SEBELUM BERPISAH
- Hamil? Setelah kekacauan karena Elvira kabur dari rumah menjelang pernikahan, hingga sekarang hidupnya bisa dibilang tidak baik-baik saja. Ayahnya masih mengungkit peristiwa itu jika mereka bertemu. "Ayah nggak ingin mendengar kamu mengecewakan suamimu. Ayah menjodohkanmu dengan Hendy, demi masa depanmu. "Kalau ayah tiada, kamu punya suami yang bisa menjamin hidupmu. Kedua kakakmu memiliki tanggungjawab keluarga sendiri. Jadi kamu nggak bisa bergantung pada mereka. "Apapun masalahmu, jangan pernah kabur meninggalkan rumah suami. Hendy lelaki yang baik, nggak mungkin melakukan KDRT atau menelantarkanmu." Pasti ayahnya berpikir kalau dirinya dan Hendy baik-baik saja sekarang ini. Sejauh mana mereka paham tentang Hendy sampai nekat menjodohkannya dengan dokter itu. Elvira menghela napas panjang sambil menatap cermin. Dia sudah selesai berdandan. Tinggal menunggu Hendy selesai mandi. Sejak memutuskan kembali ke rumah dan akur dengan perjodohan, hatinya sudah dipenuhi keberanian untuk menjalani peran sebagai istri. Sayangnya, keputusan itu justru berbuah luka. Sikap Hendy yang dingin di awal, membuat Elvira surut. Dia tidak bisa diremehkan. Harus melindungi diri dan akhirnya membuat batasan. Selama dua hari sebelum pernikahan, Hasna memberinya banyak nasehat bagaimana menjadi istri yang baik. "Kamu kembali ke rumah, berarti kamu siap untuk masuk babak baru dalam hidupmu, El. Pernikahan itu ibadah terpanjang. Mungkin kamu terpaksa, tapi nanti kamu akan terbiasa." Datang Isti, istrinya Amar. Membawakan beberapa baju se*si untuknya. "Kamu pakai di malam spesialmu," ujarnya sambil tersenyum. Benar saja, dua malam Elvira memakai gaun itu dibalik kimononya. Gaun itu melekat sempurna di tubuhnya. Memperlihatkan lekuk indah yang selama ini ia sembunyikan dibalik baju muslimah. Rambutnya tergerai sebawah bahu. Lebat dan hitam. Namun sikap Hendy datar dan dingin. Setelah diajak pindah, Elvira akhirnya membuat keputusan besar. Ia tidak akan lagi memaksa dirinya berada dalam situasi yang memalukan. Malam itu, ia mengambil selimut dan bantal dari kamar mereka, lalu menuju kamar lain. Ia memutuskan untuk membuat batasan yang jelas di antara mereka, setelah dua malam penuh penghinaan halus dari Hendy yang meski tidak pernah diucapkan dengan kata-kata. Tidak ada lagi usaha dari Elvira untuk mendekati Hendy. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Berbincang seperlunya saja. Keadaan seperti ini, justru mengingatkannya pada Rizal. Andai saja mereka bisa memperjuangkan hubungan. Ada sesal, kenapa ia tidak berani menentang. "El, kita berangkat sekarang!" Hendy memanggilnya dari luar. Elvira meraih tali tas dan membuka pintu. Hendy yang memakai kaus dan celana jeans terpaku sejenak. "Ada apa, Mas? Ada yang salah?" Elvira memperhatikan gamis yang dipakainya. "Baju ini baru selesai kujahit. Bagus, kan?" "Hmmm," gumam Hendy datar lantas melangkah keluar. Membiarkan senyum Elvira tak berbalas. Elvira mengekori di belakang. Jangan harap mendapatkan pujian 'cantik' dari makhluk di depannya ini. Walaupun dia sempat terkesima tadi. Dia pria aneh. Kadang kaku, kadang juga mau bicara. Mereka