"Maaf, Pak. Tapi semua perhiasan ini palsu. Imitasi. Tidak ada harganya," tukas pemilik toko emas itu seakan membuat dunia Rudi yang cerah menjadi kelam.
"Apa?"
"Iya Pak, semua perhiasan emas ini imitasi." Pemilik toko emas itu mengulangi jawabannya.
"Tidak mungkin. Pasti Mas nya salah periksa. Ayo periksa lagilah!" Rudi bersikeras untuk memaksa.
Pemilik toko emas itu hanya bisa menghela nafas.
"Saya sudah memeriksanya berulang kali. Dan hasilnya tetap sama. Perhiasan emas ini palsu. Kalau Bapak tidak percaya, silakan bawa perhiasan ini ke toko lain."
Rudi tercengang dan dengan terpaksa dia mengambil perhiasan itu dari penjual emasnya.
Rudi terpekur dalam hati. 'Jadi perhiasan ini palsu? Apa perhiasan ini yang dulu menjadi warisan ibunya Rani?! Kalau benar perhiasan ini adalah bagian dari warisan ibunya Rani, berarti perhiasan Rani selama ini palsu juga.
Tapi kalau perhiasan ini berbeda dengan warisan ibunya Rani, buat apa Rani memiliki perhiasan palsu ini? Apa perhiasan ini untuk mengecohku? Tapi untuk apa Rani melakukan hal itu?" tanya Rudi seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ah, embuhlah. Lebih baik aku pulang dulu saja. Hari Minggu bukannya libur malah pusing sama uang pernikahan Maya," gumam Rudi kesal.
Lelaki itu memacu motornya dengan kecepatan sedang. Dan begitu sampai di rumah, dia dikejutkan dengan kedatangan Mamanya.
"Rud, sudah pulang dari toko emas, Nak? Mama telepon dari tadi kok tidak nyambung?" tanya Mama Rudi saat Rudi memakirkan motornya.
"Hm, hp Rudi tadi tertinggal di rumah karena diisi daya," sahut Rudi sambil membuka pintu rumahnya.
"Duduk, Ma."
Mamanya mengangguk dan langsung duduk di kursi sofa ruang tamunya.
"Jadi mana duitnya?"
"Aduh Ma, perhiasannya Rani ternyata palsu." Rudi tertunduk lesu.
Mamanya melotot. "Apa? Tidak mungkin!"
"Mungkin saja. Karena Rudi sudah membawanya ke toko emas."
"Jadi gimana dong dengan pernikahan Maya?"
Rudi mengedikkan bahunya. "Rudi nggak tahu, Ma."
"Kamu itu gimana sih Rud? Kamu anak lelaki satu-satunya Mama loh!"
"Lah, gimana dong. Rudi emang nggak ada duit. Minta aja sama mbak Leni, kan suaminya kaya. Atau minta pada calon suami Maya."
"Kan Mama udah bilang, kalau gaji calon suami Maya itu didepositokan selama dia kontrak 3 tahun di migas. Nggak bisa diambil. Bulan depan, seminggu sebelum pernikahan mereka, barulah suami Maya pulang ke darat."
Rudi mengerutkan keningnya. "Kok bisa sih ada orang yang gajinya didepositokan? Seumur-umur Rudi nggak pernah tahu deh kalau ada karyawan yang gajinya bisa didepositokan," tukas Rudi curiga.
Mamanya mendelik. "Itu buktinya ada. Kamu itu kok curiga terus sih. Kamu kan sudah kenalan sama calon adik ipar kamu. Terus sudah pernah video call dan pernah dikirimin video kapal tempat dia kerja kan? Masa kamu masih nuduh dia nipu?" tanya Mamanya.
Rudi hanya menghela nafas. "Ma, Rudi sungguh-sungguh. Selama ini Rudi terlalu sibuk dengan kerjaan dan rumah tangga Rudi sendiri. Jadi Rudi kurang perhatian pada rencana pernikahan Maya. Demi kebaikan, lebih baik rencana pernikahannya ditinjau ulang, Ma."
