SEBELUM BERPISAH
- Hamil? Setelah kekacauan karena Elvira kabur dari rumah menjelang pernikahan, hingga sekarang hidupnya bisa dibilang tidak baik-baik saja. Ayahnya masih mengungkit peristiwa itu jika mereka bertemu. "Ayah nggak ingin mendengar kamu mengecewakan suamimu. Ayah menjodohkanmu dengan Hendy, demi masa depanmu. "Kalau ayah tiada, kamu punya suami yang bisa menjamin hidupmu. Kedua kakakmu memiliki tanggungjawab keluarga sendiri. Jadi kamu nggak bisa bergantung pada mereka. "Apapun masalahmu, jangan pernah kabur meninggalkan rumah suami. Hendy lelaki yang baik, nggak mungkin melakukan KDRT atau menelantarkanmu." Pasti ayahnya berpikir kalau dirinya dan Hendy baik-baik saja sekarang ini. Sejauh mana mereka paham tentang Hendy sampai nekat menjodohkannya dengan dokter itu. Elvira menghela napas panjang sambil menatap cermin. Dia sudah selesai berdandan. Tinggal menunggu Hendy selesai mandi. Sejak memutuskan kembali ke rumah dan akur dengan perjodohan, hatinya sudah dipenuhi keberanian untuk menjalani peran sebagai istri. Sayangnya, keputusan itu justru berbuah luka. Sikap Hendy yang dingin di awal, membuat Elvira surut. Dia tidak bisa diremehkan. Harus melindungi diri dan akhirnya membuat batasan. Selama dua hari sebelum pernikahan, Hasna memberinya banyak nasehat bagaimana menjadi istri yang baik. "Kamu kembali ke rumah, berarti kamu siap untuk masuk babak baru dalam hidupmu, El. Pernikahan itu ibadah terpanjang. Mungkin kamu terpaksa, tapi nanti kamu akan terbiasa." Datang Isti, istrinya Amar. Membawakan beberapa baju se*si untuknya. "Kamu pakai di malam spesialmu," ujarnya sambil tersenyum. Benar saja, dua malam Elvira memakai gaun itu dibalik kimononya. Gaun itu melekat sempurna di tubuhnya. Memperlihatkan lekuk indah yang selama ini ia sembunyikan dibalik baju muslimah. Rambutnya tergerai sebawah bahu. Lebat dan hitam. Namun sikap Hendy datar dan dingin. Setelah diajak pindah, Elvira akhirnya membuat keputusan besar. Ia tidak akan lagi memaksa dirinya berada dalam situasi yang memalukan. Malam itu, ia mengambil selimut dan bantal dari kamar mereka, lalu menuju kamar lain. Ia memutuskan untuk membuat batasan yang jelas di antara mereka, setelah dua malam penuh penghinaan halus dari Hendy yang meski tidak pernah diucapkan dengan kata-kata. Tidak ada lagi usaha dari Elvira untuk mendekati Hendy. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Berbincang seperlunya saja. Keadaan seperti ini, justru mengingatkannya pada Rizal. Andai saja mereka bisa memperjuangkan hubungan. Ada sesal, kenapa ia tidak berani menentang. "El, kita berangkat sekarang!" Hendy memanggilnya dari luar. Elvira meraih tali tas dan membuka pintu. Hendy yang memakai kaus dan celana jeans terpaku sejenak. "Ada apa, Mas? Ada yang salah?" Elvira memperhatikan gamis yang dipakainya. "Baju ini baru selesai kujahit. Bagus, kan?" "Hmmm," gumam Hendy datar lantas melangkah keluar. Membiarkan senyum Elvira tak berbalas. Elvira mengekori di belakang. Jangan harap mendapatkan pujian 'cantik' dari makhluk di depannya ini. Walaupun dia sempat terkesima tadi. Dia pria aneh. Kadang kaku, kadang juga mau bicara. Mereka mampir ke toko untuk membeli kado. Dan sampai rumah Ema, para undangan sudah pada datang semua. Elvira menjadi pusat perhatian. Dia tampil cantik dengan make up flawes. Gamis warna sage dengan aksen