Tiiin!
Aaarghhh!
Brakk!
Motor Rudi terjatuh di aspal dan motor Kawasaki ninja warna merah yang menabraknya pun terjatuh.
"Aduh!" seru Rudi sambil menatap sosok yang telah menabraknya. Bersiap untuk melabrak sosok yang masih menggunakan helm teropong di hadapannya, kendatipun jelas sekali Rudi yang salah.
"Kamu ini ya ...,"
"Maaf, Mas. Masnya nggak apa-apa?" tanya sosok berjaket kulit itu sambil membuka helm teropongnya.
Rudi ternganga melihat kecantikan pengemudi motor yang ternyata perempuan. Cantik dan seksi lagi.
Pengemudi perempuan itu berdiri dan dengan perlahan mengulurkan tangannya pada Rudi yang masih terduduk kesakitan.
Rudi langsung mengibaskan debu dari badannya. Seluruh sakit di tubuhnya seolah hilang seketika.
'Ya Tuhan, cantik banget. Ditinggal istri dekil dan sekarang ditabrak sama cewek cantik. Ini ujian apa cobaan?' gumamnya.
"Saya nggak apa-apa." Rudi berdiri dan mengulurkan tangannya menjabat tangan gadis itu.
"Ayo minggir dulu, biar nggak menganggu kendaraan yang lain," tukas beberapa orang yang mengerumuni Rudi sambil membantu menuntun motor Rudi maupun motor gadis itu.
"Saya Nilam, motor kamu nggak apa-apa?" tanya gadis itu sambil menatap Rudi. Mereka kini duduk di trotoar.
"Aku Rudi. Aku nggak apa-apa."
Gadis itu mengeluarkan ponselnya. "Syukurlah kalau kamu dan motor kamu nggak apa-apa. Kalau kamu mau minta ganti rugi ...,"
"Mbak, yang salah itu Masnya ini loh. Saya lihat sendiri kalau mas nya tetap ngebut walaupun lampu hijau jadi merah. Harusnya kan berhenti. Masnya dong yang ganti rugi pada Mbaknya," tukas salah seorang pengguna jalan.
Rudi menatap kearah orang yang menyalahkannya dengan kesal. "Sirik banget sih jadi orang. Terserah mbaknya dong mau gimana?!" tukas Rudi.
"Loh, kamu kok nyolot sih! Kamu nggak mau diingatkan? Yang salah, kamu loh Mas!"
"Heh, kamu nggak usah ikut campur urusan saya. Kan wajar sesama pemotor yang kecelakaan itu saling membantu bukan saling menyalahkan??!" tanya Rudi kesal.
"Benar-benar kamu nggak punya malu. Sudah salah, ngeyel lagi! Ayo maju!" seru lelaki itu memasang kuda-kuda.
Nilam menjadi tidak enak. "Sudah-sudah. Ini nomor ponsel saya. Kabari kalau ada kerusakan motor atau badan yang terluka," tukas Nilam seraya memberikan kartu namanya.
***
"Wah, kebetulan kamu datang, mama butuh uang, Rud!" sambut mamanya saat melihat Rudi yang datang dengan wajah masam.
Lelaki itu langsung ngeloyor ke ruang makan tanpa menjawab pertanyaan ibunya.
"Loh, kamu kok makan lagi di sini? Istri kamu nggak masak ya? Duh, lagi ngapain sih istri kamu sampai nggak mempedulikan suaminya sendiri. Bahkan Mama telepon dari tadi, nggak aktif."
Rudi yang semula hanya ingin menikmati makan malam menjadi kehilangan selera makan.
"Wajar dong kalau aku makan di rumah mama. Lagipula Rani pergi. Dia kabur sama petugas penagih utang."
Rudi pun menyerahkan secarik surat dari Rani pada Mamanya. Lalu menceritakan semua kejadian tentang rumah tangganya.
"Astaga, istri kamu itu ya nggak bersyukur banget. Mama pernah baca hadis yang menyatakan bahwa istri yang minta cerai pada suaminya karena sebab yang tidak dibenarkan, tidak akan masuk surga."
