"Mama kamu mana, Bas?" tanyaku pada Ibas, anak lelakiku yang sedang asik bermain dengan ponselnya di teras rumah.
Aku sedikit keheranan saat pulang dari toko dan melihat rumah agak sepi. Biasanya Metta akan selalu menyambut dengan ceria, bahkan terkadang sebelum aku sempat turun dari mobil. "Mama beli gas, Pah," sahut anakku sambil mengulurkan tangan kanannya untuk mencium punggung tanganku. "Beli gas? Serius?" Aku mengerutkan dahi makin heran. Selama ini Metta tak pernah mau melakukan hal itu, takut meledak katanya. Dia lebih suka menggangguku dengan menelpon, memintaku untuk pulang sebentar atau jika sedang sangat sibuk, aku akan menyuruh salah satu karyawan kami untuk datang ke rumah membantunya membeli gas sekaligus memasangkannya. "Iya Pah, serius. Tuh, dah pulang tuh mama," tunjuk Ibas ke arah motor yang baru saja berhenti di garasi. Memang tidak salah, itu Metta yang sedang menurunkan tabung gas dari atas motor. Sungguh keheranan aku memandangnya. Hingga kemudian baru tersadar bahwa aku harus segera membantunya. "Kok tumben beli gas sendiri? Biasanya nelpon papa?" tanyaku sambil mengulurkan tangan bermaksud mengambil tabung gas yang baru saja dia letakkan di lantai. "Nggak masalah, Pah. Mama bisa kok," ucapnya sambil menyingkirkan tanganku dari pegangan tabung. Lalu dia sendiri dengan cekatan mengangkatnya. "Eh tunggu, biar papa yang angkat. Berat lho, Mah," cegahku. "Enggak ah. Mama bisa sendiri kok, tenang aja, Pah," ucapnya sambil nyelonong pergi dari hadapanku yang praktis bengong melihatnya seperti itu. Lalu karena masih khawatir padanya, aku pun segera menyusul ke dapur untuk membantu memasangkan gasnya. Namun saat sampai di sana, ternyata dia pun sudah terlihat sangat lihai melakukannya sendiri. ... Kejadian seperti itu semakin hari semakin berlanjut. Dari mulai belanja bulanan, dia sudah tak lagi merengek minta diantar dan ditemani. Lalu antar jemput Ibas ke tempat les dan masih banyak lagi hal lainnya. Hingga suatu hari dia mengejutkanku dengan minta untuk les stir mobil. "Emang mau ngapain sih, Mah? Biasanya kan juga minta disopirin sama papa?" sindirku. "Ya nggak apa-apa sih, pengen aja bisa sendiri, Pah. Biar gak ngerepotin papa terus," dalihnya. "Jangan-jangan habis ini mama mau minta dibeliin mobil?" cibirku padanya. Tapi dia justru tergelak. "Enggak lah, mobil ini aja juga udah cukup kok," katanya. Dan begitulah, akhirnya kuijinkan juga dia belajar stir mobil. Hingga dalam waktu dua minggu saja dia sudah bisa kemana-mana sendirian tanpa kuantar lagi. Sampai di situ aku masih berpikiran positif pada istriku. Benar-benar tak ada kecurigaan lebih jauh pada perilakunya itu, hingga pada suatu sore tiba-tiba aku mendengarnya sedang berbicara di telepon dengan seseorang. "Iya sudah, sekarang aku udah nggak bergantung lagi sama mas Bimo. Harusnya aku lakukan itu dari dulu ya. Kurasa jauh lebih enak seperti ini daripada tiap mau ngapa-ngapain aku harus selalu nungguin dia selama ini." Aku bermaksud terus menguping pembicaraan itu saking penasarannya. Jadi sebenarnya kemandirian Metta akhir-akhir ini memang sudah dia rencanakan? Tapi kenapa? Apa alasan sebenarnya istriku melakukan itu? Dahiku sampai berkerut memikirkan hal itu, hingga tak sadar bahwa Metta ternyata sudah berada di dekatku. "Lhoh Mas, kok sudah pulang jam segini?" Entah kapan dia menyudari pembicaraan teleponnya tadi. "Eh, iya Mah. Capek nih, papa mau istirahat lebih awal," jawabku tergagap. "Ya udah, papa makan dulu aja kalau gitu, baru istirahat. Makanan udah kusiapin kok," ujarnya. Aku mengangguk mengiyakan. Lalu bermaksud masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian saat tiba-tiba ponselku berbunyi. "Ah si*l," umpatku lirih. Aku lupa memberitahu Linda bahwa aku pulang cepat hari ini. Biasanya aku aka berpamitan padanya saat aku pulang agar dia tak menghubungiku saat aku sudah berada di rumah. Dengan panik langsung kutolak panggilan telepon dari istri keduaku itu. "Siapa sih, Pah? Kok nggak diangkat teleponnya?" teriak Metta dari arah meja makan diiringi bunyi dentingan piring dan sendok yang sedang dia siapkan. "Ini, karyawan kok, Mah. Sudah aku bilang mau istirahat masih aja nelpon," gerutuku pura-pura kesal. Setelah itu kulanjutkan kembali langkahku menuju kamar dan kukirim pesan pada Linda untuk memberitahunya bahwa aku sudah berada di rumah. [Aku cuma mau ngingetin kalau hari minggu besok Tiara ulang tahun, Mas. Kita ajak jalan-jalan ya?]Bunyi pesan balasan dari Linda.