tali warna coklat susu di pinggang. Dia pecinta pakaian simpel. Namun Elvira memiliki aura, daya pikat yang tidak bisa dibantah. Untuk itu dia selalu sedap dipandang meski pakaiannya sangat tertutup. Setelah memberikan kado pada Tristan, Elvira menyalami kedua mertua dan para kerabat di sana. Mama mertuanya memeluk erat. "Kamu cantik banget, El." "Makasih, Ma." Senang sekali dapat pujian dari mama mertuanya. Untuk hadir di malam itu, Elvira benar-benar berjuang menekan rasa mual dan tak nyaman pada lambungnya. Sungguh tersiksa sebenarnya. "Hai, Elvira," sapa seorang wanita cantik yang memakai gaun warna biru muda dengan panjang lima senti di bawah lutut. Oh, dia sangat seksi juga dengan pakaian yang menampilkan betis indahnya. "Dokter Herlina, apa kabar?" Tak kalah ramah, Elvira bersalaman dan mencium pipi wanita itu. Benar, kan? Dokter itu pasti datang. Tiap kali ada operasi cesar, pasti ada dokter kandungan, dokter anak, juga dokter anestesi yang menjadi tim dalam ruangan. Tidak heran kalau mereka begitu akrab. Tidak ada susunan acara resmi, hanya potong kue dan foto bersama. Namun acara cukup meriah. Banyak rekan dokter yang datang membawa anak-anak mereka. Besok hari Sabtu. Sebagian instasi memang libur. "Hen, nih kesukaanmu." Herlina membawa sepiring pastel dan diletakkan di depan mereka. Kesukaanmu katanya. Dari sini Elvira melihat betapa akrabnya sang suami dan dokter cantik itu. Elvira tahu pekerjaan sebagai dokter memang menuntut, tetapi ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar urusan profesional. Apalagi sekarang mereka bukan sedang bekerja. "Sebentar, aku ambilkan tisu." Herlina bangkit mengambil kotak tisu saat kaus Hendy kena tumpahan kopi yang diminumnya. Namun saat kembali, Elvira sudah membantu suaminya mengelap kaus menggunakan tisu basah yang selalu tersedia di tasnya. Raut wajah Herlina tidak terbaca. "Mas, mau ganti baju? Biar kuambilkan kaus di mobil?" tanya Elvira dengan begitu manis. Kebiasaan Hendy menaruh kaus atau kemeja bersih di mobilnya. Jika diperlukan untuk ganti sewaktu-waktu. "Tidak usah." "Kalian nggak makan, ayo makan dulu. Elvira, Nak Herlina." Bu Putri, mamanya Hendy menghampiri. "Hen, makan dulu," lanjutnya seraya memandang sang putra. Elvira sebenarnya tidak ingin makan, melihat semua makanan berlemak itu terasa mau muntah saja. Namun terpaksa mengikuti suaminya. Sedangkan Herlina, jeda beberapa saat baru menyusul. Hendy mengajak duduk di teras samping. Berkumpul bersama rekan-rekan seprofesi. Herlina bergabung. Pembicaraan mereka tidak jauh dari segala seluk beluk rumah sakit. Herlina begitu bebas bercanda dengan Hendy. Sampai tertawa lepas begitu. Elvira diam karena itu bukan dunianya dan tidak bisa ikut bicara. Dan selucu apapun dia tidak bisa tertawa. Sebab tidak paham dengan percakapan mereka. Dia benar-benar asing di sana. "Mas, aku ke belakang sebentar," pamit Elvira sambil membawa piringnya yang masih penuh makanan. Elvira termenung di depan wastafel depan pintu kamar mandi. Perutnya terasa teraduk-aduk. Seperti perasaannya. Ayahnya bilang, ini demi kebaikannya. Tapi kenyataannya memasukkan Elvira di dunia yang salah. Suami yang tidak memiliki cinta, hanya sekedar rasa tanggungjawab. Apa sesungguhnya mereka terjebak pada hubungan yang sama-sama tidak diinginkan. Rasa sakit dan perih itu membuat wajah, tangan, bahkan tubuh