"Mah, besok pagi aku pakai mobilnya ya? Ibu minta dianterin ke makam. Sudah lama nggak nengokin makam bapak katanya," kataku dengan wajah kubuat seserius mungkin untuk meyakinkannya. Kulihat dia menatapku dengan penuh selidik.
"Beneran buat nganterin ibumu?" "Iya bener. Telpon aja ibu kalau nggak percaya," tantangku. Padahal sebenarnya aku hanya menggertak saja. Kupikir dengan bilang begitu, Metta akan langsung percaya bahwa ibu benar-benar yang memintaku mengantarkannya untuk ziarah ke makam. "Nih, aku telponkan ibu ya?" Kuperlihatkan layar ponselku padanya dan bersiap memencet nomer kontak ibu. "Nggak usah! Pakai aja asal langsung pulang setelah selesai," kata Metta kemudian. Yess! Ternyata lebih mudah dari dugaanku. Metta langsung percaya dengan sandiwaraku. ... Tepat jam 9 pagi keesokan harinya, Setelah Metta berangkat ke toko bersama IUsai mengantar Linda dan Tiara pulang, aku langsung menuju ke rumah. Arloji di pergelangan tanganku masih menunjukkan pukul 4 sore, Metta pasti masih berada di toko. Jangan sampai aku keduluan Metta pulang ke rumah.Namun saat baru memasuki halaman rumah, kulihat motor kami sudah ada di garasi. Di luar dugaanku, ternyata Metta pulang lebih awal hari ini."Sudah selesai ngantar ibunya ke makam?" sindirnya menyambut saat aku baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu. Kulihat dia sedang duduk di sofa sibuk memainkan ponsel di tangannya."Mah, aku bisa jelasin semuanya." Aku langsung menghampirinya dengan raut penyesalan yang tentu saja kubuat-buat."Seharusnya aku sudah tidak perlu lagi mempercayaimu, Pah. Penyelewenganmu saja sudah cukup membuktikan bahwa kamu memang nggak layak lagi untuk dipercaya," ketusnya."Mah, tapi kan ada penjelasannya kenapa aku kayak gini? C
"Masa kayak gitu aja nggak bisa sih kamu, Bim?" oceh mbak Norma hari berikutnya saat aku melaporkan bahwa aku belum berhasil memasukkan cairan itu ke tubuh Metta."Kamu itu ya, tinggal kasihkan itu ke makanannya Metta, belikan kek dia makanan apa gitu yang berkuah. Lalu kamu campurin itu ke dalam makanannya. Udah beres kan?""Iya mbak aku tau. Tapi belum ada kesempatannya. Sabar dikit kenapa sih?" gerutuku. Karena sebenarnya memang bukannya aku nggak bisa melakukan pekerjaan itu, hanya semakin renggangnya hubunganku dengan Metta menjadikan kesempatanku untuk berinteraksi dengannya makin sedikit."Jangan bilang kamu plin plan yan Bim. Inget kan kata pak Sukirno kemarin? Khasiat cairan itu akan habis setelah satu bulan. Jadi kalau kamu nggak segera berikan itu ke Metta, sia-sia uangku kemarin. Nggak akan ada gunanya.""Iya mbak, iyaaa. Tenang aja, Mbak. Pasti nanti aku akan berikan kok. Cuma
Enam hari setelah aku berhasil menjalankan tugas yang diberikan pak Sukirno, masih tetap tak ada perubahan yang aku lihat pada diri istriku. Metta juga masih nampak sehat dan ceria seperti biasanya, apalagi saat sedang berada di toko.Justru dari hari ke hari hubunganku dengannya bertambah renggang saja. Metta semakin tak bisa kusentuh. Bahkan, beberapa kali, aku tak sengaja mendengar Metta sedang berbicara dengan seseorang via telepon tentang rencana gugatan cerainya padaku. Aku menduga yang dia ajak bicara itu adalah seorang pengacara.[Gimana? Belum ada reaksi juga si Metta?]Mbak Norma jadi sering menghubungiku setelah itu. Setiap hari selalu menanyakan bagaimana kondisi Metta. Aku jadi bingung harus menjawab apa, karena memang tak ada sesuatu pun yang terjadi pada diri istriku itu.[Nggak ada, Mbak. Mbak yakin pak Sukirno itu bisa dipercaya?]Kali ini aku justru mulai ragu
"Gimana keadaan istri kamu?" tanya mbak Norma setengah berbisik malam itu saat sampai di dekatku yang menyambutnya di depan kamar perawatan Metta.Aku sedikit kaget karena dia datang bukan bersama ibu, tapi justru dengan mbak Nani dan Linda serta Tiara.Karena panik, aku pun segera menarik tangan kakak sulungku itu menjauh dari mbak Nani dan Linda."Mbak ini apa-apaan sih? Kok malah ngajak Linda kemari?""Ya nggak apa-apa to, Bim? Kok kamu panik gitu sih? Kan justru lebih baik kalau Metta segera selesai saja. Siapa tau bisa lebih cepet kalau lihat Linda," kata mbak Norma membuatku bergidik ngeri."Mbak! Ngomong apa sih, Mbak?" Aku melotot ke arahnya."Enggak Bim, halah mbak cuma bercanda. Ini tadi mbak telpon Linda ngasih kabar dia soal kondisi Metta. Eh dianya maksa mau ikut. Ya sudah, mbak jemput sekalian. Trus, trus gimana istri kamu?""