"Mana mempan Rani diberi dalil seperti itu. Dia kan cewek nggak benar?!"
"Kamu sih nggak bisa milih istri!"
"Rudi khilaf, Ma. Dulu saja Rudi memilih Rani sebagai istri karena Rani terlihat cantik dan mandiri.
Walaupun dia hidup sendirian, dia bisa mengatasi semua masalahnya. Ternyata dia adalah istri yang pelit. Aku mau minjam uang buat bantuin mama, eh dia malah kabur."
"Ya sudah. Kamu enggak usah cari saja. Paling juga nanti Rani minta balikan sama kamu. Kamu itu tampan dan sudah jadi karyawan tetap."
"Iya dong. Eh, ini tumben banget banyak lauk. Komplit lagi," tukas Rudi sambil menyendok rendang dan ayam goreng laos ke piringnya.
"Iya dong. Tuh, mbak Leni datang sama Mas Agus."
Mamanya menunjuk ke arah taman belakang rumah.
"Oh pantas saja masakannya enak-enak." Rudi mengunyah makanannya dengan lahap.
"Iya dong. Mbok yo Rani itu kamu suruh belajar masak yang enak. Biar kamu juga kerasan di rumah," tukas mamanya.
"Ah, kata Rani uang yang kuberikan kurang, jadi dia cuma bisa masak kelor, bayam yang tinggal metik dari halaman. Terus lauknya tahu dan tempe. Yah, jangan salahkan Rudi kalau lebih memilih makan di sini atau makan di luar sama teman-teman."
"Nah, betul Rud. Sebagai suami wajar kalau kamu ngasih uang ke Mama. Seharusnya Rani bisa menerimanya. Bukan malah minggat, istri yang baik itu seharusnya ikut nyari uang kalau uang dari suami enggak cukup. Bukan malah cari yang lebih baik." Leni yang baru datang dari taman belakang mengompori adiknya.
"Aku juga kalau mas Agus nggak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga, aku juga mau kok bantuin kerja. Tapi karena aku istri yang baik, makanya rejeki mas Agus lancar.
Mungkin gaji kamu cuma segitu karena Rani nggak tulus mendoakan kamu, Rud!" cetus Leni sekali lagi.
Rudi hanya bisa manggut-manggut dan terdiam menanggapi ucapan kakak perempuannya.
"Sudahlah Len, jangan memperkeruh rumah tangga Rudi. Kasihan sekali dia sudah ditinggal istrinya, eh bukannya jadi AC malah jadi kompor," sahut Agus suami Leni.
Istrinya hanya mengerucutkan bibirnya.
"Mas ini jangan ikut-ikutan deh. Aku cuma nggak ingin adikku dikhianati istrinya."
Leni kemudian menoleh lagi ke arah Rudi. "Kamu juga Rud, kalau Rani nggak pulang, mending cari istri lagi. Talak ajalah. Ngapain juga. Cari yang lebih cantik, lebih baik, dan lebih segalanya. Kan banyak?"
"Len, daripada mengurus rumah tangga adik kamu, mending sekarang kamu ikut program hamil saja. Masa sudah enam tahun menikah, kita belum punya anak. Aku ingin menggendong anak, Len," tukas Agus.
Wajah Leni memerah karena semua pandangan keluarga nya mengarah padanya.
"Aku belum ingin punya anak, Mas. Malas banget repot. Bangun malam ngurus pipis dan beolnya. Aku juga nggak bisa membayangkan kalau badan ku rusak. Bisa-bisa aku dibuli teman-teman sosialitaku. Dan kamu nanti juga selingkuh," sahut Leni membela diri.
Agus hanya bisa menghembuskan nafas kasar.
