Share

4. Ketakutan

Penulis: Lis Susanawati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-01 19:04:32

Sebelum Berpisah

- Ketakutan

"Aku harus segera berangkat, El. Kamu bagaimana?"

"Nggak apa-apa. Aku berani." Elvira menjawab tanpa memandang sang suami. Sumpah, sebenarnya dia sangat takut dan cemas.

"Kamu mau ikut ke rumah sakit?"

"Nggak." Dia tidak mungkin pergi ke tempat yang paling tidak disukainya dan menunggu berjam-jam sampai Hendy keluar dari kamar operasi. Walaupun di rumah sendiri juga ketakutan. Lihat, lilin pun sudah mau habis.

Hendy termangu sejenak. Dia tidak bisa menunggu lama. Tim ruang operasi sedang menunggunya. Lelaki itu masuk ke kamar untuk mengambil jaket.

"Mas, bisa minta tolong. Antar aku sebentar ke kamar mandi. Setelah itu aku mau masuk kamar dan tidur."

"Pakai kamar mandiku. Aku benar-benar sedang ditunggu, El."

"Oh, ya sudah. Mas, pergi saja." Elvira mengambil asbak yang ada lilinnya. Namun ia memekik karena jarinya kepanasan. Asbak dari logam itu tentu saja panas kena lelehan lilin.

"Kenapa?" Hendy kaget dan mendekat.

"Nggak." Elvira memakai ujung jilbabnya sebagai lampin untuk mengangkat asbak. Lantas membawanya masuk ke kamar.

"El, pakai kamar mandiku. Jangan ditahan." Hendy mengambil kunci mobil lantas pergi.

Perut Elvira melilit. Dia tadi baru makan sedikit, pedas pula. Sekarang terasa ingin ke toilet. Namun tidak berani keluar. Rasa takut lebih mendominasi dan memilih menahan rasa sakitnya.

Elvira meringkuk dan tubuhnya berkeringat. Menahan sakit sekaligus gerah.

Walaupun Hendy menyuruhnya ke toilet yang ada di kamarnya, tapi Elvira tidak mau. Selama dua bulan ini, masuk ke kamar suaminya bisa dihitung dengan jari. Keluarga kalau datang tidak ada yang menginap. Jadi mereka aman tidur berasingan.

Wanita itu menangis dan mendesis lirih menahan sakit. Sedih juga. Entah, ini pernikahan seperti apa. Sejauh ini, Hendy pun tidak pernah mengajaknya bicara, mau dibawa ke mana pernikahan mereka.

Disuruh mengantarkan ke toilet sebentar saja, dia tidak bisa. Pasien memang lebih penting daripada istrinya yang tidak jelas ini. Elvira terisak. Apa dia tidak bisa merasakan setakut apa istrinya? Bahkan setelah satu jam kemudian, sang suami tidak menelepon untuk menanyakan keadaannya.

Ingin menghubungi Ranty, baterei ponsel minim sekali. Lagi pula temannya itu pasti sudah tidur. Dia kalau dibangunkan mendadak, migrainnya kumat.

Setelah beberapa jam hanya bisa membolak-balikkan badan, akhirnya Elvira terlelap kelelahan. Terbangun saat kembali merasakan perutnya sangat sakit dan suasana gelap gulita, karena lilin sudah habis. Kali ini tidak bisa ditahannya lagi. Dia memang harus ke belakang segera. Dia memakai kamar mandi di belakang, karena di kamarnya tidak ada.

Dinyalakan senter ponsel yang batreinya tinggal 25%. Elvira nekat. Dalam kepalanya berkelindan berbagai bayangan menakutkan. Di balik kegelapan seolah ada yang mengintai dengan tatapan tajamnya. Dalam hati terus membaca doa tiada henti. Tubuhnya sampai gemetaran dan merinding.

Setelah dari kamar mandi pun, perutnya masih tidak nyaman karena sudah terlanjur sakit. Dicarinya minyak kayu putih. Perutnya menghangat setelah dibaluri obat andalannya itu.

***L***

Hendy yang baru kembali dari bersepeda, heran karena dapur masih gelap dan sepi. Biasanya Elvira akan sibuk membuat sarapan sehabis salat subuh. Sedangkan sekarang sudah jam setengah enam pagi.

Lelaki itu memandang pintu kamar Elvira yang tertutup rapat. Apa dia belum bangun? Biasanya walaupun sedang haid dan tidak salat, tetap bangun untuk membuat sarapan. Padahal listrik sudah menyala jam dua pagi tadi.