mampir ke toko untuk membeli kado. Dan sampai rumah Ema, para undangan sudah pada datang semua. Elvira menjadi pusat perhatian. Dia tampil cantik dengan make up flawes. Gamis warna sage dengan aksen tali warna coklat susu di pinggang. Dia pecinta pakaian simpel. Namun Elvira memiliki aura, daya pikat yang tidak bisa dibantah. Untuk itu dia selalu sedap dipandang meski pakaiannya sangat tertutup. Setelah memberikan kado pada Tristan, Elvira menyalami kedua mertua dan para kerabat di sana. Mama mertuanya memeluk erat. "Kamu cantik banget, El." "Makasih, Ma." Senang sekali dapat pujian dari mama mertuanya. Untuk hadir di malam itu, Elvira benar-benar berjuang menekan rasa mual dan tak nyaman pada lambungnya. Sungguh tersiksa sebenarnya. "Hai, Elvira," sapa seorang wanita cantik yang memakai gaun warna biru muda dengan panjang lima senti di bawah lutut. Oh, dia sangat seksi juga dengan pakaian yang menampilkan betis indahnya. "Dokter Herlina, apa kabar?" Tak kalah ramah, Elvira bersalaman dan mencium pipi wanita itu. Benar, kan? Dokter itu pasti datang. Tiap kali ada operasi cesar, pasti ada dokter kandungan, dokter anak, juga dokter anestesi yang menjadi tim dalam ruangan. Tidak heran kalau mereka begitu akrab. Tidak ada susunan acara resmi, hanya potong kue dan foto bersama. Namun acara cukup meriah. Banyak rekan dokter yang datang membawa anak-anak mereka. Besok hari Sabtu. Sebagian instasi memang libur. "Hen, nih kesukaanmu." Herlina membawa sepiring pastel dan diletakkan di depan mereka. Kesukaanmu katanya. Dari sini Elvira melihat betapa akrabnya sang suami dan dokter cantik itu. Elvira tahu pekerjaan sebagai dokter memang menuntut, tetapi ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar urusan profesional. Apalagi sekarang mereka bukan sedang bekerja. "Sebentar, aku ambilkan tisu." Herlina bangkit mengambil kotak tisu saat kaus Hendy kena tumpahan kopi yang diminumnya. Namun saat kembali, Elvira sudah membantu suaminya mengelap kaus menggunakan tisu basah yang selalu tersedia di tasnya. Raut wajah Herlina tidak terbaca. "Mas, mau ganti baju? Biar kuambilkan kaus di mobil?" tanya Elvira dengan begitu manis. Kebiasaan Hendy menaruh kaus atau kemeja bersih di mobilnya. Jika diperlukan untuk ganti sewaktu-waktu. "Tidak usah." "Kalian nggak makan, ayo makan dulu. Elvira, Nak Herlina." Bu Putri, mamanya Hendy menghampiri. "Hen, makan dulu," lanjutnya seraya memandang sang putra. Elvira sebenarnya tidak ingin makan, melihat semua makanan berlemak itu terasa mau muntah saja. Namun terpaksa mengikuti suaminya. Sedangkan Herlina, jeda beberapa saat baru menyusul. Hendy mengajak duduk di teras samping. Berkumpul bersama rekan-rekan seprofesi. Herlina bergabung. Pembicaraan mereka tidak jauh dari segala seluk beluk rumah sakit. Herlina begitu bebas bercanda dengan Hendy. Sampai tertawa lepas begitu. Elvira diam karena itu bukan dunianya dan tidak bisa ikut bicara. Dan selucu apapun dia tidak bisa tertawa. Sebab tidak paham dengan percakapan mereka. Dia benar-benar asing di sana. "Mas, aku ke belakang sebentar," pamit Elvira sambil membawa piringnya yang masih penuh makanan. Elvira termenung