"Uda? Kok nggak memberi kabar dulu kalau mau datang?" tanya Rudi kaget melihat kakak lelaki Rani sedang berdiri di depan rumahnya. Wajahnya tampak tak bersahabat.
"Mana adikku?" tanya Aris langsung masuk ke dalam ruang tamu rumah Rudi.
"Ran! Rani!"
Aris memanggil-manggil adiknya dan beranjak menuju ruang tengah. Rudi segera berlari mengejar kakak iparnya.
"Tunggu, Da. Rani tidak ada di sini!"
Aris menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menatap ke arah Rudi.
"Kalau Rani tidak ada di sini, kenapa kamu nggak nyari adikku? Kenapa kamu justru membiarkan Rani menghilang? Apa kamu sudah lapor polisi, hah?" tanya Aris sambil mencengkram kerah baju Rudi.
Rudi merinding melihat tangan kanan Aris terkepal ke arahnya. Tapi dikuat-kuatkan hatinya lalu dia menatap ke arah kakak iparnya.
"Uda, seharusnya bukan Uda yang marah. Tapi aku!" tukas Rudi. Matanya menatap tajam ke arah Aris.
"Apa maksud kamu? Katakan?!"
"Uda duduk dulu. Akan kuambilkan kertas berisi pesan terakhir Rani," tukas Rudi berlalu dari ruang tamu menuju kamarnya.
"Ini."
Rudi memberikan secarik kertas yang hampir lusuh yang karena terlalu sering dibacanya.
Aris membuka lipatan kertas itu dan membacanya. Sementara itu Rudi menunggu dengan dada berdebar kencang. Sambil melihat reaksi kakak iparnya, disusunnya kalimat yang pas untuk membela diri.
Setelah membaca surat itu, Aris mendelik pada Rudi.
"Tulisannya memang tulisan Rani. Tapi kenapa ada masalah utang? Utang apa ini? Bisa-bisanya kamu berhutang tapi Rani yang kena getahnya?"
"Itu hutang Rani, Mas. Saat aku kesulitan uang, Rani yang memutuskan berhutang dan justru menyalahkan aku dengan menganggap bahwa hutang yang dimilikinya disebabkan oleh kondisi ku yang tidak mampu menafkahinya sehingga dia menganggap kalau hutangnya adalah hutangku," tukas Rudi berbohong.
Aris menggeleng cepat. "Aku tidak percaya. Aku mengenal adikku. Rani adalah tipe orang yang tidak mungkin berhutang jika tidak terpaksa banget. Lagipula kalau dia butuh uang, dia bisa saja bilang padaku daripada berhutang pada bank Emok atau siapalah itu."
Rudi mendelik.
"Jadi Uda nuduh aku yang berhutang dan mengkambinghitamkan pada Rani, gitu? Asal Mas tahu ya, Rani itu boros. Seluruh gaji yang kuberikan pada Rani selalu habis. Itupun masih hutang pada bank Emok. Dan sekarang dia malah memilih minggat dengan petugas bank Emok agar tidak bayar hutang!"
"Aku tidak percaya kalau Rani minggat dengan pegawai bank Emok. Sekarang dimana kantor atau rumah karyawan banknya? Biar aku yang kesana dan memastikan sendiri kemana Rani pergi jika kamu tidak bernyali!"
Rudi tercengang mendengarkan perkataan Aris.
"Mana kutahu, Da. Aku kan tidak pernah ada urusan dengan bank Emok atau debt kolektor jenis lain. Jangan tanya aku dong! Lagipula nomor Rani juga jelas-jelas tidak bisa dihubungi. Jadi mana aku tahu dia dimana?!"
Aris berpikir sejenak. "Apa kamu sudah melaporkannya ke polisi? Apa kamu sudah mencoba memaksimalkan cara agar kamu bisa menemukan Rani?! Bilang sama aku, Rud!"
Rudi tampak kesulitan untuk menjawab pertanyaan Aris.
