Sebelum Berpisah
- Ketakutan "Aku harus segera berangkat, El. Kamu bagaimana?" "Nggak apa-apa. Aku berani." Elvira menjawab tanpa memandang sang suami. Sumpah, sebenarnya dia sangat takut dan cemas. "Kamu mau ikut ke rumah sakit?" "Nggak." Dia tidak mungkin pergi ke tempat yang paling tidak disukainya dan menunggu berjam-jam sampai Hendy keluar dari kamar operasi. Walaupun di rumah sendiri juga ketakutan. Lihat, lilin pun sudah mau habis. Hendy termangu sejenak. Dia tidak bisa menunggu lama. Tim ruang operasi sedang menunggunya. Lelaki itu masuk ke kamar untuk mengambil jaket. "Mas, bisa minta tolong. Antar aku sebentar ke kamar mandi. Setelah itu aku mau masuk kamar dan tidur." "Pakai kamar mandiku. Aku benar-benar sedang ditunggu, El." "Oh, ya sudah. Mas, pergi saja." Elvira mengambil asbak yang ada lilinnya. Namun ia memekik karena jarinya kepanasan. Asbak dari logam itu tentu saja panas kena lelehan lilin. "Kenapa?" Hendy kaget dan mendekat. "Nggak." Elvira memakai ujung jilbabnya sebagai lampin untuk mengangkat asbak. Lantas membawanya masuk ke kamar. "El, pakai kamar mandiku. Jangan ditahan." Hendy mengambil kunci mobil lantas pergi. Perut Elvira melilit. Dia tadi baru makan sedikit, pedas pula. Sekarang terasa ingin ke toilet. Namun tidak berani keluar. Rasa takut lebih mendominasi dan memilih menahan rasa sakitnya. Elvira meringkuk dan tubuhnya berkeringat. Menahan sakit sekaligus gerah. Walaupun Hendy menyuruhnya ke toilet yang ada di kamarnya, tapi Elvira tidak mau. Selama dua bulan ini, masuk ke kamar suaminya bisa dihitung dengan jari. Keluarga kalau datang tidak ada yang menginap. Jadi mereka aman tidur berasingan. Wanita itu menangis dan mendesis lirih menahan sakit. Sedih juga. Entah, ini pernikahan seperti apa. Sejauh ini, Hendy pun tidak pernah mengajaknya bicara, mau dibawa ke mana pernikahan mereka. Disuruh mengantarkan ke toilet sebentar saja, dia tidak bisa. Pasien memang lebih penting daripada istrinya yang tidak jelas ini. Elvira terisak. Apa dia tidak bisa merasakan setakut apa istrinya? Bahkan setelah satu jam kemudian, sang suami tidak menelepon untuk menanyakan keadaannya. Ingin menghubungi Ranty, baterei ponsel minim sekali. Lagi pula temannya itu pasti sudah tidur. Dia kalau dibangunkan mendadak, migrainnya kumat. Setelah beberapa jam hanya bisa membolak-balikkan badan, akhirnya Elvira terlelap kelelahan. Terbangun saat kembali merasakan perutnya sangat sakit dan suasana gelap gulita, karena lilin sudah habis. Kali ini tidak bisa ditahannya lagi. Dia memang harus ke belakang segera. Dia memakai kamar mandi di belakang, karena di kamarnya tidak ada. Dinyalakan senter ponsel yang batreinya tinggal 25%. Elvira nekat. Dalam kepalanya berkelindan berbagai bayangan menakutkan. Di balik kegelapan seolah ada yang mengintai dengan tatapan tajamnya. Dalam hati terus membaca doa tiada henti. Tubuhnya sampai gemetaran dan merinding. Setelah dari kamar mandi pun, perutnya masih tidak nyaman karena sudah terlanjur sakit. Dicarinya minyak kayu putih. Perutnya menghangat setelah dibaluri obat andalannya itu. ***L*** Hendy yang baru kembali dari bersepeda, heran karena dapur masih gelap dan sepi. Biasanya Elvira akan sibuk membuat sarapan sehabis salat subuh. Sedangkan sekarang sudah jam setengah enam pagi. Lelaki itu memandang pintu kamar Elvira yang tertutup rapat. Apa dia belum bangun? Biasanya walaupun sedang haid dan tidak salat, tetap bangun untuk membuat sarapan. Padahal listrik sudah menyala jam dua pagi tadi. Ketika hendak mengetuk kamar