P.O.V Metta
Seperti yang disarankan Rima, hari ini aku mengunjungi rumah ibu mertuaku. Sengaja aku tak mengajak mas Bimo karena acaraku hari ini sebenarnya memang bukan ke rumah ibu, melainkan ingin membahas sesuatu dengan salah satu sahabatku yang seorang pengacara.
Saat sampai di rumah ibu, rupanya mbak Norma, mbak Nani dan anak-anaknya sedang berada di sana. "Nggak sama Bimo, Met?" tanya mbak Norma menyambut kedatanganku. "Enggak, Mbak," aku menggeleng, lalu menyalami mereka satu per satu dan bergabung di ruang tengah itu. "Bimo kemana memangnya?" giliran mbak Nani yang bertanya. "Mau ada acara sebentar tadi katanya. Nggak tau kemana, Mbak," bohongku. Nggak enak juga mengatakan kalau mas Bimo di rumah saja sementara aku di sini. "Kamu bawa mobil sendiri, Met? Hebat kamu, sudah bisa nyetir?" Ibu yang kemudian berkomentar dengan kemampuanku menyetir. "Baru sebulan ini aku belajar nyetirnya kok, Bu," kataku. "Wah hebat dong sudah bisa kemana-mana sendirian sekarang," ucap ibu lagi. Aku hanya tersenyum menanggapi itu. Dari dulu mereka memang baik padaku. Di keluarga ini aku selalu merasa beruntung memiliki ibu mertua dan para ipar seperti mereka. Namun sekarang, aku akan menyelidiki semuanya. Apakah mereka benar-benar baik atau hanya sedang mengenakan topeng saja untuk menutupi borok mas Bimo? "Harusnya kalau mau ke sini nggak usah bawa oleh-oleh begini, Metta. Kayak ke rumah siapa aja lho kamu ini." Ibu kembali memulai pembicaraan lagi. "Cuma buah-buahan aja kok, Bu," sahutku sekenanya. Sampai di sini semuanya masih nampak wajar. Sikap mereka masih sama dengan sebelum-sebelumnya, baik dan perhatian padaku. Hingga akhirnya aku putuskan untuk mencari cara untuk memancing pembicaraan tentang Linda dan mas Bimo. "Rame ya Mbak, coba kalau mas Bimo tadi ikutan," celetukku tiba-tiba memperhatikan anak-anak kami yang berlarian ke sana kemari di ruangan itu. "Iya, kenapa tadi nggak diajak sekalian?" ujar mbak Norma. "Kayaknya mau ada acara keluar sih. Nggak tahu mau kemana," kataku sambil mengedikkan bahu. Lalu kulihat mbak Nani dan mbak Norma saling pandang sekilas. Meskipun begitu aku masih sempat melihat ada tatapan aneh diantara keduanya. "Coba Seno masih ada ya? Keluarga ini pasti tambah rame kalau kumpul," celetukku lagi. Dan demi Tuhan memang aku sengaja mengatakan itu. Mendengar nama Seno kusebut, ibu yang duduk di sebelahku langsung bereaksi. "Kamu benar, Met. Kalau Seno masih ada pasti lebih rame ya?" Aku pun mengangguk setuju. "Ngomong-ngomong, Bu, istrinya Seno si Linda itu sekarang kabarnya gimana ya?" tanyaku tiba-tiba yang aku sungguh yakin membuat tiga wanita di sekitarku itu terlihat saling lirik. "Linda? Dia baik-baik saja kok, Met. Kadang suka ke sini juga," sahut mbak Nani sepertinya mencoba menyamarkan keterkejutan mereka. "Oya? Apa belum menikah lagi sampai sekarang, Mbak?" tanyaku. "Kalau itu aku ... nggak tahu, Met." Mbak Nani bilang tidak tahu tapi wajahnya tak bisa dibohongi bahwa dia mengetahui sesuatu. "Sepertinya sih belum ya, Bu? Iya kan, mbak?" Mbak Nani menoleh bergantian ke arah ibu dan mbak Norma seolah dia takut menjadi tersangka yang salah ucap sendirian. "I-ya sepertinya belum sih. Kalau sudah kita pasti diundang," kata mbak Norma membenarkan, tapi dengan kalimat yang sedikit terbata. Sementara ibu nampak hanya mengangguk saja. "Oiya, tadi ibu sudah masak opor kesukaanmu lho, Met. Ayo kita makan dulu aja yuk," ajak ibu kemudian. Sepertinya dia tak ingin pembicaraan soal Linda menjadi semakin panjang. Aku menduga itu karena saat ini masih lumayan jauh dari jam makan siang. "Iya yuk, Met," timpal mbak Norma. Lalu semuanya pun bersiap menuju ruang makan. ... Aku selalu yakin Tuhan selalu tidak suka saat ada hambanya yang didzolimi oleh sesamanya Maka Dia pun selalu membuat jalan bagaimana semua kebohongan itu lambat laun akan terbongkar. Saat kami telah menyelesaikan makan siang yang kepagian itu, tiba-tiba seorang perempuan dengan senyum riangnya memasuki ruang tengah sambil menggandeng tangan mungil seorang bocah