Sebelum Berpisah
- Ketakutan "Aku harus segera berangkat, El. Kamu bagaimana?" "Nggak apa-apa. Aku berani." Elvira menjawab tanpa memandang sang suami. Sumpah, sebenarnya dia sangat takut dan cemas. "Kamu mau ikut ke rumah sakit?" "Nggak." Dia tidak mungkin pergi ke tempat yang paling tidak disukainya dan menunggu berjam-jam sampai Hendy keluar dari kamar operasi. Walaupun di rumah sendiri juga ketakutan. Lihat, lilin pun sudah mau habis. Hendy termangu sejenak. Dia tidak bisa menunggu lama. Tim ruang operasi sedang menunggunya. Lelaki itu masuk ke kamar untuk mengambil jaket. "Mas, bisa minta tolong. Antar aku sebentar ke kamar mandi. Setelah itu aku mau masuk kamar dan tidur." "Pakai kamar mandiku. Aku benar-benar sedang ditunggu, El." "Oh, ya sudah. Mas, pergi saja." Elvira mengambil asbak yang ada lilinnya. Namun ia memekik karena jarinya kepanasan. Asbak dari logam itu tentu saja panas kena lelehan lilin. "Kenapa?" Hendy kaget dan mendekat. "Nggak." Elvira memakai ujung jilbabnya sebagai lampin untuk mengangkat asbak. Lantas membawanya masuk ke kamar. "El, pakai kamar mandiku. Jangan ditahan." Hendy mengambil kunci mobil lantas pergi. Perut Elvira melilit. Dia tadi baru makan sedikit, pedas pula. Sekarang terasa ingin ke toilet. Namun tidak berani keluar. Rasa takut lebih mendominasi dan memilih menahan rasa sakitnya. Elvira meringkuk dan tubuhnya berkeringat. Menahan sakit sekaligus gerah. Walaupun Hendy menyuruhnya ke toilet yang ada di kamarnya, tapi Elvira tidak mau. Selama dua bulan ini, masuk ke kamar suaminya bisa dihitung dengan jari. Keluarga kalau datang tidak ada yang menginap. Jadi mereka aman tidur berasingan. Wanita itu menangis dan mendesis lirih menahan sakit. Sedih juga. Entah, ini pernikahan seperti apa. Sejauh ini, Hendy pun tidak pernah mengajaknya bicara, mau dibawa ke mana pernikahan mereka. Disuruh mengantarkan ke toilet sebentar saja, dia tidak bisa. Pasien memang lebih penting daripada istrinya yang tidak jelas ini. Elvira terisak. Apa dia tidak bisa merasakan setakut apa istrinya? Bahkan setelah satu jam kemudian, sang suami tidak menelepon untuk menanyakan keadaannya. Ingin menghubungi Ranty, baterei ponsel minim sekali. Lagi pula temannya itu pasti sudah tidur. Dia kalau dibangunkan mendadak, migrainnya kumat. Setelah beberapa jam hanya bisa membolak-balikkan badan, akhirnya Elvira terlelap kelelahan. Terbangun saat kembali merasakan perutnya sangat sakit dan suasana gelap gulita, karena lilin sudah habis. Kali ini tidak bisa ditahannya lagi. Dia memang harus ke belakang segera. Dia memakai kamar mandi di belakang, karena di kamarnya tidak ada. Dinyalakan senter ponsel yang batreinya tinggal 25%. Elvira nekat. Dalam kepalanya berkelindan berbagai bayangan menakutkan. Di balik kegelapan seolah ada yang mengintai dengan tatapan tajamnya. Dalam hati terus membaca doa tiada henti. Tubuhnya sampai gemetaran dan merinding. Setelah dari kamar mandi pun, perutnya masih tidak nyaman karena sudah terlanjur sakit. Dicarinya minyak kayu putih. Perutnya menghangat setelah dibaluri obat andalannya itu. ***L*** Hendy yang baru kembali dari bersepeda, heran karena