Elvira. Pintu depan terbuka. Istrinya masuk menenteng tas kresek. Wajahnya terlihat pucat. "Maaf, aku nggak sempat masak, Mas. Kubelikan nasi kuning di warung Mak Yah." Elvira melangkah ke ruang makan. Meletakkan sebungkus nasi di atas piring. Sendok juga sudah disiapkan. "El, wajahmu pucat gitu. Kamu sakit?" Hendy memperhatikan sang istri. Elvira menggeleng lantas mengambil sendok dan membawa sebungkus nasi ke kamarnya. "Sorry, tadi malam ...." "Nggak apa-apa. Aku ke kamar dulu." Elvira memotong perkataan suaminya. Hendy mematung. Elvira sepucat itu apa dia ketakutan semalam. Atau dia sedang sakit. Biasanya dia berwajah cerah meski cemberut. Hendy tidak sempat menelepon, karena fokus pada operasi. Meski sudah melakukan tugas memberikan obat-obatan sedatif, anti nyeri pada pasien, dan berhasil membuat pasien tertidur. Bukan berarti tugasnya selesai. Ia harus memastikan tidak ada kendala hingga operasi selesai. Pagi itu Hendy membuat teh dan sarapan sendirian. Kemudian masuk kamar untuk istirahat sebelum berangkat ke rumah sakit. Karena kelelahan, akhirnya tertidur dan bangun saat alarm berdering. Buru-buru ia mandi dan berganti pakaian. Saat keluar, masih melihat helm milik Elvira di meja pojok ruang keluarga. Apa istrinya belum berangkat. Padahal ini sudah jam delapan. Elvira biasa pergi ke kantor jam tujuh pagi. Dan lihat, kunci motornya pun masih tergantung di dinding.. "El." Hendy mengetuk pintu kamar Elvira pelan. Tidak ada jawaban. "El, kamu sakit?" Masih tidak ada sahutan. Diputarnya handle pintu, tapi dikunci. "El." "Aku nggak apa-apa," terdengar sahutan pelan. "Kamu nggak kerja?" "Nggak." "Aku berangkat ke rumah sakit." "Ya." Rumah kembali sepi. Elvira meringkuk di atas tempat tidur. Nasi yang baru dimakan sedikit terbiar di atas meja. Perutnya sudah terlanjur tak nyaman. Baru masuk nasi sedikit, rasanya sudah penuh. Tidak ada yang dikerjakannya selain tiduran seharian. Jam tiga sore Ranty datang ke rumah. "Kamu sudah mendingan?" tanya wanita itu seraya menyentuh kening Elvira. "Badanmu anget, El." "Sepertinya maagku kambuh, Ran." "Mulai sekarang kamu harus belajar minum obat. Obat maag itu nggak pahit, malah semriwing, rasa mint gitu. Selama ini kamu hanya ngandelin minyak kayu putih. Sakit perut, sakit kepala, sakit gigi, batuk, pilek, obatmu cuman itu saja. Oles sana sini kayak nenek-nenek bau balsem jadinya." Ranty mengomel sambil memijit pundak dan tengkuk Elvira. Sedikit pun Elvira tidak membantah. Biar saja yang penting Ranty sudi datang. Dia satu-satunya orang yang mengerti banyak hal tentang dirinya. Hanya Ranty yang tahu kalau Elvira dan Hendy tidak pernah tidur sekamar. "El, aku mau ngasih tahu kamu. Semoga ini nggak semakin menambah bebanmu." Dada Elvira berdebar mendengar ucapan Ranty yang tampaknya mengkhawatirkan dan membuat penasaran. "Ada apa?" "Tadi pagi aku nganterin Mbak Angel periksa kandungan ke dokter Herlina di klinik. Nggak sengaja aku ngelihat suamimu mengantar dokter itu ke sana. Mereka turun dan masuk ruangan." Elvira terhenyak. Seperti apapun hubungannya dengan Hendy, tapi ia merasa kecewa karena lelaki itu suaminya. "Aku nggak bakalan curiga kalau kamu nggak pernah cerita bagaimana kedekatan mereka." "Mungkin ada operasi cesar di klinik bersalin itu, Ran." "Oh, iya. Bisa jadi." Ranty tidak ingin memprovokasi sahabatnya. Hening. "Kamu cepetan pulih. Minggu depan kita harus ke Jakarta untuk mewakili Mbak Angel seminar. Ranty mengalihkan topik pembicaraan karena suasana mendadak tegang. "Ya ampun. Aku hampir lupa, Ran." "Masih ada