Sebelum Berpisah
- Pernikahan yang Diatur "Mas, kenapa berkeliaran nggak pakai baju." Spontan Elvira membalikkan badan menghadap tembok. "Kenapa? Salah, ya. Aku hanya nggak pakai baju. Bukan nggak pakai celana." "Iya, tapi ...." "Aku di dalam rumahku sendiri, Elvira." "Iya, iya. Aku tahu ini rumahmu. Aku cuman numpang di sini. Nyebelin banget, sih." Perempuan bernama Elvira jengkel. "Lagian kamu kan istriku, ngapain juga senewen gitu." "Istri?." "Oke, kamu ingin menjadi istri yang sebenarnya." "Stop!" Elvira memekik saat merasakan kalau suaminya menghampiri. "Aku mau kerja." Tergesa wanita yang memakai bergo warna peach itu masuk ke kamar dan menguncinya. Baru dua bulan saja rasanya seperti ini. Bagaimana untuk seterusnya. Pernikahan mereka sah di mata agama dan hukum negara. Keluarga, rekan kerja, teman, dan orang-orang di luar sana tahunya mereka seperti pasangan pada umumnya. Padahal hidup sendiri-sendiri. Pernikahan macam apa ini. Apakah setiap orang yang dijodohkan juga menjalani rumah tangga konyol seperti ini? Karena itulah alasan Elvira menentang perjodohan. Elvira kembali sibuk dengan kertas-kertas dihadapannya. Sebagian sudah ada coretan membentuk sebuah pola. Dia memang desainer baju muslimah. Yang bekerja pada sebuah perusahaan. Hausnya. Diurut pelan leher yang sejak tadi kehausan. Dia keluar hendak mengambil air minum. Eh, malah melihat Hendy bertelanjang dada. Laki-laki itu memang tidak ada malu-malunya. Eh, ngapain malu. Ini rumah dia, kan? Kamu hanya penumpang, El. Gerah sekali cuaca malam itu. Mana AC di ruangannya rusak. Elvira memakai kembali bergonya yang tadi di lepas. Dia sudah tidak tahan dan ingin segera minum. Perlahan dibukanya pintu dan mengintip keluar. Lampu utama sudah dimatikan. Hanya lampu malam kekuningan yang menjadi penerang. Menjadikan ruangan itu remang-remang. Lega. Hendy pasti sudah masuk kamar. Elvira melangkah ke ruang makan sambil melepaskan bergonya. Dia duduk sambil menikmati segelas air putih. Selesai langsung buru-buru kembali ke kamar sambil membawa sebotol air. Malam ini harus lembur menyelesaikan desainnya. Wanita itu berjingkat kaget saat mendengar benda jatuh dipojok ruangan. Ternyata Hendy masih duduk di sana. Buru-buru Elvira memakai kembali bergonya dan masuk kamar. Rupanya sang suami belum tidur. Kenapa saat keluar tadi, dia tidak menyadari kalau Hendy ada di sana. Ah, Elvira tidak bisa konsentrasi lagi. Capek. Idenya buntu. Entahlah. Mungkin karena sekarang keseringan melihat Hendy tidak memakai baju. Ish, El. Ngelantur kamu ya. Bukankah kamu tidak tertarik sama dia? Elvira menatap langit-langit kamar. Ingat kejadian beberapa hari sebelum pernikahan. "Kamu cari masalah, Elvira. Pernikahanmu tinggal seminggu lagi dan sekarang kamu mau kabur? Jangan gila, deh. Kamu akan mempermalukan keluarga kita." Hasna terlihat marah sekaligus kebingungan melihat adik iparnya mengemas baju ke dalam ransel. "Aku sudah nolak, tapi ayah memaksa. Mengancam ini itu dan akhirnya membuatku pasrah. Tapi aku nggak bisa nikah sama dia." "Hei, dia bukan pria buruk