"Mama kamu mana, Bas?" tanyaku pada Ibas, anak lelakiku yang sedang asik bermain dengan ponselnya di teras rumah.
Aku sedikit keheranan saat pulang dari toko dan melihat rumah agak sepi. Biasanya Metta akan selalu menyambut dengan ceria, bahkan terkadang sebelum aku sempat turun dari mobil. "Mama beli gas, Pah," sahut anakku sambil mengulurkan tangan kanannya untuk mencium punggung tanganku. "Beli gas? Serius?" Aku mengerutkan dahi makin heran. Selama ini Metta tak pernah mau melakukan hal itu, takut meledak katanya. Dia lebih suka menggangguku dengan menelpon, memintaku untuk pulang sebentar atau jika sedang sangat sibuk, aku akan menyuruh salah satu karyawan kami untuk datang ke rumah membantunya membeli gas sekaligus memasangkannya. "Iya Pah, serius. Tuh, dah pulang tuh mama," tunjuk Ibas ke arah motor yang baru saja berhenti di garasi. Memang tidak salah, itu Metta yang sedang menurunkan tabung gas dari atas motor. Sungguh keheranan aku memandangnya. Hingga kemudian baru tersadar bahwa aku harus segera membantunya. "Kok tumben beli gas sendiri? Biasanya nelpon papa?" tanyaku sambil mengulurkan tangan bermaksud mengambil tabung gas yang baru saja dia letakkan di lantai. "Nggak masalah, Pah. Mama bisa kok," ucapnya sambil menyingkirkan tanganku dari pegangan tabung. Lalu dia sendiri dengan cekatan mengangkatnya. "Eh tunggu, biar papa yang angkat. Berat lho, Mah," cegahku. "Enggak ah. Mama bisa sendiri kok, tenang aja, Pah," ucapnya sambil nyelonong pergi dari hadapanku yang praktis bengong melihatnya seperti itu. Lalu karena masih khawatir padanya, aku pun segera menyusul ke dapur untuk membantu memasangkan gasnya. Namun saat sampai di sana, ternyata dia pun sudah terlihat sangat lihai melakukannya sendiri. ... Kejadian seperti itu semakin hari semakin berlanjut. Dari mulai belanja bulanan, dia sudah tak lagi merengek minta diantar dan ditemani. Lalu antar jemput Ibas ke tempat les dan masih banyak lagi hal lainnya. Hingga suatu hari dia mengejutkanku dengan minta untuk les stir mobil. "Emang mau ngapain sih, Mah? Biasanya kan juga minta disopirin sama papa?" sindirku. "Ya nggak apa-apa sih, pengen aja bisa sendiri, Pah. Biar gak ngerepotin papa terus," dalihnya. "Jangan-jangan habis ini mama mau minta dibeliin mobil?" cibirku padanya. Tapi dia justru tergelak. "Enggak lah, mobil ini aja juga udah cukup kok," katanya. Dan begitulah, akhirnya kuijinkan juga dia belajar stir mobil. Hingga dalam waktu dua minggu saja dia sudah bisa kemana-mana sendirian tanpa kuantar lagi. Sampai di situ aku masih berpikiran positif pada istriku. Benar-benar tak ada kecurigaan lebih jauh pada perilakunya itu, hingga pada suatu sore tiba-tiba aku mendengarnya sedang berbicara di telepon dengan seseorang. "Iya sudah, sekarang aku udah nggak bergantung lagi sama mas Bimo. Harusnya aku lakukan itu dari dulu ya. Kurasa jauh lebih enak seperti ini daripada tiap mau ngapa-ngapain aku harus selalu nungguin dia selama ini." Aku bermaksud terus menguping pembicaraan itu saking penasarannya. Jadi sebenarnya kemandirian Metta akhir-akhir ini memang sudah dia rencanakan? Tapi kenapa? Apa alasan sebenarnya istriku melakukan itu? Dahiku sampai berkerut memikirkan hal itu, hingga tak sadar bahwa Metta ternyata sudah berada di dekatku. "Lhoh Mas, kok sudah pulang jam segini?" Entah kapan dia menyudari pembicaraan teleponnya tadi. "Eh, iya Mah. Capek nih, papa mau istirahat lebih awal," jawabku tergagap. "Ya udah, papa makan dulu aja kalau gitu, baru istirahat. Makanan udah kusiapin kok," ujarnya. Aku mengangguk mengiyakan. Lalu bermaksud masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian saat tiba-tiba ponselku berbunyi. "Ah si*l," umpatku lirih. Aku lupa memberitahu Linda bahwa aku pulang cepat hari ini. Biasanya aku aka berpamitan padanya saat aku pulang agar dia tak menghubungiku saat aku sudah berada di rumah. Dengan panik langsung kutolak panggilan telepon dari istri keduaku itu. "Siapa sih, Pah? Kok nggak diangkat teleponnya?" teriak Metta dari arah meja makan diiringi bunyi dentingan piring dan sendok yang sedang dia siapkan. "Ini, karyawan kok, Mah. Sudah aku bilang mau istirahat masih aja nelpon," gerutuku pura-pura kesal. Setelah itu kulanjutkan kembali langkahku menuju kamar dan kukirim pesan pada Linda untuk memberitahunya bahwa aku sudah berada di rumah. [Aku cuma mau ngingetin kalau hari minggu besok Tiara ulang tahun, Mas. Kita ajak jalan-jalan ya?]Bunyi pesan balasan dari Linda.
