|Iya, Sayang. Selamat malam dan salam kenal juga.|
Rani tercengang membaca komentar Rudi, sang suami pada status facebooknya.
"Ya Tuhan, tega-teganya mas Rudi bilang sayang pada perempuan lain?" gumam Rani kesal.
Rani menutup akun barunya dan kembali ke akun lamanya. Kemudian dia menyusuri beberapa status Rudi.
Memang lelaki yang baru dinikahinya setahun lalu itu terkenal ramah dan supel pada semua teman dan keluarganya. Termasuk sangat royal pada mereka.
Beberapa status di f******knya dengan santainya Rudi memanggil sayang, atau honey pada setiap teman perempuan nya. Dan yang paling membuat Rani kebakaran jenggot adalah Rudi tidak pernah memposting Rani pada status f******k maupun whatsappnya.
Rani pernah komplain tentang hal itu pada suami dan mertuanya tapi tanggapan mertua dan suaminya sangat menyakitkan.
"Wajar dong kalau cuma berusaha mengakrabkan diri. Aku tidak mau dicap sebagai orang sombong setelah menikah oleh keluarga dan teman-temanku."
"Iya. Nggak usah lebai, Ran. Yang penting kan hati Rudi untuk kamu."
Mendadak terdengar suara ketukan pintu. Rani bergegas meninggalkan kamarnya menuju ruang tamu.
"Mama? Ayo masuk dulu."
Rani tersenyum dan mempersilahkan mertua dan Maya, adik iparnya masuk ke dalam rumah.
"Rudi belum pulang?" tanya mertuanya basa basi.
"Belum. Katanya lembur agar bonus akhir tahunnya banyak."
"Baguslah kalau begitu. Ran, langsung saja ya. Adik kamu, si Maya ini mau nikah, mas Agus sudah menyumbang lima juta. Kamu juga harus nyumbang lima juta ya?"
Rani tercengang mendengar perkataan mertuanya. Kalau mas Agus yang sudah lama bekerja sebagai manajer di perusahaan besar mungkin wajar saja menyumbang lima juta. Tapi Rudi, suaminya yang merupakan karyawan biasa perusahaan makanan ringan, jumlah segitu pasti sangat berat.
"Nanti aku bilang pada Mas Rudi dulu, Ma."
"Yah, harus mau dong. Wajar kan kalau seorang kakak membantu pernikahan adiknya?!"
"Paling cepat uangnya besok ya. Agar segera bisa pesan dekorasi dan katering."
Rani hanya menghela nafas dan merasa sangat kecewa pada keluarga suaminya yang menganggap wajar semua hal.
***
"Mas, tadi Mama dan Maya kemari."
"Ya, tadi Mama cerita. Kenapa kamu nggak langsung gadai perhiasan kamu, Ran?"
Mata Rani mendelik. "Apa kamu bilang, Mas? Enak saja, itu kan warisan ibuku."
"Nanti mas ganti kalau sudah ada bonus akhir tahun."
"Ck, ogah. Mas yang adil dong antara aku dan keluargamu!"
Rudi yang baru saja melepas sepatu menoleh pada sang istri. Pandangan wajahnya terlihat kesal.
"Kamu ini, suami baru saja pulang dari kerja, bukannya disambut dengan makanan dan minuman hangat, malah diajak bertengkar. Wajarlah kalau menantu membantu mertuanya. Gimana sih?"
"Ya, gimana nggak bertengkar sih kalau mas nggak adil sama aku! Dari dulu kamu selalu mengutamakan teman-teman dan keluarga Mas saja.
Bahkan kamu tuh royal pada friendlist mu di F******k. Tapi sama aku pelit! Awas ya Mas, kalau kamu sakit, jangan sampai minta tolong padaku!" seru Rani dengan mata berkaca dan masuk ke dalam kamar meninggalkan Rudi yang sedang kesal.