rupa. Dia dokter anastesi, kamu tahu!" "Nggak peduli aku, Mbak. Seumur hidup itu lama. Aku nggak tahu banyak siapa Hendy." "Tolong deh, jangan kabur. Aku harus jawab apa kalau ayah tanya, Mas Arman tanya. Aku yang bersamamu sekarang." Hasna panik bukan main sampai netranya berkaca-kaca. Melihat sang kakak ipar kebingungan, Elvira duduk di tepi pembaringan. Hasna sudah seperti ibu baginya. Sang ibu meninggal saat Elvira masih kelas lima SD. "Baiklah!" jawabnya pelan. Namun keesokan harinya, rumah Pak Azman heboh. Elvira benar-benar kabur disaat persiapan pernikahannya sedang dibuat. Keluarga kebingungan. "Kamu gila, El. Pakai acara kabur segala. Bolak-balik aku di telepon sama kakak-kakakmu. Kalau mereka tahu kamu di kosanku, habis aku, El." Ranti, sahabatnya ikut panik. "Mereka pasti nggak percaya kalau aku bilang nggak tahu. Kamu akan mempermalukan keluargamu. Kamu nggak kasihan sama ayahmu?" "Ayahku, Mas Arman, selalu memaksakan kehendak mereka." Elvira menunduk sedih. "Mereka yang menyebabkan aku putus dari Rizal, Ran." "Tapi bukan begini caranya. Harusnya sejak awal kamu kekeh menolak. Kamu nggak mikir karirmu apa. Orang pada susah nyari kerja, kamu malah kabur. Mbak Angel juga neleponin aku nanyain kamu di mana? Terus aku mau jawab apa." Hening. Hingga dering ponsel Ranty memecah kebisuan. "Nah, lihat nih. Mas Arman nelepon aku lagi." Ranty menghela napas panjang. "Nggak usah dijawab, Ran." "Nggak usah dijawab gimana. Sudah dua kali aku abaikan teleponnya hari ini. Bentar mau kuangkat." Ranty mepet ke tembok, tepat disebelah sahabatnya. Menjawab panggilan dengan mengaktifkan loud speaker. "Hallo, assalamualaikum, Mas Arman." "Waalaikumsalam. Ini Mbak Hasna, Ran." "Oh, iya, Mbak." "Kamu belum dapat kabarnya El?" "Belum, Mbak." "Ya ampun. Ke mana anak itu perginya. Tinggal empat hari lagi dia nikah, Ran. Kalau dia nggak mau pulang, mau ditaruh mana muka keluarga. Tega banget sih Elvira. Mbak yang ditekan terus sama Mas Arman." Hasna bicara sambil menangis. "Apa keluarga dokter Hendy sudah tahu, Mbak?" "Belum. Tapi ayah bilang, kalau besok El nggak ditemukan, lusa kami sekeluarga akan ke rumah Pak Bakti untuk membatalkan pernikahan. Mbak nggak bisa bayangin apa yang akan terjadi lusa. Ya udah, Ran. Kalau ada kabar tentang Elvira, kasih tahu ke Mbak saja. Jangan ke Mas Arman. Biar Mbak yang nyamperin El dulu. Mbak takut kalau Mas Arman akan mengamuk sama dia." "I-iya, Mbak," jawab Ranty gugup. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." "Apa kamu nggak kasihan sama Mbak Hasna, El. Dia itu cuman ipar, tapi sayang banget sama kamu." Ranty menghela nafas berat. "Entahlah, aku nggak tahu mau ngomong apalagi." Gadis itu berbaring di ranjang dan menarik selimut. "Baiklah, aku akan pulang." Elvira bicara setelah diam cukup lama. "Pulanglah, El. Sebelum keluarga calon suamimu tahu kalau kamu minggat dari rumah. Kamu harus jaga nama baik keluargamu." Ranty ikut lega dengan keputusan sahabatnya. Meski itu sangat terpaksa. Dan malam itu, Elvira pulang ke rumah naik taksi. Kalau tidak