Hari minggu biasanya adalah hariku bersama Metta dan anak lelakiku. Tapi aku tak punya waktu berdebat dengan Linda kali ini, hingga lalu kuiyakan saja permintaannya. [Oke nggak masalah.] balasku. Usai berganti pakaian, aku pun bergegas ke ruang makan dimana Metta sudah menungguku di sana. "Pah, hari minggu besok aku mau pakai mobilnya ya? Papa nggak ada acara kan?" kata Metta tiba-tiba. "Minggu besok, Mah? Tapi papa ...." Aku sedikit gugup merespon permintaannya, mengingat baru saja aku telah berjanji pada Linda untuk mengajak anak perempuan kami jalan-jalan. "Kenapa? Papa nggak ada acara kemana-mana kan kalau hari minggu?" tanyanya dengan dahi berkerut. Mungkin karena melihatku kebingungan untuk melanjutkan kalimat. "Eng-enggak, maksud papa, mama memangnya mau kemana sih? Biasanya minggu juga di rumah aja kan?" "Ada deh. Mama ada urusan bisnis, Pah. Boleh kan?" rengeknya. Lagi-lagi aku terdiam bingung. Kalau aku tidak mengijinkannya, Metta pasti akan curiga atau bahkan mendesak ikut saat aku keluar hari minggu besok. Ah, lebih baik aku kasih alasan saja pada Linda untuk menunda acara jalan-jalan kami. Usai makan, aku pun segera mengirim pesan ke istri keduaku itu. [Lin, jalan-jalannya ditunda senin aja nggak apa-apa kan? Aku ada acara mendadak hari minggu.] [Kok gitu sih, Mas. Aku udah terlanjur bilang ke Tiara lho dan dia udah seneng banget. Nanti kalau dia ngambek gimana?] Duuuh kenapa sekarang jadi repot gini sih? Memang sejak Metta mulai bisa menyetir dia jadi sering menyela untuk membawa mobil kami. Dan ini sudah kedua kalinya aku membatalkan acara dengan Linda karena mobilnya dipakai Metta. Bagaimana ini? Masa' iya aku harus beli satu mobil lagi biar semua urusanku dengan para istriku itu lancar? Tapi harga mobil kan juga gak murah. "Mikirin apa sih, Pah? Kayak orang bingung gitu?" Metta tiba-tiba sudah ada di dekatku, membuatku gugup. "Eh enggak. Papa cuma lagi mikirin apa papa lebih baik beliin mobil sendiri aja ya buat mama?" kataku sekenanya. "Beli mobil? Mau buat apa sih, Pah? Satu aja juga udah cukup kan buat kita? Ada motor juga. Atau jangan-jangan papa punya alasan lain nih mau beli mobil segala?" Metta mendelik ke arahku. "Alasan apa? Jangan aneh-aneh ah, Mah." "Ya siapa tahu aja kan papa punya istri simpenan. Jadi biar papa bebas pergi nggak keganggu kalau mobilnya lagi mama bawa." ucapnya sambil tertawa mengejek dan meninggalkanku sendirian di serambi rumah. GLEKK! Wajahku pasti merah padam saat ini gara-gara mendengar kalimatnya barusan. Mungkinkah sebenarnya Metta sudah tahu tentang Linda?Aku masih belum menghubungi Linda lagi setelah dia protes karena acara jalan-jalan kami kubatalkan. Dia pasti marah saat ini, tapi biarlah. Jauh lebih gampang meredakan amarah Linda daripada Metta.Metta yang selama ini menjadi istri pertamaku yang manja cenderung lebih kolokan jika sedang marah. Kadang butuh waktu sampai berhari-hari untuk membuatnya kembali tersenyun lagi.Namun Linda lain, selama hampir tahun menjadi istri keduaku, dia sepertinya lebih tau diri. Asalkan semua kebutuhannya dan Tiara kupenuhi dan sampai tidak telat, biasanya dia tidak pernah terlalu protes. Tetkadang jika marah, aku hanya cukup memberikannya sejumlah uang untuknya bersenang-senang, dan dia pun akan kembali ceria lagi.Mengurus Linda memang segampang itu. Bahkan saat hari libur yang selalu kuputuskan untuk menjadi hariku dengan Metta dan Ibas, dia pun nampak tak pernah keberatan. Juga saat aku bilang padanya untuk jangan
