gue yang salah. Bima memang selalu benar. Anak istimewa selalu benar. Enaknya jadi anak orang kaya ya bim" Bima diam sesaat, i
Elang menatap lurus pada ring basket, setiap keheningan mulai tercipta. Dadanya yang masih berdegup cepat itu harus ia buat tenang segera. Ia memejamkan matanya, mencoba menenangkan dirinya. Tidak bisa. Matanya mulai menyusuri kerumunan manusia yang menatapnya, memberi support padanya. Menemukan morfin yang tepat untuknya. Hingga dengan cepat, degup itu berubah jadi begitu tenang. Ia melemparnya, satu shoot darinya membuat SMA Budi Utama kembali membawa juara basket antar SMA dijakarta. Semua memeluk tubuhnya, sementara matanya tertuju pada gadis imut yang selalu menjadi morfin untuknya. "ELANG! ELANG! ELANG" sorak namanya mengema seantero gedung. Ia memejamkan mata, menikmati setiap kesuksesan dan hiruk pikuk yang memujanya. Basket adalah satu bagian dimana orang orang betul memujanya tanpa topeng. Karena itu Elang selalu menyukainya. Seorang gadis berkuncir satu berlari kecil menghampiri Elang, memberikan sebuah bunga mawar, ungkapan selamat atas keberhasilannya. "Selamat" k
"Assalamualaikum mbak indah" "Waalaikumsallam Anggii" Mbak indah memeluk erat gadis mungil itu "makin kecil aja kamu nggi" "Iih mbakk" "Iy bawaanya berat berat terus sih, manknya tambah kecil" "Satu lagi nih ikut ikut" Elang memeluk erat mbak indah sangat lama, seolah olah ia gak ingin melepaskan perempuan yang dari kecil merawatnya itu. "Mbak aku bawain buah ini, kata dokter tadi susah makan ya..." "Kok repot repot sih tuan" "Soalnya mbak gak mau makan. Mbak harus makan" "Iya iya" "Sini, aku suapin" Elang dengan telaten menyuapi buah buah itu, Anggi selalu terharu saat Elang mulai menunjukkan sisi kedewasaannya yang ini. Ia merapikan rambut mbak indah yang berantakan. Lalu sekali lagi memberikan buah kedalam mulutnya. "Gimana tuan, sekolahnya hari ini?" "Aku menang basket mbak" "Gak buat ulah lagi kan?" "Elang gak buat ulah? Mana bisa sih mbak" "Elang..." "Mbak, si ukhti ini cupu. Dia gak pernah pergi kemana mana selain ke masjid sama perpustakaan. Gak bakal t
Hari ini weekend ,libur harusnya. Tapi gak buat 2 IPA 3A mereka mendapat giliran mendesain dekor panggung untuk pementasan drama di auditorium. Meski Anggi lagi badmood parah dan kram nya makin parah, tetep dia harus ke auditorium. Karena benar aja, Bima udah disana lebih awal sambil melototin satu persatu anak IPA3A buat di cek satu satu. Bisa tebak lah kalo Sampek gak Dateng, gak cewek atau cowok , mungkin bakal digantung di tiang bendera."Iih ada susu""Ambil satu satu, gausah rakus""Dari siapa Bim""Bu Ratna""Sama brownies juga??""Iyee ..""Baik banget itu emank ibu pentas seni"Bima menatap setiap orang , mengamati sekali lagi orang orang yang datang . "Jangan bilang cuma Bulan yang belum Dateng""Iya Bim. Cuma Bulan""Sialan banget tuh Anak""Tahan emosi Bim" saran mawar. "ntar juga dateng""Ah tu Dateng" Bulan dengan kuncir rambut dan kaos oblongny
Elang melahap semua makanannya dengan semangat, sementara Bulan hanya menatapnya. Tak percaya bahwa satu jam lalu lelaki ini baru saja hampir membunuh seorang lelaki seperti iblis. Elang menatap makanan Bulan yang masih utuh dan tidak tersentuh sama sekali. "Kok gak dimakan?" "Liat lu makan aja udah kenyang gue" "Oke. Buat gue ya" "Sana .." Bulan menggeser mangkok makanannya ke depan Elang. "Habis ini mau kemana?" "Pulanglah" Mendengar kalimat itu, perasaan Bulan berubah jadi tidak enak. Rumah, menurut sebagian orang mungkin tempat yang menyenangkan. Tapi itu tidak pernah terpikirkan dalam benak Bulan. Rumah itu seperti kuburan baginya. "Gue nginep tempat lu ya" "Iih ogah" "Ah" "Lu tuh dah enak ya. Gak ada siapa siapa dirumah lu. Ngapain malah pulang ke rumah gue?. Lu tau kan rumah gue kayak gimana" "Yaudah, lu nginep tempat gue ya" Elang me