Hari minggu biasanya adalah hariku bersama Metta dan anak lelakiku. Tapi aku tak punya waktu berdebat dengan Linda kali ini, hingga lalu kuiyakan saja permintaannya. [Oke nggak masalah.] balasku. Usai berganti pakaian, aku pun bergegas ke ruang makan dimana Metta sudah menungguku di sana. "Pah, hari minggu besok aku mau pakai mobilnya ya? Papa nggak ada acara kan?" kata Metta tiba-tiba. "Minggu besok, Mah? Tapi papa ...." Aku sedikit gugup merespon permintaannya, mengingat baru saja aku telah berjanji pada Linda untuk mengajak anak perempuan kami jalan-jalan. "Kenapa? Papa nggak ada acara kemana-mana kan kalau hari minggu?" tanyanya dengan dahi berkerut. Mungkin karena melihatku kebingungan untuk melanjutkan kalimat. "Eng-enggak, maksud papa, mama memangnya mau kemana sih? Biasanya minggu juga di rumah aja kan?" "Ada deh. Mama ada urusan bisnis, Pah. Boleh kan?" rengeknya. Lagi-lagi aku terdiam bingung. Kalau aku tidak mengijinkannya, Metta pasti akan curiga atau bahkan mendesak ikut saat aku keluar hari minggu besok. Ah, lebih baik aku kasih alasan saja pada Linda untuk menunda acara jalan-jalan kami. Usai makan, aku pun segera mengirim pesan ke istri keduaku itu. [Lin, jalan-jalannya ditunda senin aja nggak apa-apa kan? Aku ada acara mendadak hari minggu.] [Kok gitu sih, Mas. Aku udah terlanjur bilang ke Tiara lho dan dia udah seneng banget. Nanti kalau dia ngambek gimana?] Duuuh kenapa sekarang jadi repot gini sih? Memang sejak Metta mulai bisa menyetir dia jadi sering menyela untuk membawa mobil kami. Dan ini sudah kedua kalinya aku membatalkan acara dengan Linda karena mobilnya dipakai Metta. Bagaimana ini? Masa' iya aku harus beli satu mobil lagi biar semua urusanku dengan para istriku itu lancar? Tapi harga mobil kan juga gak murah. "Mikirin apa sih, Pah? Kayak orang bingung gitu?" Metta tiba-tiba sudah ada di dekatku, membuatku gugup. "Eh enggak. Papa cuma lagi mikirin apa papa lebih baik beliin mobil sendiri aja ya buat mama?" kataku sekenanya. "Beli mobil? Mau buat apa sih, Pah? Satu aja juga udah cukup kan buat kita? Ada motor juga. Atau jangan-jangan papa punya alasan lain nih mau beli mobil segala?" Metta mendelik ke arahku. "Alasan apa? Jangan aneh-aneh ah, Mah." "Ya siapa tahu aja kan papa punya istri simpenan. Jadi biar papa bebas pergi nggak keganggu kalau mobilnya lagi mama bawa." ucapnya sambil tertawa mengejek dan meninggalkanku sendirian di serambi rumah. GLEKK! Wajahku pasti merah padam saat ini gara-gara mendengar kalimatnya barusan. Mungkinkah sebenarnya Metta sudah tahu tentang Linda?Aku masih belum menghubungi Linda lagi