dilindungi oleh Hasna dan Amar, Elvira sudah dihajar oleh Arman. Tiga hari kemudian pernikahan megah dilaksanakan. Elvira harus dipaksa tersenyum untuk menunjukkan kalau dirinya bahagia. Sekarang, di sinilah dia berada. Menjadi istri dari dr. Hendy Zain Brawijaya, Sp.An. Lelaki dengan tinggi badan di atas rata-rata, yang irit bicara tapi sangat menyebalkan. Dokter yang terkandang masih sempat merokok meski sangat jarang. Elvira menghela napas panjang. Kemudian menajamkan pendengaran saat ada suara pintu depan di buka. Dia tidak heran lagi selama dua bulan ini. Sebagai dokter anestesi, Hendy memang terkadang pergi ke rumah sakit tengah malam kalau ada pasien gawat darurat yang harus dioperasi segera. Sebab dia merupakan bagian dari tim bedah yang bekerjasama dengan dokter bedah dan perawat. "Hati-hati aja, El. Lengah dikit bisa nggak sadar kamu karena dibius oleh suamimu." Candaan Ranty terkadang membuat Elvira bergidik. Walaupun itu tidak mungkin dilakukan oleh Hendy. Untuk apa juga, lelaki itu tidak menunjukkan ketertarikan terhadapnya. Benar saja, Hendy pasti pergi ke rumah sakit. Elvira mendengar mobilnya yang meninggalkan garasi. Mereka dari dunia yang berbeda, tapi terjebak dalam pernikahan yang diatur keluarga. Baru saja Elvira memejam. Ponselnya berdering. Rizal menelepon? Next .... Selamat datang dikisahnya Elvira, manteman. Jangan lupa tap ❤️ ya. Selamat Membaca 🥰Sebelum Berpisah - Kepergok Siapa perempuan di dalam mobil itu? Kenapa suaminya pulang di antar wanita itu. Ke mana mobilnya? Bukankah tadi malam Hendy pergi ke rumah sakit mengendarai mobilnya sendiri.Meski suasana masih gelap, Elvira bisa melihat dari kaca jendela depan. Saat lampu dalam mobil di nyalakan, terlihat siapa wanita itu. Hmm, dia lagi. Dokter kandungan yang cukup akrab dengan suaminya. Apa mereka pacaran?Elvira buru-buru ke belakang saat Hendy melangkah ke rumah. Seperti biasa dia sibuk menyiapkan sarapan. Memasak itu wajib, karena Hendy tidak suka makan di luar. Dia juga memberikan uang bulanan yang tidak sedikit pada istrinya.Terdengar pintu kamar dibuka kemudian ditutup. Elvira lega dan melanjutkan menggoreng nugget.Sejenak kemudian tiba-tiba Elvira memekik kaget saat Hendy berdiri menjulang tidak jauh darinya. "Ngagetin aja sih, Mas." Napas Elvira sampai ngos-ngosan. Ditambah lagi dengan bau obat-obatan. Dia benci dengan bau obat.Inilah salah satu alasan kenap
Sebelum Berpisah - Menguntit "Kenapa kamu mengikutiku tadi?" tanya Hendy yang membuat Elvira terkesiap. Jadi suaminya tahu kalau diikuti. Wajah wanita itu pias karena ketahuan."Aku nggak ngikutin. Biasanya aku juga lewat situ," elak Elvira sambil menggoreng ayam untuk lauk makan malam. "Aku tahu kamu sering memperhatikanku dan dokter Herlina."Elvira terhenyak. Tangannya yang memegang spatula sampai gemetar. Namun ia tidak berani menoleh ke belakang, pada Hendy yang duduk di kursi meja makan."Ah, Mas ini ke GR-an. Siapa juga yang merhatiin." Elvira menutupi rasa gugupnya."Oh, gitu ya."Dada Elvira berdebar hebat. Bodoh sekali. Seharusnya ia tadi tidak usah mengikuti mobil dokter Herlina. Yang ternyata mengantarkan Hendy ke bengkel. Ia baru tahu kalau mobil Hendy masuk bengkel. Makanya subuh tadi pulang di antar dokter cantik itu.Tapi kenapa harus dokter Herlina? Apa di rumah sakit sebesar itu dia tidak memiliki teman dokter laki-laki. Atau naik taksi misalnya. Kenapa selalu dok