"Gue tau lu emank gak suka di samping gue. Tapi gausah keliatan banget begitu" Anggi hanya menatap Bimasakti, bibirnya sedikit ia naikkan sebagai respon apa yang cowok itu katakan padanya. "Enggak" "Enggak apa?! Enggak salah!?" Anggi masih menatap lelaki itu, ia gak habis pikir bagaimana Bimasakti bisa terus-terusan memiliki nada dan tampang yang selalu galak dihadapan orang lain. Apa Bimasakti gak pernah tertawa atau sekali kali lelah dengan sikap galaknya itu. "Lu itu gak pernah senyum ya?" Wajah bima mendadak bingung, ia hanya bisa merespon dengan kata "Hah?" "Lu itu gak pernah senyum?!!" Anggi kini mengulangi lagi dengan nada yang ia naikkan. "Lu berani teriak teriak ke gue!!" "Sorry!! Habis.. lu Hah, gue kirain gak denger" "Emank gue budek!" "Oke oke. Gue yang salah. Bima memang selalu benar. Anak istimewa selalu benar. Enaknya jadi anak orang kaya ya bim" Bima diam sesaat, i
"Sore Mawar" "Eh Ian" Mawar tersenyum dengan simpul sempurna pada lelaki itu. Membuat Melati dan Revi saling pandang. "Habis ngerjain panggung?" "Iya .., Septian ngapain disini?" "Mau ketemu Bima" "Ouw.." "Mawar, Mawar ada acara malem Minggu nanti?" "Enggak" "Ada!!" Revi dan Melati kompak membantah omongan Mawar. Dua perempuan itu melotot ke Mawar. "Oh iya .. ada lupa... Mau nonton sama Revi sama Melati , Anggi juga . ke bioskop" "Owhh.. yaudah kalo gitu. Lain kali aja. Nanti malam aku telepon ya" "Siapp..." "Daaa..." "Dada" "Apa apaan ni war" "Gak ada apa apa" "Perasaan barusan e
"Anggi dari mana sih?" Ujar Mawar senewon pada Anggi. Diikuti pandangan dari semua anak dikelasnya. "Sorry, tadi ada urusan bentar" "Emank urusannya penting banget?" "Maaf Bim" "Kalo mau ibadah di masjid, ingat sikon dulu. Kita itu lagi diburu buru" Bulan mencoba menambahi. "Diem lu Lan. Lu juga sama aja tukang telat! Cuma gara gara lu anak istimewa aja gak ada yang nyerca lu" Bima kemudian menatap Anggi "jadi orang harusnya tau diri. Bisa tanggung jawab sedikitlah. Kalo lu gak punya otak. Paling gak bisa tanggung jawab""Maaf Bim" "Yaudah cepet. . ,Besok lu bantu gue buat finishing akhir" "Hah?" "Hah heh hah heh.. kerja!!" Anggi dengan cepat berlari menghampiri Mawar dan kawan kawannya. Revi menatap sewot ke arah Mawar. "Lu sii war... Lu tau kan dari tadi si Bima lagi up..." "Up?" "Maksudnya badmood, up ditambahin"
"aaagrhh sialan lu Ian!! Bisa gak sih ati ati dikit. Anjing! Mending gue diobatin Anggi aja.." "Sabar El..." Anggi mencoba menenangkan El, yang masih kesakitan. Berjongkok sembari memandang wajah Elang yang kesakitan. "Anggi ..." "Sabar Napa ahh... Lu sama bokap lu dipukulin pakek apa sih. .." ujar Bagas yang ikut mengobati Elang. "Cuma pakek tongkat baseball" "Anjir!!" Ucap Septian spontan. "Lu kalo buat masalah mending gausah pulang... Lu cari mati ya... Pulang pas buat masalah!" Bagas akhirnya mengomel, setelah ia coba menahannya "El..." "Ya sayang..." Dan pada akhirnya, Elang hanya mendengarkan omongan Anggi. Bagas yang emosi, menepuk punggung Elang. Membuat lelaki itu terperanjat lagi karena rasa sakitnya. "Mampos lu!!" Seru Bagas dengan semangat. "Bagas!!!" Anggi dan Elang dengan serempak memanggil lelaki itu. Anggi karena kasian dengan rasa sakit Elang, sementar