setelah dia protes karena acara jalan-jalan kami kubatalkan. Dia pasti marah saat ini, tapi biarlah. Jauh lebih gampang meredakan amarah Linda daripada Metta.Metta yang selama ini menjadi istri pertamaku yang manja cenderung lebih kolokan jika sedang marah. Kadang butuh waktu sampai berhari-hari untuk membuatnya kembali tersenyun lagi.Namun Linda lain, selama hampir tahun menjadi istri keduaku, dia sepertinya lebih tau diri. Asalkan semua kebutuhannya dan Tiara kupenuhi dan sampai tidak telat, biasanya dia tidak pernah terlalu protes. Tetkadang jika marah, aku hanya cukup memberikannya sejumlah uang untuknya bersenang-senang, dan dia pun akan kembali ceria lagi.Mengurus Linda memang segampang itu. Bahkan saat hari libur yang selalu kuputuskan untuk menjadi hariku dengan Metta dan Ibas, dia pun nampak tak pernah keberatan. Juga saat aku bilang padanya untuk jangan
P.O.V Metta Entah apakah aku ini adalah istri yang begitu menyedihkan atau keterlaluan jika ternyata aku baru mengetahui bahwa selama 3 tahun lebih aku telah diduakan oleh suami yang selama ini kukenal baik dan sangat setia.Kaget? Tentu saja. Tapi apa aku harus langsung melabrak wanita kedua suamiku itu, sedangkan aku sendiri saja masih sangat bergantung hidup padanya?Akhirnya aku memilih diam untuk sementara waktu, sambil memikirkan apa saja yang akan kulakukan untuk membuat semua orang yang mengkhianatiku itu menyesal.Aku mengetahui pengkhianatan suamiku pertama kalinya saat siang itu tiba-tiba aku ingin sekali menemui mas Bimo di toko. Ada hal yang ingin kubicarakan segera dengannya mengenai masalah Ibas di sekolah.Biasanya aku tak pernah mengganggunya dengan datang mendadak ke toko tanpa pemberitahuan. Tapi entahlah hari itu, mungkin memang sudah saatnya
Sebagai istri, Metta sebenarnya tidak mengecewakan. Wanita yang kupacari 2 tahun sebelum akhirnya kunikahi itu berparas ayu dan juga cukup pandai merawat diri. Walaupun tetap saja, kecantikan Linda msh satu tingkat di atasnya.Namun bukan hanya karena fisik yang sebenarnya menjadi penyebab aku sampai menduakan Metta.Berawal dari 4 tahun yang lalu, saat adik lelakiku satu-satunya meninggal karena kecelakaan dan meninggalkan seorang istri yang baru dinikahinya beberapa bulan sebelumnya. Itulah awal dari semua yang kualami ini....Dua bulan usai kepergian Seno, ibu memanggilku ke rumah. Dan di sana ternyata sudah berkumpul dua kakak perempuanku dan juga istri dari almarhum adikku.Linda nampak sedang terisak saat aku datang. Sepertinya ke empat wanita itu memang sedang membicarakan hal yang serius."Linda ternyata sedang mengandung anak Seno, Bim."