dapur masih gelap dan sepi. Biasanya Elvira akan sibuk membuat sarapan sehabis salat subuh. Sedangkan sekarang sudah jam setengah enam pagi. Lelaki itu memandang pintu kamar Elvira yang tertutup rapat. Apa dia belum bangun? Biasanya walaupun sedang haid dan tidak salat, tetap bangun untuk membuat sarapan. Padahal listrik sudah menyala jam dua pagi tadi. Ketika hendak mengetuk kamar Elvira. Pintu depan terbuka. Istrinya masuk menenteng tas kresek. Wajahnya terlihat pucat. "Maaf, aku nggak sempat masak, Mas. Kubelikan nasi kuning di warung Mak Yah." Elvira melangkah ke ruang makan. Meletakkan sebungkus nasi di atas piring. Sendok juga sudah disiapkan. "El, wajahmu pucat gitu. Kamu sakit?" Hendy memperhatikan sang istri. Elvira menggeleng lantas mengambil sendok dan membawa sebungkus nasi ke kamarnya. "Sorry, tadi malam ...." "Nggak apa-apa. Aku ke kamar dulu." Elvira memotong perkataan suaminya. Hendy mematung. Elvira sepucat itu apa dia ketakutan semalam. Atau dia sedang sakit. Biasanya dia berwajah cerah meski cemberut. Hendy tidak sempat menelepon, karena fokus pada operasi. Meski sudah melakukan tugas memberikan obat-obatan sedatif, anti nyeri pada pasien, dan berhasil membuat pasien tertidur. Bukan berarti tugasnya selesai. Ia harus memastikan tidak ada kendala hingga operasi selesai. Pagi itu Hendy membuat teh dan sarapan sendirian. Kemudian masuk kamar untuk istirahat sebelum berangkat ke rumah sakit. Karena kelelahan, akhirnya tertidur dan bangun saat alarm berdering. Buru-buru ia mandi dan berganti pakaian. Saat keluar, masih melihat helm milik Elvira di meja pojok ruang keluarga. Apa istrinya belum berangkat. Padahal ini sudah jam delapan. Elvira biasa pergi ke kantor jam tujuh pagi. Dan lihat, kunci motornya pun masih tergantung di dinding.. "El." Hendy mengetuk pintu kamar Elvira pelan. Tidak ada jawaban. "El, kamu sakit?" Masih tidak ada sahutan. Diputarnya handle pintu, tapi dikunci. "El." "Aku nggak apa-apa," terdengar sahutan pelan. "Kamu nggak kerja?" "Nggak." "Aku berangkat ke rumah sakit." "Ya." Rumah kembali sepi. Elvira meringkuk di atas tempat tidur. Nasi yang baru dimakan sedikit terbiar di atas meja. Perutnya sudah terlanjur tak nyaman. Baru masuk nasi sedikit, rasanya sudah penuh. Tidak ada yang dikerjakannya selain tiduran seharian. Jam tiga sore Ranty datang ke rumah. "Kamu sudah mendingan?" tanya wanita itu seraya menyentuh kening Elvira. "Badanmu anget, El." "Sepertinya maagku kambuh, Ran." "Mulai sekarang kamu harus belajar minum obat. Obat maag itu nggak pahit, malah semriwing, rasa mint gitu. Selama ini kamu hanya ngandelin minyak kayu putih. Sakit perut, sakit kepala, sakit gigi, batuk, pilek, obatmu cuman itu saja. Oles sana sini kayak nenek-nenek bau balsem jadinya." Ranty mengomel sambil memijit pundak dan tengkuk Elvira. Sedikit pun Elvira tidak membantah. Biar saja yang penting Ranty sudi datang. Dia satu-satunya orang yang mengerti banyak hal tentang dirinya. Hanya Ranty yang tahu kalau Elvira dan Hendy tidak pernah tidur sekamar. "El, aku mau ngasih tahu kamu. Semoga ini nggak semakin menambah bebanmu." Dada Elvira berdebar mendengar ucapan