***
"Ran, ini gajiku bulan ini," tukas Rudi seraya memberikan amplop pada Rani.
"Terimakasih, Mas," sahut Rani tersenyum.
Rudi mengangguk. Tapi ternyata senyum Rani tak lama, saat melihat uang yang terdapat dalam amplop itu.
"Mas, kok segini sih? Biasanya uang yang diberikan padaku satu juta lima ratus ribu. Ini kok menjadi satu juta saja?" tanya Rani.
"Tadi dipinjam teman lima ratus ribu. Kasihan nggak punya suami tapi anaknya sakit. Wajar kan kalau aku membantu teman yang kesusahan, apalagi teman aku janda. Apa kamu nggak kasihan sih?" tanya Rudi.
Rani menghela nafas kesal. "Mas, gaji kamu sebulan berapa sih totalnya. Kok kamu berikan aku satu juta lima ratus?" tanya Rani.
Rudi belum sempat menanggapi saat istrinya bersuara lagi, "seharusnya aku saja yang menerima seluruh gaji kamu, Mas. Nanti aku yang bagi antara kamu dan Mama. Masa sudah setahun menikah, aku belum tahu berapa total gaji kamu?"
Rudi menatap Rani dengan tatapan kesal. "Kamu ini nggak ada rasa syukurnya. Sudah untung aku berikan sebagian uang gajiku sama kamu. Uang gajiku itu 3,5 juta. Aku bagi 1 juta lima ratus sama untuk kamu sama Mama. Yang lima ratus aku. Masa masih kurang aja? Lihat di luar sana, banyak istri yang nggak dinafkahi suaminya," tukas Rudi sambil berlalu meninggalkan Rani.
"Mas, tapi semua barang saat ini harganya naik."
"Ran, wajarkan kalau aku masih memberikan bagian yang sama antara kamu dan mamaku. Lagipula, kamu ngapain megang uang banyak? Kita kan belum punya anak?"
"Oke. Baiklah. Tapi bolehkah aku meminta slip gaji kamu?" tanya Rani menghadang langkah Rudi yang hendak menuju kamar mandi.
Rudi memutar bola mata seraya menghembuskan nafas kesal.
"Kamu kok nggak percaya padaku sih, Ran?! Keterlaluan sekali kamu!" Rudi mendorong bahu Rani perlahan dan segera berlalu ke kamar mandi.
"Mas, tapi wajarkan kalau istri ingin tahu slip gaji suami?"
Tidak ada sahutan dari dalam kamar mandi. Hanya terdengar Rudi yang sedang menyalakan kran air dan mengguyurkan air dari gayung ke tubuhnya.
Rani hanya mendengus kesal melihat reaksi suaminya. "Awas saja kamu, Mas. Akan kubalas perlakuan wajar kamu ini," gumam Rani lirih.
***
Rani baru saja selesai memasak saat terdengar suara salam dari pintu depan. Rani segera bergegas menuju ruang tamu.
"Permisi Bu, ini benar rumahnya Bu Rani?"
"Benar. Ini siapa ya?"
"Saya Erwin dari bank Emok. Saya kemari untuk menagih utang tiga juta. Karena sudah jatuh tempo."
Mata Rani membulat terkejut. "Tapi saya tidak merasa berhutang pada siapapun, Pak?"
Lelaki itu lalu mengulurkan tiga lembar kertas dan memberikannya pada Rani. Rani terkejut melihat fotokopi KTPnya, fotokopi KK, dan tanda tangan perjanjian.
Utang yang pada awalnya 2,5 juta menjadi 3 juta. Astaga!
"Sebentar, Mas. Ini pasti ada salah paham dengan suami saya. Saya telepon suami saya dulu."
"Halo, mas. Kamu gimana sih kok memberikan fotokopi KTP ku pada bank Emok? Keterlaluan kamu! Untuk apa uang itu? Seingatku kamu belum pernah memberikan uang lebih dari 1,5 juta. Itupun sering kamu minta untuk beli rokok, bensin kamu, dan pulsa listrik."
