Sebelum Berpisah
- Kepergok Siapa perempuan di dalam mobil itu? Kenapa suaminya pulang di antar wanita itu. Ke mana mobilnya? Bukankah tadi malam Hendy pergi ke rumah sakit mengendarai mobilnya sendiri. Meski suasana masih gelap, Elvira bisa melihat dari kaca jendela depan. Saat lampu dalam mobil di nyalakan, terlihat siapa wanita itu. Hmm, dia lagi. Dokter kandungan yang cukup akrab dengan suaminya. Apa mereka pacaran? Elvira buru-buru ke belakang saat Hendy melangkah ke rumah. Seperti biasa dia sibuk menyiapkan sarapan. Memasak itu wajib, karena Hendy tidak suka makan di luar. Dia juga memberikan uang bulanan yang tidak sedikit pada istrinya. Terdengar pintu kamar dibuka kemudian ditutup. Elvira lega dan melanjutkan menggoreng nugget. Sejenak kemudian tiba-tiba Elvira memekik kaget saat Hendy berdiri menjulang tidak jauh darinya. "Ngagetin aja sih, Mas." Napas Elvira sampai ngos-ngosan. Ditambah lagi dengan bau obat-obatan. Dia benci dengan bau obat. Inilah salah satu alasan kenapa Elvira menolak Hendy. Dia benci bau rumah sakit, benci bau obat, tapi tidak benci jarum suntik. Kalau sakit lebih baik disuntik daripada disuruh minum obat. Aneh, kan? Dan Bisa-bisanya ayah dan kakaknya menjodohkan dia dengan lelaki yang berhubungan erat dengan apa yang dibencinya. 'Mereka benar-benar ingin membuatku gila.' Hendy memeriksa termos. Ternyata kosong. Diambilnya panci untuk merebus air. "Oh, aku belum ngisi termos. Bentar, aku rebusin air." Dengan gugup, Elvira mengambil panci dari tangan Hendy. "Mas, bisa tunggu di meja makan," perintahnya tanpa memandang sang suami. "Kamu menyuruhku duduk di meja makan?" "Bukan. Ya duduk di kursinya-lah." "Aku tunggu di sini." "Mas, ganti baju dulu. Aku nggak tahan bau obat." "Aku ingin segera minum air hangat." "Nanti kuantar." Hendy tetap duduk di kursi dapur. Tidak mempedulikan Elvira yang berdecak jengkel sambil menutup hidung. "Kamu nggak bisa mengaturku, Elvira. Seperti aku yang kamu larang mengatur apa yang ingin kamu lakukan. Begitu kan yang kamu bilang disaat selesai ijab kabul." Elvira mematung. Dia akan tersiksa kalau begini. Kabur lagi hanya akan menambah masalah lebih besar. Apalagi karirnya sangat bagus. Dia sudah dikenal sebagai desainer muda yang berbakat dan jadi idola. Bertahan? Lalu sampai kapan. "Mas, bisa nggak kita ubah peraturan." Elvira berkata tanpa memandang suaminya. Karena tatapan mata Hendy selalu tajam bak mata elang yang hendak menyambar. "Maksudmu?" "Kalau pulang dari rumah sakit, Mas harus segera ganti baju." "Bukankah kamu harus membiasakan dengan bau-bau seperti ini? Sudah dua bulan kita tinggal serumah." "Sebagai konsekwensinya, Mas bisa mengajukan keberatan dengan apa yang aku lakukan dan tidak Mas sukai." "Oke. Tidak usah pakai jilbab kalau di rumah. Kamu harus menyiapkan baju kerjaku. Kamu tidak boleh masak jengkol, petai, ikan asin, atau pindang karena aku tak suka. Kamu tidak usah ...." "Banyak banget sih, Mas. Padahal aku cuman minta satu saja." Protes Elvira dengan bibir cemberut. "Kalau gitu kamu pilih salah satu. Mana yang ingin kamu lakukan." Elvira diam. Melepas jilbab kalau di rumah jelas tidak mungkin. Dia harus berbusana rapi, tertutup, pokoknya jangan sampai ada celah kulitnya terekspos kecuali wajah dan telapak tangan. Kaki tidak masalah kelihatan. Kan dia tidak sedang salat. Tidak boleh masak jengkol, petai, goreng ikan asin atau