waktu untuk bikin persiapan. Kamu ingin menghubungi Rizal dan ketemuan di sana?" Keduanya saling pandang. "Jangan deh. Seperti apapun hubunganmu dengan dokter Hendy. Kamu sudah menjadi istrinya, El. Oh ya, aku pulang dulu. Mau mampir ke apotek beliin obat ibu." "Makasih kamu sudah datang." Elvira mengantarkan sahabatnya hingga ke teras. Kemudian ia ke dapur untuk memasak menu makan malam. Walaupun perutnya masih terasa perih jika berdiri terlalu lama. Ketika tengah mengeluarkan sayuran dari kulkas, ponselnya di atas meja makan berpendar. [Nggak usah masak. Mbak Ema mengundang kita ke rumahnya. Hari ini ulang tahunnya Tristan.] Pesan dari Hendy. Elvira duduk di kursi. Sebenarnya ia malas ke mana-mana dengan kondisi perut yang tidak nyaman. Tapi tidak mungkin menolak. Ema itu kakaknya Hendy. Seorang dokter anak. Dia selalu sibuk dengan ulang tahun orang lain. Tapi ulang tahunnya sendiri, tidak ada yang ingat kecuali Rizal dan Ranty. Sedih. Kira-kira apa dokter Herlina nanti juga hadir di sana? Karena dia rekan baik kakak iparnya. Segera dikembalikan sayuran ke dalam kulkas. Dia mau mandi dan dandan cantik malam ini. Next .... Selamat Membaca š„°SEBELUM BERPISAH - Hamil?Setelah kekacauan karena Elvira kabur dari rumah menjelang pernikahan, hingga sekarang hidupnya bisa dibilang tidak baik-baik saja. Ayahnya masih mengungkit peristiwa itu jika mereka bertemu. "Ayah nggak ingin mendengar kamu mengecewakan suamimu. Ayah menjodohkanmu dengan Hendy, demi masa depanmu. "Kalau ayah tiada, kamu punya suami yang bisa menjamin hidupmu. Kedua kakakmu memiliki tanggungjawab keluarga sendiri. Jadi kamu nggak bisa bergantung pada mereka."Apapun masalahmu, jangan pernah kabur meninggalkan rumah suami. Hendy lelaki yang baik, nggak mungkin melakukan KDRT atau menelantarkanmu."Pasti ayahnya berpikir kalau dirinya dan Hendy baik-baik saja sekarang ini. Sejauh mana mereka paham tentang Hendy sampai nekat menjodohkannya dengan dokter itu.Elvira menghela napas panjang sambil menatap cermin. Dia sudah selesai berdandan. Tinggal menunggu Hendy selesai mandi.Sejak memutuskan kembali ke rumah dan akur dengan perjodohan, hatinya sudah dipenuhi
SEBELUM BERPISAH - Aku Tahu "Aku nggak hamil, Mbak. Nggak usah diperiksa. Beneran aku nggak hamil. Maagku memang kambuh sejak semalam." Elvira keukeh tidak mau. Herlina tercekat di ambang pintu. Elvira hamil? Ada bias kecewa yang terlihat jelas di wajahnya. Yang ia dengar hanya kata 'hamil' saja. "Nggak ada salahnya diperiksa, El. Banyak perempuan mengira kembung biasa, ternyata sedang hamil." Ema keukeh dengan pendapatnya. Sedangkan Elvira sudah tak berdaya membantah. Tubuhnya terasa lemas. Terserah mereka bicara apa. Sedangkan Hendy sendiri juga bingung. Mana mungkin istrinya hamil? "Kalau gitu, besok kamu ikut Hendy ke rumah sakit untuk periksa. Siapa tahu lagi isi. Gejala orang hamil itu macam-macam, El. Seperti yang dibilang Ema tadi." Bu Putri membimbing sang menantu masuk ke salah satu kamar di rumah putrinya. Hendy juga ikut masuk. Ema mengajak Herlina kembali ke depan. "Kamu istirahat di sini." Elvira dibimbing untuk berbaring. Sang mama mertua terlalu yakin kal