Ketika hendak mengetuk kamar Elvira. Pintu depan terbuka. Istrinya masuk menenteng tas kresek. Wajahnya terlihat pucat.

"Maaf, aku nggak sempat masak, Mas. Kubelikan nasi kuning di warung Mak Yah." Elvira melangkah ke ruang makan. Meletakkan sebungkus nasi di atas piring. Sendok juga sudah disiapkan.

"El, wajahmu pucat gitu. Kamu sakit?" Hendy memperhatikan sang istri. Elvira menggeleng lantas mengambil sendok dan membawa sebungkus nasi ke kamarnya.

"Sorry, tadi malam ...."

"Nggak apa-apa. Aku ke kamar dulu." Elvira memotong perkataan suaminya.

Hendy mematung. Elvira sepucat itu apa dia ketakutan semalam. Atau dia sedang sakit. Biasanya dia berwajah cerah meski cemberut. Hendy tidak sempat menelepon, karena fokus pada operasi. Meski sudah melakukan tugas memberikan obat-obatan sedatif, anti nyeri pada pasien, dan berhasil membuat pasien tertidur. Bukan berarti tugasnya selesai. Ia harus memastikan tidak ada kendala hingga operasi selesai.

Pagi itu Hendy membuat teh dan sarapan sendirian. Kemudian masuk kamar untuk istirahat sebelum berangkat ke rumah sakit. Karena kelelahan, akhirnya tertidur dan bangun saat alarm berdering.

Buru-buru ia mandi dan berganti pakaian. Saat keluar, masih melihat helm milik Elvira di meja pojok ruang keluarga. Apa istrinya belum berangkat. Padahal ini sudah jam delapan. Elvira biasa pergi ke kantor jam tujuh pagi. Dan lihat, kunci motornya pun masih tergantung di dinding..

"El." Hendy mengetuk pintu kamar Elvira pelan. Tidak ada jawaban.

"El, kamu sakit?" Masih tidak ada sahutan. Diputarnya handle pintu, tapi dikunci. "El."

"Aku nggak apa-apa," terdengar sahutan pelan.

"Kamu nggak kerja?"

"Nggak."

"Aku berangkat ke rumah sakit."

"Ya."

Rumah kembali sepi. Elvira meringkuk di atas tempat tidur. Nasi yang baru dimakan sedikit terbiar di atas meja. Perutnya sudah terlanjur tak nyaman. Baru masuk nasi sedikit, rasanya sudah penuh.

Tidak ada yang dikerjakannya selain tiduran seharian. Jam tiga sore Ranty datang ke rumah.

"Kamu sudah mendingan?" tanya wanita itu seraya menyentuh kening Elvira. "Badanmu anget, El."

"Sepertinya maagku kambuh, Ran."

"Mulai sekarang kamu harus belajar minum obat. Obat maag itu nggak pahit, malah semriwing, rasa mint gitu. Selama ini kamu hanya ngandelin minyak kayu putih. Sakit perut, sakit kepala, sakit gigi, batuk, pilek, obatmu cuman itu saja. Oles sana sini kayak nenek-nenek bau balsem jadinya." Ranty mengomel sambil memijit pundak dan tengkuk Elvira.

Sedikit pun Elvira tidak membantah. Biar saja yang penting Ranty sudi datang. Dia satu-satunya orang yang mengerti banyak hal tentang dirinya. Hanya Ranty yang tahu kalau Elvira dan Hendy tidak pernah tidur sekamar.

"El, aku mau ngasih tahu kamu. Semoga ini nggak semakin menambah bebanmu."

Dada Elvira berdebar mendengar ucapan Ranty yang tampaknya mengkhawatirkan dan membuat penasaran. "Ada apa?"

"Tadi pagi aku nganterin Mbak Angel periksa kandungan ke dokter Herlina di klinik. Nggak sengaja aku ngelihat suamimu mengantar dokter itu ke sana. Mereka turun dan masuk ruangan."

Elvira terhenyak. Seperti apapun hubungannya dengan Hendy, tapi ia merasa kecewa karena lelaki itu suaminya.

"Aku nggak bakalan curiga kalau kamu nggak pernah cerita bagaimana kedekatan mereka."

"Mungkin ada operasi cesar di klinik bersalin itu, Ran."

"Oh, iya. Bisa jadi." Ranty tidak ingin memprovokasi sahabatnya.