Ranty yang tampaknya mengkhawatirkan dan membuat penasaran. "Ada apa?" "Tadi pagi aku nganterin Mbak Angel periksa kandungan ke dokter Herlina di klinik. Nggak sengaja aku ngelihat suamimu mengantar dokter itu ke sana. Mereka turun dan masuk ruangan." Elvira terhenyak. Seperti apapun hubungannya dengan Hendy, tapi ia merasa kecewa karena lelaki itu suaminya. "Aku nggak bakalan curiga kalau kamu nggak pernah cerita bagaimana kedekatan mereka." "Mungkin ada operasi cesar di klinik bersalin itu, Ran." "Oh, iya. Bisa jadi." Ranty tidak ingin memprovokasi sahabatnya. Hening. "Kamu cepetan pulih. Minggu depan kita harus ke Jakarta untuk mewakili Mbak Angel seminar. Ranty mengalihkan topik pembicaraan karena suasana mendadak tegang. "Ya ampun. Aku hampir lupa, Ran." "Masih ada waktu untuk bikin persiapan. Kamu ingin menghubungi Rizal dan ketemuan di sana?" Keduanya saling pandang. "Jangan deh. Seperti apapun hubunganmu dengan dokter Hendy. Kamu sudah menjadi istrinya, El. Oh ya, aku pulang dulu. Mau mampir ke apotek beliin obat ibu." "Makasih kamu sudah datang." Elvira mengantarkan sahabatnya hingga ke teras. Kemudian ia ke dapur untuk memasak menu makan malam. Walaupun perutnya masih terasa perih jika berdiri terlalu lama. Ketika tengah mengeluarkan sayuran dari kulkas, ponselnya di atas meja makan berpendar. [Nggak usah masak. Mbak Ema mengundang kita ke rumahnya. Hari ini ulang tahunnya Tristan.] Pesan dari Hendy. Elvira duduk di kursi. Sebenarnya ia malas ke mana-mana dengan kondisi perut yang tidak nyaman. Tapi tidak mungkin menolak. Ema itu kakaknya Hendy. Seorang dokter anak. Dia selalu sibuk dengan ulang tahun orang lain. Tapi ulang tahunnya sendiri, tidak ada yang ingat kecuali Rizal dan Ranty. Sedih. Kira-kira apa dokter Herlina nanti juga hadir di sana? Karena dia rekan baik kakak iparnya. Segera dikembalikan sayuran ke dalam kulkas. Dia mau mandi dan dandan cantik malam ini. Next .... Selamat Membaca 🥰SEBELUM BERPISAH - Hamil?Setelah kekacauan karena Elvira kabur dari rumah menjelang pernikahan, hingga sekarang hidupnya bisa dibilang tidak baik-baik saja. Ayahnya masih mengungkit peristiwa itu jika mereka bertemu. "Ayah nggak ingin mendengar kamu mengecewakan suamimu. Ayah menjodohkanmu dengan Hendy, demi masa depanmu. "Kalau ayah tiada, kamu punya suami yang bisa menjamin hidupmu. Kedua kakakmu memiliki tanggungjawab keluarga sendiri. Jadi kamu nggak bisa bergantung pada mereka."Apapun masalahmu, jangan pernah kabur meninggalkan rumah suami. Hendy lelaki yang baik, nggak mungkin melakukan KDRT atau menelantarkanmu."Pasti ayahnya berpikir kalau dirinya dan Hendy baik-baik saja sekarang ini. Sejauh mana mereka paham tentang Hendy sampai nekat menjodohkannya dengan dokter itu.Elvira menghela napas panjang sambil menatap cermin. Dia sudah selesai berdandan. Tinggal menunggu Hendy selesai mandi.Sejak memutuskan kembali ke rumah dan akur dengan perjodohan, hatinya sudah dipenuhi
