Sebagai istri, Metta sebenarnya tidak mengecewakan. Wanita yang kupacari 2 tahun sebelum akhirnya kunikahi itu berparas ayu dan juga cukup pandai merawat diri. Walaupun tetap saja, kecantikan Linda msh satu tingkat di atasnya.
Namun bukan hanya karena fisik yang sebenarnya menjadi penyebab aku sampai menduakan Metta. Berawal dari 4 tahun yang lalu, saat adik lelakiku satu-satunya meninggal karena kecelakaan dan meninggalkan seorang istri yang baru dinikahinya beberapa bulan sebelumnya. Itulah awal dari semua yang kualami ini. ... Dua bulan usai kepergian Seno, ibu memanggilku ke rumah. Dan di sana ternyata sudah berkumpul dua kakak perempuanku dan juga istri dari almarhum adikku. Linda nampak sedang terisak saat aku datang. Sepertinya ke empat wanita itu memang sedang membicarakan hal yang serius. "Linda ternyata sedang mengandung anak Seno, Bim." Begitu penjelasan ibu waktu itu. "Sudah berapa bulan?" tanyaku turut prihatin, menatap Linda yang berlinangan air mata dengan perasaan iba. Sebenarnya Linda bukan orang asing bagiku. Dia adalah adik kelasku semasa SMA dulu. Dan kami pun pernah sangat dekat pada masa cinta monyet. Hingga kemudian akhirnya kami menjalani hidup masing-masing, dan bertemu lagi saat dia datang ke rumah ibu dan diperkenalkan sebagai calon istri Seno. Aku hanya sedikit terkejut saja waktu itu, tak lebih. Karena aku pun sudah memiliki Metta di sampingku. "Jalan empat bulan ini katanya." Ibu yang membantunya menjawab pertanyaanku. Mungkin karena kasihan dengan kondisinya yang masih kebingungan. Setelah pertemuan dengan Linda hari itu, kami jadi makin sering bertemu. Entah aku menemuinya sendiri atau bersama-sama dengan ibu dan kedua kakakku. Ada semacam rasa peduli dan kasihan melihat keadaannya yang sedamg hamil tanpa suami itu. Apalagi, anak yang dia kandung itu juga merupakan keluarga kami. Akhirnya semakin lama kami pun menjadi makin dekat dan aku memutuskan untuk menikahinya setelah dia melahirkan seorang bayi perempuan yang sangat cantik yang kuberi nama Tiara. Bukan hanya kecantikan ibunya yang pada akhirnya memikatku kembali waktu itu. Menumbuhkan benih-benih cinta yang dulu pernah bersemi di masa muda kami. Namun kehadiran anak perempuan yang sudah beberapa waktu aku nantikan dan tak kunjung hadir juga seperti menjadi pemicu niatku untuk memiliki keduanya. ... Aku tentu tak sembarangan saat akhirnya memutuskan untuk menikahi Linda. Ibu dan dua kakak perempuanku, mbak Norma dan mbak Nina sudah kumintai pendapat dan ketiganya pun setuju mengingat anak yang dilahirkan Linda adalah juga darah daging dari keluarga kami. Tentu saja dengan beberapa kesepakatan yang kami buat untuk ditaati bersama. Beberapa diantaranya adalah; aku dan linda hanya melakukan pernikahan agama, bahwa semua wajib merahasiakan pernikahan keduaku ini demi menjaga perasaan Metta dan keutuhan rumah tangga pertamaku. Lalu Linda aku beri beberapa persyaratan juga sehubungan dengan Metta. Dia tidak bisa menuntut waktuku dan bersedia dinomer duakan setelah Metta dan Ibas. Dia pun tidak boleh mengganggu saat aku sedang bersama Metta. Dan nyatanya Linda adalah wanita yang penurut, hingga rahasia ini bisa tertutup rapat sampai pada akhirnya ini kulihat ada perubahan sikap yang terjadi pada Metta akhir-akhir ini. "Mas, kenapa belum juga kasih kabar sih? Aku sama Tiara nungguin lho?" Linda merengek di telepon siang itu saat aku sedang berada di toko. Dia memang selalu tahu kapan waktunya boleh menelponku. "Iya maaf, Metta belum bisa ditinggal, Lin. Nanti agak siangan ya aku ke situ," kataku segera untuk menenangkannya. "Nggak usah ke sini lah," ujarnya dengan nada sewot. "Lhoh kenapa? Ngambek? Sebenarnya yang ngambek itu kamu kan, bukan Tiara? Anak kecil mana bisa ngambek?" candaku sambil terkekeh ringan. "Pokoknya mas nggak usah ke sini kalau hari minggu besok nggak jadi. Titik." "Liiiin, mobil dipake Metta. Kita mau jalan-jalan naik apa?" "Mbak Metta udah bisa