Hening.

"Kamu cepetan pulih. Minggu depan kita harus ke Jakarta untuk mewakili Mbak Angel seminar. Ranty mengalihkan topik pembicaraan karena suasana mendadak tegang.

"Ya ampun. Aku hampir lupa, Ran."

"Masih ada waktu untuk bikin persiapan. Kamu ingin menghubungi Rizal dan ketemuan di sana?"

Keduanya saling pandang.

"Jangan deh. Seperti apapun hubunganmu dengan dokter Hendy. Kamu sudah menjadi istrinya, El. Oh ya, aku pulang dulu. Mau mampir ke apotek beliin obat ibu."

"Makasih kamu sudah datang." Elvira mengantarkan sahabatnya hingga ke teras. Kemudian ia ke dapur untuk memasak menu makan malam. Walaupun perutnya masih terasa perih jika berdiri terlalu lama.

Ketika tengah mengeluarkan sayuran dari kulkas, ponselnya di atas meja makan berpendar.

[Nggak usah masak. Mbak Ema mengundang kita ke rumahnya. Hari ini ulang tahunnya Tristan.] Pesan dari Hendy.

Elvira duduk di kursi. Sebenarnya ia malas ke mana-mana dengan kondisi perut yang tidak nyaman. Tapi tidak mungkin menolak. Ema itu kakaknya Hendy. Seorang dokter anak.

Dia selalu sibuk dengan ulang tahun orang lain. Tapi ulang tahunnya sendiri, tidak ada yang ingat kecuali Rizal dan Ranty. Sedih.

Kira-kira apa dokter Herlina nanti juga hadir di sana? Karena dia rekan baik kakak iparnya.

Segera dikembalikan sayuran ke dalam kulkas. Dia mau mandi dan dandan cantik malam ini.

Next ....

Selamat Membaca 🥰

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
El kasihn amat ya hari ultah GK di kasih ucapan trs di tinggal oprasi LG..SM kek q haa
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
knp El vira gk coba aja buat narik perhatiannya Hendri.. dia kan istri Sah..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • SEBELUM BERPISAH   5. Hamil

    SEBELUM BERPISAH - Hamil?Setelah kekacauan karena Elvira kabur dari rumah menjelang pernikahan, hingga sekarang hidupnya bisa dibilang tidak baik-baik saja. Ayahnya masih mengungkit peristiwa itu jika mereka bertemu. "Ayah nggak ingin mendengar kamu mengecewakan suamimu. Ayah menjodohkanmu dengan Hendy, demi masa depanmu. "Kalau ayah tiada, kamu punya suami yang bisa menjamin hidupmu. Kedua kakakmu memiliki tanggungjawab keluarga sendiri. Jadi kamu nggak bisa bergantung pada mereka."Apapun masalahmu, jangan pernah kabur meninggalkan rumah suami. Hendy lelaki yang baik, nggak mungkin melakukan KDRT atau menelantarkanmu."Pasti ayahnya berpikir kalau dirinya dan Hendy baik-baik saja sekarang ini. Sejauh mana mereka paham tentang Hendy sampai nekat menjodohkannya dengan dokter itu.Elvira menghela napas panjang sambil menatap cermin. Dia sudah selesai berdandan. Tinggal menunggu Hendy selesai mandi.Sejak memutuskan kembali ke rumah dan akur dengan perjodohan, hatinya sudah dipenuhi

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • SEBELUM BERPISAH   6. Aku Tahu

    SEBELUM BERPISAH - Aku Tahu "Aku nggak hamil, Mbak. Nggak usah diperiksa. Beneran aku nggak hamil. Maagku memang kambuh sejak semalam." Elvira keukeh tidak mau. Herlina tercekat di ambang pintu. Elvira hamil? Ada bias kecewa yang terlihat jelas di wajahnya. Yang ia dengar hanya kata 'hamil' saja. "Nggak ada salahnya diperiksa, El. Banyak perempuan mengira kembung biasa, ternyata sedang hamil." Ema keukeh dengan pendapatnya. Sedangkan Elvira sudah tak berdaya membantah. Tubuhnya terasa lemas. Terserah mereka bicara apa. Sedangkan Hendy sendiri juga bingung. Mana mungkin istrinya hamil? "Kalau gitu, besok kamu ikut Hendy ke rumah sakit untuk periksa. Siapa tahu lagi isi. Gejala orang hamil itu macam-macam, El. Seperti yang dibilang Ema tadi." Bu Putri membimbing sang menantu masuk ke salah satu kamar di rumah putrinya. Hendy juga ikut masuk. Ema mengajak Herlina kembali ke depan. "Kamu istirahat di sini." Elvira dibimbing untuk berbaring. Sang mama mertua terlalu yakin kal

