Linda sepertinya benar-benar sangat marah kali ini. Beberapa kali aku mencoba menghubunginya lagi hari ini lewat telepon, namun sebanyak itu pula dia menolak panggilanku.
Khawatir ngambeknya akan berlarut-larut, akhirnya kuputuskan untuk mengunjunginya lagi siang ini. "Joko, Ira mana?" tanyaku pada salah satu karyawan senior di tokoku. "Mbak Ira kan hari ini ijin, Pak," jawab si Joko. "Oiya, ya," aku menepuk dahiku pelan. Aku lupa kalau hari ini karyawan paling seniorku itu minta ijin karena harus membawa ibunyaa mendadak ke rumah sakit. Kuhela nafas sebentar sambil berpikir. Biasanya saat pergi, aku selalu menitipkan operasional toko ini pada Ira, karena dia yang paling paham dan bisa dipercaya. Aku bahkan tak pernah khawatir meninggalkan toko seharian penuh jika ada Ira. Semua akan berjalan lancar tanpa kendala di tangannya. Jika Ira tidak ada, itu artinya hari ini aku tak bisa menemui Linda lama-lama. Sebenarnya Joko juga termasuk salah satu karyawan yang sudah cukup lama, tapi kemampuannya mengelola toko belum bisa kuandalkan. Selain juga karena pemuda ini mudah sekali gugup. "Ya sudah kalau gitu, aku tinggal toko sebentar ya, Jok. Tolong kamu handle anak-anak, bisa kan?" "Tapi, Pak ..." belum apa-apa dia sudah nampak ingin protes. "Halah sudah, nggak apa-apa, cuma sebentar kok. Paling lama 2 jam nanti aku sudah kembali. Ya?" Kutepuk-tepuk punggungnya agar dia tak merasa panik kuberikan tanggung jawab ini. "Maksud saya, nanti kalau ibu datang kayak waktu itu gimana, Pak? Saya bilang apa?" Aku tertegun mendengar kalimatnya barusan. Metta datang ke toko? Kapan? Kenapa aku sampai tidak tahu? "Ibu datang ke toko?" Mataku memicing ke arah pemuda bujang itu. "Iya, Pak, waktu itu, pas bapak tidak ada," katanya dengan terbata. Sepertinya dia menangkap kekagetan dalam kalimatku hingga sekarang wajahnya menjadi sedikit pucat. "Lalu kamu bilang apa?" tanyaku penasaran. "Eee, saya bilang ... kalau bapak sedang ketemu teman di luar." "Bagus! Trus, trus, sudah berapa kali ibu datang ke sini?" "Cuma sekali itu kok, Pak. Lalu ngobrol sama mbak Ira di ruangan bapak." "Ngobrol sama Ira? Ngomongin apa?" Aku mulai panik. "Aduuuh maaf, Pak. Saya tidak tahu. Kan ngobrolnya di ruangan bapak. Pintunya juga ditutup waktu itu," jelasnya takut takut. Aduh! Aku menjadi bertambah cemas mendengar penuturan si Joko. "Itu, eehmm ... kapan si ibu ke sini?" "Kapan ya pak," Joko nampak memutar matanya ke atas seperti sedang mengingat-ingat. "Sudah agak lama sih Pak, sekitar bulan lalu kalau nggak salah. Mungkin sudah lebih dari sebulan." Sebulan yang lalu? Aku mulai berpikir keras. Sebulan lalu bukankah itu saat aku mendapati perubahan-perubahan pada Metta? Bagaimana dia tiba-tiba jadi mandiri, jadi tak pernah lagi merengak meminta bantuan ini dan itu padaku. Juga tak pernah lagi menuntut hal aneh-aneh. Mungkinkah Metta benar telah mengetahui tentang Linda? Tapi dari siapa dia tahu? Tidak mungkin Ira, karena dia juga tidak tahu apa-apa soal ini. Mendadak kepalaku jadi pusing, bimbang antara apakah aku harus pergi menemui Linda atau tidak hari ini. Kuusap mukaku dengan frustasi, membuat Joko yang masih berdiri mematung di depanku nampak kebingungan. "Jadi nggak pak perginya?" tanyanya kemudian. "Ya sudah, enggak, enggak. Aku nggak jadi pergi. Lanjutkan saja pekerjaanmu sana!" perintahku "Baik, Pak," ucapnya dengan wajah kembali ceria, nempak seperti orang yang baru melepaskan beban berat di pundaknya.... Kembali ke meja kasirku lagi, aku mulai merasa tidak tenang. Banyak hal berkecamuk dalam pikiranku. Aku benar-benar seperti orang yang baru saja kecolongan. Metta kemari lebih dari sebulan yang lalu dan aku sama sekali tidak tahu. Namun satu hal yang aku sangat yakin adalah bahwa perubahan yang terjadi pada Metta akhir-akhir ini pastilah ada hubungannya dengan kedatangannya ke toko. Karena terlalu pusing dengan pikiranku sendiri, aku sampai melupakan Linda. Sekali lagi kucoba untuk menghubunginya, namun masih tetap tidak diangkatnya panggilanku. Tak