di depan wastafel depan pintu kamar mandi. Perutnya terasa teraduk-aduk. Seperti perasaannya. Ayahnya bilang, ini demi kebaikannya. Tapi kenyataannya memasukkan Elvira di dunia yang salah. Suami yang tidak memiliki cinta, hanya sekedar rasa tanggungjawab. Apa sesungguhnya mereka terjebak pada hubungan yang sama-sama tidak diinginkan. Rasa sakit dan perih itu membuat wajah, tangan, bahkan tubuh Elvira basah berkeringat. Rasa hendak muntah tapi tidak bisa. Hanya mual yang terasa mengaduk-aduk dan menyiksa. Terakhir maagnya kambuh separah ini, kira-kira empat tahun yang lalu. Sudah lama. Biasanya kalau perih, Elvira banyak ngemil dan minum air hangat. Terus cukup istirahat. "El, kamu kenapa?" Bu Putri kaget dan menghampiri. "Kamu sakit, pucet gitu? Kamu lagi hamil?" "Oh nggak, Ma. Maag saya kambuh." "Beneran? Jangan-jangan kamu hamil." Bu Putri menoleh pada ART yang tengah memotong buah. "Mbak, tolong panggilkan Mas Hendy di depan." "Njih, Bu." Wanita setengah baya itu meletakkan pisau dan tergesa ke depan. Tidak lama Hendy datang. "Kamu nggak tahu istrimu sakit?" tanya Bu Putri saat melihat anaknya tampak biasa saja. Bukankah Elvira ditanya katanya tidak apa-apa. "Mungkin istrimu lagi hamil, Hen." Hendy terkesiap dan memandang lekat istrinya. Seolah minta penjelasan, dengan siapa Elvira hamil sedangkan dirinya belum pernah menyentuh. "Maag saya kambuh, Ma. Bukan hamil," bantah Elvira dengan suara lemah. "Sudah minum obat?" Elvira menggeleng. Namun ia menyesal kenapa tidak mengangguk saja biar tidak dipaksa minum obat. Inilah kenapa dia berusaha jangan sampai sakit. Karena tidak bisa minum obat. Namun semenjak pernikahan, Elvira banyak pikiran yang memicu asal lambungnya naik. Bisa jadi ini bukan maag. "Kamu periksakan istrimu, jangan sampai minum obat sembarangan. Mama khawatir kalau dia lagi hamil." "Ada dokter Herlina, Ma. Bisa minta tolong untuk memeriksa El." Ema tiba-tiba sudah ada di antara mereka. Next .... Selamat Membaca 🥰SEBELUM BERPISAH - Aku Tahu "Aku nggak hamil, Mbak. Nggak usah diperiksa. Beneran aku nggak hamil. Maagku memang kambuh sejak semalam." Elvira keukeh tidak mau. Herlina tercekat di ambang pintu. Elvira hamil? Ada bias kecewa yang terlihat jelas di wajahnya. Yang ia dengar hanya kata 'hamil' saja. "Nggak ada salahnya diperiksa, El. Banyak perempuan mengira kembung biasa, ternyata sedang hamil." Ema keukeh dengan pendapatnya. Sedangkan Elvira sudah tak berdaya membantah. Tubuhnya terasa lemas. Terserah mereka bicara apa. Sedangkan Hendy sendiri juga bingung. Mana mungkin istrinya hamil? "Kalau gitu, besok kamu ikut Hendy ke rumah sakit untuk periksa. Siapa tahu lagi isi. Gejala orang hamil itu macam-macam, El. Seperti yang dibilang Ema tadi." Bu Putri membimbing sang menantu masuk ke salah satu kamar di rumah putrinya. Hendy juga ikut masuk. Ema mengajak Herlina kembali ke depan. "Kamu istirahat di sini." Elvira dibimbing untuk berbaring. Sang mama mertua terlalu yakin kal