P.O.V Metta Entah apakah aku ini adalah istri yang begitu menyedihkan atau keterlaluan jika ternyata aku baru mengetahui bahwa selama 3 tahun lebih aku telah diduakan oleh suami yang selama ini kukenal baik dan sangat setia.Kaget? Tentu saja. Tapi apa aku harus langsung melabrak wanita kedua suamiku itu, sedangkan aku sendiri saja masih sangat bergantung hidup padanya?Akhirnya aku memilih diam untuk sementara waktu, sambil memikirkan apa saja yang akan kulakukan untuk membuat semua orang yang mengkhianatiku itu menyesal.Aku mengetahui pengkhianatan suamiku pertama kalinya saat siang itu tiba-tiba aku ingin sekali menemui mas Bimo di toko. Ada hal yang ingin kubicarakan segera dengannya mengenai masalah Ibas di sekolah.Biasanya aku tak pernah mengganggunya dengan datang mendadak ke toko tanpa pemberitahuan. Tapi entahlah hari itu, mungkin memang sudah saatnya
Sebagai istri, Metta sebenarnya tidak mengecewakan. Wanita yang kupacari 2 tahun sebelum akhirnya kunikahi itu berparas ayu dan juga cukup pandai merawat diri. Walaupun tetap saja, kecantikan Linda msh satu tingkat di atasnya.Namun bukan hanya karena fisik yang sebenarnya menjadi penyebab aku sampai menduakan Metta.Berawal dari 4 tahun yang lalu, saat adik lelakiku satu-satunya meninggal karena kecelakaan dan meninggalkan seorang istri yang baru dinikahinya beberapa bulan sebelumnya. Itulah awal dari semua yang kualami ini....Dua bulan usai kepergian Seno, ibu memanggilku ke rumah. Dan di sana ternyata sudah berkumpul dua kakak perempuanku dan juga istri dari almarhum adikku.Linda nampak sedang terisak saat aku datang. Sepertinya ke empat wanita itu memang sedang membicarakan hal yang serius."Linda ternyata sedang mengandung anak Seno, Bim."
Linda sepertinya benar-benar sangat marah kali ini. Beberapa kali aku mencoba menghubunginya lagi hari ini lewat telepon, namun sebanyak itu pula dia menolak panggilanku.Khawatir ngambeknya akan berlarut-larut, akhirnya kuputuskan untuk mengunjunginya lagi siang ini."Joko, Ira mana?" tanyaku pada salah satu karyawan senior di tokoku."Mbak Ira kan hari ini ijin, Pak," jawab si Joko."Oiya, ya," aku menepuk dahiku pelan. Aku lupa kalau hari ini karyawan paling seniorku itu minta ijin karena harus membawa ibunyaa mendadak ke rumah sakit.Kuhela nafas sebentar sambil berpikir. Biasanya saat pergi, aku selalu menitipkan operasional toko ini pada Ira, karena dia yang paling paham dan bisa dipercaya. Aku bahkan tak pernah khawatir meninggalkan toko seharian penuh jika ada Ira. Semua akan berjalan lancar tanpa kendala di tangannya.Jika Ira tidak