pindang? Oh, tidak. Itu makanan favoritnya. Dia bisa memulihkan selera makannya kalau ada lauk itu. Bahkan nasi dua piring bisa amblas. Eh, ya tidak segitunya kali. Menyiapkan baju kerja? Oh, mana bisa. Bagaimana kalau bau obat itu masih ada. Hmm, rasanya tidak mungkin. Baju-baju Hendy yang di laundry selalu kembali dalam keadaan wangi. Ya Tuhan, pernikahan macam apa ini. Bukankah dunia mereka sungguh berbeda. Kenapa bisa sampai terikat hubungan sakral begini. "Baiklah, kupilih menyiapkan baju kerja," pilih Elvira seraya menuangkan air yang sudah mendidih ke dalam gelas. Hendy mengambil dan membawanya ke kamar. Elvira hanya memandang sekilas tanpa bertanya. Yang penting ia menyiapkan sarapan seperti biasa, lalu bersiap-siap berangkat kerja. Dia tidak mengurusi Hendy dengan membangunkannya. Lelaki itu punya alarm sendiri. Yang penting baju kerjanya sudah disiapkan di sofa depan pintu kamar. Selesai masak, Elvira sekalian membereskan dapur. Kemudian sarapan, mandi, dan berdandan. Saat keluar kamar, ia melihat ponselnya Hendy yang di charge di meja pojok ruang tengah berpendar. Elvira tidak peduli. Dia memeriksa map di tangannya. Ketika hendak bangkit, ponsel sang suami kembali menyala. "Bagaimana kalau itu panggilan darurat dari rumah sakit?" Elvira mendekati meja. Ada nama dokter Herlina tertera di layar. Hmm, dia lagi. Bodo amat. Kemudian Elvira pergi. Biar saja. Dia tidak punya urusan dengan wanita itu. Eh, tapi. Dia sepertinya menaruh hati pada Hendy. Kelihatan sekali dari tatapan matanya saat memandang sang suami. Namun dokter itu pun ramah jika bertemu dengannya. Ish, bodo amat. Elvira memakai helm kemudian melaju meninggalkan rumah. Jarak kantor dan rumah hanya sepuluh menit perjalanan. Tapi Surabaya yang selalu macet ini, sering membuat perjalanannya terhambat. Baru saja duduk di kursinya. Ponsel berdenting. Ada pesan masuk dari Rizal. [Kenapa teleponku nggak diangkat, El. Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun. Happy Birthday, El. Gimana kabarmu? Sehat selalu, ya. Wish you all the best. Hadiahnya sudah kukirim ke alamat kantormu. Hari ini kalau nggak besok pasti sampai.] Jantung Elvira berdegup kencang. Netranya pun berkaca-kaca. Ternyata Rizal yang ia kecewakan masih ingat hari ulang tahunnya. Kekasih yang tidak pernah mendapatkan restu dari keluarga Elvira. Ayah, kakak-kakaknya, keponakannya, semua lupa tentang hari ini. Hendy? Dia mana tahu. Dan Elvira tidak berharap akan mendapatkan ucapan darinya. Diketiknya balasan untuk Rizal. [Makasih banyak, Riz. Kamu masih peduli sama aku.] [Aku nggak pernah melupakanmu. Minggu depan aku pindah ke Surabaya, El.] [Oh, ya?] [Iya. Nanti kusambung lagi. Aku mau meeting dulu.] Elvira mematung sejenak. Lelaki itu .... Sebenarnya mereka tidak pernah ada kata putus. Berlalu begitu saja. Rizal berangkat ke Jakarta dan ia menikah dengan Hendy. Entah sampai kapan pernikahan tidak jelas ini bertahan. Dinyalakannya laptop dan ia mulai bekerja. ***L*** Meski matahari sudah nyaris tenggelam di langit barat, tapi suasana masih juga gerah. Apalagi di jalanan begini. Debu, asap kendaraan, berbaur menyesakkan pernapasan. Namun Elvira sudah terbiasa, karena sejak kecil dia mengalami hal ini. Saat berhenti di lampu merah, ia menoleh ke samping. Itu mobil dokter Herlina. Apa suaminya ada di dalam sana? Next .... Selamat Membaca 🥰Sebelum Berpisah - Menguntit "Kenapa