Mamanya mencubit lengan Rudi keras-keras.
"Aduh, mama ini apaan sih? Aku kan cuma memberikan masukan untuk mama dan Maya agar tidak menyesal. Lagipula kitakan belum pernah bertemu dengan lelaki itu dan keluarga nya secara langsung? Kok bisa setuju dengan acara pernikahan sih?" tanya Rudi lagi.
"Rudi! Cukup ya. Kalau kamu enggak mau membantu pernikahan adikmu, jangan sekali-kali membuat Maya sedih. Kamu kan tahu sendiri Maya cinta banget sama lelaki itu. Kamu juga sudah melihat walaupun hanya dari panggilan video wajah mempelai dan keluarganya.
Kamu jangan membuat Mama ragulah. Banyak kok kisah cinta nyata berawal dari dunia maya. Dan bisa bahagia selamanya. Kamu nggak usah iri nanti kalau Maya mendapatkan pasangan yang jauh lebih baik daripada modelan di Rani yang modal madul!" seru Mama Rudi marah.
Sekali lagi Rudi menghela nafas panjang dan mengelus dadanya. "Lalu rencana bulan depan itu gimana?"
"Seminggu sebelum acara, Tristan, calonnya akan pulang ke darat. Lalu H-1 mereka akan ke kota inu dan menginap di hotel, karena jarak Jawa barat dan Jawa timur yang jauh. Kemudian Tristan akan langsung melamar Maya dan besoknya mereka langsung melakukan akad nikah serta resepsi."
"Apa keluarga Tristan tidak memberikan atau mentransfer uang sedikitpun untuk keperluan pernikahan Maya?"
Mamanya menggeleng. "Kan uangnya sudah didepositokan. Jadi mereka akan langsung kemari dan memberikan mas kawin 250 juta. Nggak sangka sih kalau Maya bisa ketemu sama karyawan migas yang sebulan gajinya 20 juta. Tapi ...,"
"Tapi apa, Ma?"
"Tapi katanya dalam perjalanan dari kapal ke rumahnya di Jawa barat sana, uangnya nggak bisa cair langsung. Jadi mereka minjem 15 juta untuk persiapan hantaran. Baru deh mereka ganti uangnya sekalian mas kawin 250 juta kalau uangnya sudah cair."
Rudi tertawa sumbang.
"Mau dipikirkan seperti apapun aneh sekali masalah ini. Kalau aku jadi Maya, aku enggak akan mau nikah sama orang yang mencurigakan. Belum-belum kok sudah minjam uang. Lagipula kayaknya nggak ada deh pekerjaan yang gajinya didepositokan. Fix, itu nipu Ma!"
"Hah, sudahlah. Mama bosan dengan alasan kamu. Kalau kamu tidak mau meminjamkan uang ya sudah. Mama akan usaha sendiri," tukas Mama Rudi kesal.
Perempuan berusia 55 tahun itu berlalu dari rumah Rudi dengan rasa tak puas.
"Mas Rudi, mbak Rani nya mana sih? Dari kemarin tidak kelihatan?" tanya salah seorang tetangga mereka.
"Kemarin sih saya didatangi mas Rudi. Eh, coba kalian tebak dia tanya apa pada saya?" tanya Bu Marni.
Rudi memandangi tetangga-tetangganya yang sedang bergosip di warung depan rumahnya dengan kesal.
"Memangnya mas Rudi nanya apa Bu Marni?"
"Masa mas Rudi nanyain kemana mbak Rani. Kan aneh ya?! Masa suami nggak tahu kemana isterinya pergi sih?" tanya Marni semakin memanaskan suasana.
"Wah kalau istri pergi tanpa seijin suaminya, berarti namanya minggat dong?!"
"Makanya mas, kalau punya istri tuh dijaga. Jangan disia-siakan."