SEBELUM BERPISAH - TraumaSetakut itu dia? Dengan jelas Hendy melihat wajah pucat dan mata berembun milik istrinya. Ia yakin ini bukan ketakutan biasa. Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya."El, kamu tidak harus minum obatnya. Yang penting kamu periksa. Biar tahu separah apa sakitmu." Hendy bicara dengan nada lembut. Saat itu mereka sudah duduk di ruang tunggu tempat praktek seorang dokter umum.Hendy bisa merekomendasikan obat untuk istrinya. Namun melihat kondisi Elvira seperti itu, lebih baik dibawa ke ahlinya.Sudah terlanjur siang mereka berangkat tadi, antrian banyak dan mereka harus sabar menunggu."Bentar, aku belikan roti dan air minum." Hendy bangkit dari duduknya dan menyeberang jalan ke toko depan sana.Ketika Hendy pergi, ponsel Elvira berdering. Hasna menelepon. Dia memang sepeduli itu pada adik iparnya."Halo, Assalamu'alaikum, Mbak Hasna.""Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah?""Aku lagi antri periksa. Maagku kambuh, Mbak.""Ya Allah. Sejak kapan? Pasti asam lambung itu,
SEBELUM BERPISAH - Pertahankan Jangan sampai orang tuanya tahu kalau ia pisah kamar dengan Elvira. Dengan kondisi seperti ini, belum siap kalau mereka tahu. Tidak akan selamanya begini, pasti ada waktu bagaimana ia dan Elvira akan membicarakan pernikahan ini. Hendy mengunci pintu utama sebelum mamanya bisa membuka sendiri. Dari jendela kaca, ia melihat sang mama masih menerima telepon, sedangkan papanya memperhatikan lingkungan perumahan. Tergesa Hendy mengetuk pintu kamar sang istri. "El," panggilnya. "Ya. Ada apa?" "Mama dan papa datang." Di dalam kamar. Elfira yang sudah melepaskan jilbabnya dan berbaring terkejut. Dia belum siap jika ketahuan dalam keadaan sakit seperti ini. Dilapnya air mata memakai tisu. Air mata karena kangen pada ibunya. Kemudian tergesa mengenakan kembali jilbab dan membuka pintu kamar. Pada saat yang bersamaan terdengar bel berdenting. Hendy cekatan mengunci pintu kamar istrinya dan menyimpan kunci ke dalam saku celananya. Siapa tahu mamanya me
SEBELUM BERPISAH- Menginap"Ini baju Hendy semua. Kok bajumu nggak ada El?" Bu Putri keheranan sekaligus curiga saat melihat isi lemari semuanya baju putranya."Oh, ada di lemari sebelahnya, Ma. Biar nanti kuambilkan," jawab Hendy yang sudah muncul di pintu. Lelaki itu menghampiri sang mama dan dengan gerakan halus, meminta mamanya menepi supaya tidak membuka pintu sebelahnya. Hendy ingat kalau kemarin ada piyama Elvira warna hitam terikut tumpukan bajunya dan belum sempat dikembalikan pada sang istri."Nanti habis makan dan minum obat, suruh El ganti baju," ujar Bu Putri seraya keluar kamar dan kembali menutup pintu.Hendy bernapas lega. Walaupun akhirnya terbongkar, sebenarnya dia tidak perlu risau. Bukan dirinya yang memulai situasi menjadi rumit seperti ini. Elvira yang duluan kabur dan membuatnya kecewa. Hampir saja diri dan keluarganya dipermalukan di hadapan orang banyak. Di hadapan keluarga, relasi, rekan kerja, teman-temannya yang lain, bahkan dihadapan orang yang tidak ia