kamu mengikutiku tadi?" tanya Hendy yang membuat Elvira terkesiap. Jadi suaminya tahu kalau diikuti. Wajah wanita itu pias karena ketahuan."Aku nggak ngikutin. Biasanya aku juga lewat situ," elak Elvira sambil menggoreng ayam untuk lauk makan malam. "Aku tahu kamu sering memperhatikanku dan dokter Herlina."Elvira terhenyak. Tangannya yang memegang spatula sampai gemetar. Namun ia tidak berani menoleh ke belakang, pada Hendy yang duduk di kursi meja makan."Ah, Mas ini ke GR-an. Siapa juga yang merhatiin." Elvira menutupi rasa gugupnya."Oh, gitu ya."Dada Elvira berdebar hebat. Bodoh sekali. Seharusnya ia tadi tidak usah mengikuti mobil dokter Herlina. Yang ternyata mengantarkan Hendy ke bengkel. Ia baru tahu kalau mobil Hendy masuk bengkel. Makanya subuh tadi pulang di antar dokter cantik itu.Tapi kenapa harus dokter Herlina? Apa di rumah sakit sebesar itu dia tidak memiliki teman dokter laki-laki. Atau naik taksi misalnya. Kenapa selalu dok
Sebelum Berpisah - Ketakutan "Aku harus segera berangkat, El. Kamu bagaimana?""Nggak apa-apa. Aku berani." Elvira menjawab tanpa memandang sang suami. Sumpah, sebenarnya dia sangat takut dan cemas."Kamu mau ikut ke rumah sakit?""Nggak." Dia tidak mungkin pergi ke tempat yang paling tidak disukainya dan menunggu berjam-jam sampai Hendy keluar dari kamar operasi. Walaupun di rumah sendiri juga ketakutan. Lihat, lilin pun sudah mau habis.Hendy termangu sejenak. Dia tidak bisa menunggu lama. Tim ruang operasi sedang menunggunya. Lelaki itu masuk ke kamar untuk mengambil jaket."Mas, bisa minta tolong. Antar aku sebentar ke kamar mandi. Setelah itu aku mau masuk kamar dan tidur.""Pakai kamar mandiku. Aku benar-benar sedang ditunggu, El.""Oh, ya sudah. Mas, pergi saja." Elvira mengambil asbak yang ada lilinnya. Namun ia memekik karena jarinya kepanasan. Asbak dari logam itu tentu saja panas kena lelehan lilin."Kenapa?" Hendy kaget dan mendekat."Nggak." Elvira memakai ujung jilbabn
SEBELUM BERPISAH - Hamil?Setelah kekacauan karena Elvira kabur dari rumah menjelang pernikahan, hingga sekarang hidupnya bisa dibilang tidak baik-baik saja. Ayahnya masih mengungkit peristiwa itu jika mereka bertemu. "Ayah nggak ingin mendengar kamu mengecewakan suamimu. Ayah menjodohkanmu dengan Hendy, demi masa depanmu. "Kalau ayah tiada, kamu punya suami yang bisa menjamin hidupmu. Kedua kakakmu memiliki tanggungjawab keluarga sendiri. Jadi kamu nggak bisa bergantung pada mereka."Apapun masalahmu, jangan pernah kabur meninggalkan rumah suami. Hendy lelaki yang baik, nggak mungkin melakukan KDRT atau menelantarkanmu."Pasti ayahnya berpikir kalau dirinya dan Hendy baik-baik saja sekarang ini. Sejauh mana mereka paham tentang Hendy sampai nekat menjodohkannya dengan dokter itu.Elvira menghela napas panjang sambil menatap cermin. Dia sudah selesai berdandan. Tinggal menunggu Hendy selesai mandi.Sejak memutuskan kembali ke rumah dan akur dengan perjodohan, hatinya sudah dipenuhi