berpikir panjang lagi, segera kubuka aplikasi m-bankingku dan kutransfer sejumlah uang padanya. Biasanya dengan cara ini dia akan segera membaik lagi. Setelah selesai mentransfer, kukirimkan screenshoot bukti transfer ke akun whatsappnya dengan sebuah caption ceria. [Kamu kayaknya lg capek, jalan jalan sana, Sayang. Habisin aja semua uangnya, nggak apa-apa. Jangan lupa beliin Tiara mainan yaa?] tulisku dengan emoticon senyum dan cium. Lalu SEND. Ku tunggu beberapa saat untuk memastikan bahwa pesan itu telah dibaca oleh istri keduaku itu. Namun ternyata pesanku justru hanya ceklis 1. Apa-apaan ini? Nomerku diblokir Linda?P.O.V Metta Sore itu entah kenapa aku begitu lelah. Biasanya saat-saat sedang seperti ini, dulu aku akan akan pergi ke rumah orang tuaku untuk sekedar melepaskan kepenatanku di sana.Namun sejak bapak meninggal lima tahun yang lalu, kemudian disusul ibu 3 tahun setelahnya, praktis aku tak punya lagi sandaran untuk kelu kesahku. Aku yang anak tunggal ini juga tak terlalu banyak punya teman, apalagi setelah menjadi istri mas Bimo. Kehidupanku sepenuhnya kuhabiskan untuk mengabdi pada suami dan mengurus anak semata wayang kami, Ibas, yang kini telah duduk di kelas 5 SD.Dipersunting mas Bimo adalah impianku sejak baru masuk kuliah, karena mas Bimo adalah laki-laki yang dulu membuatku jatuh hati pada pandangan pertama saat kami sama-sama memasuki bangku kuliah. Walaupun kemudian kami baru dekat dua tahun menjelang kami lulus, namun mas Bimo langsung melamarku usai acara wisuda kami.Dari no
Hari minggu pagi kulihat Metta sudah bersiap akan pergi. Tak lupa dia juga sudah menyiapkan Ibas untuk diajaknya serta."Jadi pergi, Mah?" tanyaku basa basi. Padahal sebenarnya betapa inginnya aku mendengarnya membatalkan acaranya itu hingga aku bisa meredakan amarah Linda dengan mangajak jalan-jalan bersama Tiara hari ini."Jadi, Pah," jawabnya singkat tanpa menengok ke arahku."Eh tunggu, itu matamu kenapa, Mah?" Saat sekilas tadi memperhatikan seperti ada sedikit bengkak di mata Metta, aku pun bertanya dengan keheranan."Nggak apa-apa, Pah," sahutnya cepat seolah ingin menghindar dariku. Lalu dia pun segera melangkah sambil memanggil-manggil anak kami."Bas, ayok berangkat! Udah siap belum?" tanyanya."Udah, Mah."Tak berapa lama terlihat Ibas keluar dari kamarnya dengan pakaian rapinya.&nb
P.O.V Metta Seperti yang disarankan Rima, hari ini aku mengunjungi rumah ibu mertuaku. Sengaja aku tak mengajak mas Bimo karena acaraku hari ini sebenarnya memang bukan ke rumah ibu, melainkan ingin membahas sesuatu dengan salah satu sahabatku yang seorang pengacara.Saat sampai di rumah ibu, rupanya mbak Norma, mbak Nani dan anak-anaknya sedang berada di sana."Nggak sama Bimo, Met?" tanya mbak Norma menyambut kedatanganku."Enggak, Mbak," aku menggeleng, lalu menyalami mereka satu per satu dan bergabung di ruang tengah itu."Bimo kemana memangnya?" giliran mbak Nani yang bertanya."Mau ada acara sebentar tadi katanya. Nggak tau kemana, Mbak," bohongku. Nggak enak juga mengatakan kalau mas Bimo di rumah saja sementara aku di sini."Kamu bawa mobil sendiri, Met? Hebat kamu, sudah bisa nyetir?" Ibu yang kemudian berkomentar d
"Bim, kamu bisa ke rumah ibu nggak sekarang?" ucap Mbak Norma ditelepon pagi itu saat aku baru saja sampai di toko."Ada apa, Mbak?" tanyaku keheranan. Perasaanku masih kalut dari kemarin karena kelakuan Linda yang sampai sekarang masih tetap tak bisa kuhubungi."Kamu sudah di toko apa masih di rumah?" tanya mbak Norma balik."Baru sampai toko, Mbak. Ada apa sih?" tanyaku sedikit kesal karena tak kunjung diberi jawaban."Ini penting, Bim. Soal Metta sama Linda," ucapannya terdengar sedikit panik. Aku mendesah pelan, meskipun sebenarnya aku tak tahu persoalan apa yang akan disampaikan oleh mbak Linda sebenarnya."Sebentar lagi deh, Mbak. Aku baru aja sampai di toko. Satu atau dua jam lagi aku ke situ," kataku kemudian.Usai kututup telepon, kulihat salah satu karyawan seniorku baru saja datang dengan wajah kusutnya."