"Oh, iya, aku lupa bilang Yang, kalau aku beberapa bulan yang lalu pinjam uang buat nambahin pembangunan rumah Ibu."
"Astaghfirullah, Mas. Jahat kamu ya. Tega!"
"Kamu bayarin dulu lah, Ran. Gadai dulu emas kamu. Nanti kalau aku sudah dapat bonus akhir bulan, aku bayar."
Rani langsung menutup teleponnya tanpa mengucap salam.
***
Rudi melongo melihat suasana rumah yang gelap. Dengan bergegas dia masuk ke dalam kamar.
"Ran! Rani, kamu dimana?"
Rudi menyalakan lampu dan matanya tertumbuk pada sehelai kertas di atas meja rias istrinya.
Dibuka kertas itu dan dibacanya.
"Mas, tadi aku bilang kalau belum bisa bayar utang pada bank emoknya. Lalu petugasnya bilang aku bisa ikut dia saja jadi istrinya dan semua utang kamu lunas. Petugas itu juga mengancam kalau aku nggak bayar utang, aku akan dipenjarakan. Jadi aku ikut sama dia dulu ya, Mas. Biar petugas banknya yang memproses perpisahan kita ke PA. Wajar kan kalau aku lebih memilih menikah dengannya daripada dipenjara?
Salam Wajar dari istrimu."
Pandangan mata Rudi langsung menggelap setelah membaca surat dari istrinya.
Next?
Pandangan mata Rudi langsung menggelap setelah membaca surat dari istrinya.Lelaki itu bergegas menjangkau apapun untuk dijadikan pegangan. Lalu dia terduduk di lantai dan menyandarkan punggungnya pada dipan ranjang. Segera diraihnya ponselnya dan menghubungi nomor Rani. Namun sayang sekali, nomor Rani tidak aktif. [Ran, kamu dimana?][Kamu jangan ngeprank aku dong!][Aku minta maaf atas masalah gaji kemarin, Ran.]Semua centang satu. Rudi mengusap wajah kasar. "Enggak mungkin! Hal ini pasti prank karena Rani sedang kesal padaku. Aku hanya perlu mencarinya di dalam rumah ini," gumam Rudi lalu mulai berjalan sekaligus menyalakan saklar lampu. "Ran?! Rani? Kamu dimana sih? Kamu marah ya karena gaji kemarin?"Dibukanya pintu kamar mandi, tapi nihil. Ditengoknya kedua kamar tidur lainnya di rumah itu juga kosong. "Ran? Oke aku minta maaf. Kamu jangan prank aku dong. Gini aja mulai bulan depan, aku akan meminta pada bendahara kantor untuk mentransfer semua gajiku ke rekening kamu. Gim
Tiiin!Aaarghhh! Brakk!Motor Rudi terjatuh di aspal dan motor Kawasaki ninja warna merah yang menabraknya pun terjatuh."Aduh!" seru Rudi sambil menatap sosok yang telah menabraknya. Bersiap untuk melabrak sosok yang masih menggunakan helm teropong di hadapannya, kendatipun jelas sekali Rudi yang salah. "Kamu ini ya ...,""Maaf, Mas. Masnya nggak apa-apa?" tanya sosok berjaket kulit itu sambil membuka helm teropongnya. Rudi ternganga melihat kecantikan pengemudi motor yang ternyata perempuan. Cantik dan seksi lagi. Pengemudi perempuan itu berdiri dan dengan perlahan mengulurkan tangannya pada Rudi yang masih terduduk kesakitan. Rudi langsung mengibaskan debu dari badannya. Seluruh sakit di tubuhnya seolah hilang seketika. 'Ya Tuhan, cantik banget. Ditinggal istri dekil dan sekarang ditabrak sama cewek cantik. Ini ujian apa cobaan?' gumamnya. "Saya nggak apa-apa." Rudi berdiri dan mengulurkan tangannya menjabat tangan gadis itu. "Ayo minggir dulu, biar nggak menganggu kendaraa
