Share

6. Aku Tahu

Penulis: Lis Susanawati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-04 15:06:33

SEBELUM BERPISAH

- Aku Tahu

"Aku nggak hamil, Mbak. Nggak usah diperiksa. Beneran aku nggak hamil. Maagku memang kambuh sejak semalam." Elvira keukeh tidak mau.

Herlina tercekat di ambang pintu. Elvira hamil? Ada bias kecewa yang terlihat jelas di wajahnya. Yang ia dengar hanya kata 'hamil' saja.

"Nggak ada salahnya diperiksa, El. Banyak perempuan mengira kembung biasa, ternyata sedang hamil." Ema keukeh dengan pendapatnya. Sedangkan Elvira sudah tak berdaya membantah. Tubuhnya terasa lemas. Terserah mereka bicara apa.

Sedangkan Hendy sendiri juga bingung. Mana mungkin istrinya hamil?

"Kalau gitu, besok kamu ikut Hendy ke rumah sakit untuk periksa. Siapa tahu lagi isi. Gejala orang hamil itu macam-macam, El. Seperti yang dibilang Ema tadi." Bu Putri membimbing sang menantu masuk ke salah satu kamar di rumah putrinya. Hendy juga ikut masuk.

Ema mengajak Herlina kembali ke depan.

"Kamu istirahat di sini." Elvira dibimbing untuk berbaring. Sang mama mertua terlalu yakin kalau menantunya tengah berbadan dua. Sementara Elvira lebih dari yakin kalau dirinya tidak hamil. "Mama keluar dulu, ya?"

"Makasih, Ma."

Sebentar kemudian Hendy pamitan keluar. Masuk ke kamar lagi dan mengajak Elvira pulang.

***L***

"Kamu nggak minum obat? Di kotak obat ada obat maag." Hendy bicara saat mereka sampai di rumah. Berhadapan dengan sang istri yang sedang duduk minum di ruang makan.

Elvira menggeleng.

"Aku bisa memberimu obat anti nyeri. Untuk mengurangi sakitmu."

Elvira kembali menggeleng. Iya kalau yang dikasihnya nanti obat anti nyeri saja, bagaimana kalau ia dibuat tak sadarkan diri?

"Selain tidak bisa minum obat, phobia dengan gelap, apalagi yang tidak kuketahui tentangmu. Sampai orang mengira kamu hamil padahal aku tidak pernah menyentuhmu. Atau kamu memang beneran hamil?"

"Apa?" Elvira malah terkejut dengan pertanyaan suaminya. Nyaris dia tersedak oleh air yang tengah diminumnya. "Mas menuduhku hamil. Hamil dengan siapa?"

"Aku tahu kamu kabur seminggu sebelum pernikahan kita."

Elvira terperanjat bukan main sampai napasnya serasa tercekik. Jadi Hendy tahu. Dia tahu dari mana kalau dirinya sempat minggat dari rumah.

"Kamu pulang tiga hari sebelum hari H. Kalau kamu tidak ingin menikah denganku, kenapa tidak bilang sejak awal."

Tubuh Elvira gemetar. "Dari mana Mas tahu?"

"Tentu saja aku mencari tahu siapa gadis yang akan menjadi calon istriku."

Hening. Elvira tidak menyangka sama sekali Hendy tahu semuanya. Dipikir keluarganya saja yang tahu. Lalu siapa yang membocorkan pada pria itu. Ayahnya tidak mungkin. Kakak-kakaknya juga tidak mungkin. Mereka pasti tidak ingin mempermalukan keluarga sendiri. Ranty, jelas tidak. Dia teman terbaik yang Elvira punya. Lagi pula Ranty kenal dengan Hendy pun setelah Elvira menikah dengan lelaki itu. Lalu siapa? Apa Hendy membayar seseorang untuk menyelidikinya?

"Setelah Mas tahu aku kabur, kenapa Mas Hendy tetap mau menikah denganku?"

"Kamu pikir mudah membatalkan pernikahan yang hanya menunggu jam. Mempermalukan seluruh keluargaku juga keluargamu. Undangan tersebar sekian ribu. Persiapan sudah sempurna. Lalu batal begitu saja.