Elvira basah berkeringat. Rasa hendak muntah tapi tidak bisa. Hanya mual yang terasa mengaduk-aduk dan menyiksa. Terakhir maagnya kambuh separah ini, kira-kira empat tahun yang lalu. Sudah lama. Biasanya kalau perih, Elvira banyak ngemil dan minum air hangat. Terus cukup istirahat. "El, kamu kenapa?" Bu Putri kaget dan menghampiri. "Kamu sakit, pucet gitu? Kamu lagi hamil?" "Oh nggak, Ma. Maag saya kambuh." "Beneran? Jangan-jangan kamu hamil." Bu Putri menoleh pada ART yang tengah memotong buah. "Mbak, tolong panggilkan Mas Hendy di depan." "Njih, Bu." Wanita setengah baya itu meletakkan pisau dan tergesa ke depan. Tidak lama Hendy datang. "Kamu nggak tahu istrimu sakit?" tanya Bu Putri saat melihat anaknya tampak biasa saja. Bukankah Elvira ditanya katanya tidak apa-apa. "Mungkin istrimu lagi hamil, Hen." Hendy terkesiap dan memandang lekat istrinya. Seolah minta penjelasan, dengan siapa Elvira hamil sedangkan dirinya belum pernah menyentuh. "Maag saya kambuh, Ma. Bukan hamil," bantah Elvira dengan suara lemah. "Sudah minum obat?" Elvira menggeleng. Namun ia menyesal kenapa tidak mengangguk saja biar tidak dipaksa minum obat. Inilah kenapa dia berusaha jangan sampai sakit. Karena tidak bisa minum obat. Namun semenjak pernikahan, Elvira banyak pikiran yang memicu asal lambungnya naik. Bisa jadi ini bukan maag. "Kamu periksakan istrimu, jangan sampai minum obat sembarangan. Mama khawatir kalau dia lagi hamil." "Ada dokter Herlina, Ma. Bisa minta tolong untuk memeriksa El." Ema tiba-tiba sudah ada di antara mereka. Next .... Selamat Membaca 🥰SEBELUM BERPISAH - Aku Tahu "Aku nggak hamil, Mbak. Nggak usah diperiksa. Beneran aku nggak hamil. Maagku memang kambuh sejak semalam." Elvira keukeh tidak mau. Herlina tercekat di ambang pintu. Elvira hamil? Ada bias kecewa yang terlihat jelas di wajahnya. Yang ia dengar hanya kata 'hamil' saja. "Nggak ada salahnya diperiksa, El. Banyak perempuan mengira kembung biasa, ternyata sedang hamil." Ema keukeh dengan pendapatnya. Sedangkan Elvira sudah tak berdaya membantah. Tubuhnya terasa lemas. Terserah mereka bicara apa. Sedangkan Hendy sendiri juga bingung. Mana mungkin istrinya hamil? "Kalau gitu, besok kamu ikut Hendy ke rumah sakit untuk periksa. Siapa tahu lagi isi. Gejala orang hamil itu macam-macam, El. Seperti yang dibilang Ema tadi." Bu Putri membimbing sang menantu masuk ke salah satu kamar di rumah putrinya. Hendy juga ikut masuk. Ema mengajak Herlina kembali ke depan. "Kamu istirahat di sini." Elvira dibimbing untuk berbaring. Sang mama mertua terlalu yakin kal
SEBELUM BERPISAH - TraumaSetakut itu dia? Dengan jelas Hendy melihat wajah pucat dan mata berembun milik istrinya. Ia yakin ini bukan ketakutan biasa. Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya."El, kamu tidak harus minum obatnya. Yang penting kamu periksa. Biar tahu separah apa sakitmu." Hendy bicara dengan nada lembut. Saat itu mereka sudah duduk di ruang tunggu tempat praktek seorang dokter umum.Hendy bisa merekomendasikan obat untuk istrinya. Namun melihat kondisi Elvira seperti itu, lebih baik dibawa ke ahlinya.Sudah terlanjur siang mereka berangkat tadi, antrian banyak dan mereka harus sabar menunggu."Bentar, aku belikan roti dan air minum." Hendy bangkit dari duduknya dan menyeberang jalan ke toko depan sana.Ketika Hendy pergi, ponsel Elvira berdering. Hasna menelepon. Dia memang sepeduli itu pada adik iparnya."Halo, Assalamu'alaikum, Mbak Hasna.""Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah?""Aku lagi antri periksa. Maagku kambuh, Mbak.""Ya Allah. Sejak kapan? Pasti asam lambung itu,