SEBELUM BERPISAH- Jungkir Balik "Dari rumah sakit. Ada pasien usus buntu akut yang harus segera dilakukan tindakan operasi. Kondisi medisnya mendesak dan memerlukan penanganan segera. Aku yang sejak kemarin menangani ini dengan dokter Zani." Hendy memandang sang istri setelah membaca pesan di ponselnya.Elvira membalas tatapan, tidak tahu harus bilang apa. Bukankah selama dua bulan ini, Hendy jarang sekali meminta persetujuannya jika harus pergi dadakan."Kamu tidak apa-apa kutinggal?"Mendengar pertanyaan itu membuat Elvira tambah heran. Waktu mati lampu dia ketakutan sendirian di rumah, Hendy juga langsung pergi. Minta di antarkan ke toilet sebentar saja tidak sempat. Sampai Elvira sakit perut."Nggak apa-apa. Biasanya Mas juga langsung pergi kan, jam berapapun itu." Elvira kembali melanjutkan sketsanya. Mentang-mentang ada kedua orang tuanya, Hendy jadi perhatian."Kalau gitu, kamu segera tidur," ujarnya lantas berdiri dan masuk ke kamar mandi.Saat itu ponsel Hendy kembali berpe
"Nggak juga, Ma." Elvira mengangkat wajah sejenak. Kemudian kembali menyuap bubur. Dua bulan ini sebenarnya dia sudah biasa ditinggal mendadak malam hari. Bahkan Hendy jarang pamit. Namun tidak akan memberitahu mertuanya daripada omelan pagi ini tidak ada habisnya. "Kalau gitu, mama nggak jadi pulang hari ini. Biar mama nungguin sampai Elvira sembuh, Pa," ujar Bu Putri yang membuat anak dan menantunya bungkam. Pak Bakti juga tidak membantah. Dia sudah pensiun. Masih memiliki bisnis, tapi ada orang kepercayaan yang menanganinya.***L***"El, kamu tidak istirahat dulu. Sakitmu itu butuh banyak istirahat," tegur Hendy dari atas pembaringan. Memandang Elvira yang masih serius menggambar. Hampir seharian mereka mendekam di kamar. Elvira sibuk dengan desain-desainnya, sedangkan Hendy tidur karena mengantuk."Aku nggak bisa tidur," jawab Elvira tanpa menoleh."Kalau nggak bisa tidur, kamu rebahan saja. Itu sudah istirahat.""Bentar lagi. Acara tinggal empat hari lagi, aku harus menyelesaik
SEBELUM BERPISAH - Malam yang Tak Direncanakan Elvira memilih bersikap santai meski dadanya juga bergemuruh karena malu. Tidak ada pilihan selain memakainya. Tak mungkin akan mengenakan lagi bajunya yang sudah kotor untuk salat. Jilbab dikenakan guna menutupi bahu dan dadanya yang terbuka. Terlihat aneh memang. Dia pun tahu kalau Hendy menahan senyum. Bagaimana bisa Hendy spontan membuka pintu. Apa dia tidak ingat kalau Elvira sedang mandi. Oh, mungkin dia kaget juga mendengar jeritannya. Apalagi dirinya baru sembuh dari sakit. "Maaf, aku tadi asal ngambil saja." "Nggak apa-apa. Nanti aku bisa ganti baju yang lain." Elvira mengenakan mukena lantas salat. Setelah itu keluar untuk mengambil baju di kamarnya. Kala itu sang mertua masih duduk di teras. Elvira sudah kembali ke kamar suaminya memakai gamis warna navy dan jilbab warna senada. Tidak tampak lagi kaki jenjang Elvira yang putih bersih dan mencabar kelelakiannya. Namun ia sudah terlanjur melihatnya tadi. Elvira juga
"Diminum dulu. Tinggal dua kali minum. Malam ini dan besok pagi." Hendy mengambil obat di atas meja. Sekalian dengan air minumnya. Ia mematahkan pil yang ukurannya besar menjadi tiga bagian, baru memberikannya pada sang istri.Minum obat sambil diawasi sungguh menyiksa. Elvira sampai keluar air mata. Kapan penderitaan ini selesai. Nafas, keringat, serasa bau obat semua.Usai minum obat, Elvira diam di tempat. Sampai benar-benar yakin, obat telah masuk ke perut, baru bergerak untuk berbaring