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • SEBELUM BERPISAH   7. Trauma

    SEBELUM BERPISAH - TraumaSetakut itu dia? Dengan jelas Hendy melihat wajah pucat dan mata berembun milik istrinya. Ia yakin ini bukan ketakutan biasa. Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya."El, kamu tidak harus minum obatnya. Yang penting kamu periksa. Biar tahu separah apa sakitmu." Hendy bicara dengan nada lembut. Saat itu mereka sudah duduk di ruang tunggu tempat praktek seorang dokter umum.Hendy bisa merekomendasikan obat untuk istrinya. Namun melihat kondisi Elvira seperti itu, lebih baik dibawa ke ahlinya.Sudah terlanjur siang mereka berangkat tadi, antrian banyak dan mereka harus sabar menunggu."Bentar, aku belikan roti dan air minum." Hendy bangkit dari duduknya dan menyeberang jalan ke toko depan sana.Ketika Hendy pergi, ponsel Elvira berdering. Hasna menelepon. Dia memang sepeduli itu pada adik iparnya."Halo, Assalamu'alaikum, Mbak Hasna.""Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah?""Aku lagi antri periksa. Maagku kambuh, Mbak.""Ya Allah. Sejak kapan? Pasti asam lambung itu,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • SEBELUM BERPISAH   8. Pertahankan

    SEBELUM BERPISAH - Pertahankan Jangan sampai orang tuanya tahu kalau ia pisah kamar dengan Elvira. Dengan kondisi seperti ini, belum siap kalau mereka tahu. Tidak akan selamanya begini, pasti ada waktu bagaimana ia dan Elvira akan membicarakan pernikahan ini. Hendy mengunci pintu utama sebelum mamanya bisa membuka sendiri. Dari jendela kaca, ia melihat sang mama masih menerima telepon, sedangkan papanya memperhatikan lingkungan perumahan. Tergesa Hendy mengetuk pintu kamar sang istri. "El," panggilnya. "Ya. Ada apa?" "Mama dan papa datang." Di dalam kamar. Elfira yang sudah melepaskan jilbabnya dan berbaring terkejut. Dia belum siap jika ketahuan dalam keadaan sakit seperti ini. Dilapnya air mata memakai tisu. Air mata karena kangen pada ibunya. Kemudian tergesa mengenakan kembali jilbab dan membuka pintu kamar. Pada saat yang bersamaan terdengar bel berdenting. Hendy cekatan mengunci pintu kamar istrinya dan menyimpan kunci ke dalam saku celananya. Siapa tahu mamanya me

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • SEBELUM BERPISAH   9. Menginap

    SEBELUM BERPISAH- Menginap"Ini baju Hendy semua. Kok bajumu nggak ada El?" Bu Putri keheranan sekaligus curiga saat melihat isi lemari semuanya baju putranya."Oh, ada di lemari sebelahnya, Ma. Biar nanti kuambilkan," jawab Hendy yang sudah muncul di pintu. Lelaki itu menghampiri sang mama dan dengan gerakan halus, meminta mamanya menepi supaya tidak membuka pintu sebelahnya. Hendy ingat kalau kemarin ada piyama Elvira warna hitam terikut tumpukan bajunya dan belum sempat dikembalikan pada sang istri."Nanti habis makan dan minum obat, suruh El ganti baju," ujar Bu Putri seraya keluar kamar dan kembali menutup pintu.Hendy bernapas lega. Walaupun akhirnya terbongkar, sebenarnya dia tidak perlu risau. Bukan dirinya yang memulai situasi menjadi rumit seperti ini. Elvira yang duluan kabur dan membuatnya kecewa. Hampir saja diri dan keluarganya dipermalukan di hadapan orang banyak. Di hadapan keluarga, relasi, rekan kerja, teman-temannya yang lain, bahkan dihadapan orang yang tidak ia

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • SEBELUM BERPISAH   10. Jungkir Balik 1

