P.O.V Metta
Seperti yang disarankan Rima, hari ini aku mengunjungi rumah ibu mertuaku. Sengaja aku tak mengajak mas Bimo karena acaraku hari ini sebenarnya memang bukan ke rumah ibu, melainkan ingin membahas sesuatu dengan salah satu sahabatku yang seorang pengacara.
Saat sampai di rumah ibu, rupanya mbak Norma, mbak Nani dan anak-anaknya sedang berada di sana. "Nggak sama Bimo, Met?" tanya mbak Norma menyambut kedatanganku. "Enggak, Mbak," aku menggeleng, lalu menyalami mereka satu per satu dan bergabung di ruang tengah itu. "Bimo kemana memangnya?" giliran mbak Nani yang bertanya. "Mau ada acara sebentar tadi katanya. Nggak tau kemana, Mbak," bohongku. Nggak enak juga mengatakan kalau mas Bimo di rumah saja sementara aku di sini. "Kamu bawa mobil sendiri, Met? Hebat kamu, sudah bisa nyetir?" Ibu yang kemudian berkomentar dengan kemampuanku menyetir. "Baru sebulan ini aku belajar nyetirnya kok, Bu," kataku. "Wah hebat dong sudah bisa kemana-mana sendirian sekarang," ucap ibu lagi. Aku hanya tersenyum menanggapi itu. Dari dulu mereka memang baik padaku. Di keluarga ini aku selalu merasa beruntung memiliki ibu mertua dan para ipar seperti mereka. Namun sekarang, aku akan menyelidiki semuanya. Apakah mereka benar-benar baik atau hanya sedang mengenakan topeng saja untuk menutupi borok mas Bimo? "Harusnya kalau mau ke sini nggak usah bawa oleh-oleh begini, Metta. Kayak ke rumah siapa aja lho kamu ini." Ibu kembali memulai pembicaraan lagi. "Cuma buah-buahan aja kok, Bu," sahutku sekenanya. Sampai di sini semuanya masih nampak wajar. Sikap mereka masih sama dengan sebelum-sebelumnya, baik dan perhatian padaku. Hingga akhirnya aku putuskan untuk mencari cara untuk memancing pembicaraan tentang Linda dan mas Bimo. "Rame ya Mbak, coba kalau mas Bimo tadi ikutan," celetukku tiba-tiba memperhatikan anak-anak kami yang berlarian ke sana kemari di ruangan itu. "Iya, kenapa tadi nggak diajak sekalian?" ujar mbak Norma. "Kayaknya mau ada acara keluar sih. Nggak tahu mau kemana," kataku sambil mengedikkan bahu. Lalu kulihat mbak Nani dan mbak Norma saling pandang sekilas. Meskipun begitu aku masih sempat melihat ada tatapan aneh diantara keduanya. "Coba Seno masih ada ya? Keluarga ini pasti tambah rame kalau kumpul," celetukku lagi. Dan demi Tuhan memang aku sengaja mengatakan itu. Mendengar nama Seno kusebut, ibu yang duduk di sebelahku langsung bereaksi. "Kamu benar, Met. Kalau Seno masih ada pasti lebih rame ya?" Aku pun mengangguk setuju. "Ngomong-ngomong, Bu, istrinya Seno si Linda itu sekarang kabarnya gimana ya?" tanyaku tiba-tiba yang aku sungguh yakin membuat tiga wanita di sekitarku itu terlihat saling lirik. "Linda? Dia baik-baik saja kok, Met. Kadang suka ke sini juga," sahut mbak Nani sepertinya mencoba menyamarkan keterkejutan mereka. "Oya? Apa belum menikah lagi sampai sekarang, Mbak?" tanyaku. "Kalau itu aku ... nggak tahu, Met." Mbak Nani bilang tidak tahu tapi wajahnya tak bisa dibohongi bahwa dia mengetahui