Share

7. Trauma

Penulis: Lis Susanawati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-04 15:07:05

SEBELUM BERPISAH

- Trauma

Setakut itu dia? Dengan jelas Hendy melihat wajah pucat dan mata berembun milik istrinya. Ia yakin ini bukan ketakutan biasa. Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya.

"El, kamu tidak harus minum obatnya. Yang penting kamu periksa. Biar tahu separah apa sakitmu." Hendy bicara dengan nada lembut. Saat itu mereka sudah duduk di ruang tunggu tempat praktek seorang dokter umum.

Hendy bisa merekomendasikan obat untuk istrinya. Namun melihat kondisi Elvira seperti itu, lebih baik dibawa ke ahlinya.

Sudah terlanjur siang mereka berangkat tadi, antrian banyak dan mereka harus sabar menunggu.

"Bentar, aku belikan roti dan air minum." Hendy bangkit dari duduknya dan menyeberang jalan ke toko depan sana.

Ketika Hendy pergi, ponsel Elvira berdering. Hasna menelepon. Dia memang sepeduli itu pada adik iparnya.

"Halo, Assalamu'alaikum, Mbak Hasna."

"Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah?"

"Aku lagi antri periksa. Maagku kambuh, Mbak."

"Ya Allah. Sejak kapan? Pasti asam lambung itu, El. Kamu pasti sering begadang dan banyak pikiran," tebak Maya yang sudah begitu hafal dengan kebiasaan Elvira.

"Kamu ada masalah? Kamu dan Hendy baik-baik saja, kan?"

"Iya. Mungkin karena aku terlalu capek, makanya asam lambungku kambuh. Maaf kalau udah lama nggak nelepon Mbak Hasna. Kabar Mbak, Mas Arman, dan anak-anak baik-baik saja kan?"

"Alhamdulillah, sehat. Siang ini kami mau ke rumah ayah. Nanti mbak mampir ke rumahmu."

"Hu um," jawab Elvira pelan. Dalam kondisi seperti ini, dia belum menginginkan orang lain tahu kondisi rumah tangganya. Baru dua bulan. Ia tidak ingin membuat kekacauan lagi.

"Ya udah. Kamu berobat dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Siapa yang telepon?" tanya Hendy yang begitu cepat sudah kembali di sebelahnya.

"Mbak Hasna."

"Makan rotinya. Dikit-dikit saja biar perutmu tidak kosong."

"Makasih." Elvira menerima sebungkus roti dan sebotol air mineral. Maskernya dilepas supaya bisa minum. Hendy mengambil lagi botol saat Elvira kesulitan membuka segelnya.

"Makasih." Saat air minum dikembalikan padanya.

Setelah penantian yang panjang, akhirnya tiba giliran Elvira dipanggil masuk. Tanpa minta izin, Hendy ikut masuk.

Seorang dokter wanita setengah baya tersenyum dan menyapa Hendy. Meski tidak akrab, mereka saling kenal.

"Mbak ini istrinya, Dok?"

"Ya, Dokter Eri. Ini Elvira istri saya."

Elvira mengangguk dan tersenyum dibalik maskernya. Mereka tidak berbasi-basi terlalu lama karena banyak pasien yang mengantri. Hendy meminta dokter untuk memasukkan obat lewat injeksi saja, karena Elvira susah minum obat.

"Nggak ada orang yang suka minum obat, Mbak Elvira. Tapi coba agak dipaksa biar lekas sembuh. Suaminya dokter loh, pasti tiap hari bau obat, kan?"

Saat dilakukan pemeriksaan, Hendy tetap duduk di kursi tanpa memandang ke atas brankar. Dia menunggu sampai selesai. Tembok tak kasat mata dibangun Elvira dua hari setelah mereka sah menikah. Hendy sempat melihat rambut istrinya yang hitam pekat, panjang, dan tebal. Setelah itu Elvira menutup diri dan menjaga batasan.