"Kalau kamu diam saja, sekarang aku yakin, kalau hubungan kamu dengan Rani sedang tidak baik-baik saja. Aku akan mencari Rani dengan tanganku sendiri. Karena aku takut terjadi hal-hal yang tidak baik padanya. Dan kamu juga tidak mau bertindak tegas dalam pencarian.
Tapi ingat satu hal, kalau Rani sudah ketemu dan ternyata kamu yang membuatnya minggat, aku sungguh tidak akan memaafkan kamu. Kalau perlu ceraikan Rani. Setelah ayah kami meninggal, aku mati-matian bekerja membantu Ibu agar bisa menyekolahkan Rani. Tapi setelah adikku gede, kamu justru membuatnya nelangsa dan terlunta-lunta? Awas saja kamu!"
Rudi hanya bisa menelan ludah saat melihat kakak lelaki Rani satu-satunya keluar dari rumahnya.
"Duh, si Rani bikin masalah aja. Benar-benar istri yang nggak berbakti!" gumam Rudi kesal.
**
"Mas Rudi, sendirian saja?" tanya Dewi mendekati Rudi yang sedang menikmati makan siangnya.
Rudi mendongak dan tampaklah janda bohay itu tersenyum dan duduk di samping Rudi.
Disentuhkannya ujung sepatunya pada ujung sepatu Rudi.
Rudi menatap wajah Dewi, lalu tersenyum sekaligus mengernyit.
"Ada apa, Wi? Ini di kantor lho."
"Emang kenapa kalau di kantor? Aku cuma ingin ngobrol sama kamu, Mas." Dewi semakin berani dan mulai menyentuh lutut Rudi di bawah meja.
"Kamu jangan seperti ini di sini," tukas Rudi menahan rasa geli.
"Aku butuh duit, Mas. Anakku sakit," tukas Dewi akhirnya.
Rudi menelan ludah. Ingin menolong tapi dompetnya sedang kosong.
"Aku enggak bisa membantu," tukas Rudi langsung.
"Kenapa?" tanya Dewi terlihat kecewa. "Mas kan tidak pernah menolak permintaanku sebelumnya."
"Aku nggak ada duit. Ada masalah keluarga," tukas Rudi akhirnya.
"Kenapa? Istri kamu tahu tentang kita?" tebak Dewi.
Rudi menggeleng. "Istriku ilang."
Dewi mendelik. "Lah kok bisa ilang?"
Rudi mengedikkan bahu. "Sudahlah. Aku ingin sendiri, Wi."
Dewipun hanya bisa menghela nafas panjang sebelum meninggalkan meja Rudi.
"Kamu lemes banget. Kenapa sih?" tanya Toni mendekati Rudi.
Rudi menatap Toni. "Aku butuh advis. Dan kupikir kamulah orang yang cocok untuk memberikanku saran."
"Oke. Tapi aku beli makan dulu," tukas Toni sambil berjalan ke arah meja berisi menu kantin dan memesan makanan.
"Tumben makan di kantin? Kemana istri kamu?" tanya Rudi kepo begitu Toni duduk di hadapannya dengan membawa semangkok soto ayam.
"Istriku lagi dapet. Mens. Biasa cewek. Mendadak capek masak, kata istriku tadi pagi."
Rudi melongo. "Emang bisa ya seperti itu? Sepengetahuanku mamaku dulu selalu memasak. Nggak pernah libur kecuali sakit parah. Istriku juga seperti itu. Selalu masak. Yah walaupun cuma bayem dan kelor," tukas Rudi heran.
Toni tertawa. "Rudi, Rudi! Kamu ini aneh!"
"Anehnya gimana?"
"Kamu itu nikah, niatnya untuk apa? Cari istri? Cari tukang cuci baju, cari tukang masak, atau nyari tukang bersih-bersih rumah?"
"Ya cari istrilah."
"Tapi kenapa istri kamu melakukan semua pekerjaan rumah tangga seperti tak ada ubahnya dengan asisten rumah tangga?"
"Tapi kan istri memang tugasnya ngurusin pekerjaan rumah?" tanya Rudi.
"Sekarang jawab pertanyaanku, apa tugas seorang suami?"