Sebelum Berpisah - Ketakutan "Aku harus segera berangkat, El. Kamu bagaimana?""Nggak apa-apa. Aku berani." Elvira menjawab tanpa memandang sang suami. Sumpah, sebenarnya dia sangat takut dan cemas."Kamu mau ikut ke rumah sakit?""Nggak." Dia tidak mungkin pergi ke tempat yang paling tidak disukainya dan menunggu berjam-jam sampai Hendy keluar dari kamar operasi. Walaupun di rumah sendiri juga ketakutan. Lihat, lilin pun sudah mau habis.Hendy termangu sejenak. Dia tidak bisa menunggu lama. Tim ruang operasi sedang menunggunya. Lelaki itu masuk ke kamar untuk mengambil jaket."Mas, bisa minta tolong. Antar aku sebentar ke kamar mandi. Setelah itu aku mau masuk kamar dan tidur.""Pakai kamar mandiku. Aku benar-benar sedang ditunggu, El.""Oh, ya sudah. Mas, pergi saja." Elvira mengambil asbak yang ada lilinnya. Namun ia memekik karena jarinya kepanasan. Asbak dari logam itu tentu saja panas kena lelehan lilin."Kenapa?" Hendy kaget dan mendekat."Nggak." Elvira memakai ujung jilbabn
SEBELUM BERPISAH - Hamil?Setelah kekacauan karena Elvira kabur dari rumah menjelang pernikahan, hingga sekarang hidupnya bisa dibilang tidak baik-baik saja. Ayahnya masih mengungkit peristiwa itu jika mereka bertemu. "Ayah nggak ingin mendengar kamu mengecewakan suamimu. Ayah menjodohkanmu dengan Hendy, demi masa depanmu. "Kalau ayah tiada, kamu punya suami yang bisa menjamin hidupmu. Kedua kakakmu memiliki tanggungjawab keluarga sendiri. Jadi kamu nggak bisa bergantung pada mereka."Apapun masalahmu, jangan pernah kabur meninggalkan rumah suami. Hendy lelaki yang baik, nggak mungkin melakukan KDRT atau menelantarkanmu."Pasti ayahnya berpikir kalau dirinya dan Hendy baik-baik saja sekarang ini. Sejauh mana mereka paham tentang Hendy sampai nekat menjodohkannya dengan dokter itu.Elvira menghela napas panjang sambil menatap cermin. Dia sudah selesai berdandan. Tinggal menunggu Hendy selesai mandi.Sejak memutuskan kembali ke rumah dan akur dengan perjodohan, hatinya sudah dipenuhi
SEBELUM BERPISAH - Aku Tahu "Aku nggak hamil, Mbak. Nggak usah diperiksa. Beneran aku nggak hamil. Maagku memang kambuh sejak semalam." Elvira keukeh tidak mau. Herlina tercekat di ambang pintu. Elvira hamil? Ada bias kecewa yang terlihat jelas di wajahnya. Yang ia dengar hanya kata 'hamil' saja. "Nggak ada salahnya diperiksa, El. Banyak perempuan mengira kembung biasa, ternyata sedang hamil." Ema keukeh dengan pendapatnya. Sedangkan Elvira sudah tak berdaya membantah. Tubuhnya terasa lemas. Terserah mereka bicara apa. Sedangkan Hendy sendiri juga bingung. Mana mungkin istrinya hamil? "Kalau gitu, besok kamu ikut Hendy ke rumah sakit untuk periksa. Siapa tahu lagi isi. Gejala orang hamil itu macam-macam, El. Seperti yang dibilang Ema tadi." Bu Putri membimbing sang menantu masuk ke salah satu kamar di rumah putrinya. Hendy juga ikut masuk. Ema mengajak Herlina kembali ke depan. "Kamu istirahat di sini." Elvira dibimbing untuk berbaring. Sang mama mertua terlalu yakin kal
