SEBELUM BERPISAH - Terlambat Pulang Jam setengah sepuluh Hendy baru sampai di rumah. Sepi. Ia masuk ke kamarnya. Elvira tidak tidur lagi di sana. Seprai juga sudah di ganti, menghapus jejak semalam. Tanda bahwa dialah orang pertama yang 'mendapatkannya'.Hendy keluar kamar dan menoleh ke ruang makan. Tudung saji masih di atas meja. Saat dilihat, menu makan malam masih lengkap. Harusnya dia mengabari Elvira kalau pulang telat, supaya istrinya tidak susah payah memasak. Jadi merasa bersalah sekarang. Diketuknya pintu kamar Elvira pelan. Namun tidak ada sahutan. Apa istrinya belum pulang? Tidak mungkin. Motornya ada di rumah. Helm dan sepatunya ada. Siang tadi sang istri memang mengirim pesan kalau hendak ke kantor.Diputarnya handle pintu kamar, ternyata dikunci. Berarti Elvira sudah tidur sekarang. Sang istri memilih kembali ke kamarnya. Dengan single bad yang hanya muat ditidurinya sendiri.Hendy duduk setengah merebahkan diri di sofa. Capek sekali hari ini. Hendak pulang cepat, ad
Saat itu menjadi malam pertama mereka sebagai suami istri dalam arti yang sebenarnya. Dia tunduk juga akhirnya. Setelah dua bulan berlalu seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Ada yang mengganjal, tentang hubungan suaminya dengan Herlina. Seperti apakah sebenarnya hubungan mereka. "Hei, melamun!" tegur Ranty menyentuh tangan Elvira."Kamu memikirkan tentang dokter perempuan itu? Aku paham perasaanmu. Mungkin kamu mulai ada rasa terhadap Mas Dokter." Gadis itu berkata sambil tersenyum. "Dia suamiku, Ran. Kami terikat pernikahan. Hal begini, tentu saja mengusik hubungan kami.""Aku ngerti."Elvira memandang Ranty sejenak. Ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, tapi tidak bisa. Selama ini sahabatnya tahu kalau dirinya pisah kamar dengan Hendy. Ranty tentunya tidak menduga kalau ia telah menyerahkan segalanya pada sang suami.Wanita berjilbab warna pastel itu menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang hampir pecah. Pikirannya terus berputar, mencoba memahami perasaa
Herlina mengangguk lantas melangkah pergi. Hendy masuk dan duduk di kursi putarnya. Mengeluarkan ponsel yang ternyata sudah ada pesan masuk.[Maaf, baru sempat balas, Mas. Aku sudah sampai Jakarta. Sekarang lagi di tempat seminar.] Elvira menyertakan sebuah foto di dalam sebuah gedung dan menampakkan beberapa pembicara di depan podium.[Aku mau nelepon. Bisa?] Balas Hendy.[Nanti saja. Aku lagi diskusi dan di sini rame banget.][Oke.]Hendy meletakkan ponsel dan membuka berkas berisi keterangan medis pasien yang akan operasi siang nanti.***L***"Hai, El, Ranty." Seorang laki-laki yang keluar dari mobil memanggil Elvira dan Ranty yang baru keluar dari gedung tempat seminar. Saat itu senja telah mengambang."Zal, kamu bisa ada di sini?" Elvira kaget. Begitu juga dengan Ranty. Mereka bersalaman."Kantorku nggak jauh dari sini.""Oh ya?"Rizal mengangguk. "Makanya waktu aku baca story-nya Ranty, aku langsung ngerti kalian ada pertemuan di mana. Sampai Sabtu kan kalian di sini?""Iya. Ka