Dokter Eri menjelaskan sakitnya Elvira pada Hendy. Asam lambung bukan maag. Asam lambung karena asam lambung itu sendiri. Dan masih ada beberapa penjelasan lainnya. "Kalau obatnya habis, bisa kontrol lagi jika belum membaik. Tapi saya doakan sembuh sebelum obat habis."

"Terima kasih, Dok." Hendy menyalami dokter Eri, begitu juga dengan Elvira. Lantas keduanya langsung pulang.

Dalam perjalanan, tidak ada percakapan di antara mereka. Elvira bersandar pada jok mobil dan memejam. Masker masih menutupi sebagian wajahnya.

"El, diminum obatnya. Pelan-pelan saja. Kalau sakitmu tak kunjung sembuh. Kamu mesti harus opname." Hendy bicara pelan saat mereka duduk di kursi meja makan. Dia pun harus mengontrol kesabaran, karena yang dihadapinya perempuan keras kepala yang tengah sakit.

"Kalau kamu nggak bisa minum pakai air, kubelikan pisang."

Elvira menggeleng. Dulu ia pernah menelan obat pakai pisang, yang ada obat itu malah ikut tergigit dan dia muntah-muntah. Elvira membuka kresek obat. Mengeluarkan satu per satu pil yang harus diminum, meski rasanya sudah mau muntah melihat obat seukuran kapsul. Hendy mengambilkan air minum.

Pil kecil pertama lolos meski harus di dorong air berulang kali karena menyangkut di tenggorokan. Pil kedua dimuntahkan kembali ke atas meja. Elvira sampai berkeringat dingin. Hendy mengambil lap.

"Biar kubersihkan sendiri, Mas."

"Nggak apa-apa," tolak Hendy. Dia yang sudah terbiasa menghadapi pasien, mana ada jijik dengan semua itu.

"Jangan, biar aku saja." Elvira mengambil paksa lap dari tangan suaminya. Kemudian membersihkan meja. Untungnya yang keluar cuma air dan pil. Sarapan tadi pagi tidak ikut dimuntahkan.

"Nanti saja kuminum lagi obatnya." Elvira meraih kresek obat setelah menaruh lap di keranjang cucian dan mencuci tangan. Dia hendak ke kamar.

"Kamu ingin cerita padaku? Aku yakin ini bukan hal biasa. Mungkin ada yang menyebabkan kamu trauma dengan obat dan rumah sakit?"

Elvira yang hendak ke kamar, akhirnya kembali duduk. Lebih baik memang cerita saja. Daripada dituduh membuat drama.

"Bertahun-tahun ibuku sakit melawan kanker. Usiaku baru sembilan tahun saat beliau benar-benar parah. Aku yang setiap hari bersamanya karena ayah sibuk di kantor dan kedua kakakku sekolah full day." Mata Elvira berkaca-kaca.

"Aku yang baru sembilan tahun, melihat semuanya. Dari kesakitan, puluhan jenis obat yang harus di konsumsi, belum lagi keluar masuk rumah sakit untuk pemeriksaan dan opname. Aku selalu bersamanya karena ibu nggak ingin jauh dariku. Ayahku bilang, aku harus mendampingi. Siapa tahu dengan kehadiranku, bisa menunjang kesembuhannya. Ibu sangat menyayangiku.

"Tapi ibu pergi juga." Elvira menangis. Hendy mengambilkan tisu dan duduk lebih mendekat.

Elvira menarik napas panjang untuk melonggarkan dadanya. Ulu hati kian terasa perih. "Bau obat ditubuh ibu, rasanya masih tercium sampai sekarang. Setelah ibu pergi, nggak ada lagi yang mendekapku jika listrik mati. Nggak ada teman bercerita atau bermanja. Mak Imah pun sudah lelah setelah seharian mengurus rumah. Mak Imah yang sudah lama ikut kami pun, sangat kehilangan saat ibu pergi. Ayah terpukul. Walaupun beliau suka memaksakan kehendak, tapi bagiku ayah lelaki yang hebat. Nggak pernah menghadirkan wanita lain meski istrinya sakit, bahkan setelah enam belas tahun ibu tiada. Ayah memilih tetap sendirian."