"Iya. Seharusnya kamu pulang kerja tepat waktu. Terus hari Minggu jangan ngelayap sendiri. Istrinya juga harus diajak."
"Kalau istrinya nggak ketemu, harusnya lapor polisi dong. Kayaknya malah tenang banget. Atau jangan-jangan mau cari istri lagi nih?"
Rudi yang sebenarnya ingin menyapu halaman rumahnya, meletakkan sapunya kembali.
"Heh, ibu-ibu! Jangan julid deh. Lebih baik ibu-ibu urusin dapurnya sendiri. Jangan nyari aib dan kesalahan orang lain. Nanti kalau rahasia keluarganya terbongkar, bisa malu sendiri!" tukas Rudi ketus seraya membanting pintu pagar rumahnya diiringi sorak sorai tetangganya.
**
"Apa seharusnya aku memang harus lapor ke polisi untuk mencari Rani ya?" gumam Rudi saat dia sedang memasak mie instan.
"Ah, tapi aku pasti malu kalau menunjukkan tentang surat yang diberikan oleh Rani," gumam Rudi galau sambil mengaduk mie yang ada di panci.
"Tapi kalau aku nggak lapor polisi, gimana caranya aku menemukan Rani? Lagipula kan aku harus mencari BPKB yang hilang dan pasti dibawa Rani," tukas Rudi dalam hati.
Mendadak terdengar suara ketok pintu yang agak keras. Rudi segera mematikan kompor nya dan menuju ke ruang tamu.
"Duh, siapa sih yang datang malam-malam? Ganggu orang mau makan aja," gerutu Rudi.
"Iya sebentar. Nggak sabaran amat," tukas lelaki itu lalu dengan cekatan membuka kunci pintu depan rumahnya. Dan seketika itu Rudi tercengang melihat siapa tamu yang datang malam-malam ke rumahnya.
"Uda? Kok nggak memberi kabar dulu kalau mau datang?" tanya Rudi kaget melihat kakak lelaki Rani sedang berdiri di depan rumahnya. Wajahnya tampak tak bersahabat.
Next?
"Uda? Kok nggak memberi kabar dulu kalau mau datang?" tanya Rudi kaget melihat kakak lelaki Rani sedang berdiri di depan rumahnya. Wajahnya tampak tak bersahabat. "Mana adikku?" tanya Aris langsung masuk ke dalam ruang tamu rumah Rudi. "Ran! Rani!" Aris memanggil-manggil adiknya dan beranjak menuju ruang tengah. Rudi segera berlari mengejar kakak iparnya."Tunggu, Da. Rani tidak ada di sini!"Aris menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menatap ke arah Rudi."Kalau Rani tidak ada di sini, kenapa kamu nggak nyari adikku? Kenapa kamu justru membiarkan Rani menghilang? Apa kamu sudah lapor polisi, hah?" tanya Aris sambil mencengkram kerah baju Rudi. Rudi merinding melihat tangan kanan Aris terkepal ke arahnya. Tapi dikuat-kuatkan hatinya lalu dia menatap ke arah kakak iparnya. "Uda, seharusnya bukan Uda yang marah. Tapi aku!" tukas Rudi. Matanya menatap tajam ke arah Aris. "Apa maksud kamu? Katakan?!""Uda duduk dulu. Akan kuambilkan kertas berisi pesan terakhir Rani," tuk
POV Rani Flash back on."Rani, semua sudah makan. Piringnya jangan lupa dicuci ya?" tukas ibu mertuaku. Aku yang sedang membaca novel online favoritku mau tidak mau harus berhenti dan menoleh pada Mas Rudi.Meskipun pintu kamar tertutup tapi suara mertuaku yang di dekat ruang makan seolah bisa menembus dinding kamar kami. "Mas.""Apa?" Aku memanggil mas Rudi tapi suami ku masih asyik dengan ponselnya."Mas!""Apa sih?" tanya Mas Rudi sambil tetap bermain dengan ponselnya. "Kenapa