"Bisa saja aku duduk di pelaminan tanpa kamu. Yang malu bukan aku, tapi keluargamu. Bahkan aku bisa menghadirkan perempuan lain sebagai pengganti. Meski kamu menolakku, masih ada yang sudi denganku, Elvira."

Siapa? Apa dokter kandungan itu? Namun Elvira tidak berani bersuara. Tubuhnya terasa kaku dan panas dingin. Air mata mengalir tak terbendung.

"Orang tuaku, keluargaku, tidak tahu kalau kamu pernah kabur. Dan aku menutup rapat-rapat rahasia ini dari mereka."

"Aku minta maaf," kata Elvira lirih dan serak.

Hendy masih memandang dengan sorot tajam. Terlihat betapa dia berusaha menekan emosi.

"Besok pagi kuantar kamu periksa." Suara Hendy melunak.

"Nggak usah."

"Bagaimana bisa sembuh kalau tidak diobati. Jangan sampai keluargamu menuduhku tidak peduli padamu."

"Mereka nggak akan menuduh begitu. Karena mereka tahu bagaimana aku."

"Terserah kamu." Hendy bangkit dari duduknya dan masuk kamar. Sedangkan Elvira masih diam di tempat karena tubuhnya terasa begitu lemas. Kenyataan yang Hendy ketahui membuatnya merasa malu. Juga kecewa karena perbincangan soal dugaan kehamilan. Bisa-bisanya Hendy punya pikiran seperti itu.

Elvira masuk kamar. Semalaman tidak bisa tidur karena ulu hatinya terasa perih. Pikirannya juga semrawut. Andai dirinya tidak pulang, apa dokter Herlina yang akan menggantikannya menjadi pengantin wanita?

Apa sebenarnya hubungan Hendy dengan wanita itu? Terlihat keluarga mertuanya juga sangat ramah pada Herlina. Tapi kenapa mereka menjodohkan Hendy dengannya. Yang jelas memiliki profesi berbeda.

Sepanjang malam, Elvira hanya bisa meringkuk. Karena itu posisi paling nyaman untuk menahan rasa sakitnya. Juga menahan sebak dalam dada.

Selain pada Ranty, pada siapa lagi ia bisa membagi laranya. Hasna? Tidak. Elvira sudah banyak menyusahkan kakak iparnya.

***L***

Jam tujuh pagi Hendy baru keluar kamar. Sepi. Kamar Elvira masih tertutup rapat. Saat ke ruang makan untuk mengambil air minum, ia melihat makanan sudah terhidang di atas meja. Masih hangat. Berarti baru matang.

Dari jendela kaca ruang makan, ia memandang keluar. Biasanya kalau hari Sabtu-Minggu begini, Elvira sibuk merawat tanaman bunganya. Namun wanita itu tidak ada di sana. Hendy melangkah ke kamar sang istri. Mengetuk berulangkali tapi tidak ada sahutan. Diputarnya handel pintu. Kamarnya kosong. Ke mana dia?

Baru saja kembali menutup pintu, Hendy mendengar suara motor memasuki garasi. Tidak lama kemudian, Elvira masuk menenteng belanjaan. Dia hanya memandang sekilas lelaki yang berdiri di depan pintu kamarnya.

"Kenapa keluar, kalau kamu masih sakit?"

"Aku sudah nggak apa-apa."

"Sepucat itu kamu bilang nggak apa-apa."

Elvira memasukkan sayuran ke dalam kulkas. Bumbu-bumbuan disimpan di kitchen set. Dia tidak mengindahkan ucapan suaminya.

"Kamu pergi dengan sukarela atau perlu kupaksa. Mama tadi malam bolak-balik nelepon tanya keadaanmu. Kamu nggak menghargai bagaimana orang tua peduli padamu."

"Maaf, kalau aku menyusahkanmu, Mas," jawab Elvira dengan suara serak. Tangisnya sudah sampai di tenggorokan.

"Kalau kamu nggak bisa minum obat, bisa lewat injeksi kan? Yang penting periksa dulu separah apa sakitmu. Apa kamu takut ketahuan kalau sedang hamil?"

"Aku nggak hamil. Aku nggak akan semurah itu," jawaban Elvira penuh emosi. "Baiklah. Aku mau ganti baju dulu." Elvira mencuci tangan kemudian masuk kamar. Wajah pucatnya terlihat murka karena tuduhan hamil tadi.