SEBELUM BERPISAH - Aku yang Salah"Hallo." Suara perempuan. Sepertinya suara dokter Herlina. Walaupun jarang bertemu, tapi Elvira kenal suaranya."Siapa Anda? Kenapa Anda yang menjawab telepon suami saya?" Elvira bicara dengan ketus."Dokter Hendy masih ke kamar mandi. Nanti saja telepon lagi." Telepon langsung dimatikan. Elvira geram menatap layar bening yang menampilkan fotonya sendiri. Kenapa bisa ponsel suaminya sampai dipegang orang lain. Ia yakin kalau itu suara dokter Herlina. Di mana mereka sebenarnya. Masih di rumah sakit apa sudah di rumah?Tidak mungkin kalau dia asisten suaminya. Kalaupun iya, pasti bicaranya akan lebih sopan dan tidak asal memutuskan sambungan. Walaupun mungkin tidak tahu siapa yang menelepon. Sebab Elvira tidak tahu, dikasih nama siapa dirinya di kontak ponsel sang suami.Dipandanginya jam dinding. Pukul 18.30. Jam segini biasanya Hendy sudah pulang, tapi terkadang juga belum.Elvira menarik napas panjang. Setelah mulai tenang, ia keluar kamar dan turu
"Sudah. Yang jawab perempuan. Seperti suara dokter Herlina." Elvira menceritakan bagaimana wanita diseberang tidak sopan bicara dengannya.Sambil cerita, Elvira memeriksa ponselnya. Ada dua panggilan masuk dari sang suami. Dalam hitungan detik, ponsel kembali berdering."Aku terima telepon dulu, Ran." Elvira turun dari pembaringan dan menepi ke dekat jendela kamar. Berdiri di balik gorden kamar sambil menyaksikan malamnya kota Jakarta dari ketinggian."Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Kenapa nggak ngangkat telepon, El. Sejak tadi kutunggui telepon darimu.""Jam setengah tujuh tadi Mas masih di rumah sakit apa sudah pulang?""Masih di rumah sakit. Aku sampai rumah jam delapan.""Aku menelepon Mas jam setengah tujuh tadi. Yang ngangkat perempuan. Seperti suara dokter Herlina. Dia bilang, Mas lagi ke kamar mandi. Lalu telepon ditutup begitu saja. Apa selama ini dia biasa pegang ponselmu, Mas?""Dokter Herlina? Dia sudah pulang menjelang maghrib tadi. Lagian dia tidak mungkin mengang
"Aku kecewa, tadi malam Mas Hendy seolah bilang aku mengada-ada. Dan ngeyel membela Herlina. Nggak mungkin Herlina melakukan apa yang aku tuduhkan. Padahal aku beneran telepon dia, kamu pun tahu."Hmm, sudahlah, Ran. Yuk, kita turun. Lupakan hal semalam."Ranty melangkah duluan untuk membuka pintu kamar. Mereka turun dan sarapan di restoran hotel. ***L***Walaupun lelah, dua hari ini sangat bermakna bagi Elvira dan Ranty. Bertemu dengan orang-orang yang sudah senior dalam dunia mereka. Mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman. Mendapatkan banyak teman juga. Sabtu siang itu mereka diajak jalan-jalan oleh Rizal. Membeli oleh-oleh, juga ditraktir makan siang. "Kapan-kapan kukirimkan gamis buat ibu. Hasil desainku sendiri dan akan kujahit sendiri." Elvira bicara sambil makan."Makasih.""Kadang aku kangen sama ibu.""Datanglah ke rumah disaat aku nggak ada. Atau kamu sama ibu bisa ketemuan di luar, tanpa aku." Rizal memandang Elvira yang mengangguk. Wanita ini, sangat disayangi oleh ibun
SEBELUM BERPISAH - Geregetan "Kenapa?" Hendy memandang Elvira yang diam mematung setelah mendengar kata-katanya. Wajah yang tampak capek itu terlihat tetap menarik."Mas, memintaku agar kita sekamar?""Ini bukan permintaan. Kita ini pasangan suami istri. Wajar kalau berbagi kamar. Mau sampai kapan kita seperti ini? Kita juga harus membahas pernikahan kita, El. Tidak sekarang. Aku tahu kamu masih capek. Masuklah, ganti baju, salat, dan istirahat."Apa yang kau ragukan, beberapa hari yang lalu kita sudah tidur bersama," lanjut Hendy saat Elvira masih bergeming.Wajah Elvira merona. Padahal dulu Hendy menolaknya di malam pertama dan dia juga setuju pisah kamar."Kita juga sudah ...." kalimat Hendy terputus saat Elvira dengan berani mencubit pinggangnya seraya melotot supaya Hendy tidak melanjutkan kata-katanya. Hendy menyeringai tipis karena merasakan nyeri akhibat cubitan yang terlalu pedas itu. Setelah itu Elvira masuk kamar."Istirahatlah. Aku tunggu sambil nonton TV." Hendy menutup