SEBELUM BERPISAH - Aku Tahu "Aku nggak hamil, Mbak. Nggak usah diperiksa. Beneran aku nggak hamil. Maagku memang kambuh sejak semalam." Elvira keukeh tidak mau. Herlina tercekat di ambang pintu. Elvira hamil? Ada bias kecewa yang terlihat jelas di wajahnya. Yang ia dengar hanya kata 'hamil' saja. "Nggak ada salahnya diperiksa, El. Banyak perempuan mengira kembung biasa, ternyata sedang hamil." Ema keukeh dengan pendapatnya. Sedangkan Elvira sudah tak berdaya membantah. Tubuhnya terasa lemas. Terserah mereka bicara apa. Sedangkan Hendy sendiri juga bingung. Mana mungkin istrinya hamil? "Kalau gitu, besok kamu ikut Hendy ke rumah sakit untuk periksa. Siapa tahu lagi isi. Gejala orang hamil itu macam-macam, El. Seperti yang dibilang Ema tadi." Bu Putri membimbing sang menantu masuk ke salah satu kamar di rumah putrinya. Hendy juga ikut masuk. Ema mengajak Herlina kembali ke depan. "Kamu istirahat di sini." Elvira dibimbing untuk berbaring. Sang mama mertua terlalu yakin kal
SEBELUM BERPISAH - TraumaSetakut itu dia? Dengan jelas Hendy melihat wajah pucat dan mata berembun milik istrinya. Ia yakin ini bukan ketakutan biasa. Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya."El, kamu tidak harus minum obatnya. Yang penting kamu periksa. Biar tahu separah apa sakitmu." Hendy bicara dengan nada lembut. Saat itu mereka sudah duduk di ruang tunggu tempat praktek seorang dokter umum.Hendy bisa merekomendasikan obat untuk istrinya. Namun melihat kondisi Elvira seperti itu, lebih baik dibawa ke ahlinya.Sudah terlanjur siang mereka berangkat tadi, antrian banyak dan mereka harus sabar menunggu."Bentar, aku belikan roti dan air minum." Hendy bangkit dari duduknya dan menyeberang jalan ke toko depan sana.Ketika Hendy pergi, ponsel Elvira berdering. Hasna menelepon. Dia memang sepeduli itu pada adik iparnya."Halo, Assalamu'alaikum, Mbak Hasna.""Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah?""Aku lagi antri periksa. Maagku kambuh, Mbak.""Ya Allah. Sejak kapan? Pasti asam lambung itu,
SEBELUM BERPISAH - Pertahankan Jangan sampai orang tuanya tahu kalau ia pisah kamar dengan Elvira. Dengan kondisi seperti ini, belum siap kalau mereka tahu. Tidak akan selamanya begini, pasti ada waktu bagaimana ia dan Elvira akan membicarakan pernikahan ini. Hendy mengunci pintu utama sebelum mamanya bisa membuka sendiri. Dari jendela kaca, ia melihat sang mama masih menerima telepon, sedangkan papanya memperhatikan lingkungan perumahan. Tergesa Hendy mengetuk pintu kamar sang istri. "El," panggilnya. "Ya. Ada apa?" "Mama dan papa datang." Di dalam kamar. Elfira yang sudah melepaskan jilbabnya dan berbaring terkejut. Dia belum siap jika ketahuan dalam keadaan sakit seperti ini. Dilapnya air mata memakai tisu. Air mata karena kangen pada ibunya. Kemudian tergesa mengenakan kembali jilbab dan membuka pintu kamar. Pada saat yang bersamaan terdengar bel berdenting. Hendy cekatan mengunci pintu kamar istrinya dan menyimpan kunci ke dalam saku celananya. Siapa tahu mamanya me
SEBELUM BERPISAH- Menginap"Ini baju Hendy semua. Kok bajumu nggak ada El?" Bu Putri keheranan sekaligus curiga saat melihat isi lemari semuanya baju putranya."Oh, ada di lemari sebelahnya, Ma. Biar nanti kuambilkan," jawab Hendy yang sudah muncul di pintu. Lelaki itu menghampiri sang mama dan dengan gerakan halus, meminta mamanya menepi supaya tidak membuka pintu sebelahnya. Hendy ingat kalau kemarin ada piyama Elvira warna hitam terikut tumpukan bajunya dan belum sempat dikembalikan pada sang istri."Nanti habis makan dan minum obat, suruh El ganti baju," ujar Bu Putri seraya keluar kamar dan kembali menutup pintu.Hendy bernapas lega. Walaupun akhirnya terbongkar, sebenarnya dia tidak perlu risau. Bukan dirinya yang memulai situasi menjadi rumit seperti ini. Elvira yang duluan kabur dan membuatnya kecewa. Hampir saja diri dan keluarganya dipermalukan di hadapan orang banyak. Di hadapan keluarga, relasi, rekan kerja, teman-temannya yang lain, bahkan dihadapan orang yang tidak ia