"Ya Tuhan, masa sih Rani membawa BPKBku?" tanyanya lemas. "Dasar istri nggak wajar! Udah minggat, bawa BPKB suami!"Rudi merasa mendadak kepalanya nyut-nyutan. Motor Yamaha All new R-15 nya terancam diambil orang kalau BPKBnya entah kemana. "Aduh, Ya Tuhan. Kemana lagi sih aku harus mencari Rani?" gumam Rudi setengah frustasi. Sekali lagi dia mencoba menelepon Rani, namun sayangnya ponsel Rani tetap tidak aktif. "Astaga, kemana sih Rani? Kemana harus kucari ya? Rani sudah tidak punya orang tua. Satu-satunya yang tersisa dari saudara Rani adalah kakak lelakinya di luar pulau. Tapi masa Rani berani ke sana sendirian malam-malam begini?" gumam Rudi. "Ah, bodo amat. Aku telepon aja kakaknya. Kalaupun kakaknya Rani nanti ngomelin aku, biar aku blokir aja sekalian."Rudi menekan nomor kontak kakak iparnya, dan tak lama kemudian nada sambung berubah menjadi suara laki-laki."Halo, Uda.""Halo Rud, tumben telepon. Ada apa?"Rudi menelan ludah. Bingung hendak meneruskan pertanyaannya. "He
Kini tinggal Rudi yang melongo. "Apa? Tidak mungkin! Kalau Rani tidak ikut kamu seperti yang telah disebutkan dalam suratnya, lantas dia kemana?"Sebenarnya ada sedikit rasa lega dalam hatinya saat mengetahui fakta bahwa istrinya tidak kabur dengan laki-laki lain. Itu artinya Ranu masih mencintainya. Tapi hati Rudi memang masih bertanya-tanya tentang keberadaan Rani. Entah selamat atau tidakkah istrinya sekarang.Erwin hanya mengedikkan bahu sambil menepis tangan Rudi yang mencengkeram kerah bajunya. "Ya saya nggak tahulah. Yang suaminya kan kamu, Pak. Kenapa justru saya yang jadi tersangkanya?""Kamu pasti bohong ya?! Jelas-jelas dalam surat Rani disebutkan kalau dia kabur sama petugas bank Emok. Dan satu-satunya petugas bank Emok yang ke rumahku untuk menagih hutang kan cuma kamu. Kamu enggak usah ngeles lagi. Sekarang kembalikan istri saya!"Beberapa pengunjung mulai ricuh. Beberapa diantaranya bahkan mulai mengarahkan kamera ponsel ke arah Rudi dan Erwin. Seorang satpam mendeka
"Maaf, Pak. Tapi semua perhiasan ini palsu. Imitasi. Tidak ada harganya," tukas pemilik toko emas itu seakan membuat dunia Rudi yang cerah menjadi kelam."Apa?""Iya Pak, semua perhiasan emas ini imitasi." Pemilik toko emas itu mengulangi jawabannya. "Tidak mungkin. Pasti Mas nya salah periksa. Ayo periksa lagilah!" Rudi bersikeras untuk memaksa. Pemilik toko emas itu hanya bisa menghela nafas. "Saya sudah memeriksanya berulang kali. Dan hasilnya tetap sama. Perhiasan emas ini palsu. Kalau Bapak tidak percaya, silakan bawa perhiasan ini ke toko lain."Rudi tercengang dan dengan terpaksa dia mengambil perhiasan itu dari penjual emasnya.Rudi terpekur dalam hati. 'Jadi perhiasan ini palsu? Apa perhiasan ini yang dulu menjadi warisan ibunya Rani?! Kalau benar perhiasan ini adalah bagian dari warisan ibunya Rani, berarti perhiasan Rani selama ini palsu juga. Tapi kalau perhiasan ini berbeda dengan warisan ibunya Rani, buat apa Rani memiliki perhiasan palsu ini? Apa perhiasan ini untuk