di tempat tidur. Serumit itu memang. Hendy mematikan lampu utama dan mengganti dengan lampu tidur yang lebih redup. Mereka berdua terjebak dalam keheningan. Setengah jam berlalu tanpa percakapan. Suara jam dinding menjadi satu-satunya irama yang menemani mereka. Namun di luar sana, angin malam berembus sepoi menerpa dedaunan. Musim kemarau yang kering.Akhirnya, Hendy memutuskan untuk memecah kebekuan. "Kamu yakin akan pergi lusa, dengan keadaan baru sembuh begini?" Hendy bertanya."Ya. Aku sudah
Lelaki itu mengambil ponsel dari saku celana saat ada bunyi notifikasi. Membuka benda itu sambil melangkah di lorong rumah sakit. Kembali ada email masuk yang mengirim foto Elvira dan Rizal. Ketenangannya terusik oleh hal-hal begini. Padahal hubungannya dengan sang istri mulai menghangat belakangan ini. Ia mencurigai Herlina. Dia begitu yakin kalau pelakunya adalah wanita itu. Tidak sulit bagi Herlina untuk mendapatkan foto-foto mereka, entah bagaimana itu caranya.Hendy terus melangkah ke parkiran. Dia tidak akan membiarkan, tapi bukan sekarang. Pasti akan ada waktu yang tepat untuk menegurnya. Kendati mereka masih bertemu setiap hari.Kalau sampai Herlina tahu Elvira berhenti kerja, memang dia membayar orang untuk mencari informasi itu.Sesampainya di rumah, Elvira sudah menyambutnya di depan pintu. Senyum wanita itu merekah, menyembunyikan apa yang terjadi tadi siang. "Aku khawatir Mas pulang malam, padahal aku sudah masak sup iga kesukaan, Mas." "Kalau pulang telat, Mas pasti
"Aku sedih banget. Selama ini kita selalu bersama-sama. Sekolah, kuliah, jalan-jalan, kerja, selalu barengan." Mata Ranty memerah.Elvira tersenyum getir lantas memandang Ranty. "Nggak selamanya selalu bersama, Ran. Tapi kita masih bisa bertemu, berkomunikasi, meski sudah nggak menjadi rekan kerja lagi. "Kalau bukan aku, pasti kamu juga bisa memutuskan hal begini jika ada sesuatu yang membuatmu harus pergi. Dengan Rizal pun sama. Setelah projek selesai, kita pun akan terputus sebagai partner kerja." Elvira memandang Rizal yang saat itu juga memperhatikannya dengan mata yang memerah.Entah ini kesedihan yang ke berapa lagi. Luka dari perempuan yang sama. Dulu dia harus pergi, mulai mengobati hati. Ketika mulai terbiasa, kembali dipertemukan di Jakarta. Dan tuntutan pekerjaan membuat mereka kembali bertemu dan menjadi partner kerja. Rizal kembali terbawa oleh perasaannya yang masih tetap sama. Nyaman dan menjadi lebih bersemangat, meski ia sadar sesadar-sadarnya kalau Elvira itu sudah
SEBELUM BERPISAH - Perpisahan Sore Itu Ketika Elvira dan Ranty hendak bangkit dari duduknya, saat bersamaan pintu ruangan diketuk lalu masuklah Angel. Wanita yang tengah sarat mengandung itu tampak kepayahan. Ranty mengambilkan kursi untuk duduk bosnya."Ada apa, Mbak?" tanya Ranty."Nggak ada apa-apa. Kalian mau nemui Rizal, kan?""Ya," jawab Ranty."Oke. Aku juga pasrah pada kalian berdua tentang renovasi kantor di Sidoarjo."Hening."Ada apa nih, kalian tampak sedih gitu?" Angel memperhatikan Elvira dan Ranty bergantian. Dia merasakan sesuatu yang berbeda.Ranty memandang Elvira. Biarlah Rizal menunggu, tapi ia harus memberitahu bosnya sekarang juga. Siapa tahu Angel bisa membuat Elvira merubah keputusan. "El mau resign, Mbak."Angel terperanjat. Matanya membulat memandang Elvira. "Kenapa resign?"Elvira memberikan alasan persis seperti yang diucapkan pada Ranty baru saja. Bicara dengan tenang, seolah tanpa beban."Mbak mau lahiran, El. Kalau kamu berhenti kerja, siapa lagi yang