SEBELUM BERPISAH - Pertahankan Jangan sampai orang tuanya tahu kalau ia pisah kamar dengan Elvira. Dengan kondisi seperti ini, belum siap kalau mereka tahu. Tidak akan selamanya begini, pasti ada waktu bagaimana ia dan Elvira akan membicarakan pernikahan ini. Hendy mengunci pintu utama sebelum mamanya bisa membuka sendiri. Dari jendela kaca, ia melihat sang mama masih menerima telepon, sedangkan papanya memperhatikan lingkungan perumahan. Tergesa Hendy mengetuk pintu kamar sang istri. "El," panggilnya. "Ya. Ada apa?" "Mama dan papa datang." Di dalam kamar. Elfira yang sudah melepaskan jilbabnya dan berbaring terkejut. Dia belum siap jika ketahuan dalam keadaan sakit seperti ini. Dilapnya air mata memakai tisu. Air mata karena kangen pada ibunya. Kemudian tergesa mengenakan kembali jilbab dan membuka pintu kamar. Pada saat yang bersamaan terdengar bel berdenting. Hendy cekatan mengunci pintu kamar istrinya dan menyimpan kunci ke dalam saku celananya. Siapa tahu mamanya me
SEBELUM BERPISAH- Menginap"Ini baju Hendy semua. Kok bajumu nggak ada El?" Bu Putri keheranan sekaligus curiga saat melihat isi lemari semuanya baju putranya."Oh, ada di lemari sebelahnya, Ma. Biar nanti kuambilkan," jawab Hendy yang sudah muncul di pintu. Lelaki itu menghampiri sang mama dan dengan gerakan halus, meminta mamanya menepi supaya tidak membuka pintu sebelahnya. Hendy ingat kalau kemarin ada piyama Elvira warna hitam terikut tumpukan bajunya dan belum sempat dikembalikan pada sang istri."Nanti habis makan dan minum obat, suruh El ganti baju," ujar Bu Putri seraya keluar kamar dan kembali menutup pintu.Hendy bernapas lega. Walaupun akhirnya terbongkar, sebenarnya dia tidak perlu risau. Bukan dirinya yang memulai situasi menjadi rumit seperti ini. Elvira yang duluan kabur dan membuatnya kecewa. Hampir saja diri dan keluarganya dipermalukan di hadapan orang banyak. Di hadapan keluarga, relasi, rekan kerja, teman-temannya yang lain, bahkan dihadapan orang yang tidak ia
SEBELUM BERPISAH- Jungkir Balik "Dari rumah sakit. Ada pasien usus buntu akut yang harus segera dilakukan tindakan operasi. Kondisi medisnya mendesak dan memerlukan penanganan segera. Aku yang sejak kemarin menangani ini dengan dokter Zani." Hendy memandang sang istri setelah membaca pesan di ponselnya.Elvira membalas tatapan, tidak tahu harus bilang apa. Bukankah selama dua bulan ini, Hendy jarang sekali meminta persetujuannya jika harus pergi dadakan."Kamu tidak apa-apa kutinggal?"Mendengar pertanyaan itu membuat Elvira tambah heran. Waktu mati lampu dia ketakutan sendirian di rumah, Hendy juga langsung pergi. Minta di antarkan ke toilet sebentar saja tidak sempat. Sampai Elvira sakit perut."Nggak apa-apa. Biasanya Mas juga langsung pergi kan, jam berapapun itu." Elvira kembali melanjutkan sketsanya. Mentang-mentang ada kedua orang tuanya, Hendy jadi perhatian."Kalau gitu, kamu segera tidur," ujarnya lantas berdiri dan masuk ke kamar mandi.Saat itu ponsel Hendy kembali berpe