nyetir mobil memangnya?" tanyanya dengan nada keheranan. "Sudah. Dia udah belajar setir beberapa waktu yang lalu." "Kalau gitu aku juga harus dibeliin mobil dong, Mas. Masa' cuma mbak Metta aja?" rengeknya kemudian yang membuat mataku membulat seketika. What?? Kok Linda mendadak jadi penuntut begini? Biasanya dia nggak akan pernah berani bicara selancang ini, apalagi minta dibelikan mobil. "Kamu jangan aneh-aneh, Lin. Mobil itu mahal harganya," gerutuku. "Ya memang mahal, yang bilang murah juga siapa?" ketusnya. "Lha itu tahu. Kenapa masih minta dibeliin mobil?" Aku masih berusaha membercandainya. "Mas juga harus mikir dong, sanggup punya dua istri juga harusnya udah sanggup adil," ketusnya lagi. Setelah itu tak terdengar suara apa-apa lagi dari seberang. Telepon dimatikan dari sana. Linda marah. Tapi yang membuat aku benar-benar keheranan bukan itu. Sementara Metta semakin hari semakin mandiri, kenapa justru sekarang Linda yang jadi kolokan dan penuntut? Dua istri ternyata benar-benar bikin pusing. Aku mengacak-acak rambut di kepalaku dengan jengkel.Linda sepertinya benar-benar sangat marah kali ini. Beberapa kali aku mencoba menghubunginya lagi hari ini lewat telepon, namun sebanyak itu pula dia menolak panggilanku.Khawatir ngambeknya akan berlarut-larut, akhirnya kuputuskan untuk mengunjunginya lagi siang ini."Joko, Ira mana?" tanyaku pada salah satu karyawan senior di tokoku."Mbak Ira kan hari ini ijin, Pak," jawab si Joko."Oiya, ya," aku menepuk dahiku pelan. Aku lupa kalau hari ini karyawan paling seniorku itu minta ijin karena harus membawa ibunyaa mendadak ke rumah sakit.Kuhela nafas sebentar sambil berpikir. Biasanya saat pergi, aku selalu menitipkan operasional toko ini pada Ira, karena dia yang paling paham dan bisa dipercaya. Aku bahkan tak pernah khawatir meninggalkan toko seharian penuh jika ada Ira. Semua akan berjalan lancar tanpa kendala di tangannya.Jika Ira tidak
P.O.V Metta Sore itu entah kenapa aku begitu lelah. Biasanya saat-saat sedang seperti ini, dulu aku akan akan pergi ke rumah orang tuaku untuk sekedar melepaskan kepenatanku di sana.Namun sejak bapak meninggal lima tahun yang lalu, kemudian disusul ibu 3 tahun setelahnya, praktis aku tak punya lagi sandaran untuk kelu kesahku. Aku yang anak tunggal ini juga tak terlalu banyak punya teman, apalagi setelah menjadi istri mas Bimo. Kehidupanku sepenuhnya kuhabiskan untuk mengabdi pada suami dan mengurus anak semata wayang kami, Ibas, yang kini telah duduk di kelas 5 SD.Dipersunting mas Bimo adalah impianku sejak baru masuk kuliah, karena mas Bimo adalah laki-laki yang dulu membuatku jatuh hati pada pandangan pertama saat kami sama-sama memasuki bangku kuliah. Walaupun kemudian kami baru dekat dua tahun menjelang kami lulus, namun mas Bimo langsung melamarku usai acara wisuda kami.Dari no
Hari minggu pagi kulihat Metta sudah bersiap akan pergi. Tak lupa dia juga sudah menyiapkan Ibas untuk diajaknya serta."Jadi pergi, Mah?" tanyaku basa basi. Padahal sebenarnya betapa inginnya aku mendengarnya membatalkan acaranya itu hingga aku bisa meredakan amarah Linda dengan mangajak jalan-jalan bersama Tiara hari ini."Jadi, Pah," jawabnya singkat tanpa menengok ke arahku."Eh tunggu, itu matamu kenapa, Mah?" Saat sekilas tadi memperhatikan seperti ada sedikit bengkak di mata Metta, aku pun bertanya dengan keheranan."Nggak apa-apa, Pah," sahutnya cepat seolah ingin menghindar dariku. Lalu dia pun segera melangkah sambil memanggil-manggil anak kami."Bas, ayok berangkat! Udah siap belum?" tanyanya."Udah, Mah."Tak berapa lama terlihat Ibas keluar dari kamarnya dengan pakaian rapinya.&nb