sesuatu. "Sepertinya sih belum ya, Bu? Iya kan, mbak?" Mbak Nani menoleh bergantian ke arah ibu dan mbak Norma seolah dia takut menjadi tersangka yang salah ucap sendirian. "I-ya sepertinya belum sih. Kalau sudah kita pasti diundang," kata mbak Norma membenarkan, tapi dengan kalimat yang sedikit terbata. Sementara ibu nampak hanya mengangguk saja. "Oiya, tadi ibu sudah masak opor kesukaanmu lho, Met. Ayo kita makan dulu aja yuk," ajak ibu kemudian. Sepertinya dia tak ingin pembicaraan soal Linda menjadi semakin panjang. Aku menduga itu karena saat ini masih lumayan jauh dari jam makan siang. "Iya yuk, Met," timpal mbak Norma. Lalu semuanya pun bersiap menuju ruang makan. ... Aku selalu yakin Tuhan selalu tidak suka saat ada hambanya yang didzolimi oleh sesamanya Maka Dia pun selalu membuat jalan bagaimana semua kebohongan itu lambat laun akan terbongkar. Saat kami telah menyelesaikan makan siang yang kepagian itu, tiba-tiba seorang perempuan dengan senyum riangnya memasuki ruang tengah sambil menggandeng tangan mungil seorang bocah perempuan. Namun senyum ceria itu seketika lenyap saat pandangan matanya bertumbukan denganku yang juga sedang terkejut menatapnya. "Eh, ada mbak Metta," ucapnya gugup. Dan kedatangannya yang tiba-tiba itu rupanya juga membuat suasana tegang luar biasa di ruangan itu. "Eh, Linda. Kok ke sini nggak kabar-kabar dulu? Naik apa tadi?" Mbak Norma yang lebih dulu berdiri untuk menyalaminya. Sementara kepalanya celingukan seolah sedang mencari-cari seseorang di belakang Linda. Mungkin dia takut mas Bimo datang bersama wanita itu. "Iya mbak. Tadi habis diajak jalan-jalan sama teman, lalu pulangnya aku minta diantar mampir ke mari," jelas wanita itu. Kemudian dia mulai berkeliling untuk menyalami kami semua. Namun sepertinya dia semakin salah tingkah karena aku sengaja memandanginya dari ujung rambut sampai ujung kaki dan memperhatikan setiap gerak geriknya. "Eh emmm, mbak Metta sendirian ke sini? Nggak sama mas ... Bimo?" tanyanya gugup. "Iya sendirian, mas Bimo nggak ikut. Dia di rumah," jawabku singkat. "Oh." Lalu dia pun mulai duduk. Namun sepertinya ibu yang kepanasan dengan kedatangan Linda. Karena belum ada beberapa detik wanita itu duduk, ibu sudah mengajaknya bangkit lagi. "Makan dulu aja yuk, Linda. Kita semua barusan sudah makan lho. Tinggal kamu yang belum. Ayo, ibu temani di belakang." Wanita tua itu sampai menggandeng tangan Linda agar dia mau segera berdiri mengikutinya ke dalam. Sungguh pemandangan yang sangat aneh menurutku. Dan tentu saja aku bisa merasakan semua itu. Merasa masih ingin terus bermain-main dengan mereka, aku pun mulai mempertanyakan bocah yang bersama Linda tadi. "Kata mbak Nani tadi Linda belum menikah lagi setelah Seno meninggal. Tapi kok itu dia sama anak kecil? Anak siapa ya?" tanyaku. "Oh itu, anak itu anaknya Seno, Met." "Anaknya Seno?" Dahiku sontak berkerut. "Maksudnya, Linda mengandung saat Seno meninggal?" tanyaku lagi. "Iya begitulah. Dia