Hendy memandangi hingga tubuh itu hilang masuk kamar. Akhirnya dia mau pergi juga. Ternyata lebih gampang membujuk keponakannya minum obat daripada menyuruh Elvira. Ternyata kata 'hamil' sungguh mujarab untuk memaksa istrinya.

Beberapa menit kemudian, Elvira keluar kamar. "Aku sudah siap."

"Sarapan dulu."

"Aku sudah sarapan."

"Kalau gitu tunggu sebentar. Aku habiskan sarapanku." Sambil makan, Hendy memperhatikan perempuan yang duduk di sofa sambil manyun. Elvira kemudian memakai masker. Tampaknya bau obat sudah menghantui penciumannya.

Lima menit kemudian Hendy menghampiri dan mengambil kunci mobil. Dia tidak perlu ganti baju. Cukup celana pendek dan kaus itu saja.

"Kita berangkat sekarang."

"Kalau nanti aku diperiksa, Mas nggak usah ikut masuk."

"Kenapa? Aku kan suamimu."

Next ....

Selamat Membaca.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
klo Hendi penasaran Elvira hamil atau gk ya buktiin aja sendiri.. pasti kaget klo tahu Vira masih virgin..
goodnovel comment avatar
Yanyan
jujur aja klo masih virgin blom ada yg nyentuh ..El bikin senewen yg baca
goodnovel comment avatar
Ayu Cla
hendy pasti mengira elvira yg ngga2 ini gara² elvira kabur sblm nikah kemarin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • SEBELUM BERPISAH   7. Trauma

    SEBELUM BERPISAH - TraumaSetakut itu dia? Dengan jelas Hendy melihat wajah pucat dan mata berembun milik istrinya. Ia yakin ini bukan ketakutan biasa. Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya."El, kamu tidak harus minum obatnya. Yang penting kamu periksa. Biar tahu separah apa sakitmu." Hendy bicara dengan nada lembut. Saat itu mereka sudah duduk di ruang tunggu tempat praktek seorang dokter umum.Hendy bisa merekomendasikan obat untuk istrinya. Namun melihat kondisi Elvira seperti itu, lebih baik dibawa ke ahlinya.Sudah terlanjur siang mereka berangkat tadi, antrian banyak dan mereka harus sabar menunggu."Bentar, aku belikan roti dan air minum." Hendy bangkit dari duduknya dan menyeberang jalan ke toko depan sana.Ketika Hendy pergi, ponsel Elvira berdering. Hasna menelepon. Dia memang sepeduli itu pada adik iparnya."Halo, Assalamu'alaikum, Mbak Hasna.""Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah?""Aku lagi antri periksa. Maagku kambuh, Mbak.""Ya Allah. Sejak kapan? Pasti asam lambung itu,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • SEBELUM BERPISAH   8. Pertahankan

    SEBELUM BERPISAH - Pertahankan Jangan sampai orang tuanya tahu kalau ia pisah kamar dengan Elvira. Dengan kondisi seperti ini, belum siap kalau mereka tahu. Tidak akan selamanya begini, pasti ada waktu bagaimana ia dan Elvira akan membicarakan pernikahan ini. Hendy mengunci pintu utama sebelum mamanya bisa membuka sendiri. Dari jendela kaca, ia melihat sang mama masih menerima telepon, sedangkan papanya memperhatikan lingkungan perumahan. Tergesa Hendy mengetuk pintu kamar sang istri. "El," panggilnya. "Ya. Ada apa?" "Mama dan papa datang." Di dalam kamar. Elfira yang sudah melepaskan jilbabnya dan berbaring terkejut. Dia belum siap jika ketahuan dalam keadaan sakit seperti ini. Dilapnya air mata memakai tisu. Air mata karena kangen pada ibunya. Kemudian tergesa mengenakan kembali jilbab dan membuka pintu kamar. Pada saat yang bersamaan terdengar bel berdenting. Hendy cekatan mengunci pintu kamar istrinya dan menyimpan kunci ke dalam saku celananya. Siapa tahu mamanya me

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • SEBELUM BERPISAH   9. Menginap