SEBELUM BERPISAH - TraumaSetakut itu dia? Dengan jelas Hendy melihat wajah pucat dan mata berembun milik istrinya. Ia yakin ini bukan ketakutan biasa. Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya."El, kamu tidak harus minum obatnya. Yang penting kamu periksa. Biar tahu separah apa sakitmu." Hendy bicara dengan nada lembut. Saat itu mereka sudah duduk di ruang tunggu tempat praktek seorang dokter umum.Hendy bisa merekomendasikan obat untuk istrinya. Namun melihat kondisi Elvira seperti itu, lebih baik dibawa ke ahlinya.Sudah terlanjur siang mereka berangkat tadi, antrian banyak dan mereka harus sabar menunggu."Bentar, aku belikan roti dan air minum." Hendy bangkit dari duduknya dan menyeberang jalan ke toko depan sana.Ketika Hendy pergi, ponsel Elvira berdering. Hasna menelepon. Dia memang sepeduli itu pada adik iparnya."Halo, Assalamu'alaikum, Mbak Hasna.""Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah?""Aku lagi antri periksa. Maagku kambuh, Mbak.""Ya Allah. Sejak kapan? Pasti asam lambung itu,
SEBELUM BERPISAH - Pertahankan Jangan sampai orang tuanya tahu kalau ia pisah kamar dengan Elvira. Dengan kondisi seperti ini, belum siap kalau mereka tahu. Tidak akan selamanya begini, pasti ada waktu bagaimana ia dan Elvira akan membicarakan pernikahan ini. Hendy mengunci pintu utama sebelum mamanya bisa membuka sendiri. Dari jendela kaca, ia melihat sang mama masih menerima telepon, sedangkan papanya memperhatikan lingkungan perumahan. Tergesa Hendy mengetuk pintu kamar sang istri. "El," panggilnya. "Ya. Ada apa?" "Mama dan papa datang." Di dalam kamar. Elfira yang sudah melepaskan jilbabnya dan berbaring terkejut. Dia belum siap jika ketahuan dalam keadaan sakit seperti ini. Dilapnya air mata memakai tisu. Air mata karena kangen pada ibunya. Kemudian tergesa mengenakan kembali jilbab dan membuka pintu kamar. Pada saat yang bersamaan terdengar bel berdenting. Hendy cekatan mengunci pintu kamar istrinya dan menyimpan kunci ke dalam saku celananya. Siapa tahu mamanya me
SEBELUM BERPISAH- Menginap"Ini baju Hendy semua. Kok bajumu nggak ada El?" Bu Putri keheranan sekaligus curiga saat melihat isi lemari semuanya baju putranya."Oh, ada di lemari sebelahnya, Ma. Biar nanti kuambilkan," jawab Hendy yang sudah muncul di pintu. Lelaki itu menghampiri sang mama dan dengan gerakan halus, meminta mamanya menepi supaya tidak membuka pintu sebelahnya. Hendy ingat kalau kemarin ada piyama Elvira warna hitam terikut tumpukan bajunya dan belum sempat dikembalikan pada sang istri."Nanti habis makan dan minum obat, suruh El ganti baju," ujar Bu Putri seraya keluar kamar dan kembali menutup pintu.Hendy bernapas lega. Walaupun akhirnya terbongkar, sebenarnya dia tidak perlu risau. Bukan dirinya yang memulai situasi menjadi rumit seperti ini. Elvira yang duluan kabur dan membuatnya kecewa. Hampir saja diri dan keluarganya dipermalukan di hadapan orang banyak. Di hadapan keluarga, relasi, rekan kerja, teman-temannya yang lain, bahkan dihadapan orang yang tidak ia