"Mencari nafkah," sahut Rudi yakin.
"Kurang lengkap. Tugas suami itu memberikan nafkah lahir dan batin. Nafkah lahir itu termasuk menyediakan sandang, pangan.
Dan istri hanya tinggal memakai saja. Sehingga mencuci dan menyetrika, sekaligus memasak itu tugas suami."
Rudi mendelik. "Eh, enak saja. Yo aku kecapekanlah. Udah cari uang kok disuruh jadi babu di rumah sendiri. Terus tugas istri apaan kalau suami yang mengerjakan semua tugas rumah tangga?" tanya Rudi tak terima.
"Belum dicoba kok bilang nggak terima. Aku sebelum kerja masih sempat kok nyapu, istriku masak. Tugas istri itu patuh pada suami dan sebagai madrasah pertama bagi anaknya.
Sehingga masak, nyapu, dan seluruh pekerjaan rumah tangga itu bukan tanggung jawab istri. Kalaupun istri melakukannya, maka berterima kasihlah dan bantu. Kalau istrimu capek dan jenuh, ya tinggal laundry atau beli masakan di luar, atau sewa pembantu. Yang penting istri kamu patuh, memenuhi kebutuhan biologis kamu, dan bisa sabar mengurus anak-anak."
Rudi hanya menatap Toni dengan wajah kesal. "Ah, aku udah makannya. Nggak jadi minta saran."
Rudi beranjak dari hadapan Toni. "Katanya mau curhat?"
"Nggak jadi. Nanti aku cari aja istriku ke kantor polisi."
Toni tersenyum. "Semoga istri kamu cepat ketemu dan semoga cepat mendapatkan solusi untuk semua masalah kamu. Kadang suami itu perlu instrospeksi saat istri tidak menurut, Rud. Ingat, istri itu tulang rusuk yang bengkok. Kamu harus hati-hati untuk membimbingnya," tukas Toni namun percuma saja karena Rudi sudah pergi menjauh.
***
"Ck, enak semua kok menjadi tugas suami sih. Aku kan capek! Toni bikin kesal. Rani juga pergi kemana sampai sekarang nggak pulang. Mana bawa BPKB!" gerutu Rudi panjang pendek.
"Terpaksa deh, hari ini aku harus ke kantor polisi buat bikin laporan orang ilang. Dasar istri merepotkan!"
Rudi hampir membelokkan motornya ke halaman kantor Polsek, saat matanya menangkap sosok sang istri sedang naik motor keluar dari warung.
"Astaga! Itu jelas Rani! Akhirnya ketemu juga!"
"Rani!"
"Rani!"
Sosok yang dipanggil menoleh, dan sosok itu terkejut.
"Rani, tunggu!"
Rudi pun mengejar motor Rani yang mulai berlalu.
Next?
POV Rani Flash back on."Rani, semua sudah makan. Piringnya jangan lupa dicuci ya?" tukas ibu mertuaku. Aku yang sedang membaca novel online favoritku mau tidak mau harus berhenti dan menoleh pada Mas Rudi.Meskipun pintu kamar tertutup tapi suara mertuaku yang di dekat ruang makan seolah bisa menembus dinding kamar kami. "Mas.""Apa?" Aku memanggil mas Rudi tapi suami ku masih asyik dengan ponselnya."Mas!""Apa sih?" tanya Mas Rudi sambil tetap bermain dengan ponselnya. "Kenapa sih kok aku terus yang disuruh nyuci piring dan nyapu-nyapu? Apa mentang-mentang karena aku paling miskin di sini jadi aku bisa disuruh apa saja?"Mas Rudi meletakkan ponselnya dan menatapku."Sudahlah, jangan lebay. Mamaku berarti kan ibumu juga. Kamu sudah enggak punya ibu dari lama kan? Wajar kan kalau mamaku menyuruh anaknya, yaitu kamu untuk membantunya dalam urusan pekerjaan rumah?" tanya mas Ardi membuatku tercengang. Dia selalu mempunyai alasan untuk memojokkanku atau membenarkan tindakannya dan