P.O.V Metta Seperti yang disarankan Rima, hari ini aku mengunjungi rumah ibu mertuaku. Sengaja aku tak mengajak mas Bimo karena acaraku hari ini sebenarnya memang bukan ke rumah ibu, melainkan ingin membahas sesuatu dengan salah satu sahabatku yang seorang pengacara.Saat sampai di rumah ibu, rupanya mbak Norma, mbak Nani dan anak-anaknya sedang berada di sana."Nggak sama Bimo, Met?" tanya mbak Norma menyambut kedatanganku."Enggak, Mbak," aku menggeleng, lalu menyalami mereka satu per satu dan bergabung di ruang tengah itu."Bimo kemana memangnya?" giliran mbak Nani yang bertanya."Mau ada acara sebentar tadi katanya. Nggak tau kemana, Mbak," bohongku. Nggak enak juga mengatakan kalau mas Bimo di rumah saja sementara aku di sini."Kamu bawa mobil sendiri, Met? Hebat kamu, sudah bisa nyetir?" Ibu yang kemudian berkomentar d
"Bim, kamu bisa ke rumah ibu nggak sekarang?" ucap Mbak Norma ditelepon pagi itu saat aku baru saja sampai di toko."Ada apa, Mbak?" tanyaku keheranan. Perasaanku masih kalut dari kemarin karena kelakuan Linda yang sampai sekarang masih tetap tak bisa kuhubungi."Kamu sudah di toko apa masih di rumah?" tanya mbak Norma balik."Baru sampai toko, Mbak. Ada apa sih?" tanyaku sedikit kesal karena tak kunjung diberi jawaban."Ini penting, Bim. Soal Metta sama Linda," ucapannya terdengar sedikit panik. Aku mendesah pelan, meskipun sebenarnya aku tak tahu persoalan apa yang akan disampaikan oleh mbak Linda sebenarnya."Sebentar lagi deh, Mbak. Aku baru aja sampai di toko. Satu atau dua jam lagi aku ke situ," kataku kemudian.Usai kututup telepon, kulihat salah satu karyawan seniorku baru saja datang dengan wajah kusutnya."
Setelah dari rumah ibu, aku langsung meluncur menemui Linda. Hanya satu yang ada dalam pikiranku saat ini. Memberitahu Linda bahwa kami harus lebih berhati-hati setelah ini. Namun rupanya Linda masih menyimpan kekesalannya padaku, karena dia menyambutku dengan malas-malasan saat aku datang."Masih marah?" tanyaku."Menurut mas?" sahutnya tanpa menoleh sedikitpun padaku."Lin, jangan kayak anak kecil gitu dong. Masa' iya marah sama suami, nomernya pake diblokir segala?" sindirku membercandainya."Kenapa memangnya? Nyesel nikahin anak kecil? Aku kan memang masih kecil," ujarnya sewot."Udah dong, Lin. Nggak perlu diperpanjang masalah ini. Kita masih punya masalah yang lebih besar dibanding ngambek-ngambekan nggak jelas kayak gini.""Ngambek nggak jelas, kata mas? Jadi menurut mas aku marahnya nggak serius? Cuma ngambek nggak guna? Gitu?"
P.O.V Metta "Mah, ada yang nyariin." Ibas masuk ke rumah dengan tergesa hingga hampir menabrakku yang baru keluar dari kamar."Siapa?" tanyaku."Nggak tahu, Mah. Mbak mbak naik motor," katanya.Karena penasaran, aku pun bergegas menuju ruang depan. Seketika aku terkejut melihat Ira, salah satu karyawan di toko kami, sudah duduk di kursi teras rumah dengan wajah memelasnya.Melihatku keluar, wanita itu pun segera bangkit dari kursinya dan duduk bersimpuh di depanku sambil menangis tersedu. Karena risih dengan sikapnya itu, aku pun segera menarik pundaknya untuk kuajak berdiri."Kamu kenapa, Ra? Ayo masuk dulu yuk!" Kubimbing wanita yang sedang berlinangan air mata itu ke ruang tamu. "Duduk dulu, Ra," kataku kemudian.Dengan masih sesenggukan, dia menuruti kata-kataku. Sementara aku segera meminta tolong Ibas untuk mengambilka
Pagi itu seperti biasa aku menyempatkan diri untuk berolahraga ringan berlari mengelilingi kompleks sebelum nantinya mandi dan bersiap-siap ke toko. Namun aku sedikit terkejut saat sampai kembali di rumah dan mendapati seorang wanita paruh baya sedang menghentikan sepedanya di depan pagar. Lalu dengan sikap yang menurutku sedikit mencurigakan, dia celingukan memperhatikan ke dalam rumah."Cari siapa?" ketusku padanya sebelum menuju pintu pagar dan memeganginya dengan sebelah tanganku."Eh anu, Pak, apa bu Metta nya ada?" tanyanya dengan bahasa yang sedikit medok."Ada keperluan apa mencari istri saya? Dan kamu ini siapa?" Aku mulai curiga, apa lagi yang akan dilakukan istriku hari ini? Masa' iya dia mengundang tukang pijat pagi-pagi begini? Dahiku sedikit berkerut. Tapi seingatku wanita ini bukan tukang pijat yang biasa dia panggil ke rumah.Tak lama berselang terlihat Metta keluar dari rumah dengan se