Hening. Hendy turut merasakan kesedihan itu. Benar. Trauma itu ada sebabnya.

Cukup itu saja yang perlu Hendy tahu. Perutnya semakin perih jika ia mengingat semuanya. Tahu banyak pun percuma, sepertinya pernikahan mereka tidak akan bertahan lama. Instingnya sebagai seorang istri mengatakan, ada wanita lain di antara mereka. Diambilnya kresek obat. "Aku ke kamar dulu."

"Aku mau keluar beli bubur untukmu. Jangan makan nasi dulu."

Elvira masuk kamar, Hendy meraih kunci di meja. Namun ketika membuka pintu, ada mobil baru saja berhenti tepat di depan pagar rumah.

"Mama." Pasti datang bersama papanya. Mungkin mereka mengira kalau Elvira benar-benar hamil.

Next ....

Selamat Membaca.

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Asriel Mbae
keren,sangat enak di baca
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
mungkin dengan cerita bisa membuka jalan komunikasi mereka berdua..
goodnovel comment avatar
Heni Hendrayani
kaya nya pak dokter baik siih cuma dia kecewa pas elflvira kabur sebelum menikah dia mungkin berpikir segitu gak mau nya menikah dengn nya sampe harus kabur kaburan segala....poko nya cerita mba lis gk pernah gagal mengaduk Perasaan deh best banget semua cerita nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • SEBELUM BERPISAH   8. Pertahankan

    SEBELUM BERPISAH - Pertahankan Jangan sampai orang tuanya tahu kalau ia pisah kamar dengan Elvira. Dengan kondisi seperti ini, belum siap kalau mereka tahu. Tidak akan selamanya begini, pasti ada waktu bagaimana ia dan Elvira akan membicarakan pernikahan ini. Hendy mengunci pintu utama sebelum mamanya bisa membuka sendiri. Dari jendela kaca, ia melihat sang mama masih menerima telepon, sedangkan papanya memperhatikan lingkungan perumahan. Tergesa Hendy mengetuk pintu kamar sang istri. "El," panggilnya. "Ya. Ada apa?" "Mama dan papa datang." Di dalam kamar. Elfira yang sudah melepaskan jilbabnya dan berbaring terkejut. Dia belum siap jika ketahuan dalam keadaan sakit seperti ini. Dilapnya air mata memakai tisu. Air mata karena kangen pada ibunya. Kemudian tergesa mengenakan kembali jilbab dan membuka pintu kamar. Pada saat yang bersamaan terdengar bel berdenting. Hendy cekatan mengunci pintu kamar istrinya dan menyimpan kunci ke dalam saku celananya. Siapa tahu mamanya me

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • SEBELUM BERPISAH   9. Menginap

    SEBELUM BERPISAH- Menginap"Ini baju Hendy semua. Kok bajumu nggak ada El?" Bu Putri keheranan sekaligus curiga saat melihat isi lemari semuanya baju putranya."Oh, ada di lemari sebelahnya, Ma. Biar nanti kuambilkan," jawab Hendy yang sudah muncul di pintu. Lelaki itu menghampiri sang mama dan dengan gerakan halus, meminta mamanya menepi supaya tidak membuka pintu sebelahnya. Hendy ingat kalau kemarin ada piyama Elvira warna hitam terikut tumpukan bajunya dan belum sempat dikembalikan pada sang istri."Nanti habis makan dan minum obat, suruh El ganti baju," ujar Bu Putri seraya keluar kamar dan kembali menutup pintu.Hendy bernapas lega. Walaupun akhirnya terbongkar, sebenarnya dia tidak perlu risau. Bukan dirinya yang memulai situasi menjadi rumit seperti ini. Elvira yang duluan kabur dan membuatnya kecewa. Hampir saja diri dan keluarganya dipermalukan di hadapan orang banyak. Di hadapan keluarga, relasi, rekan kerja, teman-temannya yang lain, bahkan dihadapan orang yang tidak ia

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • SEBELUM BERPISAH   10. Jungkir Balik 1