Pria itu mencoba mengingat-ingat siapa yang ada di ruang ICU malam itu. Ada dokter umum dan perawat. Tapi mustahil mereka selancang itu menyentuh barang pribadinya.Mejanya di ICU tidak terjangkau kamera CCTV. Kamera mengarah pada tindakan medis yang butuh penanganan khusus. Hendy menghela napas pelan. Baru kali ini ada kejadian seperti ini.Hendy mendekat ke tempat tidur. Ia harus membangunkan sang istri karena sudah sore. "El," panggilnya pelan.Baru sekali panggil, Elvira membuka mata. "Sudah hampir jam empat sore.""Iya." Elvira kemudian duduk. Tubuhnya terasa sakit semua karena capek. Di luar sana, cahaya matahari sudah redup. Hendy bangkit untuk menutup jendela kamar. Tadi AC dinyalakan, tapi jendela juga dibuka."Kamu mandi saja dulu," kata Hendy."Aku mandi di belakang saja. Mas, bisa pakai kamar mandi dalam.""Kita mandi sama-sama saja."Elvira memutar bola mata. Hendy tersenyum jahil. "Gantian saja. Kamu yang duluan mandi. Aku mau nyalain lampu luar. Aku sudah pesen makanan
Hari keenam langit mendung seakan mencerminkan apa yang akan terjadi. Hendy baru saja selesai operasi dan ingin menemui istrinya di ruang ICU. Saat mendekati tempat itu, ia mendengar tangisan dari arah depan ruang ICU. Pria itu segera berlari cepat saat melihat Elvira terjatuh di lantai, menangis histeris."Ayah!" jerit Elvira. Suaranya penuh dengan kesedihan yang tidak bisa dilukiskan. Hendy meraih tubuh Elvira yang ditahan oleh Hasna. Dipeluknya tubuh sang istri yang menggigil dan terguncang. Ia tahu tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit itu. Yang bisa ia lakukan hanyalah menjadi pelindung bagi Elvira dalam momen kehilangan ini.Sejak tadi malam, Hendy sebenarnya sudah tahu kalau kondisi mertuanya semakin menurun. Namun ia hanya bicara pada Arman dan Amar.***L***Rumah Pak Azman dipenuhi para pelayat. Mulai dari kerabat, tetangga perumahan, hingga rekan bisnis, dan para pelanggan. Para dosen rekan Amar, rekan kerja Isti juga. Ranty dan Angel juga datang. Ranty hanya
Elvira menepis ketakutan yang teramat sangat. Sedangkan Hendy lebih khawatir lagi karena istrinya sedang hamil. Lelaki itu mengusap pelan perut yang membulat disaat Elvira sibuk menghapus air mata dengan tisu. Semoga bayi mereka selalu baik-baik saja. Sejak awal kehamilan, Elvira mengalami banyak tekanan."Ayo, Mas. Kita pergi sekarang." Elvira tidak ingin terlambat."Oke." Hendy bangkit dari duduknya. Meraih ponselnya di nakas. Elvira mengambil tas dan mengenakan masker dobel. Dalam perjalanan, Elvira hanya diam. Rasa khawatir membuncah tidak bisa dibendung meski Hendy mengatakan kalau ayahnya pasti baik-baik saja.Sampai di rumah sakit, Elvira disambut oleh dua kakak lelaki dan juga iparnya. "Ayah bagaimana, Mas?" tanya Elvira pada Arman."Ayah masih di pantau oleh dokter," jawab Arman."Kita doakan ayah segera sadar." Amar mengusap bahu sang adik."Mas, aku ingin bertemu ayah!" Elvira memandang suaminya. Hendy mengangguk, lalu merangkul bahu sang istri dan membawanya masuk ruang