    SEBELUM BERPISAH- Jungkir Balik "Dari rumah sakit. Ada pasien usus buntu akut yang harus segera dilakukan tindakan operasi. Kondisi medisnya mendesak dan memerlukan penanganan segera. Aku yang sejak kemarin menangani ini dengan dokter Zani." Hendy memandang sang istri setelah membaca pesan di ponselnya.Elvira membalas tatapan, tidak tahu harus bilang apa. Bukankah selama dua bulan ini, Hendy jarang sekali meminta persetujuannya jika harus pergi dadakan."Kamu tidak apa-apa kutinggal?"Mendengar pertanyaan itu membuat Elvira tambah heran. Waktu mati lampu dia ketakutan sendirian di rumah, Hendy juga langsung pergi. Minta di antarkan ke toilet sebentar saja tidak sempat. Sampai Elvira sakit perut."Nggak apa-apa. Biasanya Mas juga langsung pergi kan, jam berapapun itu." Elvira kembali melanjutkan sketsanya. Mentang-mentang ada kedua orang tuanya, Hendy jadi perhatian."Kalau gitu, kamu segera tidur," ujarnya lantas berdiri dan masuk ke kamar mandi.Saat itu ponsel Hendy kembali berpe

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • SEBELUM BERPISAH   11. Jungkir Balik 2

    "Nggak juga, Ma." Elvira mengangkat wajah sejenak. Kemudian kembali menyuap bubur. Dua bulan ini sebenarnya dia sudah biasa ditinggal mendadak malam hari. Bahkan Hendy jarang pamit. Namun tidak akan memberitahu mertuanya daripada omelan pagi ini tidak ada habisnya. "Kalau gitu, mama nggak jadi pulang hari ini. Biar mama nungguin sampai Elvira sembuh, Pa," ujar Bu Putri yang membuat anak dan menantunya bungkam. Pak Bakti juga tidak membantah. Dia sudah pensiun. Masih memiliki bisnis, tapi ada orang kepercayaan yang menanganinya.***L***"El, kamu tidak istirahat dulu. Sakitmu itu butuh banyak istirahat," tegur Hendy dari atas pembaringan. Memandang Elvira yang masih serius menggambar. Hampir seharian mereka mendekam di kamar. Elvira sibuk dengan desain-desainnya, sedangkan Hendy tidur karena mengantuk."Aku nggak bisa tidur," jawab Elvira tanpa menoleh."Kalau nggak bisa tidur, kamu rebahan saja. Itu sudah istirahat.""Bentar lagi. Acara tinggal empat hari lagi, aku harus menyelesaik

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • SEBELUM BERPISAH   12. Malam yang Tak Direncanakan 1

    SEBELUM BERPISAH - Malam yang Tak Direncanakan Elvira memilih bersikap santai meski dadanya juga bergemuruh karena malu. Tidak ada pilihan selain memakainya. Tak mungkin akan mengenakan lagi bajunya yang sudah kotor untuk salat. Jilbab dikenakan guna menutupi bahu dan dadanya yang terbuka. Terlihat aneh memang. Dia pun tahu kalau Hendy menahan senyum. Bagaimana bisa Hendy spontan membuka pintu. Apa dia tidak ingat kalau Elvira sedang mandi. Oh, mungkin dia kaget juga mendengar jeritannya. Apalagi dirinya baru sembuh dari sakit. "Maaf, aku tadi asal ngambil saja." "Nggak apa-apa. Nanti aku bisa ganti baju yang lain." Elvira mengenakan mukena lantas salat. Setelah itu keluar untuk mengambil baju di kamarnya. Kala itu sang mertua masih duduk di teras. Elvira sudah kembali ke kamar suaminya memakai gamis warna navy dan jilbab warna senada. Tidak tampak lagi kaki jenjang Elvira yang putih bersih dan mencabar kelelakiannya. Namun ia sudah terlanjur melihatnya tadi. Elvira juga

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07

Bab terbaru

  • SEBELUM BERPISAH   194. Pernikahan 3

    Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men

  • SEBELUM BERPISAH   193. Pernikahan 2

    Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se

  • SEBELUM BERPISAH   192. Pernikahan 1

    SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga

  • SEBELUM BERPISAH   191. Satu Momen di Surabaya 3

    Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri

  • SEBELUM BERPISAH   190. Satu Momen di Surabaya 2

    Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida

  • SEBELUM BERPISAH   189. Satu Momen di Surabaya 1

    SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h

  • SEBELUM BERPISAH   188. Serius 3

    "Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk

  • SEBELUM BERPISAH   187. Serius 2

    "Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami

  • SEBELUM BERPISAH   186. Serius 1

    SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status