Setelah dari rumah ibu, aku langsung meluncur menemui Linda. Hanya satu yang ada dalam pikiranku saat ini. Memberitahu Linda bahwa kami harus lebih berhati-hati setelah ini. Namun rupanya Linda masih menyimpan kekesalannya padaku, karena dia menyambutku dengan malas-malasan saat aku datang."Masih marah?" tanyaku."Menurut mas?" sahutnya tanpa menoleh sedikitpun padaku."Lin, jangan kayak anak kecil gitu dong. Masa' iya marah sama suami, nomernya pake diblokir segala?" sindirku membercandainya."Kenapa memangnya? Nyesel nikahin anak kecil? Aku kan memang masih kecil," ujarnya sewot."Udah dong, Lin. Nggak perlu diperpanjang masalah ini. Kita masih punya masalah yang lebih besar dibanding ngambek-ngambekan nggak jelas kayak gini.""Ngambek nggak jelas, kata mas? Jadi menurut mas aku marahnya nggak serius? Cuma ngambek nggak guna? Gitu?"
P.O.V Metta "Mah, ada yang nyariin." Ibas masuk ke rumah dengan tergesa hingga hampir menabrakku yang baru keluar dari kamar."Siapa?" tanyaku."Nggak tahu, Mah. Mbak mbak naik motor," katanya.Karena penasaran, aku pun bergegas menuju ruang depan. Seketika aku terkejut melihat Ira, salah satu karyawan di toko kami, sudah duduk di kursi teras rumah dengan wajah memelasnya.Melihatku keluar, wanita itu pun segera bangkit dari kursinya dan duduk bersimpuh di depanku sambil menangis tersedu. Karena risih dengan sikapnya itu, aku pun segera menarik pundaknya untuk kuajak berdiri."Kamu kenapa, Ra? Ayo masuk dulu yuk!" Kubimbing wanita yang sedang berlinangan air mata itu ke ruang tamu. "Duduk dulu, Ra," kataku kemudian.Dengan masih sesenggukan, dia menuruti kata-kataku. Sementara aku segera meminta tolong Ibas untuk mengambilka
Pagi itu seperti biasa aku menyempatkan diri untuk berolahraga ringan berlari mengelilingi kompleks sebelum nantinya mandi dan bersiap-siap ke toko. Namun aku sedikit terkejut saat sampai kembali di rumah dan mendapati seorang wanita paruh baya sedang menghentikan sepedanya di depan pagar. Lalu dengan sikap yang menurutku sedikit mencurigakan, dia celingukan memperhatikan ke dalam rumah."Cari siapa?" ketusku padanya sebelum menuju pintu pagar dan memeganginya dengan sebelah tanganku."Eh anu, Pak, apa bu Metta nya ada?" tanyanya dengan bahasa yang sedikit medok."Ada keperluan apa mencari istri saya? Dan kamu ini siapa?" Aku mulai curiga, apa lagi yang akan dilakukan istriku hari ini? Masa' iya dia mengundang tukang pijat pagi-pagi begini? Dahiku sedikit berkerut. Tapi seingatku wanita ini bukan tukang pijat yang biasa dia panggil ke rumah.Tak lama berselang terlihat Metta keluar dari rumah dengan se
P.O.V Metta Sesampai di toko, aku langsung ke ruangan mas Bimo. Pekerjaanku hari ini adalah memeriksa keuangan usaha kami. Sebenarnya aku juga tak perlu melakukannya, karena sudah jelas pasti aku nanti akan menemukan dana-dana tak jelas yang digunakannya untuk membahagiakan istri keduanya itu. Dan aku tidak akan kaget. Hanya saja aku butuh tahu secara pasti bagaimana sebenarnya kondisi keuangan usaha kami.Sejujurnya, mas Bimo memang punya andil besar dalam mengembangkan bisnis ini. Sejak aku memutuskan untuk fokus di rumah mengurus Ibas, memang hanya dia yang berpikir keras bagaimana usaha kami ini terus berjalan.Hingga keputusannya yang spektakuler waktu itu adalah saat pandemi berlangsung. Saat dimana toko-toko lainnya tidak bisa mempertahankan usaha mereka, mas Bimo dengan otak cerdasnya mengalihkan penjualannya ke beberapa aplikasi toko online. Alhasil, usaha kami pun tetap bisa berjalan. Bahkan pen