sedang mengandung 2 bulan saat Seno meninggal waktu itu. Tapi dia tidak tahu," jelas mbak Nani. "Kasihan ya," gumamku. Tapi soal ini sepertinya mereka tidak berbohong. Wajah anak tadi memang mirip sekali dengan bentuk wajah Seno maupun mas Bimo. Pantas saja kemarin Mas Bimo sempat pucat saat kubercandai wajah anak itu mirip dengannya. ... Penasaran dengan apa yang dilakukan ibu mertuaku dengan Linda di dalam, aku pun berpamitan untuk berpura-pura ke belakang. Dua kakak iparku nampak sedikit panik saat aku bergegas nyelonong begitu saja ke dalam rumah. Sempat kulihat mereka berdua saling berpandangan mengisyaratkan sesuatu. Aku hanya pura-pura saja tidak melihat. Saat sampai di ruang makan, ternyata aku tak mendapati seorang pun di sana. Karena semakin penasaran, aku pun berbelok ke ruangan lain untuk mencari ibu dan Linda. Hingga akhirnya kutemukan juga keduanya sedang berdiri mengobrol di serambi dengan berbisik-bisik. Perlahan aku segera mendekat mencari posisi terbaik untuk mencuri dengar pembicaraan mereka. "Sebaiknya kamu jangan sering ke sini dulu setelah ini, Lin. Ibu khawatir semua rahasia ini akan terbongkar. Kamu harus jaga nama baik Bimo dan keutuhan rumah tangganya dengan Metta." Aaaaah, jadi benar kan dugaanku bahwa mereka semua memang telah bersekongkol membohongiku."Bim, kamu bisa ke rumah ibu nggak sekarang?" ucap Mbak Norma ditelepon pagi itu saat aku baru saja sampai di toko."Ada apa, Mbak?" tanyaku keheranan. Perasaanku masih kalut dari kemarin karena kelakuan Linda yang sampai sekarang masih tetap tak bisa kuhubungi."Kamu sudah di toko apa masih di rumah?" tanya mbak Norma balik."Baru sampai toko, Mbak. Ada apa sih?" tanyaku sedikit kesal karena tak kunjung diberi jawaban."Ini penting, Bim. Soal Metta sama Linda," ucapannya terdengar sedikit panik. Aku mendesah pelan, meskipun sebenarnya aku tak tahu persoalan apa yang akan disampaikan oleh mbak Linda sebenarnya."Sebentar lagi deh, Mbak. Aku baru aja sampai di toko. Satu atau dua jam lagi aku ke situ," kataku kemudian.Usai kututup telepon, kulihat salah satu karyawan seniorku baru saja datang dengan wajah kusutnya."
Setelah dari rumah ibu, aku langsung meluncur menemui Linda. Hanya satu yang ada dalam pikiranku saat ini. Memberitahu Linda bahwa kami harus lebih berhati-hati setelah ini. Namun rupanya Linda masih menyimpan kekesalannya padaku, karena dia menyambutku dengan malas-malasan saat aku datang."Masih marah?" tanyaku."Menurut mas?" sahutnya tanpa menoleh sedikitpun padaku."Lin, jangan kayak anak kecil gitu dong. Masa' iya marah sama suami, nomernya pake diblokir segala?" sindirku membercandainya."Kenapa memangnya? Nyesel nikahin anak kecil? Aku kan memang masih kecil," ujarnya sewot."Udah dong, Lin. Nggak perlu diperpanjang masalah ini. Kita masih punya masalah yang lebih besar dibanding ngambek-ngambekan nggak jelas kayak gini.""Ngambek nggak jelas, kata mas? Jadi menurut mas aku marahnya nggak serius? Cuma ngambek nggak guna? Gitu?"