SEBELUM BERPISAH- Jungkir Balik "Dari rumah sakit. Ada pasien usus buntu akut yang harus segera dilakukan tindakan operasi. Kondisi medisnya mendesak dan memerlukan penanganan segera. Aku yang sejak kemarin menangani ini dengan dokter Zani." Hendy memandang sang istri setelah membaca pesan di ponselnya.Elvira membalas tatapan, tidak tahu harus bilang apa. Bukankah selama dua bulan ini, Hendy jarang sekali meminta persetujuannya jika harus pergi dadakan."Kamu tidak apa-apa kutinggal?"Mendengar pertanyaan itu membuat Elvira tambah heran. Waktu mati lampu dia ketakutan sendirian di rumah, Hendy juga langsung pergi. Minta di antarkan ke toilet sebentar saja tidak sempat. Sampai Elvira sakit perut."Nggak apa-apa. Biasanya Mas juga langsung pergi kan, jam berapapun itu." Elvira kembali melanjutkan sketsanya. Mentang-mentang ada kedua orang tuanya, Hendy jadi perhatian."Kalau gitu, kamu segera tidur," ujarnya lantas berdiri dan masuk ke kamar mandi.Saat itu ponsel Hendy kembali berpe
Lelaki itu mengambil ponsel dari saku celana saat ada bunyi notifikasi. Membuka benda itu sambil melangkah di lorong rumah sakit. Kembali ada email masuk yang mengirim foto Elvira dan Rizal. Ketenangannya terusik oleh hal-hal begini. Padahal hubungannya dengan sang istri mulai menghangat belakangan ini. Ia mencurigai Herlina. Dia begitu yakin kalau pelakunya adalah wanita itu. Tidak sulit bagi Herlina untuk mendapatkan foto-foto mereka, entah bagaimana itu caranya.Hendy terus melangkah ke parkiran. Dia tidak akan membiarkan, tapi bukan sekarang. Pasti akan ada waktu yang tepat untuk menegurnya. Kendati mereka masih bertemu setiap hari.Kalau sampai Herlina tahu Elvira berhenti kerja, memang dia membayar orang untuk mencari informasi itu.Sesampainya di rumah, Elvira sudah menyambutnya di depan pintu. Senyum wanita itu merekah, menyembunyikan apa yang terjadi tadi siang. "Aku khawatir Mas pulang malam, padahal aku sudah masak sup iga kesukaan, Mas." "Kalau pulang telat, Mas pasti
"Aku sedih banget. Selama ini kita selalu bersama-sama. Sekolah, kuliah, jalan-jalan, kerja, selalu barengan." Mata Ranty memerah.Elvira tersenyum getir lantas memandang Ranty. "Nggak selamanya selalu bersama, Ran. Tapi kita masih bisa bertemu, berkomunikasi, meski sudah nggak menjadi rekan kerja lagi. "Kalau bukan aku, pasti kamu juga bisa memutuskan hal begini jika ada sesuatu yang membuatmu harus pergi. Dengan Rizal pun sama. Setelah projek selesai, kita pun akan terputus sebagai partner kerja." Elvira memandang Rizal yang saat itu juga memperhatikannya dengan mata yang memerah.Entah ini kesedihan yang ke berapa lagi. Luka dari perempuan yang sama. Dulu dia harus pergi, mulai mengobati hati. Ketika mulai terbiasa, kembali dipertemukan di Jakarta. Dan tuntutan pekerjaan membuat mereka kembali bertemu dan menjadi partner kerja. Rizal kembali terbawa oleh perasaannya yang masih tetap sama. Nyaman dan menjadi lebih bersemangat, meski ia sadar sesadar-sadarnya kalau Elvira itu sudah