sih kok aku terus yang disuruh nyuci piring dan nyapu-nyapu? Apa mentang-mentang karena aku paling miskin di sini jadi aku bisa disuruh apa saja?"Mas Rudi meletakkan ponselnya dan menatapku."Sudahlah, jangan lebay. Mamaku berarti kan ibumu juga. Kamu sudah enggak punya ibu dari lama kan? Wajar kan kalau mamaku menyuruh anaknya, yaitu kamu untuk membantunya dalam urusan pekerjaan rumah?" tanya mas Ardi membuatku tercengang. Dia selalu mempunyai alasan untuk memojokkanku atau membenarkan tindakannya dan
Flash back On :Aku mendelik. "Kamu boleh melupakan aku. Tapi kamu pasti tidak akan melupakan sapu tangan ini kan?""Bagaimana ini bisa ada padamu? Bukankah sapu tangan ini kuberikan pada ..,""Widuri. Teman sepermainan kamu saat masih SMP.""Mas Agus, kok bisa kenal Widuri?" tanyaku bingung. Mas Agus tertawa lalu menggembungkan pipinya dan melingkarkan jempol dan telunjuknya ke mata, seakan menjadi sebuah kacamata.Aku mendelik. "Mas Donat? Mas Agus itu mas Donat?" tanyaku kaget. Mas Agus tertawa. "Ya, nama lengkapku Agus Doni Kurniawan."Aku melongo tak henti-hentinya takjub pada metamorfosis mas Agus, dari gemuk menjadi kurus. "Aku rindu padamu, Ran," tukas mas Agus hampir memelukku.Dengan cepat aku menahan dadanya yang hendak menarikku ke dalam pelukannya. "Maaf Mas, kamu sudah punya istri. Aku nggak ingin ada fitnah di sini."Mas Agus terlihat kecewa dan menurunkan tangannya. "Apa kabar Widuri, Mas? Sejak pindah ke ibu kota, kami tidak pernah berkontak lagi.""Widuri sehat
*Terkadang ada sebuah nama yang tertulis di hati, tapi tidak tertulis di buku nikah.***"Apa?! Kamu minta berpisah? Aku enggak mau!""Kenapa?" "Kok tanya kenapa? Karena aku mencintai kamu lah!"Rani tersenyum kecut. "Mencintai? Tapi kamu jelas memanfaatkanku, Mas. Kamu tidak usah mengelak lagi. Aku sudah muak dengan semua yang dianggap wajar olehmu dan keluargamu!"Rudi segera turun dari motornya dan mendekati Rani. Wajahnya tampak memelas."Oke, kalau kamu tidak mau pulang. Kita bicara di sini. Setidaknya pinggirkan dulu motor kamu agar kita tidak menghalangi orang lewat."Beberapa pengguna jalan memperhatikan mereka. Karena jalan yang mereka lalui masih dalam area pasar, mau tidak mau banyak mata yang melihat percekcokan suami istri itu.Rani pun hanya menghela nafas dan akhirnya meminggirkan motornya."Tolong berikan aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku mencintaimu. Aku akan membahagiakan kamu dengan cara apapun," tukas Rudi sambil mendekat pada Rani. Perempuan itu menatap
Rudi dan Rani serentak menoleh ke sumber suara. "Mama?!"Mama Rudi menyeringai dan masuk ke dalam rumah. "Kamu benar-benar istri durhaka, Ran!" tunjuk mertuanya.Rani melirik tajam pada mertuanya. "Maaf, Ma. Kalau dulu mungkin Rani akan manut-manut saja. Tapi saat ini Rani tidak akan pasrah begitu saja. Rani akan membenahi apapun yang Rani pikir tidak adil," tukas Rani membuat mertuanya mendelik. "Kamu berani sekali ya sekarang?! Pantas dari dulu Mama sudah tidak sreg dengan kamu. Ternyata kamu memang bukan istri yang baik untuk Agus. Mama benar-benar kecewa dengan kamu, Ran!" sembur Mama. Tangan Rani terkepal. Ingin marah tapi ditahannya sekuat tenaga karena dia sadar bahwa dia berhadapan dengan orang yang lebih tua.Rani menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kesabaran. "Ma, apa Mama pikir Mama saja yang menyesal. Saya juga menyesal.""Apa kamu bilang? Kamu benar-benar istri yang tidak berbakti. Nggak tahu malu! Istri yang tahunya cuma makan dan tidur saja dan nggak perlu