"Uda? Kok nggak memberi kabar dulu kalau mau datang?" tanya Rudi kaget melihat kakak lelaki Rani sedang berdiri di depan rumahnya. Wajahnya tampak tak bersahabat. "Mana adikku?" tanya Aris langsung masuk ke dalam ruang tamu rumah Rudi. "Ran! Rani!" Aris memanggil-manggil adiknya dan beranjak menuju ruang tengah. Rudi segera berlari mengejar kakak iparnya."Tunggu, Da. Rani tidak ada di sini!"Aris menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menatap ke arah Rudi."Kalau Rani tidak ada di sini, kenapa kamu nggak nyari adikku? Kenapa kamu justru membiarkan Rani menghilang? Apa kamu sudah lapor polisi, hah?" tanya Aris sambil mencengkram kerah baju Rudi. Rudi merinding melihat tangan kanan Aris terkepal ke arahnya. Tapi dikuat-kuatkan hatinya lalu dia menatap ke arah kakak iparnya. "Uda, seharusnya bukan Uda yang marah. Tapi aku!" tukas Rudi. Matanya menatap tajam ke arah Aris. "Apa maksud kamu? Katakan?!""Uda duduk dulu. Akan kuambilkan kertas berisi pesan terakhir Rani," tuk
POV Rani Flash back on."Rani, semua sudah makan. Piringnya jangan lupa dicuci ya?" tukas ibu mertuaku. Aku yang sedang membaca novel online favoritku mau tidak mau harus berhenti dan menoleh pada Mas Rudi.Meskipun pintu kamar tertutup tapi suara mertuaku yang di dekat ruang makan seolah bisa menembus dinding kamar kami. "Mas.""Apa?" Aku memanggil mas Rudi tapi suami ku masih asyik dengan ponselnya."Mas!""Apa sih?" tanya Mas Rudi sambil tetap bermain dengan ponselnya. "Kenapa sih kok aku terus yang disuruh nyuci piring dan nyapu-nyapu? Apa mentang-mentang karena aku paling miskin di sini jadi aku bisa disuruh apa saja?"Mas Rudi meletakkan ponselnya dan menatapku."Sudahlah, jangan lebay. Mamaku berarti kan ibumu juga. Kamu sudah enggak punya ibu dari lama kan? Wajar kan kalau mamaku menyuruh anaknya, yaitu kamu untuk membantunya dalam urusan pekerjaan rumah?" tanya mas Ardi membuatku tercengang. Dia selalu mempunyai alasan untuk memojokkanku atau membenarkan tindakannya dan
Flash back On :Aku mendelik. "Kamu boleh melupakan aku. Tapi kamu pasti tidak akan melupakan sapu tangan ini kan?""Bagaimana ini bisa ada padamu? Bukankah sapu tangan ini kuberikan pada ..,""Widuri. Teman sepermainan kamu saat masih SMP.""Mas Agus, kok bisa kenal Widuri?" tanyaku bingung. Mas Agus tertawa lalu menggembungkan pipinya dan melingkarkan jempol dan telunjuknya ke mata, seakan menjadi sebuah kacamata.Aku mendelik. "Mas Donat? Mas Agus itu mas Donat?" tanyaku kaget. Mas Agus tertawa. "Ya, nama lengkapku Agus Doni Kurniawan."Aku melongo tak henti-hentinya takjub pada metamorfosis mas Agus, dari gemuk menjadi kurus. "Aku rindu padamu, Ran," tukas mas Agus hampir memelukku.Dengan cepat aku menahan dadanya yang hendak menarikku ke dalam pelukannya. "Maaf Mas, kamu sudah punya istri. Aku nggak ingin ada fitnah di sini."Mas Agus terlihat kecewa dan menurunkan tangannya. "Apa kabar Widuri, Mas? Sejak pindah ke ibu kota, kami tidak pernah berkontak lagi.""Widuri sehat
