Share

PART 5

Linda sepertinya benar-benar sangat marah kali ini. Beberapa kali aku mencoba menghubunginya lagi hari ini lewat telepon, namun sebanyak itu pula dia menolak panggilanku.

 

 Khawatir ngambeknya akan berlarut-larut, akhirnya kuputuskan untuk mengunjunginya lagi siang ini. 

 

 "Joko, Ira mana?" tanyaku pada salah satu karyawan senior di tokoku. 

 

 "Mbak Ira kan hari ini ijin, Pak," jawab si Joko. 

 

 "Oiya, ya," aku menepuk dahiku pelan. Aku lupa kalau hari ini karyawan paling seniorku itu minta ijin karena harus membawa ibunyaa mendadak ke rumah sakit. 

 

 Kuhela nafas sebentar sambil berpikir. Biasanya saat pergi, aku selalu menitipkan operasional toko ini pada Ira, karena dia yang paling paham dan bisa dipercaya. Aku bahkan tak pernah khawatir meninggalkan toko seharian penuh jika ada Ira. Semua akan berjalan lancar tanpa kendala di tangannya. 

 

 Jika Ira tidak ada, itu artinya hari ini aku tak bisa menemui Linda lama-lama. Sebenarnya Joko juga termasuk salah satu karyawan yang sudah cukup lama, tapi kemampuannya mengelola toko belum bisa kuandalkan. Selain juga karena pemuda ini mudah sekali gugup.

 

 "Ya sudah kalau gitu, aku tinggal toko sebentar ya, Jok. Tolong kamu handle anak-anak, bisa kan?"

 

 "Tapi, Pak ..." belum apa-apa dia sudah nampak ingin protes.

 

 "Halah sudah, nggak apa-apa, cuma sebentar kok. Paling lama 2 jam nanti aku sudah kembali. Ya?" Kutepuk-tepuk punggungnya agar dia tak merasa panik kuberikan tanggung jawab ini. 

 

 "Maksud saya, nanti kalau ibu datang kayak waktu itu gimana, Pak? Saya bilang apa?" 

 

 Aku tertegun mendengar kalimatnya barusan. Metta datang ke toko? Kapan? Kenapa aku sampai tidak tahu?

 

 "Ibu datang ke toko?" Mataku memicing ke arah pemuda bujang itu. 

 

 "Iya, Pak, waktu itu, pas bapak tidak ada," katanya dengan terbata. Sepertinya dia menangkap kekagetan dalam kalimatku hingga sekarang wajahnya menjadi sedikit pucat. 

 

 "Lalu kamu bilang apa?" tanyaku penasaran.

 

 "Eee, saya bilang ... kalau bapak sedang ketemu teman di luar."

 

 "Bagus! Trus, trus, sudah berapa kali ibu datang ke sini?"

 

 "Cuma sekali itu kok, Pak. Lalu ngobrol sama mbak Ira di ruangan bapak."

 

 "Ngobrol sama Ira? Ngomongin apa?" Aku mulai panik.

 

 "Aduuuh maaf, Pak. Saya tidak tahu. Kan ngobrolnya di ruangan bapak. Pintunya juga ditutup waktu itu," jelasnya takut takut.

 

Aduh! Aku menjadi bertambah cemas mendengar penuturan si Joko.

 

 "Itu, eehmm ... kapan si ibu ke sini?" 

 

 "Kapan ya pak," Joko nampak memutar matanya ke atas seperti sedang mengingat-ingat. "Sudah agak lama sih Pak, sekitar bulan lalu kalau nggak salah. Mungkin sudah lebih dari sebulan."

 

 Sebulan yang lalu? Aku mulai berpikir keras. Sebulan lalu bukankah itu saat aku mendapati perubahan-perubahan pada Metta? Bagaimana dia tiba-tiba jadi mandiri, jadi tak pernah lagi merengak meminta bantuan ini dan itu padaku. Juga tak pernah lagi menuntut hal aneh-aneh. Mungkinkah Metta benar telah mengetahui tentang Linda? Tapi dari siapa dia tahu? Tidak mungkin Ira, karena dia juga tidak tahu apa-apa soal ini. 

 

 Mendadak kepalaku jadi pusing, bimbang antara apakah aku harus pergi menemui Linda atau tidak hari ini. 

 

 Kuusap mukaku dengan frustasi, membuat Joko yang masih berdiri mematung di depanku nampak kebingungan.

 

 "Jadi nggak pak perginya?" tanyanya kemudian.

  

 "Ya sudah, enggak, enggak. Aku nggak jadi pergi. Lanjutkan saja pekerjaanmu sana!" perintahku 

 

 "Baik, Pak," ucapnya dengan wajah kembali ceria, nempak seperti orang yang baru melepaskan beban berat di pundaknya.

.

.

.

 Kembali ke meja kasirku lagi, aku mulai merasa tidak tenang. Banyak hal berkecamuk dalam pikiranku. Aku benar-benar seperti orang yang baru saja kecolongan. Metta kemari lebih dari sebulan yang lalu dan aku sama sekali tidak tahu. Namun satu hal yang aku sangat yakin adalah bahwa perubahan yang terjadi pada Metta akhir-akhir ini pastilah ada hubungannya dengan kedatangannya ke toko. 

 

 Karena terlalu pusing dengan pikiranku sendiri, aku sampai melupakan Linda. Sekali lagi kucoba untuk menghubunginya, namun masih tetap tidak diangkatnya panggilanku. 

 

 Tak berpikir panjang lagi, segera kubuka aplikasi m-bankingku dan kutransfer sejumlah uang padanya. Biasanya dengan cara ini dia akan segera membaik lagi. 

 

 Setelah selesai mentransfer, kukirimkan screenshoot bukti transfer ke akun whatsappnya dengan sebuah caption ceria.

 

 [Kamu kayaknya lg capek, jalan jalan sana, Sayang. Habisin aja semua uangnya, nggak apa-apa. Jangan lupa beliin Tiara mainan yaa?] tulisku dengan emoticon senyum dan cium. Lalu  SEND.

 

 Ku tunggu beberapa saat untuk memastikan bahwa pesan itu telah dibaca oleh istri keduaku itu. Namun ternyata pesanku justru hanya ceklis 1. Apa-apaan ini? Nomerku diblokir Linda?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status