Share

SAAT ISTRIKU MULAI BELAJAR MANDIRI
SAAT ISTRIKU MULAI BELAJAR MANDIRI
Author: Reinee

PART 1

 "Mama kamu mana, Bas?" tanyaku pada Ibas, anak lelakiku yang sedang asik bermain dengan ponselnya di teras rumah. 

 

 Aku sedikit keheranan saat pulang dari toko dan melihat rumah agak sepi. Biasanya Metta akan selalu menyambut dengan ceria, bahkan terkadang sebelum aku sempat turun dari mobil. 

 

 "Mama beli gas, Pah," sahut anakku sambil mengulurkan tangan kanannya untuk mencium punggung tanganku. 

 

 "Beli gas? Serius?" Aku mengerutkan dahi makin  heran. Selama ini Metta tak pernah mau melakukan hal itu, takut meledak katanya. Dia lebih suka menggangguku dengan menelpon, memintaku untuk pulang sebentar atau jika sedang sangat sibuk, aku akan menyuruh salah satu karyawan kami untuk datang ke rumah membantunya membeli gas sekaligus memasangkannya. 

 

 "Iya Pah, serius. Tuh, dah pulang tuh mama," tunjuk Ibas ke arah motor yang baru saja berhenti di garasi. 

 

 Memang tidak salah, itu Metta yang sedang menurunkan tabung gas dari atas motor. Sungguh keheranan aku memandangnya. Hingga kemudian baru tersadar bahwa aku harus segera membantunya. 

 

 "Kok tumben beli gas sendiri? Biasanya nelpon papa?" tanyaku sambil mengulurkan tangan bermaksud mengambil tabung gas yang baru saja dia letakkan di lantai.

 

 "Nggak masalah, Pah. Mama bisa kok," ucapnya sambil menyingkirkan tanganku dari pegangan tabung. Lalu dia sendiri dengan cekatan mengangkatnya.

 

 "Eh tunggu, biar papa yang angkat. Berat lho, Mah," cegahku.

  

 "Enggak ah. Mama bisa sendiri kok, tenang aja, Pah," ucapnya sambil nyelonong pergi dari hadapanku yang praktis bengong melihatnya seperti itu. 

 

 Lalu karena masih khawatir padanya, aku pun segera menyusul ke dapur untuk membantu memasangkan gasnya. Namun saat sampai di sana, ternyata dia pun sudah terlihat sangat lihai melakukannya sendiri. 

.

.

.

 Kejadian seperti itu semakin hari semakin berlanjut. Dari mulai belanja bulanan, dia sudah tak lagi merengek minta diantar dan ditemani. Lalu antar jemput Ibas ke tempat les dan masih banyak lagi hal lainnya. Hingga suatu hari dia mengejutkanku dengan minta untuk les stir mobil.

 

 "Emang mau ngapain sih, Mah? Biasanya kan juga minta disopirin sama papa?" sindirku. 

 

 "Ya nggak apa-apa sih, pengen aja bisa sendiri, Pah. Biar gak ngerepotin papa terus," dalihnya.

 

 "Jangan-jangan habis ini mama mau minta dibeliin mobil?" cibirku padanya. Tapi dia justru tergelak.

 

 "Enggak lah, mobil ini aja juga udah cukup kok," katanya.

 

 Dan begitulah, akhirnya kuijinkan juga dia belajar stir mobil. Hingga dalam waktu dua minggu saja dia sudah bisa kemana-mana sendirian tanpa kuantar lagi.

 

 Sampai di situ aku masih berpikiran positif pada istriku. Benar-benar tak ada kecurigaan lebih jauh pada perilakunya itu, hingga pada suatu  sore tiba-tiba aku mendengarnya sedang berbicara di telepon dengan seseorang.

 

 "Iya sudah, sekarang aku udah nggak bergantung lagi sama mas Bimo. Harusnya aku lakukan itu dari dulu ya. Kurasa jauh lebih enak seperti ini daripada tiap mau ngapa-ngapain aku harus selalu nungguin dia selama ini."

 

Aku bermaksud terus menguping pembicaraan itu saking penasarannya. Jadi sebenarnya kemandirian Metta akhir-akhir ini memang sudah dia rencanakan? Tapi kenapa? Apa alasan sebenarnya istriku melakukan itu?

 

 Dahiku sampai berkerut memikirkan hal itu, hingga tak sadar bahwa Metta ternyata sudah berada di dekatku.

 

 "Lhoh Mas, kok sudah pulang jam segini?" Entah kapan dia menyudari pembicaraan teleponnya tadi.

 

 "Eh, iya Mah. Capek nih, papa mau istirahat lebih awal," jawabku tergagap.

 

 "Ya udah, papa makan dulu aja kalau gitu, baru istirahat. Makanan udah kusiapin kok," ujarnya. 

 

 Aku mengangguk mengiyakan. Lalu bermaksud masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian saat tiba-tiba ponselku berbunyi.