SEBELUM BERPISAH - Aku Tahu "Aku nggak hamil, Mbak. Nggak usah diperiksa. Beneran aku nggak hamil. Maagku memang kambuh sejak semalam." Elvira keukeh tidak mau. Herlina tercekat di ambang pintu. Elvira hamil? Ada bias kecewa yang terlihat jelas di wajahnya. Yang ia dengar hanya kata 'hamil' saja. "Nggak ada salahnya diperiksa, El. Banyak perempuan mengira kembung biasa, ternyata sedang hamil." Ema keukeh dengan pendapatnya. Sedangkan Elvira sudah tak berdaya membantah. Tubuhnya terasa lemas. Terserah mereka bicara apa. Sedangkan Hendy sendiri juga bingung. Mana mungkin istrinya hamil? "Kalau gitu, besok kamu ikut Hendy ke rumah sakit untuk periksa. Siapa tahu lagi isi. Gejala orang hamil itu macam-macam, El. Seperti yang dibilang Ema tadi." Bu Putri membimbing sang menantu masuk ke salah satu kamar di rumah putrinya. Hendy juga ikut masuk. Ema mengajak Herlina kembali ke depan. "Kamu istirahat di sini." Elvira dibimbing untuk berbaring. Sang mama mertua terlalu yakin kal
SEBELUM BERPISAH - TraumaSetakut itu dia? Dengan jelas Hendy melihat wajah pucat dan mata berembun milik istrinya. Ia yakin ini bukan ketakutan biasa. Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya."El, kamu tidak harus minum obatnya. Yang penting kamu periksa. Biar tahu separah apa sakitmu." Hendy bicara dengan nada lembut. Saat itu mereka sudah duduk di ruang tunggu tempat praktek seorang dokter umum.Hendy bisa merekomendasikan obat untuk istrinya. Namun melihat kondisi Elvira seperti itu, lebih baik dibawa ke ahlinya.Sudah terlanjur siang mereka berangkat tadi, antrian banyak dan mereka harus sabar menunggu."Bentar, aku belikan roti dan air minum." Hendy bangkit dari duduknya dan menyeberang jalan ke toko depan sana.Ketika Hendy pergi, ponsel Elvira berdering. Hasna menelepon. Dia memang sepeduli itu pada adik iparnya."Halo, Assalamu'alaikum, Mbak Hasna.""Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah?""Aku lagi antri periksa. Maagku kambuh, Mbak.""Ya Allah. Sejak kapan? Pasti asam lambung itu,
SEBELUM BERPISAH - Pertahankan Jangan sampai orang tuanya tahu kalau ia pisah kamar dengan Elvira. Dengan kondisi seperti ini, belum siap kalau mereka tahu. Tidak akan selamanya begini, pasti ada waktu bagaimana ia dan Elvira akan membicarakan pernikahan ini. Hendy mengunci pintu utama sebelum mamanya bisa membuka sendiri. Dari jendela kaca, ia melihat sang mama masih menerima telepon, sedangkan papanya memperhatikan lingkungan perumahan. Tergesa Hendy mengetuk pintu kamar sang istri. "El," panggilnya. "Ya. Ada apa?" "Mama dan papa datang." Di dalam kamar. Elfira yang sudah melepaskan jilbabnya dan berbaring terkejut. Dia belum siap jika ketahuan dalam keadaan sakit seperti ini. Dilapnya air mata memakai tisu. Air mata karena kangen pada ibunya. Kemudian tergesa mengenakan kembali jilbab dan membuka pintu kamar. Pada saat yang bersamaan terdengar bel berdenting. Hendy cekatan mengunci pintu kamar istrinya dan menyimpan kunci ke dalam saku celananya. Siapa tahu mamanya me
