"Oke. Ini masih provinsi sebelah. Dekat. Aku akan segera kesana malam ini, dan akan kuseret dia sampai di hadapan kamu, May!" tandas Rudi seraya mengepalkan tangannya. Maya hanya menatapnya sendu. "Mas, semua memang salahku. Aku terlalu percaya pada Kelvin.""Sst, bukan kamu yang salah. Tapi penipu itu yang kurang ajar. Kamu jangan sedih. Mas akan mencarinya untukmu."Maya mulai terisak-isak saat dia menceritakan tentang perasaannya yang terasa sakit. "Mas, hatiku sakit banget. Rasanya seperti mau kiamat saja," tukas Maya sesenggukan. "Sst, kamu jangan terlalu sedih. Ini ujian untuk kita. Kita harus bisa melewatinya. Kamu harus fokus pada penyembuhanmu dulu."Maya terdiam. "Kenapa dia begitu tega, Mas? Aku salah apa padanya? Aku kurang apa padanya? Padahal aku sudah tulus sekali padanya.""Kamu nggak salah apa-apa May, yang jahat itu Kelvin. Dia memanfaatkan kepolosan kamu untuk berbohong. Sudahlah, jangan terlalu sedih. Mati satu tumbuh seribu," tukas Leni. Maya terdiam. "Baikla
Rupanya mangkok bakso yang sedang dibawa Maya jatuh meluncur dan pecah berkeping-keping seperti hatinya. "Nggak mungkin!" jerit Maya sambil menghambur ke arah televisi yang sedang ditonton Rani. Dia merebut remote dan menggeser tempat duduk Rani. Maya mengeraskan suara tivi lalu memperhatikan tayangan itu dengan seksama. Matanya melotot saat melihat ada seorang lelaki bermasker yang sedang diwawancarai oleh polisi. "Jadi memang kira-kira ada sepuluh perempuan yang sudah menyerahkan uang pada kami. Terakhir kali kami dapat 20 juta."Suara lelaki itu terdengar lirih. Maya meremas remote tivi dengan sekuat tenaga. "Astaga, ini tidak mungkin!"Rani hanya melihat kelakuan Maya dan menghela nafas. Mendadak mertuanya datang lalu mematikan tivi. "Ck, buat apa sih nonton berita? Yang berlalu biarlah berlalu!" tukas Mama mertuanya sambil berdecak kesal. "Ma, jadi kita memang ditipu."Maya menangis terisak seperti anak kecil dengan memeluk pinggang mamanya. Sedangkan mamanya mengelus ke
🌹Jangan membuat perempuan yang kamu cintai menangis. Karena akan sangat menyakitkan bila ada lelaki lain yang membantu mengusap air matanya. **Ada gelenyar aneh dan hawa panas saat menatap Nilam. Apalagi bagian vital milik Rudi mendadak 'mengeras'."Nilam ..." Rudi terengah memanggil Nilam. "Ada apa, Mas? Kamu kenapa?""Aku ...,""Kamu kenapa, Mas?" Rudi memeluk Nilam erat. Nilam membalasnya. Lelaki itu mendesah dan merasakan ada rasa di dalam dirinya yang ingin segera dituntaskan. Rasa yang sudah tidak bisa ditahan lagi. Suara hujan yang yang terkadang ditingkahi oleh petir menambah keinginannya untuk melakukan hal itu semakin kuat. Lelaki itu mulai mengecup Nilam. Dan Nilam pun tanpa bisa menolak, membalasnya dengan lebih liar lagi. Rudi tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Kenapa mendadak muncul hasrat ingin melakukan hal itu secara membabi buta saat ini. Bahkan perempuan itu segera menuju ke pintu dan menguncinya. Lalu menggelendot manja dalam pelukan Rudi. Nilam be
🌹Wahai para suami, kalau ingin isteri mu berperilaku seperti bidadari, buatlah rumah tangga mu seperti di syurga. Karena tidak ada bidadari yang tinggal di neraka. **Flash back on."Kamu nggak masak untuk kami?" tanya mertua Rani saat melihat Rani sedang menyantap salad buah miliknya. Rani mendongak. "Rani baru saja membuat salad buah banyak. Ada di kulkas, Ma. Ada sayur bening bayam dan tempe goreng serta pepes ikan laut kalau mau.""Ck, makanan apa seperti itu? Nggak ada ayam atau daging? Bagaimana kalau Rudi sakit setelah memakan makanan tak bergizi itu? Kamu ini pelit banget sama suami. Sudah menguasai gaji suami, sekarang pelit pula saat memasak. Sebenarnya apa yang akan kamu lakukan dengan uang gaji suami kamu itu kalau tidak untuk makan enak?" tanya mama Rudi. "Ma, uang gaji itu tidak bisa serta merta dihabiskan. Kalau uang gaji dihabiskan, aku dan mas Rudi nggak akan punya tabungan. Apalagi setelah ini aku dan mas Rudi akan punya anak, Ma. Lagipula Rani masak seperti it