Flash back On :Aku mendelik. "Kamu boleh melupakan aku. Tapi kamu pasti tidak akan melupakan sapu tangan ini kan?""Bagaimana ini bisa ada padamu? Bukankah sapu tangan ini kuberikan pada ..,""Widuri. Teman sepermainan kamu saat masih SMP.""Mas Agus, kok bisa kenal Widuri?" tanyaku bingung. Mas Agus tertawa lalu menggembungkan pipinya dan melingkarkan jempol dan telunjuknya ke mata, seakan menjadi sebuah kacamata.Aku mendelik. "Mas Donat? Mas Agus itu mas Donat?" tanyaku kaget. Mas Agus tertawa. "Ya, nama lengkapku Agus Doni Kurniawan."Aku melongo tak henti-hentinya takjub pada metamorfosis mas Agus, dari gemuk menjadi kurus. "Aku rindu padamu, Ran," tukas mas Agus hampir memelukku.Dengan cepat aku menahan dadanya yang hendak menarikku ke dalam pelukannya. "Maaf Mas, kamu sudah punya istri. Aku nggak ingin ada fitnah di sini."Mas Agus terlihat kecewa dan menurunkan tangannya. "Apa kabar Widuri, Mas? Sejak pindah ke ibu kota, kami tidak pernah berkontak lagi.""Widuri sehat
*Terkadang ada sebuah nama yang tertulis di hati, tapi tidak tertulis di buku nikah.***"Apa?! Kamu minta berpisah? Aku enggak mau!""Kenapa?" "Kok tanya kenapa? Karena aku mencintai kamu lah!"Rani tersenyum kecut. "Mencintai? Tapi kamu jelas memanfaatkanku, Mas. Kamu tidak usah mengelak lagi. Aku sudah muak dengan semua yang dianggap wajar olehmu dan keluargamu!"Rudi segera turun dari motornya dan mendekati Rani. Wajahnya tampak memelas."Oke, kalau kamu tidak mau pulang. Kita bicara di sini. Setidaknya pinggirkan dulu motor kamu agar kita tidak menghalangi orang lewat."Beberapa pengguna jalan memperhatikan mereka. Karena jalan yang mereka lalui masih dalam area pasar, mau tidak mau banyak mata yang melihat percekcokan suami istri itu.Rani pun hanya menghela nafas dan akhirnya meminggirkan motornya."Tolong berikan aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku mencintaimu. Aku akan membahagiakan kamu dengan cara apapun," tukas Rudi sambil mendekat pada Rani. Perempuan itu menatap
Rudi dan Rani serentak menoleh ke sumber suara. "Mama?!"Mama Rudi menyeringai dan masuk ke dalam rumah. "Kamu benar-benar istri durhaka, Ran!" tunjuk mertuanya.Rani melirik tajam pada mertuanya. "Maaf, Ma. Kalau dulu mungkin Rani akan manut-manut saja. Tapi saat ini Rani tidak akan pasrah begitu saja. Rani akan membenahi apapun yang Rani pikir tidak adil," tukas Rani membuat mertuanya mendelik. "Kamu berani sekali ya sekarang?! Pantas dari dulu Mama sudah tidak sreg dengan kamu. Ternyata kamu memang bukan istri yang baik untuk Agus. Mama benar-benar kecewa dengan kamu, Ran!" sembur Mama. Tangan Rani terkepal. Ingin marah tapi ditahannya sekuat tenaga karena dia sadar bahwa dia berhadapan dengan orang yang lebih tua.Rani menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kesabaran. "Ma, apa Mama pikir Mama saja yang menyesal. Saya juga menyesal.""Apa kamu bilang? Kamu benar-benar istri yang tidak berbakti. Nggak tahu malu! Istri yang tahunya cuma makan dan tidur saja dan nggak perlu