"Berapa kali aku bilang, aku akan tetap setia berapapun berat badan kamu. Kalau kamu tetap ingin langsung setelah melahirkan, kan ada senam dan makannya diatur. Yang penting kita punya anak dulu. Keburu tua nanti. "
"Aku masih 28 tahun. Nantilah Mas. Sabar dulu kenapa sih. Aku masih ingin bebas. Wajarkan kalau aku ingin menikmati waktuku tanpa kehadiran seorang anak lebih dulu?"
Suasana ruang makan menjadi tegang, dan akhirnya terdengar suara deheman mama Rudi yang berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Oh, ya Rud. Kembali ke masalah uang pernikahan Maya. Mama minta kamu transfer uang sekarang Rud. Mama mau pesen katering."
"Rudi nggak ada uang, Ma. Semua gaji Rudi sudah diberikan pada Rani dan Mama. Bahkan Rudi minta uang bensin pada Rani kalau jatah Rudi habis."
Mama Rudi hanya bisa menahan rasa kesal. "Makanya kamu tuh kurang-kurangin nongkrong di kafe dan sok jadi boss tukang traktir," ucap Mamanya.
"Duh, mama ini gimana sih? Kan wajar kalau aku sering nongkrong sama teman-teman? Pekerjaan ku berat, Ma. Butuh healing."
"Healing sih boleh, tapi jangan lupa nyumbang buat nikahan adik kamu. Kamu kan bisa gadai BPKB dulu."
"Nah, betul tuh Mas. Ingat ya Mas, kamu kan dibiayai oleh Mama dari kecil sampai besar. Jadi jangan perhitungan kalau mama butuh duit. Wajar kan kalau mama minta uang sama kamu?" tukas Maya.
Rudi menghela nafas. "Oke. Aku gadai BPKB dulu."
**
Rudi membuka laci di bawah meja rias Rani dan terkejut saat melihat lacinya kosong.
"Mana BPKB ku?"
Rudi blingsatan mencari BPKB miliknya. Dibongkarnya laci-laci kecil di dalam lemari bajunya, tapi hasilnya tetap nihil.
Dicarinya di atas lemari, di bawah kolong kasur, pindah ke lemari bufet ruang tengah. Tapi BPKB nya tetap nihil. Lelaki itu memukul jidatnya sendiri.
"Duh, di mana sih BPKB ku?" Rudi bertanya mondar mandir.
Mendadak terlintas satu jawaban di pikiran Rudi.
"Ya Tuhan, masa sih Rani membawa BPKBku?" tanyanya lemas. "Dasar istri nggak wajar! Udah minggat, bawa BPKB suami pula!"
Next?
"Ya Tuhan, masa sih Rani membawa BPKBku?" tanyanya lemas. "Dasar istri nggak wajar! Udah minggat, bawa BPKB suami!"Rudi merasa mendadak kepalanya nyut-nyutan. Motor Yamaha All new R-15 nya terancam diambil orang kalau BPKBnya entah kemana. "Aduh, Ya Tuhan. Kemana lagi sih aku harus mencari Rani?" gumam Rudi setengah frustasi. Sekali lagi dia mencoba menelepon Rani, namun sayangnya ponsel Rani tetap tidak aktif. "Astaga, kemana sih Rani? Kemana harus kucari ya? Rani sudah tidak punya orang tua. Satu-satunya yang tersisa dari saudara Rani adalah kakak lelakinya di luar pulau. Tapi masa Rani berani ke sana sendirian malam-malam begini?" gumam Rudi. "Ah, bodo amat. Aku telepon aja kakaknya. Kalaupun kakaknya Rani nanti ngomelin aku, biar aku blokir aja sekalian."Rudi menekan nomor kontak kakak iparnya, dan tak lama kemudian nada sambung berubah menjadi suara laki-laki."Halo, Uda.""Halo Rud, tumben telepon. Ada apa?"Rudi menelan ludah. Bingung hendak meneruskan pertanyaannya. "He
