P.O.V Metta Seperti yang disarankan Rima, hari ini aku mengunjungi rumah ibu mertuaku. Sengaja aku tak mengajak mas Bimo karena acaraku hari ini sebenarnya memang bukan ke rumah ibu, melainkan ingin membahas sesuatu dengan salah satu sahabatku yang seorang pengacara.Saat sampai di rumah ibu, rupanya mbak Norma, mbak Nani dan anak-anaknya sedang berada di sana."Nggak sama Bimo, Met?" tanya mbak Norma menyambut kedatanganku."Enggak, Mbak," aku menggeleng, lalu menyalami mereka satu per satu dan bergabung di ruang tengah itu."Bimo kemana memangnya?" giliran mbak Nani yang bertanya."Mau ada acara sebentar tadi katanya. Nggak tau kemana, Mbak," bohongku. Nggak enak juga mengatakan kalau mas Bimo di rumah saja sementara aku di sini."Kamu bawa mobil sendiri, Met? Hebat kamu, sudah bisa nyetir?" Ibu yang kemudian berkomentar d
"Bim, kamu bisa ke rumah ibu nggak sekarang?" ucap Mbak Norma ditelepon pagi itu saat aku baru saja sampai di toko."Ada apa, Mbak?" tanyaku keheranan. Perasaanku masih kalut dari kemarin karena kelakuan Linda yang sampai sekarang masih tetap tak bisa kuhubungi."Kamu sudah di toko apa masih di rumah?" tanya mbak Norma balik."Baru sampai toko, Mbak. Ada apa sih?" tanyaku sedikit kesal karena tak kunjung diberi jawaban."Ini penting, Bim. Soal Metta sama Linda," ucapannya terdengar sedikit panik. Aku mendesah pelan, meskipun sebenarnya aku tak tahu persoalan apa yang akan disampaikan oleh mbak Linda sebenarnya."Sebentar lagi deh, Mbak. Aku baru aja sampai di toko. Satu atau dua jam lagi aku ke situ," kataku kemudian.Usai kututup telepon, kulihat salah satu karyawan seniorku baru saja datang dengan wajah kusutnya."
Setelah dari rumah ibu, aku langsung meluncur menemui Linda. Hanya satu yang ada dalam pikiranku saat ini. Memberitahu Linda bahwa kami harus lebih berhati-hati setelah ini. Namun rupanya Linda masih menyimpan kekesalannya padaku, karena dia menyambutku dengan malas-malasan saat aku datang."Masih marah?" tanyaku."Menurut mas?" sahutnya tanpa menoleh sedikitpun padaku."Lin, jangan kayak anak kecil gitu dong. Masa' iya marah sama suami, nomernya pake diblokir segala?" sindirku membercandainya."Kenapa memangnya? Nyesel nikahin anak kecil? Aku kan memang masih kecil," ujarnya sewot."Udah dong, Lin. Nggak perlu diperpanjang masalah ini. Kita masih punya masalah yang lebih besar dibanding ngambek-ngambekan nggak jelas kayak gini.""Ngambek nggak jelas, kata mas? Jadi menurut mas aku marahnya nggak serius? Cuma ngambek nggak guna? Gitu?"