"Len, duduk! Itu bukan salah Rani. Aku hanya ingin kamu hamil. Apa itu salah? Atau begini saja, bagaimana kalau Rani saja yang jadi istriku?" tanya Agus dengan wajah serius. "Mas, kamu jangan suka bercanda. Ini sama sekali tidak lucu. Lagipula, apa katamu, Mas? Kamu mau meninggalkanku demi bersama Rani? Mas Agus sudah nggak waras atau kamu kesurupan?" tanya Leni dengan pandangan mengejek terhadap adik iparnya. "Mas Agus, jangan ngeprank kami dong. Kami tahu kalau mas Agus akhir-akhir ini sering membuat video di YouTube tentang kiat-kiat sukses menjadi pengusaha. Tapi nggak bikin acara tentang prank kan?" ujar Maya seraya tertawa. "Iya nih Gus, kalau kamu memang ingin mengejutkan kami, jangan seperti ini caranya. Kamu kan bisa mengejutkan kami dengan mendadak membelikan rumah, mobil, atau sekalian penthouse tanpa kami tahu. Jangan bikin panik dengan prank kamu deh?!" sahut Mama Rudi sambil menatap wajah menantunya itu. "Mas, kamu pasti ngomong kayak gini karena kamu cuma ingin aku
Sontak wajah mertua Rani memucat. "Aduh mama lupa kalau sekarang waktunya membayar hutang setelah Mama pinjam bank keliling sebanyak 20 juta untuk dikirim ke calon suami kamu, May!" seru Mama Maya. "Apa? Ada-ada saja Mama ini. Bukankah sudah Maya bilang untuk menggadaikan sertifikat rumah ini saja?" tanya Maya kesal. Mamanya mendelik. "Kok kamu nyalahin Mama sih? Kan kamu yang nyuruh Mama nyari uang untuk suami kamu. Lagipula kalau sertifikat rumah apalagi segede gini, bisanya untuk jaminan pinjaman di atas lima puluh juta di bank, May. Jadi ya Mama kemarin terpaksa pinjam ke renternir.""Berapa cicilan perbulannya, Ma?" tanya Maya. "Perbulan Mama lima juta. Mama minta waktu untuk melunasi semuanya dalam waktu 3 bulan.""Astaga! Bunganya banyak amat sih, Ma? Dari dua puluh juta menjadi dua puluh lima juta? Bunganya lima juta sendiri dalam waktu tiga bulan!"Mamanya mendelik mendengar perkataan Maya. "Lalu Mama harus gimana? Mama kan nggak punya tabungan sebanyak 20 juta. Nggak bis
Flash back on.Maya menatap ponselnya dengan berbunga-bunga. Akhirnya pangerannya telah datang. Pangeran yang datang melalui DM dari akun sosial instagramnya yang kemudian berlanjut pada pesan whatsapp. [Terima kasih sudah memberikanku nomor Hp. Salam kenal ya Mbak.]Maya segera mengetikkan pesan balasan. [Sama-sama. Mas Kelvin kerja dimana?][Di pengeboran minyak lepas pantai daerah Kalimantan.]Mata Maya terbelalak. 'Wah, sudah tampan, eh mapan pula.][Wah, keren. Boleh lihat fotonya?]Tak lama kemudian lelaki bernama Kelvin itu mengirimkan video bangunan dengan mesin-mesin yang beroperasi di tengah laut lepas. Maya melongo. Bayangan untuk mendekati Kelvin seketika muncul di pikirannya. [Wah, luar biasa. Kok dalam video itu nggak ada mas Kelvinnya sih? Aku kan penasaran.][Hahaha, iya kapan-kapan aku kirimin video yang ada akunya.] [Ehm, Mas Kelvin, boleh video call nggak?][Jangan sekarang ya May, aku sedang agak sibuk. Sebagai gantinya aku kirimin fotoku saja ya.][Mas bekerj