Kini tinggal Rudi yang melongo. "Apa? Tidak mungkin! Kalau Rani tidak ikut kamu seperti yang telah disebutkan dalam suratnya, lantas dia kemana?"Sebenarnya ada sedikit rasa lega dalam hatinya saat mengetahui fakta bahwa istrinya tidak kabur dengan laki-laki lain. Itu artinya Ranu masih mencintainya. Tapi hati Rudi memang masih bertanya-tanya tentang keberadaan Rani. Entah selamat atau tidakkah istrinya sekarang.Erwin hanya mengedikkan bahu sambil menepis tangan Rudi yang mencengkeram kerah bajunya. "Ya saya nggak tahulah. Yang suaminya kan kamu, Pak. Kenapa justru saya yang jadi tersangkanya?""Kamu pasti bohong ya?! Jelas-jelas dalam surat Rani disebutkan kalau dia kabur sama petugas bank Emok. Dan satu-satunya petugas bank Emok yang ke rumahku untuk menagih hutang kan cuma kamu. Kamu enggak usah ngeles lagi. Sekarang kembalikan istri saya!"Beberapa pengunjung mulai ricuh. Beberapa diantaranya bahkan mulai mengarahkan kamera ponsel ke arah Rudi dan Erwin. Seorang satpam mendeka
"Maaf, Pak. Tapi semua perhiasan ini palsu. Imitasi. Tidak ada harganya," tukas pemilik toko emas itu seakan membuat dunia Rudi yang cerah menjadi kelam."Apa?""Iya Pak, semua perhiasan emas ini imitasi." Pemilik toko emas itu mengulangi jawabannya. "Tidak mungkin. Pasti Mas nya salah periksa. Ayo periksa lagilah!" Rudi bersikeras untuk memaksa. Pemilik toko emas itu hanya bisa menghela nafas. "Saya sudah memeriksanya berulang kali. Dan hasilnya tetap sama. Perhiasan emas ini palsu. Kalau Bapak tidak percaya, silakan bawa perhiasan ini ke toko lain."Rudi tercengang dan dengan terpaksa dia mengambil perhiasan itu dari penjual emasnya.Rudi terpekur dalam hati. 'Jadi perhiasan ini palsu? Apa perhiasan ini yang dulu menjadi warisan ibunya Rani?! Kalau benar perhiasan ini adalah bagian dari warisan ibunya Rani, berarti perhiasan Rani selama ini palsu juga. Tapi kalau perhiasan ini berbeda dengan warisan ibunya Rani, buat apa Rani memiliki perhiasan palsu ini? Apa perhiasan ini untuk
"Uda? Kok nggak memberi kabar dulu kalau mau datang?" tanya Rudi kaget melihat kakak lelaki Rani sedang berdiri di depan rumahnya. Wajahnya tampak tak bersahabat. "Mana adikku?" tanya Aris langsung masuk ke dalam ruang tamu rumah Rudi. "Ran! Rani!" Aris memanggil-manggil adiknya dan beranjak menuju ruang tengah. Rudi segera berlari mengejar kakak iparnya."Tunggu, Da. Rani tidak ada di sini!"Aris menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menatap ke arah Rudi."Kalau Rani tidak ada di sini, kenapa kamu nggak nyari adikku? Kenapa kamu justru membiarkan Rani menghilang? Apa kamu sudah lapor polisi, hah?" tanya Aris sambil mencengkram kerah baju Rudi. Rudi merinding melihat tangan kanan Aris terkepal ke arahnya. Tapi dikuat-kuatkan hatinya lalu dia menatap ke arah kakak iparnya. "Uda, seharusnya bukan Uda yang marah. Tapi aku!" tukas Rudi. Matanya menatap tajam ke arah Aris. "Apa maksud kamu? Katakan?!""Uda duduk dulu. Akan kuambilkan kertas berisi pesan terakhir Rani," tuk