perempuan. Namun senyum ceria itu seketika lenyap saat pandangan matanya bertumbukan denganku yang juga sedang terkejut menatapnya. "Eh, ada mbak Metta," ucapnya gugup. Dan kedatangannya yang tiba-tiba itu rupanya juga membuat suasana tegang luar biasa di ruangan itu. "Eh, Linda. Kok ke sini nggak kabar-kabar dulu? Naik apa tadi?" Mbak Norma yang lebih dulu berdiri untuk menyalaminya. Sementara kepalanya celingukan seolah sedang mencari-cari seseorang di belakang Linda. Mungkin dia takut mas Bimo datang bersama wanita itu. "Iya mbak. Tadi habis diajak jalan-jalan sama teman, lalu pulangnya aku minta diantar mampir ke mari," jelas wanita itu. Kemudian dia mulai berkeliling untuk menyalami kami semua. Namun sepertinya dia semakin salah tingkah karena aku sengaja memandanginya dari ujung rambut sampai ujung kaki dan memperhatikan setiap gerak geriknya. "Eh emmm, mbak Metta sendirian ke sini? Nggak sama mas ... Bimo?" tanyanya gugup. "Iya sendirian, mas Bimo nggak ikut. Dia di rumah," jawabku singkat. "Oh." Lalu dia pun mulai duduk. Namun sepertinya ibu yang kepanasan dengan kedatangan Linda. Karena belum ada beberapa detik wanita itu duduk, ibu sudah mengajaknya bangkit lagi. "Makan dulu aja yuk, Linda. Kita semua barusan sudah makan lho. Tinggal kamu yang belum. Ayo, ibu temani di belakang." Wanita tua itu sampai menggandeng tangan Linda agar dia mau segera berdiri mengikutinya ke dalam. Sungguh pemandangan yang sangat aneh menurutku. Dan tentu saja aku bisa merasakan semua itu. Merasa masih ingin terus bermain-main dengan mereka, aku pun mulai mempertanyakan bocah yang bersama Linda tadi. "Kata mbak Nani tadi Linda belum menikah lagi setelah Seno meninggal. Tapi kok itu dia sama anak kecil? Anak siapa ya?" tanyaku. "Oh itu, anak itu anaknya Seno, Met." "Anaknya Seno?" Dahiku sontak berkerut. "Maksudnya, Linda mengandung saat Seno meninggal?" tanyaku lagi. "Iya begitulah. Dia sedang mengandung 2 bulan saat Seno meninggal waktu itu. Tapi dia tidak tahu," jelas mbak Nani. "Kasihan ya," gumamku. Tapi soal ini sepertinya mereka tidak berbohong. Wajah anak tadi memang mirip sekali dengan bentuk wajah Seno maupun mas Bimo. Pantas saja kemarin Mas Bimo sempat pucat saat kubercandai wajah anak itu mirip dengannya. ... Penasaran dengan apa yang dilakukan ibu mertuaku dengan Linda di dalam, aku pun berpamitan untuk berpura-pura ke belakang. Dua kakak iparku nampak sedikit panik saat aku bergegas nyelonong begitu saja ke dalam rumah. Sempat kulihat mereka berdua saling berpandangan mengisyaratkan sesuatu. Aku hanya pura-pura saja tidak melihat. Saat sampai di ruang makan, ternyata aku tak mendapati seorang pun di sana. Karena semakin penasaran, aku pun berbelok ke ruangan lain untuk mencari ibu dan Linda. Hingga akhirnya kutemukan juga keduanya sedang berdiri mengobrol di serambi dengan berbisik-bisik. Perlahan aku segera mendekat mencari posisi terbaik untuk mencuri dengar pembicaraan mereka. "Sebaiknya kamu jangan sering ke sini dulu setelah ini, Lin. Ibu khawatir semua rahasia ini akan terbongkar. Kamu harus jaga nama baik Bimo dan keutuhan rumah tangganya dengan Metta." Aaaaah, jadi benar kan dugaanku bahwa mereka semua memang telah bersekongkol membohongiku."Bim, kamu bisa ke rumah ibu nggak sekarang?" ucap Mbak Norma ditelepon pagi itu saat aku baru saja sampai di toko."Ada apa, Mbak?" tanyaku keheranan. Perasaanku masih kalut dari kemarin karena kelakuan Linda yang sampai sekarang masih tetap tak bisa kuhubungi."Kamu sudah di toko apa masih di rumah?" tanya mbak Norma balik."Baru sampai toko, Mbak. Ada apa sih?" tanyaku sedikit kesal karena tak kunjung diberi jawaban."Ini penting, Bim. Soal Metta sama Linda," ucapannya terdengar sedikit panik. Aku mendesah pelan, meskipun sebenarnya aku tak tahu persoalan apa yang akan disampaikan oleh mbak Linda sebenarnya."Sebentar lagi deh, Mbak. Aku baru aja sampai di toko. Satu atau dua jam lagi aku ke situ," kataku kemudian.Usai kututup telepon, kulihat salah satu karyawan seniorku baru saja datang dengan wajah kusutnya."
