Kesal dengan ulah Metta yang makin hari makin membatasi segala gerakku, hari itu akhirnya aku putuskan untuk tidak pergi ke toko. Selain karena malas, aku pun merasa seperti sudah tidak ada gunanya lagi di tempat itu. Semuanya telah dikuasai oleh Metta. Bahkan kunci mobil saja sekarang dia yang pegang.
"Nggak bangun?" Wajahnya menyembul dari balik pintu kamar dan dahinya berkerut melihatku masih bergelung dengan selimut tebal di atas ranjang. "Aku nggak enak badan hari ini. Aku nggak ikut ke toko dulu kayaknya," dalihku. Padahal hari ini sebenarnya aku memang berencana untuk pergi ke rumah ibu, mengadukan semua persoalan ini padanya dan kakak-kakakku. "Bangun dulu kek, sholat subuh. Udah jam segini lho, Pah," katanya mengingatkan. Namun aku tetap bergeming. Masih lebih nyaman menikmati hangatnya selimutku dibanding harus diguyur air wudhu pagi-pagi dingin begini. Sampai beberapa meniMana mobilnya? Kenapa naik motor?" Linda menyambutku dengan wajah cemberutmya saat aku tiba."Suaminya datang disuruh masuk dulu kek, malah dicemberutin?" candaku padanya.Bukannya menurutiku, dia malah ngeloyor masuk kembali ke dalam rumah. Lalu dengan kesal menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu."Tiara mana?" tanyaku."Di kamar. Tidur," sahutnya cepat."Kenapa sih, Lin? Ngambek lagi cuma gara-gara aku ke sini bawa motor?" sindirku. Dia malah melengos."Itu lho ibu-ibu kompleks, sekarang jadi pada makin sering gosipin aku, Mas. Gara-gara kamu jarang ke sini lagi. Trus kapan itu ke sini naik motor lagi. Sekarang malah diulangi. Nyebelin tau nggak sih?" cerocosnya.Melihatnya seperti itu, aku pun segera mendekatinya, lalu perlahan mengelus rambut hitam lebatnya yang panjang dan indah itu. Mau dengan wajah cemberut pun, Linda
P.O.V Metta Aku sedang berada di toko siang itu saat ibu mertuaku menelpon. Dahiku mengernyit menatap nama yang terpampamg di layar ponselku. Sudah sangat lama sekali ibunya mas Bimo tak pernah menghubungiku lewat telepon. Ada mungkin bahkan hitungan tahun.Dulu, awal aku menjadi menantunya, ibu sangat memperhatikanku. Hampir tiap minggu dia datang ke rumah hanya sekedar untuk mengajariku memasak makanan kesukaan mas Bimo. Kakak-kakak iparku juga lumayan dekat denganku. Waktun tu aku adalah menantu perempuan satu-satunya di rumah itu.Lalu kemudian, saat bapakku meninggal, kemudian di susul ibu. Juga seiring dengan kesibukanku mengurus Ibas, kami jadi jarang ketemu. Kesibukan mas Bimo di toko juga membuatnya jarang bisa mengajakku bertandang ke rumah ibunya lagi.Setelah Seno menikah dan tinggal di rumah ibu, mas Bimo makin jarang mengajakku ke sana. Meskipun begitu, kami memang telah sepakat
Saat Joko memberitahuku bahwa Metta pamit meninggalkan toko sebentar untuk pergi ke supermarket, aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera saja aku menuju ke ruanganku untuk mengakses internet banking yang sekarang sudah dalam penguasaannya.Meskipun aku tak yakin apakah aku masih bisa mengaksesnya karena kemungkinan besar password sudah dia ganti, namun tak ada salahnya aku mencoba.Dari awal, rekening usaha itu memang sudah atas nama Metta. Dan email yang digunakan pun memakai email milik Metta. Namun selama aku mengelolanya, Metta tak pernah sekali pun komplain dengan semua penggunaan uangnya. Hingga akhirnya kemudian dia mengetahui penyelewenganku dengan Linda dan jadilah semua aset dia pegang seperti sekarang."Ah, sial!" Berkali-kali aku mengumpat setelah mencoba beberapa kali password tak juga berhasil masuk ke akun bank kami. Jika kucoba terus maka akun ini pasti akan terblokir, dan Metta pasti ak