Rani baru saja pulang dari kuliah dan melihat tivi sejenak, tapi tak lama kemudian dia tercengang. Sebuah kebakaran rumah yang dulu sangat dikenalnya terpampang dalam berita itu. Perempuan itu menelan ludah. 'Kebakaran itu berlangsung semalam. Berarti kejadiannya setelah pulang dari pernikahan Mas Agus,' batin Rani. Dan kamera tivi mengekspos wajah tiga bersaudara yang dulu pernah membuat hatinya sangat terluka."Kini aku sudah puas dengan apa yang terjadi pada kalian. Bukankah kehilangan itu sakit rasanya?" tanya Rani dengan tersenyum puas. *Rudi, Leni dan Maya menerima amplop dari beberapa tetangga dan bantuan dari pemerintah daerah dengan perasaan campur aduk. Selama tiga hari ini mereka tinggal di kos sederhana di dekat rumah yang terbakar itu. Mereka berjanji pada pemilik kos untuk membayar tepat waktu dengan uang yang didapat dari bantuan tetangga. Dan beberapa wartawan tivi mencarinya lalu menanyakan penyebab kebakaran di rumahnya. Walaupun sangat sedih, tapi Rudi menc
Rudi, Maya dan Leni terkejut mendengar penuturan Agus. "Mas, mbak Leni itu jauh seribu kali lipat daripada Nilam. Kok mau-maunya sih kamu menikah dengan Nilam. Dia itu mantan sugar baby lho. Anak dalam perutnya itu bukan anakku. Pasti anak haram, Mas. Sadar Mas Agus!" seru Rudi berapi-api. Agus hanya tersenyum. "Betul, kalau Nilam dulu memang sugar baby. Dia mengakui nya dan ingin bertobat. Selama ini dia menjadi lebih baik. Dan aku saksinya. Dia menjadi lebih terhormat. Lalu apa kamu yakin kalau Mbakmu lebih baik dari Nilam? Aku tidak ingin menjelekkan mantan istri. Tapi hatiku merasakan lebih nyaman saat bersama Nilam daripada bersama Leni. Dan yang terakhir, tidak ada yang namanya anak haram. Yang ada hanyalah perbuatan kedua orang tuanya yang haram. Semua anak sejak lahir dalam kondisi suci."Agus tersenyum lalu meletakkan undangan pernikahannya di atas meja tempat jualan milik ketiga bersaudara itu. Leni menatap tajam ke arah Agus. "Jadi kamu hanya bisa pamer seperti ini, Ma
🌹Kamu tahu enggak apa bedanya kamu dan hantu?Kalau hantu datang dan perginya nakutin, kalau kamu datang dan perginya nyakitin. *Pov Rudi Hari Sabtu pagi, dengan berbekal SIM C yang kebetulan kutinggal karena aku hanya membawa SIM B, aku bergegas ke polsek terdekat dan melaporkan tentang kehilanganku. Aku sedikit lega karena sudah mengantongi surat kehilangan dan polisi juga berjanji akan melacaknya. Hanya aku tidak bisa mengurus ke bank langsung, karena menunggu hari Senin dua hari lagi. Lagipula aku lupa nomor rekeningku kalau mau telepon CS. Selama dua hari itu, rasanya hidup segan mati tak mau. Aku benar-benar merasa tercekik dan seolah-olah akan ma ti esok hari. Ponselku yang ikutan hilang tidak bisa digunakan untuk mentransfer saldo ke rekening Maya ataupun mbak Leni.Ibarat kanker, sungguh aku sudah mengidap kanker stadium empat. Serba salah dan serba repot. "Mas, besok sudah hari Senin. Kamu seharusnya mulai mengurus kartu ATM dan buku tabungan kamu." Terdengar suara