Lelaki itu mengambil ponsel dari saku celana saat ada bunyi notifikasi. Membuka benda itu sambil melangkah di lorong rumah sakit. Kembali ada email masuk yang mengirim foto Elvira dan Rizal. Ketenangannya terusik oleh hal-hal begini. Padahal hubungannya dengan sang istri mulai menghangat belakangan ini. Ia mencurigai Herlina. Dia begitu yakin kalau pelakunya adalah wanita itu. Tidak sulit bagi Herlina untuk mendapatkan foto-foto mereka, entah bagaimana itu caranya.Hendy terus melangkah ke parkiran. Dia tidak akan membiarkan, tapi bukan sekarang. Pasti akan ada waktu yang tepat untuk menegurnya. Kendati mereka masih bertemu setiap hari.Kalau sampai Herlina tahu Elvira berhenti kerja, memang dia membayar orang untuk mencari informasi itu.Sesampainya di rumah, Elvira sudah menyambutnya di depan pintu. Senyum wanita itu merekah, menyembunyikan apa yang terjadi tadi siang. "Aku khawatir Mas pulang malam, padahal aku sudah masak sup iga kesukaan, Mas." "Kalau pulang telat, Mas pasti
"Aku sedih banget. Selama ini kita selalu bersama-sama. Sekolah, kuliah, jalan-jalan, kerja, selalu barengan." Mata Ranty memerah.Elvira tersenyum getir lantas memandang Ranty. "Nggak selamanya selalu bersama, Ran. Tapi kita masih bisa bertemu, berkomunikasi, meski sudah nggak menjadi rekan kerja lagi. "Kalau bukan aku, pasti kamu juga bisa memutuskan hal begini jika ada sesuatu yang membuatmu harus pergi. Dengan Rizal pun sama. Setelah projek selesai, kita pun akan terputus sebagai partner kerja." Elvira memandang Rizal yang saat itu juga memperhatikannya dengan mata yang memerah.Entah ini kesedihan yang ke berapa lagi. Luka dari perempuan yang sama. Dulu dia harus pergi, mulai mengobati hati. Ketika mulai terbiasa, kembali dipertemukan di Jakarta. Dan tuntutan pekerjaan membuat mereka kembali bertemu dan menjadi partner kerja. Rizal kembali terbawa oleh perasaannya yang masih tetap sama. Nyaman dan menjadi lebih bersemangat, meski ia sadar sesadar-sadarnya kalau Elvira itu sudah
SEBELUM BERPISAH - Perpisahan Sore Itu Ketika Elvira dan Ranty hendak bangkit dari duduknya, saat bersamaan pintu ruangan diketuk lalu masuklah Angel. Wanita yang tengah sarat mengandung itu tampak kepayahan. Ranty mengambilkan kursi untuk duduk bosnya."Ada apa, Mbak?" tanya Ranty."Nggak ada apa-apa. Kalian mau nemui Rizal, kan?""Ya," jawab Ranty."Oke. Aku juga pasrah pada kalian berdua tentang renovasi kantor di Sidoarjo."Hening."Ada apa nih, kalian tampak sedih gitu?" Angel memperhatikan Elvira dan Ranty bergantian. Dia merasakan sesuatu yang berbeda.Ranty memandang Elvira. Biarlah Rizal menunggu, tapi ia harus memberitahu bosnya sekarang juga. Siapa tahu Angel bisa membuat Elvira merubah keputusan. "El mau resign, Mbak."Angel terperanjat. Matanya membulat memandang Elvira. "Kenapa resign?"Elvira memberikan alasan persis seperti yang diucapkan pada Ranty baru saja. Bicara dengan tenang, seolah tanpa beban."Mbak mau lahiran, El. Kalau kamu berhenti kerja, siapa lagi yang