POV Rani Flash back on."Rani, semua sudah makan. Piringnya jangan lupa dicuci ya?" tukas ibu mertuaku. Aku yang sedang membaca novel online favoritku mau tidak mau harus berhenti dan menoleh pada Mas Rudi.Meskipun pintu kamar tertutup tapi suara mertuaku yang di dekat ruang makan seolah bisa menembus dinding kamar kami. "Mas.""Apa?" Aku memanggil mas Rudi tapi suami ku masih asyik dengan ponselnya."Mas!""Apa sih?" tanya Mas Rudi sambil tetap bermain dengan ponselnya. "Kenapa sih kok aku terus yang disuruh nyuci piring dan nyapu-nyapu? Apa mentang-mentang karena aku paling miskin di sini jadi aku bisa disuruh apa saja?"Mas Rudi meletakkan ponselnya dan menatapku."Sudahlah, jangan lebay. Mamaku berarti kan ibumu juga. Kamu sudah enggak punya ibu dari lama kan? Wajar kan kalau mamaku menyuruh anaknya, yaitu kamu untuk membantunya dalam urusan pekerjaan rumah?" tanya mas Ardi membuatku tercengang. Dia selalu mempunyai alasan untuk memojokkanku atau membenarkan tindakannya dan
Flash back On :Aku mendelik. "Kamu boleh melupakan aku. Tapi kamu pasti tidak akan melupakan sapu tangan ini kan?""Bagaimana ini bisa ada padamu? Bukankah sapu tangan ini kuberikan pada ..,""Widuri. Teman sepermainan kamu saat masih SMP.""Mas Agus, kok bisa kenal Widuri?" tanyaku bingung. Mas Agus tertawa lalu menggembungkan pipinya dan melingkarkan jempol dan telunjuknya ke mata, seakan menjadi sebuah kacamata.Aku mendelik. "Mas Donat? Mas Agus itu mas Donat?" tanyaku kaget. Mas Agus tertawa. "Ya, nama lengkapku Agus Doni Kurniawan."Aku melongo tak henti-hentinya takjub pada metamorfosis mas Agus, dari gemuk menjadi kurus. "Aku rindu padamu, Ran," tukas mas Agus hampir memelukku.Dengan cepat aku menahan dadanya yang hendak menarikku ke dalam pelukannya. "Maaf Mas, kamu sudah punya istri. Aku nggak ingin ada fitnah di sini."Mas Agus terlihat kecewa dan menurunkan tangannya. "Apa kabar Widuri, Mas? Sejak pindah ke ibu kota, kami tidak pernah berkontak lagi.""Widuri sehat
*Terkadang ada sebuah nama yang tertulis di hati, tapi tidak tertulis di buku nikah.***"Apa?! Kamu minta berpisah? Aku enggak mau!""Kenapa?" "Kok tanya kenapa? Karena aku mencintai kamu lah!"Rani tersenyum kecut. "Mencintai? Tapi kamu jelas memanfaatkanku, Mas. Kamu tidak usah mengelak lagi. Aku sudah muak dengan semua yang dianggap wajar olehmu dan keluargamu!"Rudi segera turun dari motornya dan mendekati Rani. Wajahnya tampak memelas."Oke, kalau kamu tidak mau pulang. Kita bicara di sini. Setidaknya pinggirkan dulu motor kamu agar kita tidak menghalangi orang lewat."Beberapa pengguna jalan memperhatikan mereka. Karena jalan yang mereka lalui masih dalam area pasar, mau tidak mau banyak mata yang melihat percekcokan suami istri itu.Rani pun hanya menghela nafas dan akhirnya meminggirkan motornya."Tolong berikan aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku mencintaimu. Aku akan membahagiakan kamu dengan cara apapun," tukas Rudi sambil mendekat pada Rani. Perempuan itu menatap