"Len, duduk! Itu bukan salah Rani. Aku hanya ingin kamu hamil. Apa itu salah? Atau begini saja, bagaimana kalau Rani saja yang jadi istriku?" tanya Agus dengan wajah serius. "Mas, kamu jangan suka bercanda. Ini sama sekali tidak lucu. Lagipula, apa katamu, Mas? Kamu mau meninggalkanku demi bersama Rani? Mas Agus sudah nggak waras atau kamu kesurupan?" tanya Leni dengan pandangan mengejek terhadap adik iparnya. "Mas Agus, jangan ngeprank kami dong. Kami tahu kalau mas Agus akhir-akhir ini sering membuat video di YouTube tentang kiat-kiat sukses menjadi pengusaha. Tapi nggak bikin acara tentang prank kan?" ujar Maya seraya tertawa. "Iya nih Gus, kalau kamu memang ingin mengejutkan kami, jangan seperti ini caranya. Kamu kan bisa mengejutkan kami dengan mendadak membelikan rumah, mobil, atau sekalian penthouse tanpa kami tahu. Jangan bikin panik dengan prank kamu deh?!" sahut Mama Rudi sambil menatap wajah menantunya itu. "Mas, kamu pasti ngomong kayak gini karena kamu cuma ingin aku
Sontak wajah mertua Rani memucat. "Aduh mama lupa kalau sekarang waktunya membayar hutang setelah Mama pinjam bank keliling sebanyak 20 juta untuk dikirim ke calon suami kamu, May!" seru Mama Maya. "Apa? Ada-ada saja Mama ini. Bukankah sudah Maya bilang untuk menggadaikan sertifikat rumah ini saja?" tanya Maya kesal. Mamanya mendelik. "Kok kamu nyalahin Mama sih? Kan kamu yang nyuruh Mama nyari uang untuk suami kamu. Lagipula kalau sertifikat rumah apalagi segede gini, bisanya untuk jaminan pinjaman di atas lima puluh juta di bank, May. Jadi ya Mama kemarin terpaksa pinjam ke renternir.""Berapa cicilan perbulannya, Ma?" tanya Maya. "Perbulan Mama lima juta. Mama minta waktu untuk melunasi semuanya dalam waktu 3 bulan.""Astaga! Bunganya banyak amat sih, Ma? Dari dua puluh juta menjadi dua puluh lima juta? Bunganya lima juta sendiri dalam waktu tiga bulan!"Mamanya mendelik mendengar perkataan Maya. "Lalu Mama harus gimana? Mama kan nggak punya tabungan sebanyak 20 juta. Nggak bis
Flash back on.Maya menatap ponselnya dengan berbunga-bunga. Akhirnya pangerannya telah datang. Pangeran yang datang melalui DM dari akun sosial instagramnya yang kemudian berlanjut pada pesan whatsapp. [Terima kasih sudah memberikanku nomor Hp. Salam kenal ya Mbak.]Maya segera mengetikkan pesan balasan. [Sama-sama. Mas Kelvin kerja dimana?][Di pengeboran minyak lepas pantai daerah Kalimantan.]Mata Maya terbelalak. 'Wah, sudah tampan, eh mapan pula.][Wah, keren. Boleh lihat fotonya?]Tak lama kemudian lelaki bernama Kelvin itu mengirimkan video bangunan dengan mesin-mesin yang beroperasi di tengah laut lepas. Maya melongo. Bayangan untuk mendekati Kelvin seketika muncul di pikirannya. [Wah, luar biasa. Kok dalam video itu nggak ada mas Kelvinnya sih? Aku kan penasaran.][Hahaha, iya kapan-kapan aku kirimin video yang ada akunya.] [Ehm, Mas Kelvin, boleh video call nggak?][Jangan sekarang ya May, aku sedang agak sibuk. Sebagai gantinya aku kirimin fotoku saja ya.][Mas bekerj