"Oke. Ini masih provinsi sebelah. Dekat. Aku akan segera kesana malam ini, dan akan kuseret dia sampai di hadapan kamu, May!" tandas Rudi seraya mengepalkan tangannya. Maya hanya menatapnya sendu. "Mas, semua memang salahku. Aku terlalu percaya pada Kelvin.""Sst, bukan kamu yang salah. Tapi penipu itu yang kurang ajar. Kamu jangan sedih. Mas akan mencarinya untukmu."Maya mulai terisak-isak saat dia menceritakan tentang perasaannya yang terasa sakit. "Mas, hatiku sakit banget. Rasanya seperti mau kiamat saja," tukas Maya sesenggukan. "Sst, kamu jangan terlalu sedih. Ini ujian untuk kita. Kita harus bisa melewatinya. Kamu harus fokus pada penyembuhanmu dulu."Maya terdiam. "Kenapa dia begitu tega, Mas? Aku salah apa padanya? Aku kurang apa padanya? Padahal aku sudah tulus sekali padanya.""Kamu nggak salah apa-apa May, yang jahat itu Kelvin. Dia memanfaatkan kepolosan kamu untuk berbohong. Sudahlah, jangan terlalu sedih. Mati satu tumbuh seribu," tukas Leni. Maya terdiam. "Baikla
Rani baru saja pulang dari kuliah dan melihat tivi sejenak, tapi tak lama kemudian dia tercengang. Sebuah kebakaran rumah yang dulu sangat dikenalnya terpampang dalam berita itu. Perempuan itu menelan ludah. 'Kebakaran itu berlangsung semalam. Berarti kejadiannya setelah pulang dari pernikahan Mas Agus,' batin Rani. Dan kamera tivi mengekspos wajah tiga bersaudara yang dulu pernah membuat hatinya sangat terluka."Kini aku sudah puas dengan apa yang terjadi pada kalian. Bukankah kehilangan itu sakit rasanya?" tanya Rani dengan tersenyum puas. *Rudi, Leni dan Maya menerima amplop dari beberapa tetangga dan bantuan dari pemerintah daerah dengan perasaan campur aduk. Selama tiga hari ini mereka tinggal di kos sederhana di dekat rumah yang terbakar itu. Mereka berjanji pada pemilik kos untuk membayar tepat waktu dengan uang yang didapat dari bantuan tetangga. Dan beberapa wartawan tivi mencarinya lalu menanyakan penyebab kebakaran di rumahnya. Walaupun sangat sedih, tapi Rudi menc
Rudi, Maya dan Leni terkejut mendengar penuturan Agus. "Mas, mbak Leni itu jauh seribu kali lipat daripada Nilam. Kok mau-maunya sih kamu menikah dengan Nilam. Dia itu mantan sugar baby lho. Anak dalam perutnya itu bukan anakku. Pasti anak haram, Mas. Sadar Mas Agus!" seru Rudi berapi-api. Agus hanya tersenyum. "Betul, kalau Nilam dulu memang sugar baby. Dia mengakui nya dan ingin bertobat. Selama ini dia menjadi lebih baik. Dan aku saksinya. Dia menjadi lebih terhormat. Lalu apa kamu yakin kalau Mbakmu lebih baik dari Nilam? Aku tidak ingin menjelekkan mantan istri. Tapi hatiku merasakan lebih nyaman saat bersama Nilam daripada bersama Leni. Dan yang terakhir, tidak ada yang namanya anak haram. Yang ada hanyalah perbuatan kedua orang tuanya yang haram. Semua anak sejak lahir dalam kondisi suci."Agus tersenyum lalu meletakkan undangan pernikahannya di atas meja tempat jualan milik ketiga bersaudara itu. Leni menatap tajam ke arah Agus. "Jadi kamu hanya bisa pamer seperti ini, Ma
🌹Kamu tahu enggak apa bedanya kamu dan hantu?Kalau hantu datang dan perginya nakutin, kalau kamu datang dan perginya nyakitin. *Pov Rudi Hari Sabtu pagi, dengan berbekal SIM C yang kebetulan kutinggal karena aku hanya membawa SIM B, aku bergegas ke polsek terdekat dan melaporkan tentang kehilanganku. Aku sedikit lega karena sudah mengantongi surat kehilangan dan polisi juga berjanji akan melacaknya. Hanya aku tidak bisa mengurus ke bank langsung, karena menunggu hari Senin dua hari lagi. Lagipula aku lupa nomor rekeningku kalau mau telepon CS. Selama dua hari itu, rasanya hidup segan mati tak mau. Aku benar-benar merasa tercekik dan seolah-olah akan ma ti esok hari. Ponselku yang ikutan hilang tidak bisa digunakan untuk mentransfer saldo ke rekening Maya ataupun mbak Leni.Ibarat kanker, sungguh aku sudah mengidap kanker stadium empat. Serba salah dan serba repot. "Mas, besok sudah hari Senin. Kamu seharusnya mulai mengurus kartu ATM dan buku tabungan kamu." Terdengar suara