Rudi dan Rani serentak menoleh ke sumber suara. "Mama?!"Mama Rudi menyeringai dan masuk ke dalam rumah. "Kamu benar-benar istri durhaka, Ran!" tunjuk mertuanya.Rani melirik tajam pada mertuanya. "Maaf, Ma. Kalau dulu mungkin Rani akan manut-manut saja. Tapi saat ini Rani tidak akan pasrah begitu saja. Rani akan membenahi apapun yang Rani pikir tidak adil," tukas Rani membuat mertuanya mendelik. "Kamu berani sekali ya sekarang?! Pantas dari dulu Mama sudah tidak sreg dengan kamu. Ternyata kamu memang bukan istri yang baik untuk Agus. Mama benar-benar kecewa dengan kamu, Ran!" sembur Mama. Tangan Rani terkepal. Ingin marah tapi ditahannya sekuat tenaga karena dia sadar bahwa dia berhadapan dengan orang yang lebih tua.Rani menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kesabaran. "Ma, apa Mama pikir Mama saja yang menyesal. Saya juga menyesal.""Apa kamu bilang? Kamu benar-benar istri yang tidak berbakti. Nggak tahu malu! Istri yang tahunya cuma makan dan tidur saja dan nggak perlu
Rani baru saja pulang dari kuliah dan melihat tivi sejenak, tapi tak lama kemudian dia tercengang. Sebuah kebakaran rumah yang dulu sangat dikenalnya terpampang dalam berita itu. Perempuan itu menelan ludah. 'Kebakaran itu berlangsung semalam. Berarti kejadiannya setelah pulang dari pernikahan Mas Agus,' batin Rani. Dan kamera tivi mengekspos wajah tiga bersaudara yang dulu pernah membuat hatinya sangat terluka."Kini aku sudah puas dengan apa yang terjadi pada kalian. Bukankah kehilangan itu sakit rasanya?" tanya Rani dengan tersenyum puas. *Rudi, Leni dan Maya menerima amplop dari beberapa tetangga dan bantuan dari pemerintah daerah dengan perasaan campur aduk. Selama tiga hari ini mereka tinggal di kos sederhana di dekat rumah yang terbakar itu. Mereka berjanji pada pemilik kos untuk membayar tepat waktu dengan uang yang didapat dari bantuan tetangga. Dan beberapa wartawan tivi mencarinya lalu menanyakan penyebab kebakaran di rumahnya. Walaupun sangat sedih, tapi Rudi menc
Rudi, Maya dan Leni terkejut mendengar penuturan Agus. "Mas, mbak Leni itu jauh seribu kali lipat daripada Nilam. Kok mau-maunya sih kamu menikah dengan Nilam. Dia itu mantan sugar baby lho. Anak dalam perutnya itu bukan anakku. Pasti anak haram, Mas. Sadar Mas Agus!" seru Rudi berapi-api. Agus hanya tersenyum. "Betul, kalau Nilam dulu memang sugar baby. Dia mengakui nya dan ingin bertobat. Selama ini dia menjadi lebih baik. Dan aku saksinya. Dia menjadi lebih terhormat. Lalu apa kamu yakin kalau Mbakmu lebih baik dari Nilam? Aku tidak ingin menjelekkan mantan istri. Tapi hatiku merasakan lebih nyaman saat bersama Nilam daripada bersama Leni. Dan yang terakhir, tidak ada yang namanya anak haram. Yang ada hanyalah perbuatan kedua orang tuanya yang haram. Semua anak sejak lahir dalam kondisi suci."Agus tersenyum lalu meletakkan undangan pernikahannya di atas meja tempat jualan milik ketiga bersaudara itu. Leni menatap tajam ke arah Agus. "Jadi kamu hanya bisa pamer seperti ini, Ma
🌹Kamu tahu enggak apa bedanya kamu dan hantu?Kalau hantu datang dan perginya nakutin, kalau kamu datang dan perginya nyakitin. *Pov Rudi Hari Sabtu pagi, dengan berbekal SIM C yang kebetulan kutinggal karena aku hanya membawa SIM B, aku bergegas ke polsek terdekat dan melaporkan tentang kehilanganku. Aku sedikit lega karena sudah mengantongi surat kehilangan dan polisi juga berjanji akan melacaknya. Hanya aku tidak bisa mengurus ke bank langsung, karena menunggu hari Senin dua hari lagi. Lagipula aku lupa nomor rekeningku kalau mau telepon CS. Selama dua hari itu, rasanya hidup segan mati tak mau. Aku benar-benar merasa tercekik dan seolah-olah akan ma ti esok hari. Ponselku yang ikutan hilang tidak bisa digunakan untuk mentransfer saldo ke rekening Maya ataupun mbak Leni.Ibarat kanker, sungguh aku sudah mengidap kanker stadium empat. Serba salah dan serba repot. "Mas, besok sudah hari Senin. Kamu seharusnya mulai mengurus kartu ATM dan buku tabungan kamu." Terdengar suara