    SEBELUM BERPISAH- Jungkir Balik "Dari rumah sakit. Ada pasien usus buntu akut yang harus segera dilakukan tindakan operasi. Kondisi medisnya mendesak dan memerlukan penanganan segera. Aku yang sejak kemarin menangani ini dengan dokter Zani." Hendy memandang sang istri setelah membaca pesan di ponselnya.Elvira membalas tatapan, tidak tahu harus bilang apa. Bukankah selama dua bulan ini, Hendy jarang sekali meminta persetujuannya jika harus pergi dadakan."Kamu tidak apa-apa kutinggal?"Mendengar pertanyaan itu membuat Elvira tambah heran. Waktu mati lampu dia ketakutan sendirian di rumah, Hendy juga langsung pergi. Minta di antarkan ke toilet sebentar saja tidak sempat. Sampai Elvira sakit perut."Nggak apa-apa. Biasanya Mas juga langsung pergi kan, jam berapapun itu." Elvira kembali melanjutkan sketsanya. Mentang-mentang ada kedua orang tuanya, Hendy jadi perhatian."Kalau gitu, kamu segera tidur," ujarnya lantas berdiri dan masuk ke kamar mandi.Saat itu ponsel Hendy kembali berpe

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • SEBELUM BERPISAH   11. Jungkir Balik 2

    "Nggak juga, Ma." Elvira mengangkat wajah sejenak. Kemudian kembali menyuap bubur. Dua bulan ini sebenarnya dia sudah biasa ditinggal mendadak malam hari. Bahkan Hendy jarang pamit. Namun tidak akan memberitahu mertuanya daripada omelan pagi ini tidak ada habisnya. "Kalau gitu, mama nggak jadi pulang hari ini. Biar mama nungguin sampai Elvira sembuh, Pa," ujar Bu Putri yang membuat anak dan menantunya bungkam. Pak Bakti juga tidak membantah. Dia sudah pensiun. Masih memiliki bisnis, tapi ada orang kepercayaan yang menanganinya.***L***"El, kamu tidak istirahat dulu. Sakitmu itu butuh banyak istirahat," tegur Hendy dari atas pembaringan. Memandang Elvira yang masih serius menggambar. Hampir seharian mereka mendekam di kamar. Elvira sibuk dengan desain-desainnya, sedangkan Hendy tidur karena mengantuk."Aku nggak bisa tidur," jawab Elvira tanpa menoleh."Kalau nggak bisa tidur, kamu rebahan saja. Itu sudah istirahat.""Bentar lagi. Acara tinggal empat hari lagi, aku harus menyelesaik

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • SEBELUM BERPISAH   12. Malam yang Tak Direncanakan 1

    SEBELUM BERPISAH - Malam yang Tak Direncanakan Elvira memilih bersikap santai meski dadanya juga bergemuruh karena malu. Tidak ada pilihan selain memakainya. Tak mungkin akan mengenakan lagi bajunya yang sudah kotor untuk salat. Jilbab dikenakan guna menutupi bahu dan dadanya yang terbuka. Terlihat aneh memang. Dia pun tahu kalau Hendy menahan senyum. Bagaimana bisa Hendy spontan membuka pintu. Apa dia tidak ingat kalau Elvira sedang mandi. Oh, mungkin dia kaget juga mendengar jeritannya. Apalagi dirinya baru sembuh dari sakit. "Maaf, aku tadi asal ngambil saja." "Nggak apa-apa. Nanti aku bisa ganti baju yang lain." Elvira mengenakan mukena lantas salat. Setelah itu keluar untuk mengambil baju di kamarnya. Kala itu sang mertua masih duduk di teras. Elvira sudah kembali ke kamar suaminya memakai gamis warna navy dan jilbab warna senada. Tidak tampak lagi kaki jenjang Elvira yang putih bersih dan mencabar kelelakiannya. Namun ia sudah terlanjur melihatnya tadi. Elvira juga

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • SEBELUM BERPISAH   13. Malam yang Tak Direncanakan 2