SEBELUM BERPISAH- Menginap"Ini baju Hendy semua. Kok bajumu nggak ada El?" Bu Putri keheranan sekaligus curiga saat melihat isi lemari semuanya baju putranya."Oh, ada di lemari sebelahnya, Ma. Biar nanti kuambilkan," jawab Hendy yang sudah muncul di pintu. Lelaki itu menghampiri sang mama dan dengan gerakan halus, meminta mamanya menepi supaya tidak membuka pintu sebelahnya. Hendy ingat kalau kemarin ada piyama Elvira warna hitam terikut tumpukan bajunya dan belum sempat dikembalikan pada sang istri."Nanti habis makan dan minum obat, suruh El ganti baju," ujar Bu Putri seraya keluar kamar dan kembali menutup pintu.Hendy bernapas lega. Walaupun akhirnya terbongkar, sebenarnya dia tidak perlu risau. Bukan dirinya yang memulai situasi menjadi rumit seperti ini. Elvira yang duluan kabur dan membuatnya kecewa. Hampir saja diri dan keluarganya dipermalukan di hadapan orang banyak. Di hadapan keluarga, relasi, rekan kerja, teman-temannya yang lain, bahkan dihadapan orang yang tidak ia
SEBELUM BERPISAH- Jungkir Balik "Dari rumah sakit. Ada pasien usus buntu akut yang harus segera dilakukan tindakan operasi. Kondisi medisnya mendesak dan memerlukan penanganan segera. Aku yang sejak kemarin menangani ini dengan dokter Zani." Hendy memandang sang istri setelah membaca pesan di ponselnya.Elvira membalas tatapan, tidak tahu harus bilang apa. Bukankah selama dua bulan ini, Hendy jarang sekali meminta persetujuannya jika harus pergi dadakan."Kamu tidak apa-apa kutinggal?"Mendengar pertanyaan itu membuat Elvira tambah heran. Waktu mati lampu dia ketakutan sendirian di rumah, Hendy juga langsung pergi. Minta di antarkan ke toilet sebentar saja tidak sempat. Sampai Elvira sakit perut."Nggak apa-apa. Biasanya Mas juga langsung pergi kan, jam berapapun itu." Elvira kembali melanjutkan sketsanya. Mentang-mentang ada kedua orang tuanya, Hendy jadi perhatian."Kalau gitu, kamu segera tidur," ujarnya lantas berdiri dan masuk ke kamar mandi.Saat itu ponsel Hendy kembali berpe
"Nggak juga, Ma." Elvira mengangkat wajah sejenak. Kemudian kembali menyuap bubur. Dua bulan ini sebenarnya dia sudah biasa ditinggal mendadak malam hari. Bahkan Hendy jarang pamit. Namun tidak akan memberitahu mertuanya daripada omelan pagi ini tidak ada habisnya. "Kalau gitu, mama nggak jadi pulang hari ini. Biar mama nungguin sampai Elvira sembuh, Pa," ujar Bu Putri yang membuat anak dan menantunya bungkam. Pak Bakti juga tidak membantah. Dia sudah pensiun. Masih memiliki bisnis, tapi ada orang kepercayaan yang menanganinya.***L***"El, kamu tidak istirahat dulu. Sakitmu itu butuh banyak istirahat," tegur Hendy dari atas pembaringan. Memandang Elvira yang masih serius menggambar. Hampir seharian mereka mendekam di kamar. Elvira sibuk dengan desain-desainnya, sedangkan Hendy tidur karena mengantuk."Aku nggak bisa tidur," jawab Elvira tanpa menoleh."Kalau nggak bisa tidur, kamu rebahan saja. Itu sudah istirahat.""Bentar lagi. Acara tinggal empat hari lagi, aku harus menyelesaik
SEBELUM BERPISAH - Malam yang Tak Direncanakan Elvira memilih bersikap santai meski dadanya juga bergemuruh karena malu. Tidak ada pilihan selain memakainya. Tak mungkin akan mengenakan lagi bajunya yang sudah kotor untuk salat. Jilbab dikenakan guna menutupi bahu dan dadanya yang terbuka. Terlihat aneh memang. Dia pun tahu kalau Hendy menahan senyum. Bagaimana bisa Hendy spontan membuka pintu. Apa dia tidak ingat kalau Elvira sedang mandi. Oh, mungkin dia kaget juga mendengar jeritannya. Apalagi