SEBELUM BERPISAH - TraumaSetakut itu dia? Dengan jelas Hendy melihat wajah pucat dan mata berembun milik istrinya. Ia yakin ini bukan ketakutan biasa. Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya."El, kamu tidak harus minum obatnya. Yang penting kamu periksa. Biar tahu separah apa sakitmu." Hendy bicara dengan nada lembut. Saat itu mereka sudah duduk di ruang tunggu tempat praktek seorang dokter umum.Hendy bisa merekomendasikan obat untuk istrinya. Namun melihat kondisi Elvira seperti itu, lebih baik dibawa ke ahlinya.Sudah terlanjur siang mereka berangkat tadi, antrian banyak dan mereka harus sabar menunggu."Bentar, aku belikan roti dan air minum." Hendy bangkit dari duduknya dan menyeberang jalan ke toko depan sana.Ketika Hendy pergi, ponsel Elvira berdering. Hasna menelepon. Dia memang sepeduli itu pada adik iparnya."Halo, Assalamu'alaikum, Mbak Hasna.""Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah?""Aku lagi antri periksa. Maagku kambuh, Mbak.""Ya Allah. Sejak kapan? Pasti asam lambung itu,
Sebelum Berpisah - Pernikahan yang Diatur "Mas, kenapa berkeliaran nggak pakai baju." Spontan Elvira membalikkan badan menghadap tembok."Kenapa? Salah, ya. Aku hanya nggak pakai baju. Bukan nggak pakai celana.""Iya, tapi ....""Aku di dalam rumahku sendiri, Elvira.""Iya, iya. Aku tahu ini rumahmu. Aku cuman numpang di sini. Nyebelin banget, sih." Perempuan bernama Elvira jengkel."Lagian kamu kan istriku, ngapain juga senewen gitu.""Istri?.""Oke, kamu ingin menjadi istri yang sebenarnya." "Stop!" Elvira memekik saat merasakan kalau suaminya menghampiri. "Aku mau kerja." Tergesa wanita yang memakai bergo warna peach itu masuk ke kamar dan menguncinya.Baru dua bulan saja rasanya seperti ini. Bagaimana untuk seterusnya. Pernikahan mereka sah di mata agama dan hukum negara. Keluarga, rekan kerja, teman, dan orang-orang di luar sana tahunya mereka seperti pasangan pada umumnya. Padahal hidup sendiri-sendiri. Pernikahan macam apa ini. Apakah setiap orang yang dijodohkan juga menjal
Sebelum Berpisah - Kepergok Siapa perempuan di dalam mobil itu? Kenapa suaminya pulang di antar wanita itu. Ke mana mobilnya? Bukankah tadi malam Hendy pergi ke rumah sakit mengendarai mobilnya sendiri.Meski suasana masih gelap, Elvira bisa melihat dari kaca jendela depan. Saat lampu dalam mobil di nyalakan, terlihat siapa wanita itu. Hmm, dia lagi. Dokter kandungan yang cukup akrab dengan suaminya. Apa mereka pacaran?Elvira buru-buru ke belakang saat Hendy melangkah ke rumah. Seperti biasa dia sibuk menyiapkan sarapan. Memasak itu wajib, karena Hendy tidak suka makan di luar. Dia juga memberikan uang bulanan yang tidak sedikit pada istrinya.Terdengar pintu kamar dibuka kemudian ditutup. Elvira lega dan melanjutkan menggoreng nugget.Sejenak kemudian tiba-tiba Elvira memekik kaget saat Hendy berdiri menjulang tidak jauh darinya. "Ngagetin aja sih, Mas." Napas Elvira sampai ngos-ngosan. Ditambah lagi dengan bau obat-obatan. Dia benci dengan bau obat.Inilah salah satu alasan kenap
Sebelum Berpisah - Menguntit "Kenapa kamu mengikutiku tadi?" tanya Hendy yang membuat Elvira terkesiap. Jadi suaminya tahu kalau diikuti. Wajah wanita itu pias karena ketahuan."Aku nggak ngikutin. Biasanya aku juga lewat situ," elak Elvira sambil menggoreng ayam untuk lauk makan malam. "Aku tahu kamu sering memperhatikanku dan dokter Herlina."Elvira terhenyak. Tangannya yang memegang spatula sampai gemetar. Namun ia tidak berani menoleh ke belakang, pada Hendy yang duduk di kursi meja makan."Ah, Mas ini ke GR-an. Siapa juga yang merhatiin." Elvira menutupi rasa gugupnya."Oh, gitu ya."Dada Elvira berdebar hebat. Bodoh sekali. Seharusnya ia tadi tidak usah mengikuti mobil dokter Herlina. Yang ternyata mengantarkan Hendy ke bengkel. Ia baru tahu kalau mobil Hendy masuk bengkel. Makanya subuh tadi pulang di antar dokter cantik itu.Tapi kenapa harus dokter Herlina? Apa di rumah sakit sebesar itu dia tidak memiliki teman dokter laki-laki. Atau naik taksi misalnya. Kenapa selalu dok