Maya terlihat terdiam dan berpikir keras. "Aku ...,""Stop!" suara Mama Rudi terdengar tegas. "Kalian dari pagi bertengkar terus, kasihan Rudi yang nanti akan berangkat kerja. Bisa-bisa dia tidak fokus menyelesaikan pekerjaan kantornya. Rani, nggak usah pakai sumpah-sumpahan segala. Maya, kamu minta maaf pada Rani sekarang karena sudah iseng dan membuat suasana menjadi tidak enak. Rudi, suasana rumah masih tidak kondusif, kamu langsung saja berangkat ke kantor saja!""Baik Ma. Rudi juga lelah dicurigai terus oleh Rani. Dia pikir Rudi enggak capek di kantor kerja, dan di rumah diajakin berantem.""Iya. Mama tahu kamu capek. Karena itu Ran, kamu harus mau instrospeksi diri. Kalau kamu mau menang sendiri dan terus egois seperti ini, wajar saja kalau Rudi nanti mencari perempuan lain yang lebih lemah lembut daripada kamu.""Tapi kan sesuai perjanjian ...,""Sudahlah Ma. Rudi berangkat saja ke kantor. Biar saja Rani dengan segala buruk sangkanya pada Rudi."Rudi berdiri dari kursinya la
🌹 Walaupun untuk saat ini kamu sering bertemu dengan orang yang membuatmu bersedih, percayalah suatu saat kamu akan bertemu dengan seseorang yang tak pandai pergi dan takut menyakiti. ***Rudi menelan ludah dan menarik nafas panjang. Lalu selintas ide muncul di hadapannya. "Lha mas Agus ngapain juga kesini? Padahal rumah mas Agus kan di luar kota? Bisa-bisanya mas Agus kelayapan di hotel! Mana mbak Leni? Atau jangan-jangan mas Agus ...?! Wah, aku tidak terima ya kalau kakak perempuan ku satu-satunya dikhianati."Agus tertawa. "Rud, Rud. Kamu kayak maling teriak maling deh. Aku ke kota ini jelas tujuannya. Untuk peninjauannya proyek baru. Perusahaan properti tempatku kerja bekerja sama dengan hotel ini untuk pembangunan dan perluasan lahan. Ini lho, aku bawa semua bukti dan proposal nya. Apa kamu mau lihat?" tanya Agus mengangsurkan tas tenteng hitamnya ke arah Rudi. Rudi diam sesaat. "Oke. Aku percaya Mas."'Mana mungkin aku memeriksa semua yang ada di tas mu itu? Oh ya, gimana c
Rudi tertidur dan terganggu dengan suara ponselnya. "Duh, siapa sih? Mengganggu sekali!" cetus Rudi seraya bangun dan meraba nakas di sampingnya. "Rani? Huh, menganggu saja!" Rudi mematikan ponselnya. "Dari siapa?" tanya Nilam manja. Tangannya melingkar di pinggang Rudi. "Rani.""Oh, istrimu. Apa katanya?"Rudi mengedikkan bahunya. "Entahlah. Tidak penting. Kalau dia ada perlu, biar dia bilang ke mama dan Maya."Rudi menatap Nilam dan mengelus lengan gadis itu. "Kamu belum cerita tentang keluarga kamu, Mas.""Buat apa?""Kok buat apa? Aku pengen hubungan kita diresmikan, Mas. Aku beneran suka sama kamu."Rudi tercengang. "Aku punya istri.""Aku tidak peduli. Aku mau kok jadi yang kedua.""Rani yang tidak akan mau.""Hm, kalau begitu ceraikan dia.""Tapi anakku ...,""Kamu bisa dapat anak dariku kan?""Nanti aku kehilangan asetku, Nilam.""Kamu kok nggak pinter sih Mas. Kan udah kubilang, cari kertas tanda tangan kamu dan lenyapkan. Selesai perkara.""Hm, biar aku pikirkan lagi."
Rani menatap ragu ke arah Rudi. Satu sisi hatinya berkata untuk menerima suapan dari suaminya. Namun sisi hatinya yang lain memintanya untuk tidak merespon kebaikan Rudi. "Rani, kamu kok bengong. Ayo makan dulu. Menu ini kan dari rumah sakit. Buat anak kita, Ran."Rani akhirnya membuka mulut dan Rudi mengarahkan sendoknya semakin dekat ke mulut Rani, hingga ponsel Rani berdering nyaring. Rani segera meraih ponsel yang diletakkannya di sisi bantal. Rudi tampak kecewa. Rani mengernyit saat melihat nomor ponsel tanpa nama di layarnya. Tapi tak urung juga Rani memilih untuk menekan layar hijau. "Halo.""Halo, Rani!" Suara renyah dan bening di seberang telepon membuatnya mengerutkan dahinya. "Halo, ini siapa?""Ih, kamu lupa ya padaku. Sedih banget! Awas ya kamu!""Eh, tunggu, ini siapa sih?""Dih, kalau kamu inget aib masa lalu kamu, kamu pasti inget aku. Oke, aku cerita ya, kamu waktu masih SMP pernah pura-pura sakit perut untuk menghindari penilaian seni musik kan? Terus kamu juga