P.O.V Metta "Jadi, menurut yang sudah saya pelajari, untuk harta gono gini ibu dan bapak nanti adalah rumah yang sekarang ditempati. Hanya itu nanti yang akan dibagi antara bu Metta dan pak Bimo sebagai harta bersama. Harta gono gini adalah harta bersama suami-istri yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan. Jika rumah yang bu Metta dan suami sekarang ini dulunya dibeli bersama atau diangsur bersama dari hasil usaha, maka itu nanti yang akan dibagi dengan suami bu Metta. Sedangkan untuk harta warisan dari mendiang orang tua bu Metta, itu nantinya adalah hak mutlaknya bu Metta sendiri."Aku ditemani Rima siang itu pergi ke tempat seorang kenalan pengacara yang direkomendasikannya padaku. Aku pernah menemuinya sekali untuk konsultasi beberapa waktu yang lalu. Dan kami selanjutnya hanya berhubungan lewat telepon.Sejak jatuh pingsan dua hari yang lalu, aku sudah bertekad bulat untuk segera menggugat cerai mas Bimo.
"Lhoh, ngapain mas ke sini? Itu apa? Kok bawa-bawa barang-barang sebanyak itu segala?"Linda ngomel-ngomel tak jelas saat melihatku datang dengan motor diikuti sebuah mobil truk tertutup yang mengangkut beberapa barang milikku yang kubawa dari rumahku dan Metta.Aku dan Metta akhirnya jadi juga pindah dari rumah kami tiga hari kemudian, setelah dia katakan keputusannya untuk berpisah dariku malam itu.Sudah berulang kali aku mencoba untuk membujuknya, memohon dan menghiba agar dia tidak melanjutkan gugatan perceraiannya padaku. Namun semua usahaku nampaknya sia-sia. Sepertinya dia memang sudah mempersiapkan semuanya sejak awal saat dia mengetahui tentang perselingkuhanku dengan Linda. Usahaku yang keras selama tiga hari ini untuk membuatnya berubah pikiran tak membuahkan hasil, tak cukup untuk menggoyahkan tekadnya untuk berpisah dariku.Aku dengan wajah lusuhku tak menghiraukan omelan istr
P.O.V Metta Sementara gugatan perceraianku diurus oleh bu Farah dan timnya, aku juga segera menawarkan rumah kami ke beberapa kenalan dan juga agen-agen property.Dan hari ini tepat hari ke enam aku dan Ibas pindah ke rumah orang tuaku. Rasanya begitu aneh tinggal di tempat dimana tak kulihat lagi sosok mas Bimo di dekat kami. Sedih, tentu saja. Namun memendam kekecewaan tanpa menangis sedikitpun di depannya selama dua bulan lebih rasa-rasanya adalah hal terhebat yang pernah kulakukan dalam sejarah hidupku.Jadi, ketidakhadiran mas Bimo beberapa hari terakhir dalam hidup kami justru kurasa seperti sebuah kelegaan, walaupun terkadang aku masih harus menahan sesak di dada ketika mengingat apa saja yang telah kami lalui bersama selama belasan tahun dalam ikatan perkawinan.Seandainya matanya tak dibutakan oleh kecantikan wanita lain, seandainya hatinya tak digoyahkan oleh cinta dari masa l
"Gimana, udah kabar dari Metta belum, Mas?"Linda menghampiriku di ruang tamu siang itu saat sedang membetulkan salah satu mainan Tiara yang rusak."Belum ada yang nawar lagi katanya," jawabku. Sudah seminggu lebih sejak aku menghubungi Metta menanyakan masalah rumah kami. Namun sampai sekarang pun belum juga ada kabar baik dari istri pertama yang sebentar lagi akan jadi jandaku itu. Kepalaku juga semakin pusing karena pihak bank berulang kali menelpon menanyakan masalah angsuran rumah ini yang menunggak."Kami akan melakukan penyitaan jika bulan depan tetap belum ada pembayaran masuk, pak Bimo." Begitu ucap desk collector yang menelponku dua hari yang lalu.Padahal baru kali ini kami telat membayar angsuran, namun begitu sadisnya mereka akan menyita rumah ini bulan depan jika angsuran belum terbayarkan. Tapi mau bagaimana lagi, sebagai nasabah yang tidak bisa melakukan kewajiban, kami tak bisa b