SEBELUM BERPISAH - TraumaSetakut itu dia? Dengan jelas Hendy melihat wajah pucat dan mata berembun milik istrinya. Ia yakin ini bukan ketakutan biasa. Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya."El, kamu tidak harus minum obatnya. Yang penting kamu periksa. Biar tahu separah apa sakitmu." Hendy bicara dengan nada lembut. Saat itu mereka sudah duduk di ruang tunggu tempat praktek seorang dokter umum.Hendy bisa merekomendasikan obat untuk istrinya. Namun melihat kondisi Elvira seperti itu, lebih baik dibawa ke ahlinya.Sudah terlanjur siang mereka berangkat tadi, antrian banyak dan mereka harus sabar menunggu."Bentar, aku belikan roti dan air minum." Hendy bangkit dari duduknya dan menyeberang jalan ke toko depan sana.Ketika Hendy pergi, ponsel Elvira berdering. Hasna menelepon. Dia memang sepeduli itu pada adik iparnya."Halo, Assalamu'alaikum, Mbak Hasna.""Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah?""Aku lagi antri periksa. Maagku kambuh, Mbak.""Ya Allah. Sejak kapan? Pasti asam lambung itu,
SEBELUM BERPISAH - Aku Tahu "Aku nggak hamil, Mbak. Nggak usah diperiksa. Beneran aku nggak hamil. Maagku memang kambuh sejak semalam." Elvira keukeh tidak mau. Herlina tercekat di ambang pintu. Elvira hamil? Ada bias kecewa yang terlihat jelas di wajahnya. Yang ia dengar hanya kata 'hamil' saja. "Nggak ada salahnya diperiksa, El. Banyak perempuan mengira kembung biasa, ternyata sedang hamil." Ema keukeh dengan pendapatnya. Sedangkan Elvira sudah tak berdaya membantah. Tubuhnya terasa lemas. Terserah mereka bicara apa. Sedangkan Hendy sendiri juga bingung. Mana mungkin istrinya hamil? "Kalau gitu, besok kamu ikut Hendy ke rumah sakit untuk periksa. Siapa tahu lagi isi. Gejala orang hamil itu macam-macam, El. Seperti yang dibilang Ema tadi." Bu Putri membimbing sang menantu masuk ke salah satu kamar di rumah putrinya. Hendy juga ikut masuk. Ema mengajak Herlina kembali ke depan. "Kamu istirahat di sini." Elvira dibimbing untuk berbaring. Sang mama mertua terlalu yakin kal
SEBELUM BERPISAH - Hamil?Setelah kekacauan karena Elvira kabur dari rumah menjelang pernikahan, hingga sekarang hidupnya bisa dibilang tidak baik-baik saja. Ayahnya masih mengungkit peristiwa itu jika mereka bertemu. "Ayah nggak ingin mendengar kamu mengecewakan suamimu. Ayah menjodohkanmu dengan Hendy, demi masa depanmu. "Kalau ayah tiada, kamu punya suami yang bisa menjamin hidupmu. Kedua kakakmu memiliki tanggungjawab keluarga sendiri. Jadi kamu nggak bisa bergantung pada mereka."Apapun masalahmu, jangan pernah kabur meninggalkan rumah suami. Hendy lelaki yang baik, nggak mungkin melakukan KDRT atau menelantarkanmu."Pasti ayahnya berpikir kalau dirinya dan Hendy baik-baik saja sekarang ini. Sejauh mana mereka paham tentang Hendy sampai nekat menjodohkannya dengan dokter itu.Elvira menghela napas panjang sambil menatap cermin. Dia sudah selesai berdandan. Tinggal menunggu Hendy selesai mandi.Sejak memutuskan kembali ke rumah dan akur dengan perjodohan, hatinya sudah dipenuhi