 

 "Ah si*l," umpatku lirih. 

 

 Aku lupa memberitahu Linda bahwa aku pulang cepat hari ini. Biasanya aku aka berpamitan padanya saat aku pulang agar dia tak menghubungiku saat aku sudah berada di rumah. Dengan panik langsung kutolak panggilan telepon dari istri keduaku itu. 

 

 "Siapa sih, Pah? Kok nggak diangkat teleponnya?" teriak Metta dari arah meja makan diiringi bunyi dentingan piring dan sendok yang sedang dia siapkan. 

 

 "Ini, karyawan kok, Mah. Sudah aku bilang mau istirahat masih aja nelpon," gerutuku pura-pura kesal. 

 

 Setelah itu kulanjutkan kembali langkahku menuju kamar dan kukirim pesan pada Linda untuk memberitahunya bahwa aku sudah berada di rumah. 

 

 [Aku cuma mau ngingetin kalau hari minggu besok Tiara ulang tahun, Mas. Kita ajak jalan-jalan ya?] 

 Bunyi pesan balasan dari Linda.

 

 Hari minggu biasanya adalah hariku bersama Metta dan anak lelakiku. Tapi aku tak punya waktu berdebat dengan Linda kali ini, hingga lalu kuiyakan saja permintaannya.

 

 [Oke nggak masalah.] balasku.

 

 Usai berganti pakaian, aku pun bergegas ke ruang makan dimana Metta sudah menungguku di sana. 

 

 "Pah, hari minggu besok aku mau pakai mobilnya ya? Papa nggak ada acara kan?" kata Metta tiba-tiba.

 

 "Minggu besok, Mah? Tapi papa ...." Aku sedikit gugup merespon permintaannya, mengingat baru saja aku telah berjanji pada Linda untuk mengajak anak perempuan kami jalan-jalan.

 

 "Kenapa? Papa nggak ada acara kemana-mana kan kalau hari minggu?" tanyanya dengan dahi berkerut. Mungkin karena melihatku kebingungan untuk melanjutkan kalimat.

 

 "Eng-enggak, maksud papa, mama memangnya mau kemana sih? Biasanya minggu juga di rumah aja kan?" 

 

 "Ada deh. Mama ada urusan bisnis, Pah. Boleh kan?" rengeknya.

 

 Lagi-lagi aku terdiam bingung. Kalau aku tidak mengijinkannya, Metta pasti akan curiga atau bahkan mendesak ikut saat aku keluar hari minggu besok. Ah, lebih baik aku kasih alasan saja pada Linda untuk menunda acara jalan-jalan kami. 

 

 Usai makan, aku pun segera mengirim pesan ke istri keduaku itu. 

 

 [Lin, jalan-jalannya ditunda senin aja nggak apa-apa kan? Aku ada acara mendadak hari minggu.]

 

 [Kok gitu sih, Mas. Aku udah terlanjur bilang ke Tiara lho dan dia udah seneng banget. Nanti kalau dia ngambek gimana?]

 

 Duuuh kenapa sekarang jadi repot gini sih? Memang sejak Metta mulai bisa menyetir dia jadi sering menyela untuk membawa mobil kami. Dan ini sudah kedua kalinya aku membatalkan acara dengan Linda karena mobilnya dipakai Metta. 

 

 Bagaimana ini? Masa' iya aku harus beli satu mobil lagi biar semua urusanku dengan para istriku itu lancar? Tapi harga mobil kan juga gak murah. 

 

 "Mikirin apa sih, Pah? Kayak orang bingung gitu?" Metta tiba-tiba sudah ada di dekatku, membuatku gugup.

 

 "Eh enggak. Papa cuma lagi mikirin apa papa lebih baik beliin mobil sendiri aja ya buat mama?" kataku sekenanya.

 

 "Beli mobil? Mau buat apa sih, Pah? Satu aja juga udah cukup kan buat kita? Ada motor juga. Atau jangan-jangan papa punya alasan lain nih mau beli mobil segala?" Metta mendelik ke arahku.

 

 "Alasan apa? Jangan aneh-aneh ah, Mah."

 

 "Ya siapa tahu aja kan papa punya istri simpenan. Jadi biar papa bebas pergi nggak keganggu kalau mobilnya lagi mama bawa." ucapnya sambil tertawa mengejek dan meninggalkanku sendirian di serambi rumah.

 

GLEKK!

 

 Wajahku pasti merah padam saat ini gara-gara mendengar kalimatnya barusan. Mungkinkah sebenarnya Metta sudah tahu tentang Linda?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Marwah Cacabila
suami model gitu hempaskan yg jauh...
goodnovel comment avatar
Mustika Dyah S
Yg lama d abaikan&d campakkan~d hempaskan+d lupakan! Yg baru d rangkul&d gandeng+d peluk~mesra !.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status