Linda sepertinya benar-benar sangat marah kali ini. Beberapa kali aku mencoba menghubunginya lagi hari ini lewat telepon, namun sebanyak itu pula dia menolak panggilanku.Khawatir ngambeknya akan berlarut-larut, akhirnya kuputuskan untuk mengunjunginya lagi siang ini."Joko, Ira mana?" tanyaku pada salah satu karyawan senior di tokoku."Mbak Ira kan hari ini ijin, Pak," jawab si Joko."Oiya, ya," aku menepuk dahiku pelan. Aku lupa kalau hari ini karyawan paling seniorku itu minta ijin karena harus membawa ibunyaa mendadak ke rumah sakit.Kuhela nafas sebentar sambil berpikir. Biasanya saat pergi, aku selalu menitipkan operasional toko ini pada Ira, karena dia yang paling paham dan bisa dipercaya. Aku bahkan tak pernah khawatir meninggalkan toko seharian penuh jika ada Ira. Semua akan berjalan lancar tanpa kendala di tangannya.Jika Ira tidak
P.O.V Metta Sore itu entah kenapa aku begitu lelah. Biasanya saat-saat sedang seperti ini, dulu aku akan akan pergi ke rumah orang tuaku untuk sekedar melepaskan kepenatanku di sana.Namun sejak bapak meninggal lima tahun yang lalu, kemudian disusul ibu 3 tahun setelahnya, praktis aku tak punya lagi sandaran untuk kelu kesahku. Aku yang anak tunggal ini juga tak terlalu banyak punya teman, apalagi setelah menjadi istri mas Bimo. Kehidupanku sepenuhnya kuhabiskan untuk mengabdi pada suami dan mengurus anak semata wayang kami, Ibas, yang kini telah duduk di kelas 5 SD.Dipersunting mas Bimo adalah impianku sejak baru masuk kuliah, karena mas Bimo adalah laki-laki yang dulu membuatku jatuh hati pada pandangan pertama saat kami sama-sama memasuki bangku kuliah. Walaupun kemudian kami baru dekat dua tahun menjelang kami lulus, namun mas Bimo langsung melamarku usai acara wisuda kami.Dari no
Hari minggu pagi kulihat Metta sudah bersiap akan pergi. Tak lupa dia juga sudah menyiapkan Ibas untuk diajaknya serta."Jadi pergi, Mah?" tanyaku basa basi. Padahal sebenarnya betapa inginnya aku mendengarnya membatalkan acaranya itu hingga aku bisa meredakan amarah Linda dengan mangajak jalan-jalan bersama Tiara hari ini."Jadi, Pah," jawabnya singkat tanpa menengok ke arahku."Eh tunggu, itu matamu kenapa, Mah?" Saat sekilas tadi memperhatikan seperti ada sedikit bengkak di mata Metta, aku pun bertanya dengan keheranan."Nggak apa-apa, Pah," sahutnya cepat seolah ingin menghindar dariku. Lalu dia pun segera melangkah sambil memanggil-manggil anak kami."Bas, ayok berangkat! Udah siap belum?" tanyanya."Udah, Mah."Tak berapa lama terlihat Ibas keluar dari kamarnya dengan pakaian rapinya.&nb
P.O.V Metta Seperti yang disarankan Rima, hari ini aku mengunjungi rumah ibu mertuaku. Sengaja aku tak mengajak mas Bimo karena acaraku hari ini sebenarnya memang bukan ke rumah ibu, melainkan ingin membahas sesuatu dengan salah satu sahabatku yang seorang pengacara.Saat sampai di rumah ibu, rupanya mbak Norma, mbak Nani dan anak-anaknya sedang berada di sana."Nggak sama Bimo, Met?" tanya mbak Norma menyambut kedatanganku."Enggak, Mbak," aku menggeleng, lalu menyalami mereka satu per satu dan bergabung di ruang tengah itu."Bimo kemana memangnya?" giliran mbak Nani yang bertanya."Mau ada acara sebentar tadi katanya. Nggak tau kemana, Mbak," bohongku. Nggak enak juga mengatakan kalau mas Bimo di rumah saja sementara aku di sini."Kamu bawa mobil sendiri, Met? Hebat kamu, sudah bisa nyetir?" Ibu yang kemudian berkomentar d
"Bim, kamu bisa ke rumah ibu nggak sekarang?" ucap Mbak Norma ditelepon pagi itu saat aku baru saja sampai di toko."Ada apa, Mbak?" tanyaku keheranan. Perasaanku masih kalut dari kemarin karena kelakuan Linda yang sampai sekarang masih tetap tak bisa kuhubungi."Kamu sudah di toko apa masih di rumah?" tanya mbak Norma balik."Baru sampai toko, Mbak. Ada apa sih?" tanyaku sedikit kesal karena tak kunjung diberi jawaban."Ini penting, Bim. Soal Metta sama Linda," ucapannya terdengar sedikit panik. Aku mendesah pelan, meskipun sebenarnya aku tak tahu persoalan apa yang akan disampaikan oleh mbak Linda sebenarnya."Sebentar lagi deh, Mbak. Aku baru aja sampai di toko. Satu atau dua jam lagi aku ke situ," kataku kemudian.Usai kututup telepon, kulihat salah satu karyawan seniorku baru saja datang dengan wajah kusutnya."