    SEBELUM BERPISAH- Menginap"Ini baju Hendy semua. Kok bajumu nggak ada El?" Bu Putri keheranan sekaligus curiga saat melihat isi lemari semuanya baju putranya."Oh, ada di lemari sebelahnya, Ma. Biar nanti kuambilkan," jawab Hendy yang sudah muncul di pintu. Lelaki itu menghampiri sang mama dan dengan gerakan halus, meminta mamanya menepi supaya tidak membuka pintu sebelahnya. Hendy ingat kalau kemarin ada piyama Elvira warna hitam terikut tumpukan bajunya dan belum sempat dikembalikan pada sang istri."Nanti habis makan dan minum obat, suruh El ganti baju," ujar Bu Putri seraya keluar kamar dan kembali menutup pintu.Hendy bernapas lega. Walaupun akhirnya terbongkar, sebenarnya dia tidak perlu risau. Bukan dirinya yang memulai situasi menjadi rumit seperti ini. Elvira yang duluan kabur dan membuatnya kecewa. Hampir saja diri dan keluarganya dipermalukan di hadapan orang banyak. Di hadapan keluarga, relasi, rekan kerja, teman-temannya yang lain, bahkan dihadapan orang yang tidak ia

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • SEBELUM BERPISAH   10. Jungkir Balik 1

    SEBELUM BERPISAH- Jungkir Balik "Dari rumah sakit. Ada pasien usus buntu akut yang harus segera dilakukan tindakan operasi. Kondisi medisnya mendesak dan memerlukan penanganan segera. Aku yang sejak kemarin menangani ini dengan dokter Zani." Hendy memandang sang istri setelah membaca pesan di ponselnya.Elvira membalas tatapan, tidak tahu harus bilang apa. Bukankah selama dua bulan ini, Hendy jarang sekali meminta persetujuannya jika harus pergi dadakan."Kamu tidak apa-apa kutinggal?"Mendengar pertanyaan itu membuat Elvira tambah heran. Waktu mati lampu dia ketakutan sendirian di rumah, Hendy juga langsung pergi. Minta di antarkan ke toilet sebentar saja tidak sempat. Sampai Elvira sakit perut."Nggak apa-apa. Biasanya Mas juga langsung pergi kan, jam berapapun itu." Elvira kembali melanjutkan sketsanya. Mentang-mentang ada kedua orang tuanya, Hendy jadi perhatian."Kalau gitu, kamu segera tidur," ujarnya lantas berdiri dan masuk ke kamar mandi.Saat itu ponsel Hendy kembali berpe

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • SEBELUM BERPISAH   11. Jungkir Balik 2

    "Nggak juga, Ma." Elvira mengangkat wajah sejenak. Kemudian kembali menyuap bubur. Dua bulan ini sebenarnya dia sudah biasa ditinggal mendadak malam hari. Bahkan Hendy jarang pamit. Namun tidak akan memberitahu mertuanya daripada omelan pagi ini tidak ada habisnya. "Kalau gitu, mama nggak jadi pulang hari ini. Biar mama nungguin sampai Elvira sembuh, Pa," ujar Bu Putri yang membuat anak dan menantunya bungkam. Pak Bakti juga tidak membantah. Dia sudah pensiun. Masih memiliki bisnis, tapi ada orang kepercayaan yang menanganinya.***L***"El, kamu tidak istirahat dulu. Sakitmu itu butuh banyak istirahat," tegur Hendy dari atas pembaringan. Memandang Elvira yang masih serius menggambar. Hampir seharian mereka mendekam di kamar. Elvira sibuk dengan desain-desainnya, sedangkan Hendy tidur karena mengantuk."Aku nggak bisa tidur," jawab Elvira tanpa menoleh."Kalau nggak bisa tidur, kamu rebahan saja. Itu sudah istirahat.""Bentar lagi. Acara tinggal empat hari lagi, aku harus menyelesaik

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • SEBELUM BERPISAH   12. Malam yang Tak Direncanakan 1