P.O.V Metta Sore itu entah kenapa aku begitu lelah. Biasanya saat-saat sedang seperti ini, dulu aku akan akan pergi ke rumah orang tuaku untuk sekedar melepaskan kepenatanku di sana.Namun sejak bapak meninggal lima tahun yang lalu, kemudian disusul ibu 3 tahun setelahnya, praktis aku tak punya lagi sandaran untuk kelu kesahku. Aku yang anak tunggal ini juga tak terlalu banyak punya teman, apalagi setelah menjadi istri mas Bimo. Kehidupanku sepenuhnya kuhabiskan untuk mengabdi pada suami dan mengurus anak semata wayang kami, Ibas, yang kini telah duduk di kelas 5 SD.Dipersunting mas Bimo adalah impianku sejak baru masuk kuliah, karena mas Bimo adalah laki-laki yang dulu membuatku jatuh hati pada pandangan pertama saat kami sama-sama memasuki bangku kuliah. Walaupun kemudian kami baru dekat dua tahun menjelang kami lulus, namun mas Bimo langsung melamarku usai acara wisuda kami.Dari no
Hari minggu pagi kulihat Metta sudah bersiap akan pergi. Tak lupa dia juga sudah menyiapkan Ibas untuk diajaknya serta."Jadi pergi, Mah?" tanyaku basa basi. Padahal sebenarnya betapa inginnya aku mendengarnya membatalkan acaranya itu hingga aku bisa meredakan amarah Linda dengan mangajak jalan-jalan bersama Tiara hari ini."Jadi, Pah," jawabnya singkat tanpa menengok ke arahku."Eh tunggu, itu matamu kenapa, Mah?" Saat sekilas tadi memperhatikan seperti ada sedikit bengkak di mata Metta, aku pun bertanya dengan keheranan."Nggak apa-apa, Pah," sahutnya cepat seolah ingin menghindar dariku. Lalu dia pun segera melangkah sambil memanggil-manggil anak kami."Bas, ayok berangkat! Udah siap belum?" tanyanya."Udah, Mah."Tak berapa lama terlihat Ibas keluar dari kamarnya dengan pakaian rapinya.&nb
P.O.V Metta Seperti yang disarankan Rima, hari ini aku mengunjungi rumah ibu mertuaku. Sengaja aku tak mengajak mas Bimo karena acaraku hari ini sebenarnya memang bukan ke rumah ibu, melainkan ingin membahas sesuatu dengan salah satu sahabatku yang seorang pengacara.Saat sampai di rumah ibu, rupanya mbak Norma, mbak Nani dan anak-anaknya sedang berada di sana."Nggak sama Bimo, Met?" tanya mbak Norma menyambut kedatanganku."Enggak, Mbak," aku menggeleng, lalu menyalami mereka satu per satu dan bergabung di ruang tengah itu."Bimo kemana memangnya?" giliran mbak Nani yang bertanya."Mau ada acara sebentar tadi katanya. Nggak tau kemana, Mbak," bohongku. Nggak enak juga mengatakan kalau mas Bimo di rumah saja sementara aku di sini."Kamu bawa mobil sendiri, Met? Hebat kamu, sudah bisa nyetir?" Ibu yang kemudian berkomentar d
"Bim, kamu bisa ke rumah ibu nggak sekarang?" ucap Mbak Norma ditelepon pagi itu saat aku baru saja sampai di toko."Ada apa, Mbak?" tanyaku keheranan. Perasaanku masih kalut dari kemarin karena kelakuan Linda yang sampai sekarang masih tetap tak bisa kuhubungi."Kamu sudah di toko apa masih di rumah?" tanya mbak Norma balik."Baru sampai toko, Mbak. Ada apa sih?" tanyaku sedikit kesal karena tak kunjung diberi jawaban."Ini penting, Bim. Soal Metta sama Linda," ucapannya terdengar sedikit panik. Aku mendesah pelan, meskipun sebenarnya aku tak tahu persoalan apa yang akan disampaikan oleh mbak Linda sebenarnya."Sebentar lagi deh, Mbak. Aku baru aja sampai di toko. Satu atau dua jam lagi aku ke situ," kataku kemudian.Usai kututup telepon, kulihat salah satu karyawan seniorku baru saja datang dengan wajah kusutnya."