    "Diminum dulu. Tinggal dua kali minum. Malam ini dan besok pagi." Hendy mengambil obat di atas meja. Sekalian dengan air minumnya. Ia mematahkan pil yang ukurannya besar menjadi tiga bagian, baru memberikannya pada sang istri.Minum obat sambil diawasi sungguh menyiksa. Elvira sampai keluar air mata. Kapan penderitaan ini selesai. Nafas, keringat, serasa bau obat semua.Usai minum obat, Elvira diam di tempat. Sampai benar-benar yakin, obat telah masuk ke perut, baru bergerak untuk berbaring di tempat tidur. Serumit itu memang. Hendy mematikan lampu utama dan mengganti dengan lampu tidur yang lebih redup. Mereka berdua terjebak dalam keheningan. Setengah jam berlalu tanpa percakapan. Suara jam dinding menjadi satu-satunya irama yang menemani mereka. Namun di luar sana, angin malam berembus sepoi menerpa dedaunan. Musim kemarau yang kering.Akhirnya, Hendy memutuskan untuk memecah kebekuan. "Kamu yakin akan pergi lusa, dengan keadaan baru sembuh begini?" Hendy bertanya."Ya. Aku sudah

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • SEBELUM BERPISAH   14. Malam yang Tak Direncanakan 3

    Sarapan pagi sudah terhidang di meja. Hendy yang sudah rapi, menghampiri istrinya dan memberinya sesuatu. "Diminum dulu obat sebelum makan.""Eh, iya."Seperti biasa. Drama kecil selalu mengiringi saat Elvira minum obat. Mereka akhirnya sarapan pagi bersama. Elvira menikmati bubur buatan mama mertuanya. "Pagi ini papa dan mama pulang, ya. El sudah sembuh. Untuk sementara makan bubur dulu. Supaya lambungmu benar-benar pulih." Bu Putri memandang Hendy dan Elvira bergantian."Kalau ke Jakarta, hati-hati. Perhatikan pola makanmu. Mama sebenarnya nggak tega, El. Tapi sayang juga kalau kesempatan ini kami lewatkan." Elvira mengangguk. Tadi malam ia memang sempat pamit kalau akan berangkat ke Jakarta untuk empat hari."Aku berangkat ke rumah sakit dulu!" Hendy menghampiri Elvira yang mengemas meja makan setelah mereka selesai sarapan."Ya." Elvira menoleh dan keduanya sama-sama tersenyum.Hendy pamitan pada papa dan mamanya.Jam sembilan, orang tua Hendy juga pulang. Tidak lama kemudian,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • SEBELUM BERPISAH   15. Terlambat Pulang 1

    SEBELUM BERPISAH - Terlambat Pulang Jam setengah sepuluh Hendy baru sampai di rumah. Sepi. Ia masuk ke kamarnya. Elvira tidak tidur lagi di sana. Seprai juga sudah di ganti, menghapus jejak semalam. Tanda bahwa dialah orang pertama yang 'mendapatkannya'.Hendy keluar kamar dan menoleh ke ruang makan. Tudung saji masih di atas meja. Saat dilihat, menu makan malam masih lengkap. Harusnya dia mengabari Elvira kalau pulang telat, supaya istrinya tidak susah payah memasak. Jadi merasa bersalah sekarang. Diketuknya pintu kamar Elvira pelan. Namun tidak ada sahutan. Apa istrinya belum pulang? Tidak mungkin. Motornya ada di rumah. Helm dan sepatunya ada. Siang tadi sang istri memang mengirim pesan kalau hendak ke kantor.Diputarnya handle pintu kamar, ternyata dikunci. Berarti Elvira sudah tidur sekarang. Sang istri memilih kembali ke kamarnya. Dengan single bad yang hanya muat ditidurinya sendiri.Hendy duduk setengah merebahkan diri di sofa. Capek sekali hari ini. Hendak pulang cepat, ad