🌹 Salah beli baju, bisa menyesal sehari. Salah potong rambut bisa menyesal seminggu. Salah memilih suami, bisa menyesal seumur hidup. **Flash back on. PV Rani"Ini bayaran kamu. Kerja bagus telah membuat Maya dipecat." Aku tersenyum puas pada sepasang suami istri yang terlihat glamor itu. Tak lupa kuulurkan amplop berisi sisa uang pembayaran. Suami istri di depanku melihat isi amplop coklat yang diberikan padaku dengan mata berbinar. "Terimakasih banyak, mbak Rani." Sang istri menerima amplop itu. "Jaga rahasia kita, Bu. Saya tidak mau ada keributan setelah ini.""Jangan khawatir, mbak. Kami profesional kok. Kami memang benar-benar membutuhkan uang ini untuk pengobatan anak kami."Suaminya lalu mengulurkan paper bag yang sedari tadi ada di pangkuannya. "Ini mbak, baju yang mbak belikan untuk kami. Kostum saat makan di restoran kemarin. Saya kembalikan pada Mbak. Saya kira, harganya pasti mahal."Lelaki itu lalu memberikan paper bag yang dipegangnya padaku. Aku mendesah. Kala
🌹 Aku memang manusia biasa. Tapi percayalah, cintaku untukmu itu luar biasa. **Pov Rani. Dering telepon membangunkanku dari tidur. Tanpa melihat nama penelepon, aku menekan layar hijau. "Halo.""Hei, pembunuh! Kamu sudah puas dengan apa yang terjadi?" Bukannya menjawab dengan baik, suara diseberang telepon terdengar nyolot. "Ini siapa sih?" tanyaku masih dengan rasa mengantuk. "Semudah itu kamu melupakan aku? Bagus ya? Lagipula aku juga tidak butuh untuk kamu inget lagi. Karena kamu lah yang membuat kondisi keluarga ku bangkrut dan mama harus kehilangan nyawa."Seketika rasa kantukku menghilang. Ini jelas suara Maya. "Mama mu meningga?" tanyaku. Tak munafik aku merasakan dua macam rasa. Senang dan prihatin dalam waktu yang bersamaan. "Sudah puas kamu membuat apes aku dan keluargaku?"Aku mengerutkan dahi. "Kamu," sahutku dingin. "Sudah puas kamu kalau anakku meninggal karena perbuatan ayah kandungnya sendiri?" "Apa maksud kamu?" tanya Maya. "Kamu jangan play victim."Aku t
🌹Aku mencintaimu seperti salat tarawih. Bukan siapa yang datang di awal, tapi siapa yang bertahan di akhir.**Rani melihat layar ponsel dengan puas. "Apa kamu sudah puas?" tanya Rudi saat melihat ekspresi wajah mantan istrinya. Rani hanya terdiam dan melihat wajah Rudi serta Maya dalam diam. "Jangan lupa, Mbak. Kamu harus menepati janji untuk mencabut laporan ke polisi."Rani tersenyum. "Tentu saja. Jangan khawatir. Aku bukan tipe orang yang suka mengingkari janji," sindir Rani. Rudi hanya mendengus kesal. "May, ayo kita pulang saja. Urusan kita sama dia sudah selesai.""Iya, Mas."Rudi dan Maya berdiri lalu tanpa berpamitan, mereka berlalu dari hadapan Rani. Rani menekan nomor telepon Nilam, dan tak lama kemudian langsung tersambung dengan sang empunya. "Halo, Nilam.""Ada apa, Ran?""Aku minta nomor rekening kamu dong.""Untuk apa?" Nada suara Nilam terdengar bingung. "Mas Rudi baru saja kesini dengan Maya. Tapi sekarang mereka sudah pulang.""Hah? Ke kos kamu? Ngapain? Apa