dirinya baru sembuh dari sakit. "Maaf, aku tadi asal ngambil saja." "Nggak apa-apa. Nanti aku bisa ganti baju yang lain." Elvira mengenakan mukena lantas salat. Setelah itu keluar untuk mengambil baju di kamarnya. Kala itu sang mertua masih duduk di teras. Elvira sudah kembali ke kamar suaminya memakai gamis warna navy dan jilbab warna senada. Tidak tampak lagi kaki jenjang Elvira yang putih bersih dan mencabar kelelakiannya. Namun ia sudah terlanjur melihatnya tadi. Elvira juga
Lelaki itu mengambil ponsel dari saku celana saat ada bunyi notifikasi. Membuka benda itu sambil melangkah di lorong rumah sakit. Kembali ada email masuk yang mengirim foto Elvira dan Rizal. Ketenangannya terusik oleh hal-hal begini. Padahal hubungannya dengan sang istri mulai menghangat belakangan ini. Ia mencurigai Herlina. Dia begitu yakin kalau pelakunya adalah wanita itu. Tidak sulit bagi Herlina untuk mendapatkan foto-foto mereka, entah bagaimana itu caranya.Hendy terus melangkah ke parkiran. Dia tidak akan membiarkan, tapi bukan sekarang. Pasti akan ada waktu yang tepat untuk menegurnya. Kendati mereka masih bertemu setiap hari.Kalau sampai Herlina tahu Elvira berhenti kerja, memang dia membayar orang untuk mencari informasi itu.Sesampainya di rumah, Elvira sudah menyambutnya di depan pintu. Senyum wanita itu merekah, menyembunyikan apa yang terjadi tadi siang. "Aku khawatir Mas pulang malam, padahal aku sudah masak sup iga kesukaan, Mas." "Kalau pulang telat, Mas pasti
"Aku sedih banget. Selama ini kita selalu bersama-sama. Sekolah, kuliah, jalan-jalan, kerja, selalu barengan." Mata Ranty memerah.Elvira tersenyum getir lantas memandang Ranty. "Nggak selamanya selalu bersama, Ran. Tapi kita masih bisa bertemu, berkomunikasi, meski sudah nggak menjadi rekan kerja lagi. "Kalau bukan aku, pasti kamu juga bisa memutuskan hal begini jika ada sesuatu yang membuatmu harus pergi. Dengan Rizal pun sama. Setelah projek selesai, kita pun akan terputus sebagai partner kerja." Elvira memandang Rizal yang saat itu juga memperhatikannya dengan mata yang memerah.Entah ini kesedihan yang ke berapa lagi. Luka dari perempuan yang sama. Dulu dia harus pergi, mulai mengobati hati. Ketika mulai terbiasa, kembali dipertemukan di Jakarta. Dan tuntutan pekerjaan membuat mereka kembali bertemu dan menjadi partner kerja. Rizal kembali terbawa oleh perasaannya yang masih tetap sama. Nyaman dan menjadi lebih bersemangat, meski ia sadar sesadar-sadarnya kalau Elvira itu sudah
SEBELUM BERPISAH - Perpisahan Sore Itu Ketika Elvira dan Ranty hendak bangkit dari duduknya, saat bersamaan pintu ruangan diketuk lalu masuklah Angel. Wanita yang tengah sarat mengandung itu tampak kepayahan. Ranty mengambilkan kursi untuk duduk bosnya."Ada apa, Mbak?" tanya Ranty."Nggak ada apa-apa. Kalian mau nemui Rizal, kan?""Ya," jawab Ranty."Oke. Aku juga pasrah pada kalian berdua tentang renovasi kantor di Sidoarjo."Hening."Ada apa nih, kalian tampak sedih gitu?" Angel memperhatikan Elvira dan Ranty bergantian. Dia merasakan sesuatu yang berbeda.Ranty memandang Elvira. Biarlah Rizal menunggu, tapi ia harus memberitahu bosnya sekarang juga. Siapa tahu Angel bisa membuat Elvira merubah keputusan. "El mau resign, Mbak."Angel terperanjat. Matanya membulat memandang Elvira. "Kenapa resign?"Elvira memberikan alasan persis seperti yang diucapkan pada Ranty baru saja. Bicara dengan tenang, seolah tanpa beban."Mbak mau lahiran, El. Kalau kamu berhenti kerja, siapa lagi yang