🌹 Salah beli baju, bisa menyesal sehari. Salah potong rambut bisa menyesal seminggu. Salah memilih suami, bisa menyesal seumur hidup. **Flash back on. PV Rani"Ini bayaran kamu. Kerja bagus telah membuat Maya dipecat." Aku tersenyum puas pada sepasang suami istri yang terlihat glamor itu. Tak lupa kuulurkan amplop berisi sisa uang pembayaran. Suami istri di depanku melihat isi amplop coklat yang diberikan padaku dengan mata berbinar. "Terimakasih banyak, mbak Rani." Sang istri menerima amplop itu. "Jaga rahasia kita, Bu. Saya tidak mau ada keributan setelah ini.""Jangan khawatir, mbak. Kami profesional kok. Kami memang benar-benar membutuhkan uang ini untuk pengobatan anak kami."Suaminya lalu mengulurkan paper bag yang sedari tadi ada di pangkuannya. "Ini mbak, baju yang mbak belikan untuk kami. Kostum saat makan di restoran kemarin. Saya kembalikan pada Mbak. Saya kira, harganya pasti mahal."Lelaki itu lalu memberikan paper bag yang dipegangnya padaku. Aku mendesah. Kala
🌹 Aku memang manusia biasa. Tapi percayalah, cintaku untukmu itu luar biasa. **Pov Rani. Dering telepon membangunkanku dari tidur. Tanpa melihat nama penelepon, aku menekan layar hijau. "Halo.""Hei, pembunuh! Kamu sudah puas dengan apa yang terjadi?" Bukannya menjawab dengan baik, suara diseberang telepon terdengar nyolot. "Ini siapa sih?" tanyaku masih dengan rasa mengantuk. "Semudah itu kamu melupakan aku? Bagus ya? Lagipula aku juga tidak butuh untuk kamu inget lagi. Karena kamu lah yang membuat kondisi keluarga ku bangkrut dan mama harus kehilangan nyawa."Seketika rasa kantukku menghilang. Ini jelas suara Maya. "Mama mu meningga?" tanyaku. Tak munafik aku merasakan dua macam rasa. Senang dan prihatin dalam waktu yang bersamaan. "Sudah puas kamu membuat apes aku dan keluargaku?"Aku mengerutkan dahi. "Kamu," sahutku dingin. "Sudah puas kamu kalau anakku meninggal karena perbuatan ayah kandungnya sendiri?" "Apa maksud kamu?" tanya Maya. "Kamu jangan play victim."Aku t
🌹Aku mencintaimu seperti salat tarawih. Bukan siapa yang datang di awal, tapi siapa yang bertahan di akhir.**Rani melihat layar ponsel dengan puas. "Apa kamu sudah puas?" tanya Rudi saat melihat ekspresi wajah mantan istrinya. Rani hanya terdiam dan melihat wajah Rudi serta Maya dalam diam. "Jangan lupa, Mbak. Kamu harus menepati janji untuk mencabut laporan ke polisi."Rani tersenyum. "Tentu saja. Jangan khawatir. Aku bukan tipe orang yang suka mengingkari janji," sindir Rani. Rudi hanya mendengus kesal. "May, ayo kita pulang saja. Urusan kita sama dia sudah selesai.""Iya, Mas."Rudi dan Maya berdiri lalu tanpa berpamitan, mereka berlalu dari hadapan Rani. Rani menekan nomor telepon Nilam, dan tak lama kemudian langsung tersambung dengan sang empunya. "Halo, Nilam.""Ada apa, Ran?""Aku minta nomor rekening kamu dong.""Untuk apa?" Nada suara Nilam terdengar bingung. "Mas Rudi baru saja kesini dengan Maya. Tapi sekarang mereka sudah pulang.""Hah? Ke kos kamu? Ngapain? Apa