Rudi mendelik saat merasakan mamanya tidak lagi bernafas. "May, mama May!" seru Rudi panik."Kita bawa ke rumah sakit sekarang!""Tapi duitnya?""Duit kamu gadai sertifikat rumah kan masih ada?""Itu untuk usaha karena saat ini aku kan di PHK, May!""Jangan gila, Mas. Kamu mau mementingkan duit daripada Mama?""Ck, oke!""Bawa mobil mbak Leni saja!"Mendadak Rudi tersenyum saat teringat bahwa Leni masih mempunyai mobil. "Oke. Aku gendong mama dan kamu ambilkan kunci mobil ya?!"**"Ada masalah pada jantungnya. Pasien sempat mengalami apneu*. Untung cepat dibawa ke sini. Apa pasien jarang olahraga dan makannya selalu tinggi kolesterol?"Maya dan Rudi berpandangan. "I-iya, Dok. Mama suka santan dan jerohan ayam."Dokter di hadapan Maya dan Rudi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pasien harus dirawat di ruang ICU dan melihat perkembangannya.""Ba-baik, Dok."Rudi dan Maya berjalan dengan gontai di koridor rumah sakit. "Mas, apa yang harus kita lakukan? Mama nggak pernah ikut
Flash back on. Rani merenggangkan otot tubuhnya saat baru saja menyiapkan peralatan massagesnya di spa khusus perempuan. Dia memang mengambil mata kuliah khusus tata rias dan massages spa serta bekerja part time dalam bidang yang sama pula. Klinting. Suara denting lonceng berbunyi dan masuklah seorang perempuan setengah baya. "Silakan masuk. Ingin treatment apa?" tanya Rani ramah. Lalu beberapa saat kemudian, baik Rani maupun calon pelanggannya saling berpandangan. "Bu Dewi kan?""Lha kamu Rani kan?""Apa kabar, Ran? Kamu tambah cantik sekarang. Ya Tuhan, glowing!"Rani tersenyum. "Apa kabar, Bu? Kok di Malang? Sedang ada acara di kota ini?" tanya Rani pada tetangganya Rudi itu. "Iya. Aku sedang mengunjungi anak. Eh, sama anakku dibawa ke salon dan spa. Katanya di sini pelayanan bagus dan harga miring," tukas Dewi sambil mengulurkan nota pemilihan treatment. "Iya Bu. Bisa dicoba." Rani tersenyum dan membaca pilihan layanan treatmen lalu mulai menyiapkan peralatan. "Silakan k
🌹 Kadang orang jahat itu berawal dari orang baik yang tersakiti. **Flash back on."Ada apa lagi, Ran? Bukankah kamu sudah bertekad untuk tidak mau menerima lamaranku?""Ya Mas. Sekali lagi aku minta maaf.""Katakan saja apa yang ada di hatimu dan jangan buang-buang waktu!""Baik. Aku cuma ingin bertanya pada Mas Agus, apa mas tidak merasa sakit hati pada perbuatan mbak Leni yang dengan semena-mena mempermalukan orang tua mas Agus saat acara perayaan ulang tahun pernikahan?""Memang ada apa? Apa ada urusannya denganmu?""Mas Agus, kumohon. Jangan dendam seperti ini. Aku tahu mungkin mas Agus masih sakit hati karena aku tidak bisa menerima perasaanmu, tapi tak bisakah mas juga memperlakukanku sebagai adik seperti Mas memperlakukan Widuri?" tanya Rani dengan tatapan memohon. "Aku yakin dengan apa yang mas miliki sekarang, mas pasti akan mendapatkan pengganti yang lebih baik dariku. Aku mohon, Mas. Maafkan aku. Aku ingin kita bekerja sama."Mau tak mau Agus menjadi iba. "Sebenarnya a