"Masa' cuma 3 juta, Mah? Nggak salah?" Mataku melotot melihat uang 3 juta yang disodorkan Metta padaku.Karena sudah tak menemukan cara untuk mendapatkan uang, akhirnya aku meminta hakku padanya meskipun dengan perasaan jengkel."Tiga juta cukup lah buat pegangan papa selama sebulan. Papa kan makannya di rumah. Kebutuhan lainnya juga sudah aku bayar. Tenang saja, cukup kok," katanya lagi.Entah kenapa Metta jadi makin menjengkelkan saja semakin lama."Ya nggak cukup lah, Mah. Dibayangin aja nggak akan cukup," gerutuku."Ya nggak akan cukup lah kalau kamu kasihkan uang itu ke istri simpanan kamu. Denger ya Pah, uang itu mama kasih hanya untuk uang pegangan papa selama sebulan. Itu khusus buat papa, bukan buat orang lain. Kalau papa punya kewajiban untuk menafkahi istri mudamu itu, ya itu bukan urusan mama. Terserah papa mau kasih uang dengan cara apa sama dia, itu bukan urus
"Mah, besok pagi aku pakai mobilnya ya? Ibu minta dianterin ke makam. Sudah lama nggak nengokin makam bapak katanya," kataku dengan wajah kubuat seserius mungkin untuk meyakinkannya. Kulihat dia menatapku dengan penuh selidik."Beneran buat nganterin ibumu?""Iya bener. Telpon aja ibu kalau nggak percaya," tantangku. Padahal sebenarnya aku hanya menggertak saja. Kupikir dengan bilang begitu, Metta akan langsung percaya bahwa ibu benar-benar yang memintaku mengantarkannya untuk ziarah ke makam."Nih, aku telponkan ibu ya?" Kuperlihatkan layar ponselku padanya dan bersiap memencet nomer kontak ibu."Nggak usah! Pakai aja asal langsung pulang setelah selesai," kata Metta kemudian.Yess! Ternyata lebih mudah dari dugaanku. Metta langsung percaya dengan sandiwaraku....Tepat jam 9 pagi keesokan harinya, Setelah Metta berangkat ke toko bersama I
Usai mengantar Linda dan Tiara pulang, aku langsung menuju ke rumah. Arloji di pergelangan tanganku masih menunjukkan pukul 4 sore, Metta pasti masih berada di toko. Jangan sampai aku keduluan Metta pulang ke rumah.Namun saat baru memasuki halaman rumah, kulihat motor kami sudah ada di garasi. Di luar dugaanku, ternyata Metta pulang lebih awal hari ini."Sudah selesai ngantar ibunya ke makam?" sindirnya menyambut saat aku baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu. Kulihat dia sedang duduk di sofa sibuk memainkan ponsel di tangannya."Mah, aku bisa jelasin semuanya." Aku langsung menghampirinya dengan raut penyesalan yang tentu saja kubuat-buat."Seharusnya aku sudah tidak perlu lagi mempercayaimu, Pah. Penyelewenganmu saja sudah cukup membuktikan bahwa kamu memang nggak layak lagi untuk dipercaya," ketusnya."Mah, tapi kan ada penjelasannya kenapa aku kayak gini? C
"Masa kayak gitu aja nggak bisa sih kamu, Bim?" oceh mbak Norma hari berikutnya saat aku melaporkan bahwa aku belum berhasil memasukkan cairan itu ke tubuh Metta."Kamu itu ya, tinggal kasihkan itu ke makanannya Metta, belikan kek dia makanan apa gitu yang berkuah. Lalu kamu campurin itu ke dalam makanannya. Udah beres kan?""Iya mbak aku tau. Tapi belum ada kesempatannya. Sabar dikit kenapa sih?" gerutuku. Karena sebenarnya memang bukannya aku nggak bisa melakukan pekerjaan itu, hanya semakin renggangnya hubunganku dengan Metta menjadikan kesempatanku untuk berinteraksi dengannya makin sedikit."Jangan bilang kamu plin plan yan Bim. Inget kan kata pak Sukirno kemarin? Khasiat cairan itu akan habis setelah satu bulan. Jadi kalau kamu nggak segera berikan itu ke Metta, sia-sia uangku kemarin. Nggak akan ada gunanya.""Iya mbak, iyaaa. Tenang aja, Mbak. Pasti nanti aku akan berikan kok. Cuma
Enam hari setelah aku berhasil menjalankan tugas yang diberikan pak Sukirno, masih tetap tak ada perubahan yang aku lihat pada diri istriku. Metta juga masih nampak sehat dan ceria seperti biasanya, apalagi saat sedang berada di toko.Justru dari hari ke hari hubunganku dengannya bertambah renggang saja. Metta semakin tak bisa kusentuh. Bahkan, beberapa kali, aku tak sengaja mendengar Metta sedang berbicara dengan seseorang via telepon tentang rencana gugatan cerainya padaku. Aku menduga yang dia ajak bicara itu adalah seorang pengacara.[Gimana? Belum ada reaksi juga si Metta?]Mbak Norma jadi sering menghubungiku setelah itu. Setiap hari selalu menanyakan bagaimana kondisi Metta. Aku jadi bingung harus menjawab apa, karena memang tak ada sesuatu pun yang terjadi pada diri istriku itu.[Nggak ada, Mbak. Mbak yakin pak Sukirno itu bisa dipercaya?]Kali ini aku justru mulai ragu