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08

Bab terbaru

  • SEBELUM BERPISAH   116. Pertemuan Sore Itu 3

    Lelaki itu mengambil ponsel dari saku celana saat ada bunyi notifikasi. Membuka benda itu sambil melangkah di lorong rumah sakit. Kembali ada email masuk yang mengirim foto Elvira dan Rizal. Ketenangannya terusik oleh hal-hal begini. Padahal hubungannya dengan sang istri mulai menghangat belakangan ini. Ia mencurigai Herlina. Dia begitu yakin kalau pelakunya adalah wanita itu. Tidak sulit bagi Herlina untuk mendapatkan foto-foto mereka, entah bagaimana itu caranya.Hendy terus melangkah ke parkiran. Dia tidak akan membiarkan, tapi bukan sekarang. Pasti akan ada waktu yang tepat untuk menegurnya. Kendati mereka masih bertemu setiap hari.Kalau sampai Herlina tahu Elvira berhenti kerja, memang dia membayar orang untuk mencari informasi itu.Sesampainya di rumah, Elvira sudah menyambutnya di depan pintu. Senyum wanita itu merekah, menyembunyikan apa yang terjadi tadi siang. "Aku khawatir Mas pulang malam, padahal aku sudah masak sup iga kesukaan, Mas." "Kalau pulang telat, Mas pasti

  • SEBELUM BERPISAH   115. Pertemuan Sore Itu 2

    "Aku sedih banget. Selama ini kita selalu bersama-sama. Sekolah, kuliah, jalan-jalan, kerja, selalu barengan." Mata Ranty memerah.Elvira tersenyum getir lantas memandang Ranty. "Nggak selamanya selalu bersama, Ran. Tapi kita masih bisa bertemu, berkomunikasi, meski sudah nggak menjadi rekan kerja lagi. "Kalau bukan aku, pasti kamu juga bisa memutuskan hal begini jika ada sesuatu yang membuatmu harus pergi. Dengan Rizal pun sama. Setelah projek selesai, kita pun akan terputus sebagai partner kerja." Elvira memandang Rizal yang saat itu juga memperhatikannya dengan mata yang memerah.Entah ini kesedihan yang ke berapa lagi. Luka dari perempuan yang sama. Dulu dia harus pergi, mulai mengobati hati. Ketika mulai terbiasa, kembali dipertemukan di Jakarta. Dan tuntutan pekerjaan membuat mereka kembali bertemu dan menjadi partner kerja. Rizal kembali terbawa oleh perasaannya yang masih tetap sama. Nyaman dan menjadi lebih bersemangat, meski ia sadar sesadar-sadarnya kalau Elvira itu sudah

  • SEBELUM BERPISAH   114. Perpisahan Sore Itu

    SEBELUM BERPISAH - Perpisahan Sore Itu Ketika Elvira dan Ranty hendak bangkit dari duduknya, saat bersamaan pintu ruangan diketuk lalu masuklah Angel. Wanita yang tengah sarat mengandung itu tampak kepayahan. Ranty mengambilkan kursi untuk duduk bosnya."Ada apa, Mbak?" tanya Ranty."Nggak ada apa-apa. Kalian mau nemui Rizal, kan?""Ya," jawab Ranty."Oke. Aku juga pasrah pada kalian berdua tentang renovasi kantor di Sidoarjo."Hening."Ada apa nih, kalian tampak sedih gitu?" Angel memperhatikan Elvira dan Ranty bergantian. Dia merasakan sesuatu yang berbeda.Ranty memandang Elvira. Biarlah Rizal menunggu, tapi ia harus memberitahu bosnya sekarang juga. Siapa tahu Angel bisa membuat Elvira merubah keputusan. "El mau resign, Mbak."Angel terperanjat. Matanya membulat memandang Elvira. "Kenapa resign?"Elvira memberikan alasan persis seperti yang diucapkan pada Ranty baru saja. Bicara dengan tenang, seolah tanpa beban."Mbak mau lahiran, El. Kalau kamu berhenti kerja, siapa lagi yang