P.O.V Metta "Mah, ada yang nyariin." Ibas masuk ke rumah dengan tergesa hingga hampir menabrakku yang baru keluar dari kamar."Siapa?" tanyaku."Nggak tahu, Mah. Mbak mbak naik motor," katanya.Karena penasaran, aku pun bergegas menuju ruang depan. Seketika aku terkejut melihat Ira, salah satu karyawan di toko kami, sudah duduk di kursi teras rumah dengan wajah memelasnya.Melihatku keluar, wanita itu pun segera bangkit dari kursinya dan duduk bersimpuh di depanku sambil menangis tersedu. Karena risih dengan sikapnya itu, aku pun segera menarik pundaknya untuk kuajak berdiri."Kamu kenapa, Ra? Ayo masuk dulu yuk!" Kubimbing wanita yang sedang berlinangan air mata itu ke ruang tamu. "Duduk dulu, Ra," kataku kemudian.Dengan masih sesenggukan, dia menuruti kata-kataku. Sementara aku segera meminta tolong Ibas untuk mengambilka
Pagi itu seperti biasa aku menyempatkan diri untuk berolahraga ringan berlari mengelilingi kompleks sebelum nantinya mandi dan bersiap-siap ke toko. Namun aku sedikit terkejut saat sampai kembali di rumah dan mendapati seorang wanita paruh baya sedang menghentikan sepedanya di depan pagar. Lalu dengan sikap yang menurutku sedikit mencurigakan, dia celingukan memperhatikan ke dalam rumah."Cari siapa?" ketusku padanya sebelum menuju pintu pagar dan memeganginya dengan sebelah tanganku."Eh anu, Pak, apa bu Metta nya ada?" tanyanya dengan bahasa yang sedikit medok."Ada keperluan apa mencari istri saya? Dan kamu ini siapa?" Aku mulai curiga, apa lagi yang akan dilakukan istriku hari ini? Masa' iya dia mengundang tukang pijat pagi-pagi begini? Dahiku sedikit berkerut. Tapi seingatku wanita ini bukan tukang pijat yang biasa dia panggil ke rumah.Tak lama berselang terlihat Metta keluar dari rumah dengan se
P.O.V Metta Sesampai di toko, aku langsung ke ruangan mas Bimo. Pekerjaanku hari ini adalah memeriksa keuangan usaha kami. Sebenarnya aku juga tak perlu melakukannya, karena sudah jelas pasti aku nanti akan menemukan dana-dana tak jelas yang digunakannya untuk membahagiakan istri keduanya itu. Dan aku tidak akan kaget. Hanya saja aku butuh tahu secara pasti bagaimana sebenarnya kondisi keuangan usaha kami.Sejujurnya, mas Bimo memang punya andil besar dalam mengembangkan bisnis ini. Sejak aku memutuskan untuk fokus di rumah mengurus Ibas, memang hanya dia yang berpikir keras bagaimana usaha kami ini terus berjalan.Hingga keputusannya yang spektakuler waktu itu adalah saat pandemi berlangsung. Saat dimana toko-toko lainnya tidak bisa mempertahankan usaha mereka, mas Bimo dengan otak cerdasnya mengalihkan penjualannya ke beberapa aplikasi toko online. Alhasil, usaha kami pun tetap bisa berjalan. Bahkan pen
Kesal dengan ulah Metta yang makin hari makin membatasi segala gerakku, hari itu akhirnya aku putuskan untuk tidak pergi ke toko. Selain karena malas, aku pun merasa seperti sudah tidak ada gunanya lagi di tempat itu. Semuanya telah dikuasai oleh Metta. Bahkan kunci mobil saja sekarang dia yang pegang."Nggak bangun?" Wajahnya menyembul dari balik pintu kamar dan dahinya berkerut melihatku masih bergelung dengan selimut tebal di atas ranjang."Aku nggak enak badan hari ini. Aku nggak ikut ke toko dulu kayaknya," dalihku. Padahal hari ini sebenarnya aku memang berencana untuk pergi ke rumah ibu, mengadukan semua persoalan ini padanya dan kakak-kakakku."Bangun dulu kek, sholat subuh. Udah jam segini lho, Pah," katanya mengingatkan. Namun aku tetap bergeming. Masih lebih nyaman menikmati hangatnya selimutku dibanding harus diguyur air wudhu pagi-pagi dingin begini.Sampai beberapa meni