SEBELUM BERPISAH - Hari yang BeratUsai mandi, Hendy tidak langsung keluar. Dia mengirimkan pesan pada asistennya yang masih di rumah sakit untuk menanyakan kondisi sang mertua. Ketika sudah mendapatkan balasan, Hendy baru keluar menemui istrinya."Sudah selesai?" Hendy menghampiri Elvira yang baru mematikan kompor."Hu um. Mas, mau makan sekarang?""Kita makan sama-sama.""Aku belum mandi.""Makan dulu baru mandi. Karena mas mau ngajak kamu ke luar.""Ke mana?" Elvira heran."Makan dulu, mandi, baru mas kasih tahu." Hendy tersenyum seraya mengambil dua piring di rak. Elvira yang bingung manut saja. Mau diajak ke mana? Biasanya sang suami langsung saja bicara tanpa berteka-teki.Dikarenakan dirinya juga lapar, Elvira pun duduk dan makan. Tapi entah kenapa perasaannya tidak enak. Namun ia tidak banyak bertanya. "Mau tambah lagi nasinya?""Nggak, Mas. Aku dah kenyang. Oh ya, kita mau ke mana?" Tidak sabar juga, akhirnya Elvira bertanya lagi. Perasaannya pun tak enak.Hendy tersenyum,
Lima belas menit kemudian, Herlina baru menyusul. Hendy langsung memesan minum dan mix plater yang berisi kentang goreng dan nugget."Jadi Rizal itu akunmu?" tanpa basa-basi, Hendy langsung bertanya setelah Herlina duduk."Ya. Akhirnya kamu tahu." Tidak ada pilihan selain mengakui. Dia sudah tertangkap basah."Kenapa membuat email dengan nama pria itu? Dia lelaki yang baik. Tega kamu memfitnahnya. Aku kenal Rizal lebih dari yang kamu tahu."Dahi Herlina mengernyit heran. "Dia mantan kekasih istrimu yang sekarang masih terikat hubungan pekerjaan atau bisa juga lebih dari itu."Hendy tidak menanggapi. Sepertinya Herlina belum tahu kalau sudah tiga hari ini Elvira berhenti kerja. "Dari mana kamu mendapatkan foto-foto mereka?""Apa susahnya mendapatkan semua itu. Akun lama Facebook Rizal selalu mengunggah kebersamaan mereka." Herlina kembali penuh percaya diri untuk menutupi ketakutan karena sudah kepergok tadi."Siapa yang kamu bayar untuk mengambil video pertemuan mereka tiga hari yang
Sudah tiga hari ini Elvira menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga. Ada yang aneh dan ia merasa kesepian. Biasa aktif dengan pekerjaan, sekarang menjadi pengangguran. Ah, tidak juga. Di rumah dia masih mendesain setelah Hendy berangkat ke rumah sakit dan selesai beres-beres.Elvira memasak pagi dan sore. Siang sambil mendesain ia menonton televisi. Tidak lagi sibuk dengan media sosialnya. Sudah tiga hari ini ia tidak melihat acara 'live' akunnya Nirvana Elegance. Sebab jujur saja hatinya masih sedih dan merasa kehilangan.[Sepi tanpamu, El.] Ranty mengirimkan pesan. Mungkin meluangkan waktu di sela jam kerjanya. Saat itu baru menunjukkan pukul 10.00.[Nanti kamu akan terbiasa juga, Ran. Tetap semangat, ya. Raih mimpimu.][Bagaimana denganmu?][Aku sedang bahagia menikmati hari-hariku. Awalnya sepi. Tapi kalau ingat calon bayiku, aku kembali bersemangat. Ini keputusanku dan aku nggak akan menyesalinya.][Semua kehilangan karena kamu resign.][Hanya beberapa hari saja dan setelah i
SEBELUM BERPISAH- Ketahuan Hendy menghubungi seseorang usai menerima email, yang mengirim video pertemuan Elvira, Rizal, dan Ranty di sebuah kafe. Ini tidak bisa dibiarkan. Siapa sebenarnya pemilik akun dengan atas nama Rizal itu. Sampai bisa mengambil video saat mereka melakukan pertemuan sore tadi di kafe."Kasih saya waktu dua hari sampai seminggu, Dok. Saya akan menemukan pemiliknya," jawab Ndaru di seberang."Oke, Pak Ndaru. Saya tunggu."Untuk melakukan pencarian seperti ini, Hendy tidak punya waktu untuk mengerjakannya. Dia membayar kembali Ndaru. Sebenarnya ia pun tahu, kalau untuk mengetahui identitas seseorang dari hanya dari email saja, belum tentu akan berhasil. Tapi ia yakin, Ndaru yang sudah berpengalaman mungkin punya cara untuk menemukan siapa pemilik akun itu.Lelaki itu menghela nafas panjang. Elvira memang sudah meminta izin menemui Rizal, Ranty, dan Angel untuk perpisahan mereka. Tapi di video itu Angel tidak ada. Apa yang ditampilkan di video mengusik jiwa Hend