Bu Salima membawakan secangkir kopi untuk Rizal yang kembali mengutak-atik motornya. Pulang dari bertemu dengan Arsita, Rizal kembali sibuk dengan motor tuanya."Bagaimana pertemuan tadi?" Bu Salima penasaran."Kami hanya ngobrol biasa, Bu. Bu Bahtiar juga ikut tadi. Mereka baik, ramah juga. Tanya-tanya tentang keluarga kita. Aku jawab apa adanya."Bu Salima diam sejenak. Memandang tangan Rizal yang sibuk membenahi motornya. "Bagaimana dengan Arsita?""Dia baik juga." Rizal menceritakan percakapannya dengan gadis itu. Bu Salima mengembalikan keputusan pada putranya. Dia tidak ingin memaksa, meski ingin sekali melihat Rizal segera membuka lembaran baru. Memang harus dipaksakan. Kalau menunggu sampai benar-benar bisa melupakan Elvira, terus kapan itu? Karena semuanya tidak akan gampang.Mungkin kehadiran gadis lain, perlahan akan membuat Rizal bisa meninggalkan masa lalunya. Sedangkan Rizal sendiri merasa sedang berdiri di persimpangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dia d
Keduanya saling pandang dan tersenyum saat tubuh Elvira mendarat di sofa ruang keluarga. Hendy mengelap peluh yang membasahi pelipis istrinya. Lantas dia bangkit untuk mengambilkan air minum."Minum dulu!" Hendy membantu istrinya untuk minum, air sisa setengah gelas itu akhirnya ia habiskan dan meletakkan gelas kosong di meja depannya.Hendy mengambil remote TV dan menyalakannya. "Kapan jadi mengajukan surat pengunduran diri?" Hendy memandang Elvira yang fokus memandang layar bening. Meski pikirannya sedang tidak ke sana. "Dalam minggu ini, Mas. Aku akan menyelesaikan pekerjaan yang tersisa dulu.""Bagaimana dengan projek pembangunan gedung baru?" Hendy yakin, ini salah satu pertimbangan kenapa istrinya memilih resign. Sebab Rizal terlibat di sana. Mungkin.Namun ia tidak akan mengorek lagi tentang pria itu. Elvira memilih mundur, tentu sudah menjadi nilai plus baginya. Berarti sang istri sudah berusaha untuk bertahan dalam pernikahan mereka. Hendy tidak akan mencari masalah dengan
SEBELUM BERPISAH- Pertemuan Tahun BaruPutih, cantik, rambut terurai sebahu. Mengenakan blouse lengan panjang warna ungu dan celana jeans warna hitam. Arsita. Pak Bahtiar mengenalkan putri dan juga sang istri yang saat itu ikut serta.Gadis cantik dengan sapuan make up tipis di wajahnya itu tersenyum ramah pada Rizal.Mereka bertemu di sebuah restoran seafood. Ketika Rizal datang, Pak Bahtiar sudah berada di sana. Tidak lama kemudian makanan yang di pesan Bu Bahtiar datang."Kamu mau minum apa, Zal?" tanya Pak Bahtiar."Es teh saja, Pak."Pak Bahtiar memanggil seorang pramusaji dan memesan minuman buat mereka."Mari, makan. Sambil ngobrol." Pak Bahtiar mempersilakan."Rizal, bener kamu anak tunggal?" tanya Bu Bahtiar."Sebenarnya saya punya adik perempuan, Bu. Tapi meninggal sesaat setelah dilahirkan.""Oh ...." Bu Bahtiar memandang Rizal dengan wajah ceria. Sosok yang beberapa waktu belakangan ini, selalu dibicarakan bersama suaminya. Dia tertarik dengan kepribadian Rizal. Ternyata