Rani baru saja pulang dari kuliah dan melihat tivi sejenak, tapi tak lama kemudian dia tercengang. Sebuah kebakaran rumah yang dulu sangat dikenalnya terpampang dalam berita itu. Perempuan itu menelan ludah. 'Kebakaran itu berlangsung semalam. Berarti kejadiannya setelah pulang dari pernikahan Mas Agus,' batin Rani. Dan kamera tivi mengekspos wajah tiga bersaudara yang dulu pernah membuat hatinya sangat terluka."Kini aku sudah puas dengan apa yang terjadi pada kalian. Bukankah kehilangan itu sakit rasanya?" tanya Rani dengan tersenyum puas. *Rudi, Leni dan Maya menerima amplop dari beberapa tetangga dan bantuan dari pemerintah daerah dengan perasaan campur aduk. Selama tiga hari ini mereka tinggal di kos sederhana di dekat rumah yang terbakar itu. Mereka berjanji pada pemilik kos untuk membayar tepat waktu dengan uang yang didapat dari bantuan tetangga. Dan beberapa wartawan tivi mencarinya lalu menanyakan penyebab kebakaran di rumahnya. Walaupun sangat sedih, tapi Rudi menc
Rudi, Maya dan Leni terkejut mendengar penuturan Agus. "Mas, mbak Leni itu jauh seribu kali lipat daripada Nilam. Kok mau-maunya sih kamu menikah dengan Nilam. Dia itu mantan sugar baby lho. Anak dalam perutnya itu bukan anakku. Pasti anak haram, Mas. Sadar Mas Agus!" seru Rudi berapi-api. Agus hanya tersenyum. "Betul, kalau Nilam dulu memang sugar baby. Dia mengakui nya dan ingin bertobat. Selama ini dia menjadi lebih baik. Dan aku saksinya. Dia menjadi lebih terhormat. Lalu apa kamu yakin kalau Mbakmu lebih baik dari Nilam? Aku tidak ingin menjelekkan mantan istri. Tapi hatiku merasakan lebih nyaman saat bersama Nilam daripada bersama Leni. Dan yang terakhir, tidak ada yang namanya anak haram. Yang ada hanyalah perbuatan kedua orang tuanya yang haram. Semua anak sejak lahir dalam kondisi suci."Agus tersenyum lalu meletakkan undangan pernikahannya di atas meja tempat jualan milik ketiga bersaudara itu. Leni menatap tajam ke arah Agus. "Jadi kamu hanya bisa pamer seperti ini, Ma
🌹Kamu tahu enggak apa bedanya kamu dan hantu?Kalau hantu datang dan perginya nakutin, kalau kamu datang dan perginya nyakitin. *Pov Rudi Hari Sabtu pagi, dengan berbekal SIM C yang kebetulan kutinggal karena aku hanya membawa SIM B, aku bergegas ke polsek terdekat dan melaporkan tentang kehilanganku. Aku sedikit lega karena sudah mengantongi surat kehilangan dan polisi juga berjanji akan melacaknya. Hanya aku tidak bisa mengurus ke bank langsung, karena menunggu hari Senin dua hari lagi. Lagipula aku lupa nomor rekeningku kalau mau telepon CS. Selama dua hari itu, rasanya hidup segan mati tak mau. Aku benar-benar merasa tercekik dan seolah-olah akan ma ti esok hari. Ponselku yang ikutan hilang tidak bisa digunakan untuk mentransfer saldo ke rekening Maya ataupun mbak Leni.Ibarat kanker, sungguh aku sudah mengidap kanker stadium empat. Serba salah dan serba repot. "Mas, besok sudah hari Senin. Kamu seharusnya mulai mengurus kartu ATM dan buku tabungan kamu." Terdengar suara