Rudi mendelik saat merasakan mamanya tidak lagi bernafas. "May, mama May!" seru Rudi panik."Kita bawa ke rumah sakit sekarang!""Tapi duitnya?""Duit kamu gadai sertifikat rumah kan masih ada?""Itu untuk usaha karena saat ini aku kan di PHK, May!""Jangan gila, Mas. Kamu mau mementingkan duit daripada Mama?""Ck, oke!""Bawa mobil mbak Leni saja!"Mendadak Rudi tersenyum saat teringat bahwa Leni masih mempunyai mobil. "Oke. Aku gendong mama dan kamu ambilkan kunci mobil ya?!"**"Ada masalah pada jantungnya. Pasien sempat mengalami apneu*. Untung cepat dibawa ke sini. Apa pasien jarang olahraga dan makannya selalu tinggi kolesterol?"Maya dan Rudi berpandangan. "I-iya, Dok. Mama suka santan dan jerohan ayam."Dokter di hadapan Maya dan Rudi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pasien harus dirawat di ruang ICU dan melihat perkembangannya.""Ba-baik, Dok."Rudi dan Maya berjalan dengan gontai di koridor rumah sakit. "Mas, apa yang harus kita lakukan? Mama nggak pernah ikut
Flash back on. Rani merenggangkan otot tubuhnya saat baru saja menyiapkan peralatan massagesnya di spa khusus perempuan. Dia memang mengambil mata kuliah khusus tata rias dan massages spa serta bekerja part time dalam bidang yang sama pula. Klinting. Suara denting lonceng berbunyi dan masuklah seorang perempuan setengah baya. "Silakan masuk. Ingin treatment apa?" tanya Rani ramah. Lalu beberapa saat kemudian, baik Rani maupun calon pelanggannya saling berpandangan. "Bu Dewi kan?""Lha kamu Rani kan?""Apa kabar, Ran? Kamu tambah cantik sekarang. Ya Tuhan, glowing!"Rani tersenyum. "Apa kabar, Bu? Kok di Malang? Sedang ada acara di kota ini?" tanya Rani pada tetangganya Rudi itu. "Iya. Aku sedang mengunjungi anak. Eh, sama anakku dibawa ke salon dan spa. Katanya di sini pelayanan bagus dan harga miring," tukas Dewi sambil mengulurkan nota pemilihan treatment. "Iya Bu. Bisa dicoba." Rani tersenyum dan membaca pilihan layanan treatmen lalu mulai menyiapkan peralatan. "Silakan k
🌹 Kadang orang jahat itu berawal dari orang baik yang tersakiti. **Flash back on."Ada apa lagi, Ran? Bukankah kamu sudah bertekad untuk tidak mau menerima lamaranku?""Ya Mas. Sekali lagi aku minta maaf.""Katakan saja apa yang ada di hatimu dan jangan buang-buang waktu!""Baik. Aku cuma ingin bertanya pada Mas Agus, apa mas tidak merasa sakit hati pada perbuatan mbak Leni yang dengan semena-mena mempermalukan orang tua mas Agus saat acara perayaan ulang tahun pernikahan?""Memang ada apa? Apa ada urusannya denganmu?""Mas Agus, kumohon. Jangan dendam seperti ini. Aku tahu mungkin mas Agus masih sakit hati karena aku tidak bisa menerima perasaanmu, tapi tak bisakah mas juga memperlakukanku sebagai adik seperti Mas memperlakukan Widuri?" tanya Rani dengan tatapan memohon. "Aku yakin dengan apa yang mas miliki sekarang, mas pasti akan mendapatkan pengganti yang lebih baik dariku. Aku mohon, Mas. Maafkan aku. Aku ingin kita bekerja sama."Mau tak mau Agus menjadi iba. "Sebenarnya a