P.O.V Metta "Mah, ada yang nyariin." Ibas masuk ke rumah dengan tergesa hingga hampir menabrakku yang baru keluar dari kamar."Siapa?" tanyaku."Nggak tahu, Mah. Mbak mbak naik motor," katanya.Karena penasaran, aku pun bergegas menuju ruang depan. Seketika aku terkejut melihat Ira, salah satu karyawan di toko kami, sudah duduk di kursi teras rumah dengan wajah memelasnya.Melihatku keluar, wanita itu pun segera bangkit dari kursinya dan duduk bersimpuh di depanku sambil menangis tersedu. Karena risih dengan sikapnya itu, aku pun segera menarik pundaknya untuk kuajak berdiri."Kamu kenapa, Ra? Ayo masuk dulu yuk!" Kubimbing wanita yang sedang berlinangan air mata itu ke ruang tamu. "Duduk dulu, Ra," kataku kemudian.Dengan masih sesenggukan, dia menuruti kata-kataku. Sementara aku segera meminta tolong Ibas untuk mengambilka
Pagi itu seperti biasa aku menyempatkan diri untuk berolahraga ringan berlari mengelilingi kompleks sebelum nantinya mandi dan bersiap-siap ke toko. Namun aku sedikit terkejut saat sampai kembali di rumah dan mendapati seorang wanita paruh baya sedang menghentikan sepedanya di depan pagar. Lalu dengan sikap yang menurutku sedikit mencurigakan, dia celingukan memperhatikan ke dalam rumah."Cari siapa?" ketusku padanya sebelum menuju pintu pagar dan memeganginya dengan sebelah tanganku."Eh anu, Pak, apa bu Metta nya ada?" tanyanya dengan bahasa yang sedikit medok."Ada keperluan apa mencari istri saya? Dan kamu ini siapa?" Aku mulai curiga, apa lagi yang akan dilakukan istriku hari ini? Masa' iya dia mengundang tukang pijat pagi-pagi begini? Dahiku sedikit berkerut. Tapi seingatku wanita ini bukan tukang pijat yang biasa dia panggil ke rumah.Tak lama berselang terlihat Metta keluar dari rumah dengan se
P.O.V Metta Sesampai di toko, aku langsung ke ruangan mas Bimo. Pekerjaanku hari ini adalah memeriksa keuangan usaha kami. Sebenarnya aku juga tak perlu melakukannya, karena sudah jelas pasti aku nanti akan menemukan dana-dana tak jelas yang digunakannya untuk membahagiakan istri keduanya itu. Dan aku tidak akan kaget. Hanya saja aku butuh tahu secara pasti bagaimana sebenarnya kondisi keuangan usaha kami.Sejujurnya, mas Bimo memang punya andil besar dalam mengembangkan bisnis ini. Sejak aku memutuskan untuk fokus di rumah mengurus Ibas, memang hanya dia yang berpikir keras bagaimana usaha kami ini terus berjalan.Hingga keputusannya yang spektakuler waktu itu adalah saat pandemi berlangsung. Saat dimana toko-toko lainnya tidak bisa mempertahankan usaha mereka, mas Bimo dengan otak cerdasnya mengalihkan penjualannya ke beberapa aplikasi toko online. Alhasil, usaha kami pun tetap bisa berjalan. Bahkan pen
Kesal dengan ulah Metta yang makin hari makin membatasi segala gerakku, hari itu akhirnya aku putuskan untuk tidak pergi ke toko. Selain karena malas, aku pun merasa seperti sudah tidak ada gunanya lagi di tempat itu. Semuanya telah dikuasai oleh Metta. Bahkan kunci mobil saja sekarang dia yang pegang."Nggak bangun?" Wajahnya menyembul dari balik pintu kamar dan dahinya berkerut melihatku masih bergelung dengan selimut tebal di atas ranjang."Aku nggak enak badan hari ini. Aku nggak ikut ke toko dulu kayaknya," dalihku. Padahal hari ini sebenarnya aku memang berencana untuk pergi ke rumah ibu, mengadukan semua persoalan ini padanya dan kakak-kakakku."Bangun dulu kek, sholat subuh. Udah jam segini lho, Pah," katanya mengingatkan. Namun aku tetap bergeming. Masih lebih nyaman menikmati hangatnya selimutku dibanding harus diguyur air wudhu pagi-pagi dingin begini.Sampai beberapa meni
Mana mobilnya? Kenapa naik motor?" Linda menyambutku dengan wajah cemberutmya saat aku tiba."Suaminya datang disuruh masuk dulu kek, malah dicemberutin?" candaku padanya.Bukannya menurutiku, dia malah ngeloyor masuk kembali ke dalam rumah. Lalu dengan kesal menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu."Tiara mana?" tanyaku."Di kamar. Tidur," sahutnya cepat."Kenapa sih, Lin? Ngambek lagi cuma gara-gara aku ke sini bawa motor?" sindirku. Dia malah melengos."Itu lho ibu-ibu kompleks, sekarang jadi pada makin sering gosipin aku, Mas. Gara-gara kamu jarang ke sini lagi. Trus kapan itu ke sini naik motor lagi. Sekarang malah diulangi. Nyebelin tau nggak sih?" cerocosnya.Melihatnya seperti itu, aku pun segera mendekatinya, lalu perlahan mengelus rambut hitam lebatnya yang panjang dan indah itu. Mau dengan wajah cemberut pun, Linda