Bu Salima membawakan secangkir kopi untuk Rizal yang kembali mengutak-atik motornya. Pulang dari bertemu dengan Arsita, Rizal kembali sibuk dengan motor tuanya."Bagaimana pertemuan tadi?" Bu Salima penasaran."Kami hanya ngobrol biasa, Bu. Bu Bahtiar juga ikut tadi. Mereka baik, ramah juga. Tanya-tanya tentang keluarga kita. Aku jawab apa adanya."Bu Salima diam sejenak. Memandang tangan Rizal yang sibuk membenahi motornya. "Bagaimana dengan Arsita?""Dia baik juga." Rizal menceritakan percakapannya dengan gadis itu. Bu Salima mengembalikan keputusan pada putranya. Dia tidak ingin memaksa, meski ingin sekali melihat Rizal segera membuka lembaran baru. Memang harus dipaksakan. Kalau menunggu sampai benar-benar bisa melupakan Elvira, terus kapan itu? Karena semuanya tidak akan gampang.Mungkin kehadiran gadis lain, perlahan akan membuat Rizal bisa meninggalkan masa lalunya. Sedangkan Rizal sendiri merasa sedang berdiri di persimpangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dia d
Keduanya saling pandang dan tersenyum saat tubuh Elvira mendarat di sofa ruang keluarga. Hendy mengelap peluh yang membasahi pelipis istrinya. Lantas dia bangkit untuk mengambilkan air minum."Minum dulu!" Hendy membantu istrinya untuk minum, air sisa setengah gelas itu akhirnya ia habiskan dan meletakkan gelas kosong di meja depannya.Hendy mengambil remote TV dan menyalakannya. "Kapan jadi mengajukan surat pengunduran diri?" Hendy memandang Elvira yang fokus memandang layar bening. Meski pikirannya sedang tidak ke sana. "Dalam minggu ini, Mas. Aku akan menyelesaikan pekerjaan yang tersisa dulu.""Bagaimana dengan projek pembangunan gedung baru?" Hendy yakin, ini salah satu pertimbangan kenapa istrinya memilih resign. Sebab Rizal terlibat di sana. Mungkin.Namun ia tidak akan mengorek lagi tentang pria itu. Elvira memilih mundur, tentu sudah menjadi nilai plus baginya. Berarti sang istri sudah berusaha untuk bertahan dalam pernikahan mereka. Hendy tidak akan mencari masalah dengan
SEBELUM BERPISAH- Pertemuan Tahun BaruPutih, cantik, rambut terurai sebahu. Mengenakan blouse lengan panjang warna ungu dan celana jeans warna hitam. Arsita. Pak Bahtiar mengenalkan putri dan juga sang istri yang saat itu ikut serta.Gadis cantik dengan sapuan make up tipis di wajahnya itu tersenyum ramah pada Rizal.Mereka bertemu di sebuah restoran seafood. Ketika Rizal datang, Pak Bahtiar sudah berada di sana. Tidak lama kemudian makanan yang di pesan Bu Bahtiar datang."Kamu mau minum apa, Zal?" tanya Pak Bahtiar."Es teh saja, Pak."Pak Bahtiar memanggil seorang pramusaji dan memesan minuman buat mereka."Mari, makan. Sambil ngobrol." Pak Bahtiar mempersilakan."Rizal, bener kamu anak tunggal?" tanya Bu Bahtiar."Sebenarnya saya punya adik perempuan, Bu. Tapi meninggal sesaat setelah dilahirkan.""Oh ...." Bu Bahtiar memandang Rizal dengan wajah ceria. Sosok yang beberapa waktu belakangan ini, selalu dibicarakan bersama suaminya. Dia tertarik dengan kepribadian Rizal. Ternyata