SEBELUM BERPISAH - Perpisahan Sore Itu Ketika Elvira dan Ranty hendak bangkit dari duduknya, saat bersamaan pintu ruangan diketuk lalu masuklah Angel. Wanita yang tengah sarat mengandung itu tampak kepayahan. Ranty mengambilkan kursi untuk duduk bosnya."Ada apa, Mbak?" tanya Ranty."Nggak ada apa-apa. Kalian mau nemui Rizal, kan?""Ya," jawab Ranty."Oke. Aku juga pasrah pada kalian berdua tentang renovasi kantor di Sidoarjo."Hening."Ada apa nih, kalian tampak sedih gitu?" Angel memperhatikan Elvira dan Ranty bergantian. Dia merasakan sesuatu yang berbeda.Ranty memandang Elvira. Biarlah Rizal menunggu, tapi ia harus memberitahu bosnya sekarang juga. Siapa tahu Angel bisa membuat Elvira merubah keputusan. "El mau resign, Mbak."Angel terperanjat. Matanya membulat memandang Elvira. "Kenapa resign?"Elvira memberikan alasan persis seperti yang diucapkan pada Ranty baru saja. Bicara dengan tenang, seolah tanpa beban."Mbak mau lahiran, El. Kalau kamu berhenti kerja, siapa lagi yang
Bu Salima membawakan secangkir kopi untuk Rizal yang kembali mengutak-atik motornya. Pulang dari bertemu dengan Arsita, Rizal kembali sibuk dengan motor tuanya."Bagaimana pertemuan tadi?" Bu Salima penasaran."Kami hanya ngobrol biasa, Bu. Bu Bahtiar juga ikut tadi. Mereka baik, ramah juga. Tanya-tanya tentang keluarga kita. Aku jawab apa adanya."Bu Salima diam sejenak. Memandang tangan Rizal yang sibuk membenahi motornya. "Bagaimana dengan Arsita?""Dia baik juga." Rizal menceritakan percakapannya dengan gadis itu. Bu Salima mengembalikan keputusan pada putranya. Dia tidak ingin memaksa, meski ingin sekali melihat Rizal segera membuka lembaran baru. Memang harus dipaksakan. Kalau menunggu sampai benar-benar bisa melupakan Elvira, terus kapan itu? Karena semuanya tidak akan gampang.Mungkin kehadiran gadis lain, perlahan akan membuat Rizal bisa meninggalkan masa lalunya. Sedangkan Rizal sendiri merasa sedang berdiri di persimpangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dia d
Keduanya saling pandang dan tersenyum saat tubuh Elvira mendarat di sofa ruang keluarga. Hendy mengelap peluh yang membasahi pelipis istrinya. Lantas dia bangkit untuk mengambilkan air minum."Minum dulu!" Hendy membantu istrinya untuk minum, air sisa setengah gelas itu akhirnya ia habiskan dan meletakkan gelas kosong di meja depannya.Hendy mengambil remote TV dan menyalakannya. "Kapan jadi mengajukan surat pengunduran diri?" Hendy memandang Elvira yang fokus memandang layar bening. Meski pikirannya sedang tidak ke sana. "Dalam minggu ini, Mas. Aku akan menyelesaikan pekerjaan yang tersisa dulu.""Bagaimana dengan projek pembangunan gedung baru?" Hendy yakin, ini salah satu pertimbangan kenapa istrinya memilih resign. Sebab Rizal terlibat di sana. Mungkin.Namun ia tidak akan mengorek lagi tentang pria itu. Elvira memilih mundur, tentu sudah menjadi nilai plus baginya. Berarti sang istri sudah berusaha untuk bertahan dalam pernikahan mereka. Hendy tidak akan mencari masalah dengan
SEBELUM BERPISAH- Pertemuan Tahun BaruPutih, cantik, rambut terurai sebahu. Mengenakan blouse lengan panjang warna ungu dan celana jeans warna hitam. Arsita. Pak Bahtiar mengenalkan putri dan juga sang istri yang saat itu ikut serta.Gadis cantik dengan sapuan make up tipis di wajahnya itu tersenyum ramah pada Rizal.Mereka bertemu di sebuah restoran seafood. Ketika Rizal datang, Pak Bahtiar sudah berada di sana. Tidak lama kemudian makanan yang di pesan Bu Bahtiar datang."Kamu mau minum apa, Zal?" tanya Pak Bahtiar."Es teh saja, Pak."Pak Bahtiar memanggil seorang pramusaji dan memesan minuman buat mereka."Mari, makan. Sambil ngobrol." Pak Bahtiar mempersilakan."Rizal, bener kamu anak tunggal?" tanya Bu Bahtiar."Sebenarnya saya punya adik perempuan, Bu. Tapi meninggal sesaat setelah dilahirkan.""Oh ...." Bu Bahtiar memandang Rizal dengan wajah ceria. Sosok yang beberapa waktu belakangan ini, selalu dibicarakan bersama suaminya. Dia tertarik dengan kepribadian Rizal. Ternyata