Bu Salima membawakan secangkir kopi untuk Rizal yang kembali mengutak-atik motornya. Pulang dari bertemu dengan Arsita, Rizal kembali sibuk dengan motor tuanya."Bagaimana pertemuan tadi?" Bu Salima penasaran."Kami hanya ngobrol biasa, Bu. Bu Bahtiar juga ikut tadi. Mereka baik, ramah juga. Tanya-tanya tentang keluarga kita. Aku jawab apa adanya."Bu Salima diam sejenak. Memandang tangan Rizal yang sibuk membenahi motornya. "Bagaimana dengan Arsita?""Dia baik juga." Rizal menceritakan percakapannya dengan gadis itu. Bu Salima mengembalikan keputusan pada putranya. Dia tidak ingin memaksa, meski ingin sekali melihat Rizal segera membuka lembaran baru. Memang harus dipaksakan. Kalau menunggu sampai benar-benar bisa melupakan Elvira, terus kapan itu? Karena semuanya tidak akan gampang.Mungkin kehadiran gadis lain, perlahan akan membuat Rizal bisa meninggalkan masa lalunya. Sedangkan Rizal sendiri merasa sedang berdiri di persimpangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dia d
Keduanya saling pandang dan tersenyum saat tubuh Elvira mendarat di sofa ruang keluarga. Hendy mengelap peluh yang membasahi pelipis istrinya. Lantas dia bangkit untuk mengambilkan air minum."Minum dulu!" Hendy membantu istrinya untuk minum, air sisa setengah gelas itu akhirnya ia habiskan dan meletakkan gelas kosong di meja depannya.Hendy mengambil remote TV dan menyalakannya. "Kapan jadi mengajukan surat pengunduran diri?" Hendy memandang Elvira yang fokus memandang layar bening. Meski pikirannya sedang tidak ke sana. "Dalam minggu ini, Mas. Aku akan menyelesaikan pekerjaan yang tersisa dulu.""Bagaimana dengan projek pembangunan gedung baru?" Hendy yakin, ini salah satu pertimbangan kenapa istrinya memilih resign. Sebab Rizal terlibat di sana. Mungkin.Namun ia tidak akan mengorek lagi tentang pria itu. Elvira memilih mundur, tentu sudah menjadi nilai plus baginya. Berarti sang istri sudah berusaha untuk bertahan dalam pernikahan mereka. Hendy tidak akan mencari masalah dengan
SEBELUM BERPISAH- Pertemuan Tahun BaruPutih, cantik, rambut terurai sebahu. Mengenakan blouse lengan panjang warna ungu dan celana jeans warna hitam. Arsita. Pak Bahtiar mengenalkan putri dan juga sang istri yang saat itu ikut serta.Gadis cantik dengan sapuan make up tipis di wajahnya itu tersenyum ramah pada Rizal.Mereka bertemu di sebuah restoran seafood. Ketika Rizal datang, Pak Bahtiar sudah berada di sana. Tidak lama kemudian makanan yang di pesan Bu Bahtiar datang."Kamu mau minum apa, Zal?" tanya Pak Bahtiar."Es teh saja, Pak."Pak Bahtiar memanggil seorang pramusaji dan memesan minuman buat mereka."Mari, makan. Sambil ngobrol." Pak Bahtiar mempersilakan."Rizal, bener kamu anak tunggal?" tanya Bu Bahtiar."Sebenarnya saya punya adik perempuan, Bu. Tapi meninggal sesaat setelah dilahirkan.""Oh ...." Bu Bahtiar memandang Rizal dengan wajah ceria. Sosok yang beberapa waktu belakangan ini, selalu dibicarakan bersama suaminya. Dia tertarik dengan kepribadian Rizal. Ternyata