Mana mobilnya? Kenapa naik motor?" Linda menyambutku dengan wajah cemberutmya saat aku tiba."Suaminya datang disuruh masuk dulu kek, malah dicemberutin?" candaku padanya.Bukannya menurutiku, dia malah ngeloyor masuk kembali ke dalam rumah. Lalu dengan kesal menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu."Tiara mana?" tanyaku."Di kamar. Tidur," sahutnya cepat."Kenapa sih, Lin? Ngambek lagi cuma gara-gara aku ke sini bawa motor?" sindirku. Dia malah melengos."Itu lho ibu-ibu kompleks, sekarang jadi pada makin sering gosipin aku, Mas. Gara-gara kamu jarang ke sini lagi. Trus kapan itu ke sini naik motor lagi. Sekarang malah diulangi. Nyebelin tau nggak sih?" cerocosnya.Melihatnya seperti itu, aku pun segera mendekatinya, lalu perlahan mengelus rambut hitam lebatnya yang panjang dan indah itu. Mau dengan wajah cemberut pun, Linda
P.O.V Metta Aku sedang berada di toko siang itu saat ibu mertuaku menelpon. Dahiku mengernyit menatap nama yang terpampamg di layar ponselku. Sudah sangat lama sekali ibunya mas Bimo tak pernah menghubungiku lewat telepon. Ada mungkin bahkan hitungan tahun.Dulu, awal aku menjadi menantunya, ibu sangat memperhatikanku. Hampir tiap minggu dia datang ke rumah hanya sekedar untuk mengajariku memasak makanan kesukaan mas Bimo. Kakak-kakak iparku juga lumayan dekat denganku. Waktun tu aku adalah menantu perempuan satu-satunya di rumah itu.Lalu kemudian, saat bapakku meninggal, kemudian di susul ibu. Juga seiring dengan kesibukanku mengurus Ibas, kami jadi jarang ketemu. Kesibukan mas Bimo di toko juga membuatnya jarang bisa mengajakku bertandang ke rumah ibunya lagi.Setelah Seno menikah dan tinggal di rumah ibu, mas Bimo makin jarang mengajakku ke sana. Meskipun begitu, kami memang telah sepakat
Hari itu rumah pengusaha Fabian Wiguno terlihat sangat ramai. Pesta kecil sengaja digelar khusus untuk menyambut kedatangan saudara perempuan serta dua anaknya yang rencananya akan kembali dari Amerika untuk berlibur.Amanda Wiguna dengan dua anaknya, Darryl dan Hannah memang telah lama menetap di America. Anak-anak Amanda meminta untuk dipindahkan sekolahnya ke luar negeri setelah ketok palu pengadilan memutuskan hukuman untuk ayah mereka. Amanda sendiri awalnya hanya bermaksud menemani dua buah hatinya menimba ilmu sekaligus ingin melupakan segala permasalahan yang terjadi di masa lalu mereka. Namun rupanya Amanda terlanjur nyaman berada di negeri paman Sam itu.Metta yang melakukan semua persiapan untuk menyambut kedatangan saudara perempuan suaminya. Dia sendiri juga begitu rindu ingin bertemu dengan sang ipar. Tak lupa, Metta juga mengundang ke empat sahabat mereka; Devita, Ayu, Rani, dan Revi. Bagi Metta, kepulangan Amanda kali in