Hari itu rumah pengusaha Fabian Wiguno terlihat sangat ramai. Pesta kecil sengaja digelar khusus untuk menyambut kedatangan saudara perempuan serta dua anaknya yang rencananya akan kembali dari Amerika untuk berlibur.Amanda Wiguna dengan dua anaknya, Darryl dan Hannah memang telah lama menetap di America. Anak-anak Amanda meminta untuk dipindahkan sekolahnya ke luar negeri setelah ketok palu pengadilan memutuskan hukuman untuk ayah mereka. Amanda sendiri awalnya hanya bermaksud menemani dua buah hatinya menimba ilmu sekaligus ingin melupakan segala permasalahan yang terjadi di masa lalu mereka. Namun rupanya Amanda terlanjur nyaman berada di negeri paman Sam itu.Metta yang melakukan semua persiapan untuk menyambut kedatangan saudara perempuan suaminya. Dia sendiri juga begitu rindu ingin bertemu dengan sang ipar. Tak lupa, Metta juga mengundang ke empat sahabat mereka; Devita, Ayu, Rani, dan Revi. Bagi Metta, kepulangan Amanda kali in
"Sudah siap?" Fabian melongok dari arah pintu kamar.Metta yang sedang menyelesaikan dandanannya di deoan meja rias pun menoleh."Bentar lagi, Mas. Sini deh, Mas." Dilambaikannya jari-jari lentiknya ke arah sang suami."Kenapa, Sayang?""Sebenarnya mas mau ajak aku kemana sih? Dati kemarin nggak mau cerita ih." Metta membalikkan badan menghadap sang suami. Namun Fabian hanya tersenyum penuh misteri, seolah membiarkan istrinya dihantui rasa penasarannya sendiri.Semalam tiba-tiba saja Fabian mengatakan ingin mengajak Metta ke suatu tempat. Anehnya lelaki itu tidak mau mengatakan akan kemana."Kalau kukasih tahu jadinya nggak surprise dong," selalu begitu jawab suaminya."Hmmm baiklah. Daripada penasaran, kita berangkat sekarang aja kalau gitu."Dengan raut pura-pura kesal, Metta pun bangkit dan berjalan ke luar kamar sembari menggandeng
Berhari-hari Bimo selalu teringat pertemuannya dengan Linda di penjara. Tentang bagaimana nampak tertekannya wanita itu, juga pertanyaan Linda tentang pernikahan.Di banding kondisi Linda sekarang, Bimo merasa jauh lebih beruntung. Linda memang telah salah langkah. Terpuruknya kehidupan mereka di masa lalu tak membuat Linda jadi insyaf dan mengambil hikmah dari semua itu. Justru wanita itu semakin gila dengan harta dan kemewahan.Seandainya saja dulu Linda tidak meninggalkannya untuk lelaki kaya bernama Rexiano itu karena silau dengan hartanya, mungkin saat ini mereka berdua masih menjadi sepasang suami istri meskipun hidup dalam kesederhanaan.Tapi nasi memang telah menjadi bubur. Semua yang telah dilakukan Linda harus dipertanggung jawabkan di dalam penjara.Entah kenapa, pertanyaan Linda tentang apakah dia sudah menikah adalah yang paling membekas di hati Bimo beberapa hari terakhir. Seolah i
"Papa pulang!" teriak Tiara seperti biasa saat melihat Bimo datang dengan menggunakan ojek online. Lelaki itu memang sengaja pergi dan pulang kantor menggunakan transportasi umum agar sepeda motornya tetap bisa dipakai oleh kakaknya berjualan.Norma yang sedang menyuapi Tiara sore itu pun ikut girang. Sudah dua bulan ini Bimo bekerja di kantor Wiguna Group dengan gaji yang lumayan menurut mereka."Kok sore gini udah pulang, Bim?" tanyanya seketika setelah melirik jam di dinding yang baru menunjuk pukul 4 sore."Iya, Mbak. Kebetulan hari ini kerjaannya yidak begitu banyak. Tapi mungkin besok malah lembur sampai malam.""Oooh gitu. Ya sudah sana bersihin badan kamu dulu. Habis itu makanlah, aku sudah masak tadi.""Pa, Tiara boleh minta sesuatu nggak?" Tiara yang melihat Bimo akan beranjak, tiba-tiba langsung meraih tangannya lelaki itu."Boleh dong. Tiara mau minta ap
"Kamu serius, Bim?" Norma membelalakkan mata usai mendengar cerita adiknya."Serius, Mbak. Aku juga kaget tadi waktu dia mengatakan itu."Norma menggeleng-gelangkan kepalanya dan berkali-kali berdecak."Kok ada ya Bim, orang sebaik pak Fabian itu. Metta benar-benar wanita yang sangat beruntung bisa jadi istri lelaki seperti itu. Trus ... trus, kamu jawab apa waktu dia nawarin itu? Kamu menerimanya kan?""Aku belum mengatakan apa-apa, Mbak. Aku masih bingung. Aku sudah lama sekali nggak kerja kantoran. Aku nggak yakin aku masih bisa.""Jadi kamu nolak tawaran pak Fabian? Ya ampun Bimoooo. Kamu itu gimana sih?""Belum, Mbak. Aku belum bilang menolak. Aku bilang masih bingung. Tapi besok kalau aku bersedia, aku disuruh datang langsung ke kantornya."