Setelah dari rumah ibu, aku langsung meluncur menemui Linda. Hanya satu yang ada dalam pikiranku saat ini. Memberitahu Linda bahwa kami harus lebih berhati-hati setelah ini. Namun rupanya Linda masih menyimpan kekesalannya padaku, karena dia menyambutku dengan malas-malasan saat aku datang."Masih marah?" tanyaku."Menurut mas?" sahutnya tanpa menoleh sedikitpun padaku."Lin, jangan kayak anak kecil gitu dong. Masa' iya marah sama suami, nomernya pake diblokir segala?" sindirku membercandainya."Kenapa memangnya? Nyesel nikahin anak kecil? Aku kan memang masih kecil," ujarnya sewot."Udah dong, Lin. Nggak perlu diperpanjang masalah ini. Kita masih punya masalah yang lebih besar dibanding ngambek-ngambekan nggak jelas kayak gini.""Ngambek nggak jelas, kata mas? Jadi menurut mas aku marahnya nggak serius? Cuma ngambek nggak guna? Gitu?"
P.O.V Metta "Mah, ada yang nyariin." Ibas masuk ke rumah dengan tergesa hingga hampir menabrakku yang baru keluar dari kamar."Siapa?" tanyaku."Nggak tahu, Mah. Mbak mbak naik motor," katanya.Karena penasaran, aku pun bergegas menuju ruang depan. Seketika aku terkejut melihat Ira, salah satu karyawan di toko kami, sudah duduk di kursi teras rumah dengan wajah memelasnya.Melihatku keluar, wanita itu pun segera bangkit dari kursinya dan duduk bersimpuh di depanku sambil menangis tersedu. Karena risih dengan sikapnya itu, aku pun segera menarik pundaknya untuk kuajak berdiri."Kamu kenapa, Ra? Ayo masuk dulu yuk!" Kubimbing wanita yang sedang berlinangan air mata itu ke ruang tamu. "Duduk dulu, Ra," kataku kemudian.Dengan masih sesenggukan, dia menuruti kata-kataku. Sementara aku segera meminta tolong Ibas untuk mengambilka
Pagi itu seperti biasa aku menyempatkan diri untuk berolahraga ringan berlari mengelilingi kompleks sebelum nantinya mandi dan bersiap-siap ke toko. Namun aku sedikit terkejut saat sampai kembali di rumah dan mendapati seorang wanita paruh baya sedang menghentikan sepedanya di depan pagar. Lalu dengan sikap yang menurutku sedikit mencurigakan, dia celingukan memperhatikan ke dalam rumah."Cari siapa?" ketusku padanya sebelum menuju pintu pagar dan memeganginya dengan sebelah tanganku."Eh anu, Pak, apa bu Metta nya ada?" tanyanya dengan bahasa yang sedikit medok."Ada keperluan apa mencari istri saya? Dan kamu ini siapa?" Aku mulai curiga, apa lagi yang akan dilakukan istriku hari ini? Masa' iya dia mengundang tukang pijat pagi-pagi begini? Dahiku sedikit berkerut. Tapi seingatku wanita ini bukan tukang pijat yang biasa dia panggil ke rumah.Tak lama berselang terlihat Metta keluar dari rumah dengan se
P.O.V Metta Sesampai di toko, aku langsung ke ruangan mas Bimo. Pekerjaanku hari ini adalah memeriksa keuangan usaha kami. Sebenarnya aku juga tak perlu melakukannya, karena sudah jelas pasti aku nanti akan menemukan dana-dana tak jelas yang digunakannya untuk membahagiakan istri keduanya itu. Dan aku tidak akan kaget. Hanya saja aku butuh tahu secara pasti bagaimana sebenarnya kondisi keuangan usaha kami.Sejujurnya, mas Bimo memang punya andil besar dalam mengembangkan bisnis ini. Sejak aku memutuskan untuk fokus di rumah mengurus Ibas, memang hanya dia yang berpikir keras bagaimana usaha kami ini terus berjalan.Hingga keputusannya yang spektakuler waktu itu adalah saat pandemi berlangsung. Saat dimana toko-toko lainnya tidak bisa mempertahankan usaha mereka, mas Bimo dengan otak cerdasnya mengalihkan penjualannya ke beberapa aplikasi toko online. Alhasil, usaha kami pun tetap bisa berjalan. Bahkan pen