Demi menjaga hubungan baiknya dengan Ranty, terpaksa ia berhenti kerja. Agar tidak sering bertemu Rizal juga. Sudah selayaknya ia menjauh, agar Rizal pun bisa membuka hati untuk insan baru. Soal impiannya, Elvira sudah mengikhlaskan. Seharian tadi dia berpikir dalam-dalam tentang hal itu.Tentang tanggungjawabnya pada pembangunan gedung baru, bisa ia limpahkan pada Ranty atau staf lain. Toh itu bukan pekerjaan yang susah. Hanya sekedar mengawasi dan berinteraksi dengan Rizal sebagai arsiteknya saja.Sekalipun ekspresi Elvira terlihat serius meyakinkannya, tapi Hendy tetap merasa ada sesuatu yang terjadi. Apa perlu ia menelepon Ranty untuk bertanya?"Mas masih ingat kalau kamu ingin memiliki brand tersendiri. Mas dukung kamu untuk merintis usaha sendiri. Mas akan mensupport secara materi juga.""Nggak semudah itu, Mas. Untuk buka usaha aku juga harus punya banyak pengalaman dan koneksi. Nanti, mungkin. Sekarang aku mau fokus sama rumah tangga kita."Hendy tersenyum bahagia. Meski keput
"Iya, Mas. Aku di rumah sekarang.""Kenapa? Kamu sakit?" Suara Hendy sarat rasa khawatir."Nggak. Emang lagi longgar saja. Makanya aku pulang. Nanti sibuk lagi di awal tahun." Elvira berbohong. Berusaha menyeimbangkan suaranya supaya Hendy tidak tahu kalau dirinya habis menangis. Eh, tapi bagaimana kalau Hendy bertanya pada Ranty?"Beneran karena itu?""Aku memang pengen istirahat di rumah. Pas nggak ada kerjaan juga. Jadi aku ngasih alasan pusing ke Ranty, Mas." Elvira tertawa kecil untuk hal yang sama sekali tidak lucu. Juga untuk menutupi kegundahannya karena membohongi Hendy."Kamu naik taksi tadi? Kenapa nggak nelepon Mas Asep saja untuk menjemput.""Nggak, Mas. Nanti kelamaan nunggu. Mesti ngambil mobil ke rumah dulu, baru menjemputku. Oh ya, aku mau masak. Bikin ayam kremes. Hari ini Mas pulang jam berapa?""Kalau sesuai jadwal. Sore mas sudah sampai di rumah.""Baiklah, kutunggu.""Oke. Nanti mas telepon lagi. Mas mau ke ICU sebentar, terus ke ruang bedah.""Iya.""Assalamu'al
SEBELUM BERPISAH - Keputusan "El," panggil Ranty membuka pintu ruangan sahabatnya. Kosong. Elvira ke mana?Tas Elvira juga tidak ada. Ranty tergesa keluar dan bertanya pada staf di resepsionis. "Mbak, ngelihat Mbak Elvira, nggak?""Oh, Mbak El-nya pulang, Mbak. Tadi tergesa-gesa. Bilang kalau lagi nggak enak badan. Saya baru saja mau ke ruang meeting untuk ngasih tahu ke Mbak Ranty dan Pak Rizal."Dahi Ranty mengernyit heran. Kenapa Elvira tidak pamit padanya. Atau ke ruang meeting sejenak untuk menemui Rizal. Padahal tadi dia sudah tahu kalau Rizal mau datang. Dan waktu datang tadi Elvira tampak sehat-sehat saja dan sempat ngobrol dengannya.Ranty melangkah ke ruang meeting. Rizal heran melihatnya datang sendirian. "Mana El, Ran.""Bentar." Ranty meraih ponsel untuk menelepon sahabatnya. Ternyata sudah ada pesan masuk dari Elvira.[Ran, maafkan aku. Aku buru-buru pulang dan nggak sempat nemui kalian. Badanku lemas. Kamu saja yang nemui Rizal untuk membahas renovasi gedung di Sidoar