🌹 Salah beli baju, bisa menyesal sehari. Salah potong rambut bisa menyesal seminggu. Salah memilih suami, bisa menyesal seumur hidup. **Flash back on. PV Rani"Ini bayaran kamu. Kerja bagus telah membuat Maya dipecat." Aku tersenyum puas pada sepasang suami istri yang terlihat glamor itu. Tak lupa kuulurkan amplop berisi sisa uang pembayaran. Suami istri di depanku melihat isi amplop coklat yang diberikan padaku dengan mata berbinar. "Terimakasih banyak, mbak Rani." Sang istri menerima amplop itu. "Jaga rahasia kita, Bu. Saya tidak mau ada keributan setelah ini.""Jangan khawatir, mbak. Kami profesional kok. Kami memang benar-benar membutuhkan uang ini untuk pengobatan anak kami."Suaminya lalu mengulurkan paper bag yang sedari tadi ada di pangkuannya. "Ini mbak, baju yang mbak belikan untuk kami. Kostum saat makan di restoran kemarin. Saya kembalikan pada Mbak. Saya kira, harganya pasti mahal."Lelaki itu lalu memberikan paper bag yang dipegangnya padaku. Aku mendesah. Kala
🌹 Aku memang manusia biasa. Tapi percayalah, cintaku untukmu itu luar biasa. **Pov Rani. Dering telepon membangunkanku dari tidur. Tanpa melihat nama penelepon, aku menekan layar hijau. "Halo.""Hei, pembunuh! Kamu sudah puas dengan apa yang terjadi?" Bukannya menjawab dengan baik, suara diseberang telepon terdengar nyolot. "Ini siapa sih?" tanyaku masih dengan rasa mengantuk. "Semudah itu kamu melupakan aku? Bagus ya? Lagipula aku juga tidak butuh untuk kamu inget lagi. Karena kamu lah yang membuat kondisi keluarga ku bangkrut dan mama harus kehilangan nyawa."Seketika rasa kantukku menghilang. Ini jelas suara Maya. "Mama mu meningga?" tanyaku. Tak munafik aku merasakan dua macam rasa. Senang dan prihatin dalam waktu yang bersamaan. "Sudah puas kamu membuat apes aku dan keluargaku?"Aku mengerutkan dahi. "Kamu," sahutku dingin. "Sudah puas kamu kalau anakku meninggal karena perbuatan ayah kandungnya sendiri?" "Apa maksud kamu?" tanya Maya. "Kamu jangan play victim."Aku t
🌹Aku mencintaimu seperti salat tarawih. Bukan siapa yang datang di awal, tapi siapa yang bertahan di akhir.**Rani melihat layar ponsel dengan puas. "Apa kamu sudah puas?" tanya Rudi saat melihat ekspresi wajah mantan istrinya. Rani hanya terdiam dan melihat wajah Rudi serta Maya dalam diam. "Jangan lupa, Mbak. Kamu harus menepati janji untuk mencabut laporan ke polisi."Rani tersenyum. "Tentu saja. Jangan khawatir. Aku bukan tipe orang yang suka mengingkari janji," sindir Rani. Rudi hanya mendengus kesal. "May, ayo kita pulang saja. Urusan kita sama dia sudah selesai.""Iya, Mas."Rudi dan Maya berdiri lalu tanpa berpamitan, mereka berlalu dari hadapan Rani. Rani menekan nomor telepon Nilam, dan tak lama kemudian langsung tersambung dengan sang empunya. "Halo, Nilam.""Ada apa, Ran?""Aku minta nomor rekening kamu dong.""Untuk apa?" Nada suara Nilam terdengar bingung. "Mas Rudi baru saja kesini dengan Maya. Tapi sekarang mereka sudah pulang.""Hah? Ke kos kamu? Ngapain? Apa