"Sudah siap?" Fabian melongok dari arah pintu kamar.Metta yang sedang menyelesaikan dandanannya di deoan meja rias pun menoleh."Bentar lagi, Mas. Sini deh, Mas." Dilambaikannya jari-jari lentiknya ke arah sang suami."Kenapa, Sayang?""Sebenarnya mas mau ajak aku kemana sih? Dati kemarin nggak mau cerita ih." Metta membalikkan badan menghadap sang suami. Namun Fabian hanya tersenyum penuh misteri, seolah membiarkan istrinya dihantui rasa penasarannya sendiri.Semalam tiba-tiba saja Fabian mengatakan ingin mengajak Metta ke suatu tempat. Anehnya lelaki itu tidak mau mengatakan akan kemana."Kalau kukasih tahu jadinya nggak surprise dong," selalu begitu jawab suaminya."Hmmm baiklah. Daripada penasaran, kita berangkat sekarang aja kalau gitu."Dengan raut pura-pura kesal, Metta pun bangkit dan berjalan ke luar kamar sembari menggandeng
Berhari-hari Bimo selalu teringat pertemuannya dengan Linda di penjara. Tentang bagaimana nampak tertekannya wanita itu, juga pertanyaan Linda tentang pernikahan.Di banding kondisi Linda sekarang, Bimo merasa jauh lebih beruntung. Linda memang telah salah langkah. Terpuruknya kehidupan mereka di masa lalu tak membuat Linda jadi insyaf dan mengambil hikmah dari semua itu. Justru wanita itu semakin gila dengan harta dan kemewahan.Seandainya saja dulu Linda tidak meninggalkannya untuk lelaki kaya bernama Rexiano itu karena silau dengan hartanya, mungkin saat ini mereka berdua masih menjadi sepasang suami istri meskipun hidup dalam kesederhanaan.Tapi nasi memang telah menjadi bubur. Semua yang telah dilakukan Linda harus dipertanggung jawabkan di dalam penjara.Entah kenapa, pertanyaan Linda tentang apakah dia sudah menikah adalah yang paling membekas di hati Bimo beberapa hari terakhir. Seolah i
"Papa pulang!" teriak Tiara seperti biasa saat melihat Bimo datang dengan menggunakan ojek online. Lelaki itu memang sengaja pergi dan pulang kantor menggunakan transportasi umum agar sepeda motornya tetap bisa dipakai oleh kakaknya berjualan.Norma yang sedang menyuapi Tiara sore itu pun ikut girang. Sudah dua bulan ini Bimo bekerja di kantor Wiguna Group dengan gaji yang lumayan menurut mereka."Kok sore gini udah pulang, Bim?" tanyanya seketika setelah melirik jam di dinding yang baru menunjuk pukul 4 sore."Iya, Mbak. Kebetulan hari ini kerjaannya yidak begitu banyak. Tapi mungkin besok malah lembur sampai malam.""Oooh gitu. Ya sudah sana bersihin badan kamu dulu. Habis itu makanlah, aku sudah masak tadi.""Pa, Tiara boleh minta sesuatu nggak?" Tiara yang melihat Bimo akan beranjak, tiba-tiba langsung meraih tangannya lelaki itu."Boleh dong. Tiara mau minta ap
"Kamu serius, Bim?" Norma membelalakkan mata usai mendengar cerita adiknya."Serius, Mbak. Aku juga kaget tadi waktu dia mengatakan itu."Norma menggeleng-gelangkan kepalanya dan berkali-kali berdecak."Kok ada ya Bim, orang sebaik pak Fabian itu. Metta benar-benar wanita yang sangat beruntung bisa jadi istri lelaki seperti itu. Trus ... trus, kamu jawab apa waktu dia nawarin itu? Kamu menerimanya kan?""Aku belum mengatakan apa-apa, Mbak. Aku masih bingung. Aku sudah lama sekali nggak kerja kantoran. Aku nggak yakin aku masih bisa.""Jadi kamu nolak tawaran pak Fabian? Ya ampun Bimoooo. Kamu itu gimana sih?""Belum, Mbak. Aku belum bilang menolak. Aku bilang masih bingung. Tapi besok kalau aku bersedia, aku disuruh datang langsung ke kantornya."