Kesal dengan ulah Metta yang makin hari makin membatasi segala gerakku, hari itu akhirnya aku putuskan untuk tidak pergi ke toko. Selain karena malas, aku pun merasa seperti sudah tidak ada gunanya lagi di tempat itu. Semuanya telah dikuasai oleh Metta. Bahkan kunci mobil saja sekarang dia yang pegang."Nggak bangun?" Wajahnya menyembul dari balik pintu kamar dan dahinya berkerut melihatku masih bergelung dengan selimut tebal di atas ranjang."Aku nggak enak badan hari ini. Aku nggak ikut ke toko dulu kayaknya," dalihku. Padahal hari ini sebenarnya aku memang berencana untuk pergi ke rumah ibu, mengadukan semua persoalan ini padanya dan kakak-kakakku."Bangun dulu kek, sholat subuh. Udah jam segini lho, Pah," katanya mengingatkan. Namun aku tetap bergeming. Masih lebih nyaman menikmati hangatnya selimutku dibanding harus diguyur air wudhu pagi-pagi dingin begini.Sampai beberapa meni
Mana mobilnya? Kenapa naik motor?" Linda menyambutku dengan wajah cemberutmya saat aku tiba."Suaminya datang disuruh masuk dulu kek, malah dicemberutin?" candaku padanya.Bukannya menurutiku, dia malah ngeloyor masuk kembali ke dalam rumah. Lalu dengan kesal menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu."Tiara mana?" tanyaku."Di kamar. Tidur," sahutnya cepat."Kenapa sih, Lin? Ngambek lagi cuma gara-gara aku ke sini bawa motor?" sindirku. Dia malah melengos."Itu lho ibu-ibu kompleks, sekarang jadi pada makin sering gosipin aku, Mas. Gara-gara kamu jarang ke sini lagi. Trus kapan itu ke sini naik motor lagi. Sekarang malah diulangi. Nyebelin tau nggak sih?" cerocosnya.Melihatnya seperti itu, aku pun segera mendekatinya, lalu perlahan mengelus rambut hitam lebatnya yang panjang dan indah itu. Mau dengan wajah cemberut pun, Linda
P.O.V Metta Aku sedang berada di toko siang itu saat ibu mertuaku menelpon. Dahiku mengernyit menatap nama yang terpampamg di layar ponselku. Sudah sangat lama sekali ibunya mas Bimo tak pernah menghubungiku lewat telepon. Ada mungkin bahkan hitungan tahun.Dulu, awal aku menjadi menantunya, ibu sangat memperhatikanku. Hampir tiap minggu dia datang ke rumah hanya sekedar untuk mengajariku memasak makanan kesukaan mas Bimo. Kakak-kakak iparku juga lumayan dekat denganku. Waktun tu aku adalah menantu perempuan satu-satunya di rumah itu.Lalu kemudian, saat bapakku meninggal, kemudian di susul ibu. Juga seiring dengan kesibukanku mengurus Ibas, kami jadi jarang ketemu. Kesibukan mas Bimo di toko juga membuatnya jarang bisa mengajakku bertandang ke rumah ibunya lagi.Setelah Seno menikah dan tinggal di rumah ibu, mas Bimo makin jarang mengajakku ke sana. Meskipun begitu, kami memang telah sepakat