  • SEBELUM BERPISAH   113 Pertemuan Tahun Baru 3

    Bu Salima membawakan secangkir kopi untuk Rizal yang kembali mengutak-atik motornya. Pulang dari bertemu dengan Arsita, Rizal kembali sibuk dengan motor tuanya."Bagaimana pertemuan tadi?" Bu Salima penasaran."Kami hanya ngobrol biasa, Bu. Bu Bahtiar juga ikut tadi. Mereka baik, ramah juga. Tanya-tanya tentang keluarga kita. Aku jawab apa adanya."Bu Salima diam sejenak. Memandang tangan Rizal yang sibuk membenahi motornya. "Bagaimana dengan Arsita?""Dia baik juga." Rizal menceritakan percakapannya dengan gadis itu. Bu Salima mengembalikan keputusan pada putranya. Dia tidak ingin memaksa, meski ingin sekali melihat Rizal segera membuka lembaran baru. Memang harus dipaksakan. Kalau menunggu sampai benar-benar bisa melupakan Elvira, terus kapan itu? Karena semuanya tidak akan gampang.Mungkin kehadiran gadis lain, perlahan akan membuat Rizal bisa meninggalkan masa lalunya. Sedangkan Rizal sendiri merasa sedang berdiri di persimpangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dia d

  • SEBELUM BERPISAH   112. Pertemuan Tahun Baru 2

    Keduanya saling pandang dan tersenyum saat tubuh Elvira mendarat di sofa ruang keluarga. Hendy mengelap peluh yang membasahi pelipis istrinya. Lantas dia bangkit untuk mengambilkan air minum."Minum dulu!" Hendy membantu istrinya untuk minum, air sisa setengah gelas itu akhirnya ia habiskan dan meletakkan gelas kosong di meja depannya.Hendy mengambil remote TV dan menyalakannya. "Kapan jadi mengajukan surat pengunduran diri?" Hendy memandang Elvira yang fokus memandang layar bening. Meski pikirannya sedang tidak ke sana. "Dalam minggu ini, Mas. Aku akan menyelesaikan pekerjaan yang tersisa dulu.""Bagaimana dengan projek pembangunan gedung baru?" Hendy yakin, ini salah satu pertimbangan kenapa istrinya memilih resign. Sebab Rizal terlibat di sana. Mungkin.Namun ia tidak akan mengorek lagi tentang pria itu. Elvira memilih mundur, tentu sudah menjadi nilai plus baginya. Berarti sang istri sudah berusaha untuk bertahan dalam pernikahan mereka. Hendy tidak akan mencari masalah dengan

  • SEBELUM BERPISAH   111. Pertemuan Tahun Baru 1

    SEBELUM BERPISAH- Pertemuan Tahun BaruPutih, cantik, rambut terurai sebahu. Mengenakan blouse lengan panjang warna ungu dan celana jeans warna hitam. Arsita. Pak Bahtiar mengenalkan putri dan juga sang istri yang saat itu ikut serta.Gadis cantik dengan sapuan make up tipis di wajahnya itu tersenyum ramah pada Rizal.Mereka bertemu di sebuah restoran seafood. Ketika Rizal datang, Pak Bahtiar sudah berada di sana. Tidak lama kemudian makanan yang di pesan Bu Bahtiar datang."Kamu mau minum apa, Zal?" tanya Pak Bahtiar."Es teh saja, Pak."Pak Bahtiar memanggil seorang pramusaji dan memesan minuman buat mereka."Mari, makan. Sambil ngobrol." Pak Bahtiar mempersilakan."Rizal, bener kamu anak tunggal?" tanya Bu Bahtiar."Sebenarnya saya punya adik perempuan, Bu. Tapi meninggal sesaat setelah dilahirkan.""Oh ...." Bu Bahtiar memandang Rizal dengan wajah ceria. Sosok yang beberapa waktu belakangan ini, selalu dibicarakan bersama suaminya. Dia tertarik dengan kepribadian Rizal. Ternyata