Demi menjaga hubungan baiknya dengan Ranty, terpaksa ia berhenti kerja. Agar tidak sering bertemu Rizal juga. Sudah selayaknya ia menjauh, agar Rizal pun bisa membuka hati untuk insan baru. Soal impiannya, Elvira sudah mengikhlaskan. Seharian tadi dia berpikir dalam-dalam tentang hal itu.Tentang tanggungjawabnya pada pembangunan gedung baru, bisa ia limpahkan pada Ranty atau staf lain. Toh itu bukan pekerjaan yang susah. Hanya sekedar mengawasi dan berinteraksi dengan Rizal sebagai arsiteknya saja.Sekalipun ekspresi Elvira terlihat serius meyakinkannya, tapi Hendy tetap merasa ada sesuatu yang terjadi. Apa perlu ia menelepon Ranty untuk bertanya?"Mas masih ingat kalau kamu ingin memiliki brand tersendiri. Mas dukung kamu untuk merintis usaha sendiri. Mas akan mensupport secara materi juga.""Nggak semudah itu, Mas. Untuk buka usaha aku juga harus punya banyak pengalaman dan koneksi. Nanti, mungkin. Sekarang aku mau fokus sama rumah tangga kita."Hendy tersenyum bahagia. Meski keput
"Iya, Mas. Aku di rumah sekarang.""Kenapa? Kamu sakit?" Suara Hendy sarat rasa khawatir."Nggak. Emang lagi longgar saja. Makanya aku pulang. Nanti sibuk lagi di awal tahun." Elvira berbohong. Berusaha menyeimbangkan suaranya supaya Hendy tidak tahu kalau dirinya habis menangis. Eh, tapi bagaimana kalau Hendy bertanya pada Ranty?"Beneran karena itu?""Aku memang pengen istirahat di rumah. Pas nggak ada kerjaan juga. Jadi aku ngasih alasan pusing ke Ranty, Mas." Elvira tertawa kecil untuk hal yang sama sekali tidak lucu. Juga untuk menutupi kegundahannya karena membohongi Hendy."Kamu naik taksi tadi? Kenapa nggak nelepon Mas Asep saja untuk menjemput.""Nggak, Mas. Nanti kelamaan nunggu. Mesti ngambil mobil ke rumah dulu, baru menjemputku. Oh ya, aku mau masak. Bikin ayam kremes. Hari ini Mas pulang jam berapa?""Kalau sesuai jadwal. Sore mas sudah sampai di rumah.""Baiklah, kutunggu.""Oke. Nanti mas telepon lagi. Mas mau ke ICU sebentar, terus ke ruang bedah.""Iya.""Assalamu'al
SEBELUM BERPISAH - Keputusan "El," panggil Ranty membuka pintu ruangan sahabatnya. Kosong. Elvira ke mana?Tas Elvira juga tidak ada. Ranty tergesa keluar dan bertanya pada staf di resepsionis. "Mbak, ngelihat Mbak Elvira, nggak?""Oh, Mbak El-nya pulang, Mbak. Tadi tergesa-gesa. Bilang kalau lagi nggak enak badan. Saya baru saja mau ke ruang meeting untuk ngasih tahu ke Mbak Ranty dan Pak Rizal."Dahi Ranty mengernyit heran. Kenapa Elvira tidak pamit padanya. Atau ke ruang meeting sejenak untuk menemui Rizal. Padahal tadi dia sudah tahu kalau Rizal mau datang. Dan waktu datang tadi Elvira tampak sehat-sehat saja dan sempat ngobrol dengannya.Ranty melangkah ke ruang meeting. Rizal heran melihatnya datang sendirian. "Mana El, Ran.""Bentar." Ranty meraih ponsel untuk menelepon sahabatnya. Ternyata sudah ada pesan masuk dari Elvira.[Ran, maafkan aku. Aku buru-buru pulang dan nggak sempat nemui kalian. Badanku lemas. Kamu saja yang nemui Rizal untuk membahas renovasi gedung di Sidoar