"Nggak juga, Ma." Elvira mengangkat wajah sejenak. Kemudian kembali menyuap bubur. Dua bulan ini sebenarnya dia sudah biasa ditinggal mendadak malam hari. Bahkan Hendy jarang pamit. Namun tidak akan memberitahu mertuanya daripada omelan pagi ini tidak ada habisnya. "Kalau gitu, mama nggak jadi pulang hari ini. Biar mama nungguin sampai Elvira sembuh, Pa," ujar Bu Putri yang membuat anak dan menantunya bungkam. Pak Bakti juga tidak membantah. Dia sudah pensiun. Masih memiliki bisnis, tapi ada orang kepercayaan yang menanganinya.***L***"El, kamu tidak istirahat dulu. Sakitmu itu butuh banyak istirahat," tegur Hendy dari atas pembaringan. Memandang Elvira yang masih serius menggambar. Hampir seharian mereka mendekam di kamar. Elvira sibuk dengan desain-desainnya, sedangkan Hendy tidur karena mengantuk."Aku nggak bisa tidur," jawab Elvira tanpa menoleh."Kalau nggak bisa tidur, kamu rebahan saja. Itu sudah istirahat.""Bentar lagi. Acara tinggal empat hari lagi, aku harus menyelesaik
SEBELUM BERPISAH - Malam yang Tak Direncanakan Elvira memilih bersikap santai meski dadanya juga bergemuruh karena malu. Tidak ada pilihan selain memakainya. Tak mungkin akan mengenakan lagi bajunya yang sudah kotor untuk salat. Jilbab dikenakan guna menutupi bahu dan dadanya yang terbuka. Terlihat aneh memang. Dia pun tahu kalau Hendy menahan senyum. Bagaimana bisa Hendy spontan membuka pintu. Apa dia tidak ingat kalau Elvira sedang mandi. Oh, mungkin dia kaget juga mendengar jeritannya. Apalagi dirinya baru sembuh dari sakit. "Maaf, aku tadi asal ngambil saja." "Nggak apa-apa. Nanti aku bisa ganti baju yang lain." Elvira mengenakan mukena lantas salat. Setelah itu keluar untuk mengambil baju di kamarnya. Kala itu sang mertua masih duduk di teras. Elvira sudah kembali ke kamar suaminya memakai gamis warna navy dan jilbab warna senada. Tidak tampak lagi kaki jenjang Elvira yang putih bersih dan mencabar kelelakiannya. Namun ia sudah terlanjur melihatnya tadi. Elvira juga
"Diminum dulu. Tinggal dua kali minum. Malam ini dan besok pagi." Hendy mengambil obat di atas meja. Sekalian dengan air minumnya. Ia mematahkan pil yang ukurannya besar menjadi tiga bagian, baru memberikannya pada sang istri.Minum obat sambil diawasi sungguh menyiksa. Elvira sampai keluar air mata. Kapan penderitaan ini selesai. Nafas, keringat, serasa bau obat semua.Usai minum obat, Elvira diam di tempat. Sampai benar-benar yakin, obat telah masuk ke perut, baru bergerak untuk berbaring di tempat tidur. Serumit itu memang. Hendy mematikan lampu utama dan mengganti dengan lampu tidur yang lebih redup. Mereka berdua terjebak dalam keheningan. Setengah jam berlalu tanpa percakapan. Suara jam dinding menjadi satu-satunya irama yang menemani mereka. Namun di luar sana, angin malam berembus sepoi menerpa dedaunan. Musim kemarau yang kering.Akhirnya, Hendy memutuskan untuk memecah kebekuan. "Kamu yakin akan pergi lusa, dengan keadaan baru sembuh begini?" Hendy bertanya."Ya. Aku sudah
Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men
Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se
SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga
Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri
Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida
SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h
"Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk
"Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami
SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san