🌹 Salah beli baju, bisa menyesal sehari. Salah potong rambut bisa menyesal seminggu. Salah memilih suami, bisa menyesal seumur hidup. **Flash back on. PV Rani"Ini bayaran kamu. Kerja bagus telah membuat Maya dipecat." Aku tersenyum puas pada sepasang suami istri yang terlihat glamor itu. Tak lupa kuulurkan amplop berisi sisa uang pembayaran. Suami istri di depanku melihat isi amplop coklat yang diberikan padaku dengan mata berbinar. "Terimakasih banyak, mbak Rani." Sang istri menerima amplop itu. "Jaga rahasia kita, Bu. Saya tidak mau ada keributan setelah ini.""Jangan khawatir, mbak. Kami profesional kok. Kami memang benar-benar membutuhkan uang ini untuk pengobatan anak kami."Suaminya lalu mengulurkan paper bag yang sedari tadi ada di pangkuannya. "Ini mbak, baju yang mbak belikan untuk kami. Kostum saat makan di restoran kemarin. Saya kembalikan pada Mbak. Saya kira, harganya pasti mahal."Lelaki itu lalu memberikan paper bag yang dipegangnya padaku. Aku mendesah. Kala
🌹 Aku memang manusia biasa. Tapi percayalah, cintaku untukmu itu luar biasa. **Pov Rani. Dering telepon membangunkanku dari tidur. Tanpa melihat nama penelepon, aku menekan layar hijau. "Halo.""Hei, pembunuh! Kamu sudah puas dengan apa yang terjadi?" Bukannya menjawab dengan baik, suara diseberang telepon terdengar nyolot. "Ini siapa sih?" tanyaku masih dengan rasa mengantuk. "Semudah itu kamu melupakan aku? Bagus ya? Lagipula aku juga tidak butuh untuk kamu inget lagi. Karena kamu lah yang membuat kondisi keluarga ku bangkrut dan mama harus kehilangan nyawa."Seketika rasa kantukku menghilang. Ini jelas suara Maya. "Mama mu meningga?" tanyaku. Tak munafik aku merasakan dua macam rasa. Senang dan prihatin dalam waktu yang bersamaan. "Sudah puas kamu membuat apes aku dan keluargaku?"Aku mengerutkan dahi. "Kamu," sahutku dingin. "Sudah puas kamu kalau anakku meninggal karena perbuatan ayah kandungnya sendiri?" "Apa maksud kamu?" tanya Maya. "Kamu jangan play victim."Aku t
🌹Aku mencintaimu seperti salat tarawih. Bukan siapa yang datang di awal, tapi siapa yang bertahan di akhir.**Rani melihat layar ponsel dengan puas. "Apa kamu sudah puas?" tanya Rudi saat melihat ekspresi wajah mantan istrinya. Rani hanya terdiam dan melihat wajah Rudi serta Maya dalam diam. "Jangan lupa, Mbak. Kamu harus menepati janji untuk mencabut laporan ke polisi."Rani tersenyum. "Tentu saja. Jangan khawatir. Aku bukan tipe orang yang suka mengingkari janji," sindir Rani. Rudi hanya mendengus kesal. "May, ayo kita pulang saja. Urusan kita sama dia sudah selesai.""Iya, Mas."Rudi dan Maya berdiri lalu tanpa berpamitan, mereka berlalu dari hadapan Rani. Rani menekan nomor telepon Nilam, dan tak lama kemudian langsung tersambung dengan sang empunya. "Halo, Nilam.""Ada apa, Ran?""Aku minta nomor rekening kamu dong.""Untuk apa?" Nada suara Nilam terdengar bingung. "Mas Rudi baru saja kesini dengan Maya. Tapi sekarang mereka sudah pulang.""Hah? Ke kos kamu? Ngapain? Apa