Demi menjaga hubungan baiknya dengan Ranty, terpaksa ia berhenti kerja. Agar tidak sering bertemu Rizal juga. Sudah selayaknya ia menjauh, agar Rizal pun bisa membuka hati untuk insan baru. Soal impiannya, Elvira sudah mengikhlaskan. Seharian tadi dia berpikir dalam-dalam tentang hal itu.Tentang tanggungjawabnya pada pembangunan gedung baru, bisa ia limpahkan pada Ranty atau staf lain. Toh itu bukan pekerjaan yang susah. Hanya sekedar mengawasi dan berinteraksi dengan Rizal sebagai arsiteknya saja.Sekalipun ekspresi Elvira terlihat serius meyakinkannya, tapi Hendy tetap merasa ada sesuatu yang terjadi. Apa perlu ia menelepon Ranty untuk bertanya?"Mas masih ingat kalau kamu ingin memiliki brand tersendiri. Mas dukung kamu untuk merintis usaha sendiri. Mas akan mensupport secara materi juga.""Nggak semudah itu, Mas. Untuk buka usaha aku juga harus punya banyak pengalaman dan koneksi. Nanti, mungkin. Sekarang aku mau fokus sama rumah tangga kita."Hendy tersenyum bahagia. Meski keput
"Iya, Mas. Aku di rumah sekarang.""Kenapa? Kamu sakit?" Suara Hendy sarat rasa khawatir."Nggak. Emang lagi longgar saja. Makanya aku pulang. Nanti sibuk lagi di awal tahun." Elvira berbohong. Berusaha menyeimbangkan suaranya supaya Hendy tidak tahu kalau dirinya habis menangis. Eh, tapi bagaimana kalau Hendy bertanya pada Ranty?"Beneran karena itu?""Aku memang pengen istirahat di rumah. Pas nggak ada kerjaan juga. Jadi aku ngasih alasan pusing ke Ranty, Mas." Elvira tertawa kecil untuk hal yang sama sekali tidak lucu. Juga untuk menutupi kegundahannya karena membohongi Hendy."Kamu naik taksi tadi? Kenapa nggak nelepon Mas Asep saja untuk menjemput.""Nggak, Mas. Nanti kelamaan nunggu. Mesti ngambil mobil ke rumah dulu, baru menjemputku. Oh ya, aku mau masak. Bikin ayam kremes. Hari ini Mas pulang jam berapa?""Kalau sesuai jadwal. Sore mas sudah sampai di rumah.""Baiklah, kutunggu.""Oke. Nanti mas telepon lagi. Mas mau ke ICU sebentar, terus ke ruang bedah.""Iya.""Assalamu'al
SEBELUM BERPISAH - Keputusan "El," panggil Ranty membuka pintu ruangan sahabatnya. Kosong. Elvira ke mana?Tas Elvira juga tidak ada. Ranty tergesa keluar dan bertanya pada staf di resepsionis. "Mbak, ngelihat Mbak Elvira, nggak?""Oh, Mbak El-nya pulang, Mbak. Tadi tergesa-gesa. Bilang kalau lagi nggak enak badan. Saya baru saja mau ke ruang meeting untuk ngasih tahu ke Mbak Ranty dan Pak Rizal."Dahi Ranty mengernyit heran. Kenapa Elvira tidak pamit padanya. Atau ke ruang meeting sejenak untuk menemui Rizal. Padahal tadi dia sudah tahu kalau Rizal mau datang. Dan waktu datang tadi Elvira tampak sehat-sehat saja dan sempat ngobrol dengannya.Ranty melangkah ke ruang meeting. Rizal heran melihatnya datang sendirian. "Mana El, Ran.""Bentar." Ranty meraih ponsel untuk menelepon sahabatnya. Ternyata sudah ada pesan masuk dari Elvira.[Ran, maafkan aku. Aku buru-buru pulang dan nggak sempat nemui kalian. Badanku lemas. Kamu saja yang nemui Rizal untuk membahas renovasi gedung di Sidoar