Lelaki itu mengambil ponsel dari saku celana saat ada bunyi notifikasi. Membuka benda itu sambil melangkah di lorong rumah sakit. Kembali ada email masuk yang mengirim foto Elvira dan Rizal. Ketenangannya terusik oleh hal-hal begini. Padahal hubungannya dengan sang istri mulai menghangat belakangan ini. Ia mencurigai Herlina. Dia begitu yakin kalau pelakunya adalah wanita itu. Tidak sulit bagi Herlina untuk mendapatkan foto-foto mereka, entah bagaimana itu caranya.Hendy terus melangkah ke parkiran. Dia tidak akan membiarkan, tapi bukan sekarang. Pasti akan ada waktu yang tepat untuk menegurnya. Kendati mereka masih bertemu setiap hari.Kalau sampai Herlina tahu Elvira berhenti kerja, memang dia membayar orang untuk mencari informasi itu.Sesampainya di rumah, Elvira sudah menyambutnya di depan pintu. Senyum wanita itu merekah, menyembunyikan apa yang terjadi tadi siang. "Aku khawatir Mas pulang malam, padahal aku sudah masak sup iga kesukaan, Mas." "Kalau pulang telat, Mas pasti
"Aku sedih banget. Selama ini kita selalu bersama-sama. Sekolah, kuliah, jalan-jalan, kerja, selalu barengan." Mata Ranty memerah.Elvira tersenyum getir lantas memandang Ranty. "Nggak selamanya selalu bersama, Ran. Tapi kita masih bisa bertemu, berkomunikasi, meski sudah nggak menjadi rekan kerja lagi. "Kalau bukan aku, pasti kamu juga bisa memutuskan hal begini jika ada sesuatu yang membuatmu harus pergi. Dengan Rizal pun sama. Setelah projek selesai, kita pun akan terputus sebagai partner kerja." Elvira memandang Rizal yang saat itu juga memperhatikannya dengan mata yang memerah.Entah ini kesedihan yang ke berapa lagi. Luka dari perempuan yang sama. Dulu dia harus pergi, mulai mengobati hati. Ketika mulai terbiasa, kembali dipertemukan di Jakarta. Dan tuntutan pekerjaan membuat mereka kembali bertemu dan menjadi partner kerja. Rizal kembali terbawa oleh perasaannya yang masih tetap sama. Nyaman dan menjadi lebih bersemangat, meski ia sadar sesadar-sadarnya kalau Elvira itu sudah
SEBELUM BERPISAH - Perpisahan Sore Itu Ketika Elvira dan Ranty hendak bangkit dari duduknya, saat bersamaan pintu ruangan diketuk lalu masuklah Angel. Wanita yang tengah sarat mengandung itu tampak kepayahan. Ranty mengambilkan kursi untuk duduk bosnya."Ada apa, Mbak?" tanya Ranty."Nggak ada apa-apa. Kalian mau nemui Rizal, kan?""Ya," jawab Ranty."Oke. Aku juga pasrah pada kalian berdua tentang renovasi kantor di Sidoarjo."Hening."Ada apa nih, kalian tampak sedih gitu?" Angel memperhatikan Elvira dan Ranty bergantian. Dia merasakan sesuatu yang berbeda.Ranty memandang Elvira. Biarlah Rizal menunggu, tapi ia harus memberitahu bosnya sekarang juga. Siapa tahu Angel bisa membuat Elvira merubah keputusan. "El mau resign, Mbak."Angel terperanjat. Matanya membulat memandang Elvira. "Kenapa resign?"Elvira memberikan alasan persis seperti yang diucapkan pada Ranty baru saja. Bicara dengan tenang, seolah tanpa beban."Mbak mau lahiran, El. Kalau kamu berhenti kerja, siapa lagi yang