"Titip Ibas ya, Mas. Minggu siang nanti kita jemput," ucap Metta saat akhirnya dia dan suaminya berpamitan pada Bimo."Jangan siang, Ma. Sore aja," sahut Ibas. Metta agak melebarkan mata pada anak lelakinya mendengar itu. Namun bibirnya tetap saja harus menampakkan senyum."Kalau Ibas pulangnya kesorean nanti gak cukup istirahatnya, Sayang. Kan senin sudah harus masuk sekolah lagi. Mama jemput siang aja ya?""Iya deh kalau gitu, Ma.""Jangan khawatir, Met. Bimo nggak akan pergi kemana-mana kok hari ini. Nanti biar aku sendiri aja yang jualan. Biar Ibas bisa puas maen sama papanya." Norma seolah tahu kekhawatiran Metta."Iya, Met. Jangan khawatir. Ibas akan baik-baik saja di sini," lanjut Bimo."Ya udah. Makasih ya, mbak Norma, Mas Bimo. Kami pamit dulu kalau gitu. Ibas baik-baik ya. Jangan rewel dan ngrepoti
Kehidupan Metta bersama Fabian masih sangat hangat sebagai sepasang pengantin baru walaupun ini adalah pernikahan kedua bagi keduanya.Di hari-hari awal pernikahan mereka, Metta bahkan sedikit kaget karena ternyata keseharian Fabian agak jauh dari bayangannya. Fabian yang seorang pengusaha, dalam bayangan Metta adalah orang yang sangat sibuk dan mungkin tak akan bisa memiliki banyak waktu untuk dirinya dan Ibas. Namun ternyata, dugaan Metta keliru. Fabian bahkan jauh lebih perhatian dibanding dulu saat dirinya menjalani awal pernikahannya dengan Bimo.Fabian sangat jauh berbeda dengan Bimo. Rupanya statusnya sebagai pengusaha sukses tak lantas membuatnya menomorduakan keluarga. Metta dan Ibas tetap menjadi prioritas utama bagi pria itu saat ini.Hari demi hari mereka lalui dengan kehangatan sebuah keluarga. Mungkin kegagalan keduanya dalam pernikahan sebelumnya menjadi pelajaran ya
Usai hari pernikahan, Fabian memboyong Metta ke sebuah rumah besar nan mewah. Rupanya lelaki itu sudah menyiapkan sebuah istana untuk sang istri. Metta bahkan belum pernah menginjakkan kaki di rumah semegah itu sebelumnya, selain rumah sahabatnya yang sekarang jadi adik iparnya, Amanda. Bik Marsih yang ikut diboyong Metta ke rumah barunya sampai terbengong kala mobil yang membawa mereka memasuki gerbang yang baru saja dibukakan oleh seorang satpam. Halaman yang luas dengan taman indah, air mancur di tengah-tengah halaman, persis seperti rumah-rumah yang hanya pernah dilihatnya di dalam tayangan sinetron di televisi lokal. Berulang kali wanita baya itu berdecak kagum. Tak jauh beda dengan bik Marsih, Ibas pun nampak seperti sedang dibawa jalan-jalan ke nengeri dongeng. "Ini ru
Malam itu Bimo, Norma, Nani dan suaminya sudah bersiap untuk pergi ke pesta pernikahan Metta. Bimo telah menyewa sebuah mobil untuk membawa rombongan itu ke sana. Saat akhirnya mereka berangkat, Norma tiba-tiba menyuruh Bimo untuk membelokkan mobil ke arah yang tak seharusnya. "Lhoh, jalannya itu ke arah sana mbak, kok minta belok?" tanya Bimo keheranan. "Udah belok dulu, sebentar aja kok, Bim. Nggak lama," sahut Norma. Nani juga jadi mengerutkan dahi melihat tingkah kakak sulungnya itu. "Mau kemana dulu sih kita memangnya, Mbak?" tanyanya kemudian dari kursi belakang. "Udaah jangan pada cerewet. Nanti juga tau." Lagi-lagi norma menyuruh adik-adiknya untuk diam.&n