Rudi mendelik saat merasakan mamanya tidak lagi bernafas. "May, mama May!" seru Rudi panik."Kita bawa ke rumah sakit sekarang!""Tapi duitnya?""Duit kamu gadai sertifikat rumah kan masih ada?""Itu untuk usaha karena saat ini aku kan di PHK, May!""Jangan gila, Mas. Kamu mau mementingkan duit daripada Mama?""Ck, oke!""Bawa mobil mbak Leni saja!"Mendadak Rudi tersenyum saat teringat bahwa Leni masih mempunyai mobil. "Oke. Aku gendong mama dan kamu ambilkan kunci mobil ya?!"**"Ada masalah pada jantungnya. Pasien sempat mengalami apneu*. Untung cepat dibawa ke sini. Apa pasien jarang olahraga dan makannya selalu tinggi kolesterol?"Maya dan Rudi berpandangan. "I-iya, Dok. Mama suka santan dan jerohan ayam."Dokter di hadapan Maya dan Rudi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pasien harus dirawat di ruang ICU dan melihat perkembangannya.""Ba-baik, Dok."Rudi dan Maya berjalan dengan gontai di koridor rumah sakit. "Mas, apa yang harus kita lakukan? Mama nggak pernah ikut
Flash back on. Rani merenggangkan otot tubuhnya saat baru saja menyiapkan peralatan massagesnya di spa khusus perempuan. Dia memang mengambil mata kuliah khusus tata rias dan massages spa serta bekerja part time dalam bidang yang sama pula. Klinting. Suara denting lonceng berbunyi dan masuklah seorang perempuan setengah baya. "Silakan masuk. Ingin treatment apa?" tanya Rani ramah. Lalu beberapa saat kemudian, baik Rani maupun calon pelanggannya saling berpandangan. "Bu Dewi kan?""Lha kamu Rani kan?""Apa kabar, Ran? Kamu tambah cantik sekarang. Ya Tuhan, glowing!"Rani tersenyum. "Apa kabar, Bu? Kok di Malang? Sedang ada acara di kota ini?" tanya Rani pada tetangganya Rudi itu. "Iya. Aku sedang mengunjungi anak. Eh, sama anakku dibawa ke salon dan spa. Katanya di sini pelayanan bagus dan harga miring," tukas Dewi sambil mengulurkan nota pemilihan treatment. "Iya Bu. Bisa dicoba." Rani tersenyum dan membaca pilihan layanan treatmen lalu mulai menyiapkan peralatan. "Silakan k
🌹 Kadang orang jahat itu berawal dari orang baik yang tersakiti. **Flash back on."Ada apa lagi, Ran? Bukankah kamu sudah bertekad untuk tidak mau menerima lamaranku?""Ya Mas. Sekali lagi aku minta maaf.""Katakan saja apa yang ada di hatimu dan jangan buang-buang waktu!""Baik. Aku cuma ingin bertanya pada Mas Agus, apa mas tidak merasa sakit hati pada perbuatan mbak Leni yang dengan semena-mena mempermalukan orang tua mas Agus saat acara perayaan ulang tahun pernikahan?""Memang ada apa? Apa ada urusannya denganmu?""Mas Agus, kumohon. Jangan dendam seperti ini. Aku tahu mungkin mas Agus masih sakit hati karena aku tidak bisa menerima perasaanmu, tapi tak bisakah mas juga memperlakukanku sebagai adik seperti Mas memperlakukan Widuri?" tanya Rani dengan tatapan memohon. "Aku yakin dengan apa yang mas miliki sekarang, mas pasti akan mendapatkan pengganti yang lebih baik dariku. Aku mohon, Mas. Maafkan aku. Aku ingin kita bekerja sama."Mau tak mau Agus menjadi iba. "Sebenarnya a