Sebelum Berpisah - Ketakutan "Aku harus segera berangkat, El. Kamu bagaimana?""Nggak apa-apa. Aku berani." Elvira menjawab tanpa memandang sang suami. Sumpah, sebenarnya dia sangat takut dan cemas."Kamu mau ikut ke rumah sakit?""Nggak." Dia tidak mungkin pergi ke tempat yang paling tidak disukainya dan menunggu berjam-jam sampai Hendy keluar dari kamar operasi. Walaupun di rumah sendiri juga ketakutan. Lihat, lilin pun sudah mau habis.Hendy termangu sejenak. Dia tidak bisa menunggu lama. Tim ruang operasi sedang menunggunya. Lelaki itu masuk ke kamar untuk mengambil jaket."Mas, bisa minta tolong. Antar aku sebentar ke kamar mandi. Setelah itu aku mau masuk kamar dan tidur.""Pakai kamar mandiku. Aku benar-benar sedang ditunggu, El.""Oh, ya sudah. Mas, pergi saja." Elvira mengambil asbak yang ada lilinnya. Namun ia memekik karena jarinya kepanasan. Asbak dari logam itu tentu saja panas kena lelehan lilin."Kenapa?" Hendy kaget dan mendekat."Nggak." Elvira memakai ujung jilbabn
Sebelum Berpisah - Menguntit "Kenapa kamu mengikutiku tadi?" tanya Hendy yang membuat Elvira terkesiap. Jadi suaminya tahu kalau diikuti. Wajah wanita itu pias karena ketahuan."Aku nggak ngikutin. Biasanya aku juga lewat situ," elak Elvira sambil menggoreng ayam untuk lauk makan malam. "Aku tahu kamu sering memperhatikanku dan dokter Herlina."Elvira terhenyak. Tangannya yang memegang spatula sampai gemetar. Namun ia tidak berani menoleh ke belakang, pada Hendy yang duduk di kursi meja makan."Ah, Mas ini ke GR-an. Siapa juga yang merhatiin." Elvira menutupi rasa gugupnya."Oh, gitu ya."Dada Elvira berdebar hebat. Bodoh sekali. Seharusnya ia tadi tidak usah mengikuti mobil dokter Herlina. Yang ternyata mengantarkan Hendy ke bengkel. Ia baru tahu kalau mobil Hendy masuk bengkel. Makanya subuh tadi pulang di antar dokter cantik itu.Tapi kenapa harus dokter Herlina? Apa di rumah sakit sebesar itu dia tidak memiliki teman dokter laki-laki. Atau naik taksi misalnya. Kenapa selalu dok
Sebelum Berpisah - Kepergok Siapa perempuan di dalam mobil itu? Kenapa suaminya pulang di antar wanita itu. Ke mana mobilnya? Bukankah tadi malam Hendy pergi ke rumah sakit mengendarai mobilnya sendiri.Meski suasana masih gelap, Elvira bisa melihat dari kaca jendela depan. Saat lampu dalam mobil di nyalakan, terlihat siapa wanita itu. Hmm, dia lagi. Dokter kandungan yang cukup akrab dengan suaminya. Apa mereka pacaran?Elvira buru-buru ke belakang saat Hendy melangkah ke rumah. Seperti biasa dia sibuk menyiapkan sarapan. Memasak itu wajib, karena Hendy tidak suka makan di luar. Dia juga memberikan uang bulanan yang tidak sedikit pada istrinya.Terdengar pintu kamar dibuka kemudian ditutup. Elvira lega dan melanjutkan menggoreng nugget.Sejenak kemudian tiba-tiba Elvira memekik kaget saat Hendy berdiri menjulang tidak jauh darinya. "Ngagetin aja sih, Mas." Napas Elvira sampai ngos-ngosan. Ditambah lagi dengan bau obat-obatan. Dia benci dengan bau obat.Inilah salah satu alasan kenap
Sebelum Berpisah - Pernikahan yang Diatur "Mas, kenapa berkeliaran nggak pakai baju." Spontan Elvira membalikkan badan menghadap tembok."Kenapa? Salah, ya. Aku hanya nggak pakai baju. Bukan nggak pakai celana.""Iya, tapi ....""Aku di dalam rumahku sendiri, Elvira.""Iya, iya. Aku tahu ini rumahmu. Aku cuman numpang di sini. Nyebelin banget, sih." Perempuan bernama Elvira jengkel."Lagian kamu kan istriku, ngapain juga senewen gitu.""Istri?.""Oke, kamu ingin menjadi istri yang sebenarnya." "Stop!" Elvira memekik saat merasakan kalau suaminya menghampiri. "Aku mau kerja." Tergesa wanita yang memakai bergo warna peach itu masuk ke kamar dan menguncinya.Baru dua bulan saja rasanya seperti ini. Bagaimana untuk seterusnya. Pernikahan mereka sah di mata agama dan hukum negara. Keluarga, rekan kerja, teman, dan orang-orang di luar sana tahunya mereka seperti pasangan pada umumnya. Padahal hidup sendiri-sendiri. Pernikahan macam apa ini. Apakah setiap orang yang dijodohkan juga menjal