  • SEBELUM BERPISAH   110. Keputusan 3

    Demi menjaga hubungan baiknya dengan Ranty, terpaksa ia berhenti kerja. Agar tidak sering bertemu Rizal juga. Sudah selayaknya ia menjauh, agar Rizal pun bisa membuka hati untuk insan baru. Soal impiannya, Elvira sudah mengikhlaskan. Seharian tadi dia berpikir dalam-dalam tentang hal itu.Tentang tanggungjawabnya pada pembangunan gedung baru, bisa ia limpahkan pada Ranty atau staf lain. Toh itu bukan pekerjaan yang susah. Hanya sekedar mengawasi dan berinteraksi dengan Rizal sebagai arsiteknya saja.Sekalipun ekspresi Elvira terlihat serius meyakinkannya, tapi Hendy tetap merasa ada sesuatu yang terjadi. Apa perlu ia menelepon Ranty untuk bertanya?"Mas masih ingat kalau kamu ingin memiliki brand tersendiri. Mas dukung kamu untuk merintis usaha sendiri. Mas akan mensupport secara materi juga.""Nggak semudah itu, Mas. Untuk buka usaha aku juga harus punya banyak pengalaman dan koneksi. Nanti, mungkin. Sekarang aku mau fokus sama rumah tangga kita."Hendy tersenyum bahagia. Meski keput

  • SEBELUM BERPISAH   109. Keputusan 2

    "Iya, Mas. Aku di rumah sekarang.""Kenapa? Kamu sakit?" Suara Hendy sarat rasa khawatir."Nggak. Emang lagi longgar saja. Makanya aku pulang. Nanti sibuk lagi di awal tahun." Elvira berbohong. Berusaha menyeimbangkan suaranya supaya Hendy tidak tahu kalau dirinya habis menangis. Eh, tapi bagaimana kalau Hendy bertanya pada Ranty?"Beneran karena itu?""Aku memang pengen istirahat di rumah. Pas nggak ada kerjaan juga. Jadi aku ngasih alasan pusing ke Ranty, Mas." Elvira tertawa kecil untuk hal yang sama sekali tidak lucu. Juga untuk menutupi kegundahannya karena membohongi Hendy."Kamu naik taksi tadi? Kenapa nggak nelepon Mas Asep saja untuk menjemput.""Nggak, Mas. Nanti kelamaan nunggu. Mesti ngambil mobil ke rumah dulu, baru menjemputku. Oh ya, aku mau masak. Bikin ayam kremes. Hari ini Mas pulang jam berapa?""Kalau sesuai jadwal. Sore mas sudah sampai di rumah.""Baiklah, kutunggu.""Oke. Nanti mas telepon lagi. Mas mau ke ICU sebentar, terus ke ruang bedah.""Iya.""Assalamu'al

  • SEBELUM BERPISAH   108. Keputusan 1

    SEBELUM BERPISAH - Keputusan "El," panggil Ranty membuka pintu ruangan sahabatnya. Kosong. Elvira ke mana?Tas Elvira juga tidak ada. Ranty tergesa keluar dan bertanya pada staf di resepsionis. "Mbak, ngelihat Mbak Elvira, nggak?""Oh, Mbak El-nya pulang, Mbak. Tadi tergesa-gesa. Bilang kalau lagi nggak enak badan. Saya baru saja mau ke ruang meeting untuk ngasih tahu ke Mbak Ranty dan Pak Rizal."Dahi Ranty mengernyit heran. Kenapa Elvira tidak pamit padanya. Atau ke ruang meeting sejenak untuk menemui Rizal. Padahal tadi dia sudah tahu kalau Rizal mau datang. Dan waktu datang tadi Elvira tampak sehat-sehat saja dan sempat ngobrol dengannya.Ranty melangkah ke ruang meeting. Rizal heran melihatnya datang sendirian. "Mana El, Ran.""Bentar." Ranty meraih ponsel untuk menelepon sahabatnya. Ternyata sudah ada pesan masuk dari Elvira.[Ran, maafkan aku. Aku buru-buru pulang dan nggak sempat nemui kalian. Badanku lemas. Kamu saja yang nemui Rizal untuk membahas renovasi gedung di Sidoar

DMCA.com Protection Status