"Titip Ibas ya, Mas. Minggu siang nanti kita jemput," ucap Metta saat akhirnya dia dan suaminya berpamitan pada Bimo."Jangan siang, Ma. Sore aja," sahut Ibas. Metta agak melebarkan mata pada anak lelakinya mendengar itu. Namun bibirnya tetap saja harus menampakkan senyum."Kalau Ibas pulangnya kesorean nanti gak cukup istirahatnya, Sayang. Kan senin sudah harus masuk sekolah lagi. Mama jemput siang aja ya?""Iya deh kalau gitu, Ma.""Jangan khawatir, Met. Bimo nggak akan pergi kemana-mana kok hari ini. Nanti biar aku sendiri aja yang jualan. Biar Ibas bisa puas maen sama papanya." Norma seolah tahu kekhawatiran Metta."Iya, Met. Jangan khawatir. Ibas akan baik-baik saja di sini," lanjut Bimo."Ya udah. Makasih ya, mbak Norma, Mas Bimo. Kami pamit dulu kalau gitu. Ibas baik-baik ya. Jangan rewel dan ngrepoti
Kehidupan Metta bersama Fabian masih sangat hangat sebagai sepasang pengantin baru walaupun ini adalah pernikahan kedua bagi keduanya.Di hari-hari awal pernikahan mereka, Metta bahkan sedikit kaget karena ternyata keseharian Fabian agak jauh dari bayangannya. Fabian yang seorang pengusaha, dalam bayangan Metta adalah orang yang sangat sibuk dan mungkin tak akan bisa memiliki banyak waktu untuk dirinya dan Ibas. Namun ternyata, dugaan Metta keliru. Fabian bahkan jauh lebih perhatian dibanding dulu saat dirinya menjalani awal pernikahannya dengan Bimo.Fabian sangat jauh berbeda dengan Bimo. Rupanya statusnya sebagai pengusaha sukses tak lantas membuatnya menomorduakan keluarga. Metta dan Ibas tetap menjadi prioritas utama bagi pria itu saat ini.Hari demi hari mereka lalui dengan kehangatan sebuah keluarga. Mungkin kegagalan keduanya dalam pernikahan sebelumnya menjadi pelajaran ya
Usai hari pernikahan, Fabian memboyong Metta ke sebuah rumah besar nan mewah. Rupanya lelaki itu sudah menyiapkan sebuah istana untuk sang istri. Metta bahkan belum pernah menginjakkan kaki di rumah semegah itu sebelumnya, selain rumah sahabatnya yang sekarang jadi adik iparnya, Amanda. Bik Marsih yang ikut diboyong Metta ke rumah barunya sampai terbengong kala mobil yang membawa mereka memasuki gerbang yang baru saja dibukakan oleh seorang satpam. Halaman yang luas dengan taman indah, air mancur di tengah-tengah halaman, persis seperti rumah-rumah yang hanya pernah dilihatnya di dalam tayangan sinetron di televisi lokal. Berulang kali wanita baya itu berdecak kagum. Tak jauh beda dengan bik Marsih, Ibas pun nampak seperti sedang dibawa jalan-jalan ke nengeri dongeng. "Ini ru
Malam itu Bimo, Norma, Nani dan suaminya sudah bersiap untuk pergi ke pesta pernikahan Metta. Bimo telah menyewa sebuah mobil untuk membawa rombongan itu ke sana. Saat akhirnya mereka berangkat, Norma tiba-tiba menyuruh Bimo untuk membelokkan mobil ke arah yang tak seharusnya. "Lhoh, jalannya itu ke arah sana mbak, kok minta belok?" tanya Bimo keheranan. "Udah belok dulu, sebentar aja kok, Bim. Nggak lama," sahut Norma. Nani juga jadi mengerutkan dahi melihat tingkah kakak sulungnya itu. "Mau kemana dulu sih kita memangnya, Mbak?" tanyanya kemudian dari kursi belakang. "Udaah jangan pada cerewet. Nanti juga tau." Lagi-lagi norma menyuruh adik-adiknya untuk diam.&n