Elang melahap semua makanannya dengan semangat, sementara Bulan hanya menatapnya. Tak percaya bahwa satu jam lalu lelaki ini baru saja hampir membunuh seorang lelaki seperti iblis. Elang menatap makanan Bulan yang masih utuh dan tidak tersentuh sama sekali. "Kok gak dimakan?" "Liat lu makan aja udah kenyang gue" "Oke. Buat gue ya" "Sana .." Bulan menggeser mangkok makanannya ke depan Elang. "Habis ini mau kemana?" "Pulanglah" Mendengar kalimat itu, perasaan Bulan berubah jadi tidak enak. Rumah, menurut sebagian orang mungkin tempat yang menyenangkan. Tapi itu tidak pernah terpikirkan dalam benak Bulan. Rumah itu seperti kuburan baginya. "Gue nginep tempat lu ya" "Iih ogah" "Ah" "Lu tuh dah enak ya. Gak ada siapa siapa dirumah lu. Ngapain malah pulang ke rumah gue?. Lu tau kan rumah gue kayak gimana" "Yaudah, lu nginep tempat gue ya" Elang me
Hari ini weekend ,libur harusnya. Tapi gak buat 2 IPA 3A mereka mendapat giliran mendesain dekor panggung untuk pementasan drama di auditorium. Meski Anggi lagi badmood parah dan kram nya makin parah, tetep dia harus ke auditorium. Karena benar aja, Bima udah disana lebih awal sambil melototin satu persatu anak IPA3A buat di cek satu satu. Bisa tebak lah kalo Sampek gak Dateng, gak cewek atau cowok , mungkin bakal digantung di tiang bendera."Iih ada susu""Ambil satu satu, gausah rakus""Dari siapa Bim""Bu Ratna""Sama brownies juga??""Iyee ..""Baik banget itu emank ibu pentas seni"Bima menatap setiap orang , mengamati sekali lagi orang orang yang datang . "Jangan bilang cuma Bulan yang belum Dateng""Iya Bim. Cuma Bulan""Sialan banget tuh Anak""Tahan emosi Bim" saran mawar. "ntar juga dateng""Ah tu Dateng" Bulan dengan kuncir rambut dan kaos oblongny
"Assalamualaikum mbak indah" "Waalaikumsallam Anggii" Mbak indah memeluk erat gadis mungil itu "makin kecil aja kamu nggi" "Iih mbakk" "Iy bawaanya berat berat terus sih, manknya tambah kecil" "Satu lagi nih ikut ikut" Elang memeluk erat mbak indah sangat lama, seolah olah ia gak ingin melepaskan perempuan yang dari kecil merawatnya itu. "Mbak aku bawain buah ini, kata dokter tadi susah makan ya..." "Kok repot repot sih tuan" "Soalnya mbak gak mau makan. Mbak harus makan" "Iya iya" "Sini, aku suapin" Elang dengan telaten menyuapi buah buah itu, Anggi selalu terharu saat Elang mulai menunjukkan sisi kedewasaannya yang ini. Ia merapikan rambut mbak indah yang berantakan. Lalu sekali lagi memberikan buah kedalam mulutnya. "Gimana tuan, sekolahnya hari ini?" "Aku menang basket mbak" "Gak buat ulah lagi kan?" "Elang gak buat ulah? Mana bisa sih mbak" "Elang..." "Mbak, si ukhti ini cupu. Dia gak pernah pergi kemana mana selain ke masjid sama perpustakaan. Gak bakal t
Elang menatap lurus pada ring basket, setiap keheningan mulai tercipta. Dadanya yang masih berdegup cepat itu harus ia buat tenang segera. Ia memejamkan matanya, mencoba menenangkan dirinya. Tidak bisa. Matanya mulai menyusuri kerumunan manusia yang menatapnya, memberi support padanya. Menemukan morfin yang tepat untuknya. Hingga dengan cepat, degup itu berubah jadi begitu tenang. Ia melemparnya, satu shoot darinya membuat SMA Budi Utama kembali membawa juara basket antar SMA dijakarta. Semua memeluk tubuhnya, sementara matanya tertuju pada gadis imut yang selalu menjadi morfin untuknya. "ELANG! ELANG! ELANG" sorak namanya mengema seantero gedung. Ia memejamkan mata, menikmati setiap kesuksesan dan hiruk pikuk yang memujanya. Basket adalah satu bagian dimana orang orang betul memujanya tanpa topeng. Karena itu Elang selalu menyukainya. Seorang gadis berkuncir satu berlari kecil menghampiri Elang, memberikan sebuah bunga mawar, ungkapan selamat atas keberhasilannya. "Selamat" k