Demi menjaga hubungan baiknya dengan Ranty, terpaksa ia berhenti kerja. Agar tidak sering bertemu Rizal juga. Sudah selayaknya ia menjauh, agar Rizal pun bisa membuka hati untuk insan baru. Soal impiannya, Elvira sudah mengikhlaskan. Seharian tadi dia berpikir dalam-dalam tentang hal itu.Tentang tanggungjawabnya pada pembangunan gedung baru, bisa ia limpahkan pada Ranty atau staf lain. Toh itu bukan pekerjaan yang susah. Hanya sekedar mengawasi dan berinteraksi dengan Rizal sebagai arsiteknya saja.Sekalipun ekspresi Elvira terlihat serius meyakinkannya, tapi Hendy tetap merasa ada sesuatu yang terjadi. Apa perlu ia menelepon Ranty untuk bertanya?"Mas masih ingat kalau kamu ingin memiliki brand tersendiri. Mas dukung kamu untuk merintis usaha sendiri. Mas akan mensupport secara materi juga.""Nggak semudah itu, Mas. Untuk buka usaha aku juga harus punya banyak pengalaman dan koneksi. Nanti, mungkin. Sekarang aku mau fokus sama rumah tangga kita."Hendy tersenyum bahagia. Meski keput
"Iya, Mas. Aku di rumah sekarang.""Kenapa? Kamu sakit?" Suara Hendy sarat rasa khawatir."Nggak. Emang lagi longgar saja. Makanya aku pulang. Nanti sibuk lagi di awal tahun." Elvira berbohong. Berusaha menyeimbangkan suaranya supaya Hendy tidak tahu kalau dirinya habis menangis. Eh, tapi bagaimana kalau Hendy bertanya pada Ranty?"Beneran karena itu?""Aku memang pengen istirahat di rumah. Pas nggak ada kerjaan juga. Jadi aku ngasih alasan pusing ke Ranty, Mas." Elvira tertawa kecil untuk hal yang sama sekali tidak lucu. Juga untuk menutupi kegundahannya karena membohongi Hendy."Kamu naik taksi tadi? Kenapa nggak nelepon Mas Asep saja untuk menjemput.""Nggak, Mas. Nanti kelamaan nunggu. Mesti ngambil mobil ke rumah dulu, baru menjemputku. Oh ya, aku mau masak. Bikin ayam kremes. Hari ini Mas pulang jam berapa?""Kalau sesuai jadwal. Sore mas sudah sampai di rumah.""Baiklah, kutunggu.""Oke. Nanti mas telepon lagi. Mas mau ke ICU sebentar, terus ke ruang bedah.""Iya.""Assalamu'al
SEBELUM BERPISAH - Keputusan "El," panggil Ranty membuka pintu ruangan sahabatnya. Kosong. Elvira ke mana?Tas Elvira juga tidak ada. Ranty tergesa keluar dan bertanya pada staf di resepsionis. "Mbak, ngelihat Mbak Elvira, nggak?""Oh, Mbak El-nya pulang, Mbak. Tadi tergesa-gesa. Bilang kalau lagi nggak enak badan. Saya baru saja mau ke ruang meeting untuk ngasih tahu ke Mbak Ranty dan Pak Rizal."Dahi Ranty mengernyit heran. Kenapa Elvira tidak pamit padanya. Atau ke ruang meeting sejenak untuk menemui Rizal. Padahal tadi dia sudah tahu kalau Rizal mau datang. Dan waktu datang tadi Elvira tampak sehat-sehat saja dan sempat ngobrol dengannya.Ranty melangkah ke ruang meeting. Rizal heran melihatnya datang sendirian. "Mana El, Ran.""Bentar." Ranty meraih ponsel untuk menelepon sahabatnya. Ternyata sudah ada pesan masuk dari Elvira.[Ran, maafkan aku. Aku buru-buru pulang dan nggak sempat nemui kalian. Badanku lemas. Kamu saja yang nemui Rizal untuk membahas renovasi gedung di Sidoar