Rudi mendelik saat merasakan mamanya tidak lagi bernafas. "May, mama May!" seru Rudi panik."Kita bawa ke rumah sakit sekarang!""Tapi duitnya?""Duit kamu gadai sertifikat rumah kan masih ada?""Itu untuk usaha karena saat ini aku kan di PHK, May!""Jangan gila, Mas. Kamu mau mementingkan duit daripada Mama?""Ck, oke!""Bawa mobil mbak Leni saja!"Mendadak Rudi tersenyum saat teringat bahwa Leni masih mempunyai mobil. "Oke. Aku gendong mama dan kamu ambilkan kunci mobil ya?!"**"Ada masalah pada jantungnya. Pasien sempat mengalami apneu*. Untung cepat dibawa ke sini. Apa pasien jarang olahraga dan makannya selalu tinggi kolesterol?"Maya dan Rudi berpandangan. "I-iya, Dok. Mama suka santan dan jerohan ayam."Dokter di hadapan Maya dan Rudi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pasien harus dirawat di ruang ICU dan melihat perkembangannya.""Ba-baik, Dok."Rudi dan Maya berjalan dengan gontai di koridor rumah sakit. "Mas, apa yang harus kita lakukan? Mama nggak pernah ikut
Flash back on. Rani merenggangkan otot tubuhnya saat baru saja menyiapkan peralatan massagesnya di spa khusus perempuan. Dia memang mengambil mata kuliah khusus tata rias dan massages spa serta bekerja part time dalam bidang yang sama pula. Klinting. Suara denting lonceng berbunyi dan masuklah seorang perempuan setengah baya. "Silakan masuk. Ingin treatment apa?" tanya Rani ramah. Lalu beberapa saat kemudian, baik Rani maupun calon pelanggannya saling berpandangan. "Bu Dewi kan?""Lha kamu Rani kan?""Apa kabar, Ran? Kamu tambah cantik sekarang. Ya Tuhan, glowing!"Rani tersenyum. "Apa kabar, Bu? Kok di Malang? Sedang ada acara di kota ini?" tanya Rani pada tetangganya Rudi itu. "Iya. Aku sedang mengunjungi anak. Eh, sama anakku dibawa ke salon dan spa. Katanya di sini pelayanan bagus dan harga miring," tukas Dewi sambil mengulurkan nota pemilihan treatment. "Iya Bu. Bisa dicoba." Rani tersenyum dan membaca pilihan layanan treatmen lalu mulai menyiapkan peralatan. "Silakan k
🌹 Kadang orang jahat itu berawal dari orang baik yang tersakiti. **Flash back on."Ada apa lagi, Ran? Bukankah kamu sudah bertekad untuk tidak mau menerima lamaranku?""Ya Mas. Sekali lagi aku minta maaf.""Katakan saja apa yang ada di hatimu dan jangan buang-buang waktu!""Baik. Aku cuma ingin bertanya pada Mas Agus, apa mas tidak merasa sakit hati pada perbuatan mbak Leni yang dengan semena-mena mempermalukan orang tua mas Agus saat acara perayaan ulang tahun pernikahan?""Memang ada apa? Apa ada urusannya denganmu?""Mas Agus, kumohon. Jangan dendam seperti ini. Aku tahu mungkin mas Agus masih sakit hati karena aku tidak bisa menerima perasaanmu, tapi tak bisakah mas juga memperlakukanku sebagai adik seperti Mas memperlakukan Widuri?" tanya Rani dengan tatapan memohon. "Aku yakin dengan apa yang mas miliki sekarang, mas pasti akan mendapatkan pengganti yang lebih baik dariku. Aku mohon, Mas. Maafkan aku. Aku ingin kita bekerja sama."Mau tak mau Agus menjadi iba. "Sebenarnya a