    SEBELUM BERPISAH - Malam yang Tak Direncanakan Elvira memilih bersikap santai meski dadanya juga bergemuruh karena malu. Tidak ada pilihan selain memakainya. Tak mungkin akan mengenakan lagi bajunya yang sudah kotor untuk salat. Jilbab dikenakan guna menutupi bahu dan dadanya yang terbuka. Terlihat aneh memang. Dia pun tahu kalau Hendy menahan senyum. Bagaimana bisa Hendy spontan membuka pintu. Apa dia tidak ingat kalau Elvira sedang mandi. Oh, mungkin dia kaget juga mendengar jeritannya. Apalagi dirinya baru sembuh dari sakit. "Maaf, aku tadi asal ngambil saja." "Nggak apa-apa. Nanti aku bisa ganti baju yang lain." Elvira mengenakan mukena lantas salat. Setelah itu keluar untuk mengambil baju di kamarnya. Kala itu sang mertua masih duduk di teras. Elvira sudah kembali ke kamar suaminya memakai gamis warna navy dan jilbab warna senada. Tidak tampak lagi kaki jenjang Elvira yang putih bersih dan mencabar kelelakiannya. Namun ia sudah terlanjur melihatnya tadi. Elvira juga

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • SEBELUM BERPISAH   13. Malam yang Tak Direncanakan 2

    "Diminum dulu. Tinggal dua kali minum. Malam ini dan besok pagi." Hendy mengambil obat di atas meja. Sekalian dengan air minumnya. Ia mematahkan pil yang ukurannya besar menjadi tiga bagian, baru memberikannya pada sang istri.Minum obat sambil diawasi sungguh menyiksa. Elvira sampai keluar air mata. Kapan penderitaan ini selesai. Nafas, keringat, serasa bau obat semua.Usai minum obat, Elvira diam di tempat. Sampai benar-benar yakin, obat telah masuk ke perut, baru bergerak untuk berbaring di tempat tidur. Serumit itu memang. Hendy mematikan lampu utama dan mengganti dengan lampu tidur yang lebih redup. Mereka berdua terjebak dalam keheningan. Setengah jam berlalu tanpa percakapan. Suara jam dinding menjadi satu-satunya irama yang menemani mereka. Namun di luar sana, angin malam berembus sepoi menerpa dedaunan. Musim kemarau yang kering.Akhirnya, Hendy memutuskan untuk memecah kebekuan. "Kamu yakin akan pergi lusa, dengan keadaan baru sembuh begini?" Hendy bertanya."Ya. Aku sudah

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • SEBELUM BERPISAH   14. Malam yang Tak Direncanakan 3

    Sarapan pagi sudah terhidang di meja. Hendy yang sudah rapi, menghampiri istrinya dan memberinya sesuatu. "Diminum dulu obat sebelum makan.""Eh, iya."Seperti biasa. Drama kecil selalu mengiringi saat Elvira minum obat. Mereka akhirnya sarapan pagi bersama. Elvira menikmati bubur buatan mama mertuanya. "Pagi ini papa dan mama pulang, ya. El sudah sembuh. Untuk sementara makan bubur dulu. Supaya lambungmu benar-benar pulih." Bu Putri memandang Hendy dan Elvira bergantian."Kalau ke Jakarta, hati-hati. Perhatikan pola makanmu. Mama sebenarnya nggak tega, El. Tapi sayang juga kalau kesempatan ini kami lewatkan." Elvira mengangguk. Tadi malam ia memang sempat pamit kalau akan berangkat ke Jakarta untuk empat hari."Aku berangkat ke rumah sakit dulu!" Hendy menghampiri Elvira yang mengemas meja makan setelah mereka selesai sarapan."Ya." Elvira menoleh dan keduanya sama-sama tersenyum.Hendy pamitan pada papa dan mamanya.Jam sembilan, orang tua Hendy juga pulang. Tidak lama kemudian,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07

Bab terbaru

  • SEBELUM BERPISAH   194. Pernikahan 3

    Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men

  • SEBELUM BERPISAH   193. Pernikahan 2

    Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se

  • SEBELUM BERPISAH   192. Pernikahan 1

    SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga

  • SEBELUM BERPISAH   191. Satu Momen di Surabaya 3

    Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri

  • SEBELUM BERPISAH   190. Satu Momen di Surabaya 2

    Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida

  • SEBELUM BERPISAH   189. Satu Momen di Surabaya 1

    SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h

  • SEBELUM BERPISAH   188. Serius 3

    "Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk

  • SEBELUM BERPISAH   187. Serius 2

    "Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami

  • SEBELUM BERPISAH   186. Serius 1

    SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status