“Ruu!” teriak Sie kencang sambil berlari ke arah Ruu yang lagi asyik berduaan dengan Gea.
Ruu menatap Sie kaget dan heran.
“Apaan?” tanya Ruu kesal.
Sie tidak peduli Ruu melotot ke arahnya saat ia ikut duduk di antara mereka berdua, Ruu dan Gea.
“Sie ngapain sih?” protes Gea. “Ganggu aja.”
Sie menatap Ruu serius terkesan horror, tidak memedulikan Gea yang cemberut. “Ry,” ucapnya gugup.
“Ry?” ulang Ruu sambil menaikkan sebelah alisnya kurang senang, karena Sie menyebut nama Ry di depan Gea.
“Aku ngeliat Ry menuju kemari!” sambung Sie setelah berhasil mengendalikan diri.
“Apa?”
Spontan Ruu berdiri. Tak dihiraukannya Gea yang makin cemberut mendengar nama Ry. Yang dipikirannya sekarang Cuma Ry. Untuk apa Ry kemari, lalu dari mana gadisnya itu tahu tempatnya bekerja.
“Ngapain Ry kemari?” tanya Ruu cemas. Dari suaranya, kentara sekali kalau Ruu tengah gugup.
Sie mengangkat bahu tanga tidak tahu. Sebelum pemuda berlesung pipi itu menjawab pertanyaan Ruu, terdengar suara seorang gadis menyerukan namanya, membuat salah satu anggota tim basket laki-laki di sekolahnya itu pucat. Sie menoleh horor. Rin sudah berdiri di ambang pintu.
“Sie!” Rin setengah berteriak. “Ternyata benar disini!”
Rin melempar bola orange di tangannya dengan keras ke arah Sie. Untung Sie segera menangkapnya, kalau tidak bisa berantakan game center merangkap kedai es krim itu.
“Rin, tenang dulu, deh. Aku bisa jelasin,” ucap Sie mencoba membela diri.
Rin menyipitkan matanya sambil berkacak pinggang.
“Rin, sabar, dong!” sentak Ruu sambil menghampiri adik pacarnya itu. “Rin…”
Tapi pemuda tampan itu segera menelan kata-katanya yang sudah berada di ujung lidah begitu melihat Ry dan Mina keluar dari balik punggung Rin.
“Ry,” gumam Ruu tertahan.
Ry menatap Ruu sekilas. Padahal Ry ingin memeluk pemuda itu, tapi ketika dilihatnya ada gadis lain yang tidak dikenal berjalan pelan kearah mereka dengan tatapan tak bersahabat, Ry mengurungkan niatnya. Nalurinya mengatakan kalau gadis itu ada hubungan dengan Ruu. Rada rindu yang tadi dirasakannya pada Ruu menguap. Berganti rasa kesal. Bukan marah atau cemburu, hanya kesal. Tanpa memedulikan Ruu yang memucat, Ry melangkahkan kaki memasuki game center itu.
“Wow keren!” desis Ry kagum begitu sudah berada di dalam game center itu. “Mina sini deh!” Ry menarik tangan sahabatnya itu agar mendekat. “Biarin aja Rin berantem sama Sie di sana.”
Mina mengangguk. Dengan salah tingkah karena merasa ia berada di situasi dan tempat yang kurang tepat, Mina mengikuti Ry.
“Eh ada kedai es krim segala.”
Ruu menatap Ry dengan mata menyipit. Dia tahu gadis mungil itu marah padanya karena ada Gea di sisinya. Ruu sudah janji pada Ry ingin setia, tetapi buktinya malah sebaliknya.
Ruu segera menghampiri mereka. Tak dihiraukannya Gea yang berteriak memanggilnya.
“Ruu!” teriak Gea separuh menangis. Gadis itu menghentakkan kaki kesal karena Ruu tidak memedulikannya.
“Ry sama Mina mau pesan apa?” tanya Ruu sambil menatap Ry cemas.
“Emm….” Mina menatap Ry ragu-ragu. Haruskah ia memesan es krim di saat kedua sahabatnya sedang perang dingin dengan pasangan mereka?
“Sie, kami pesan es krim ya?” teriak Ry kencang sambil menatap Sie.
Sie yang duduk bersama Rin di meja paling pojok menoleh kemudian mengganguk. Pemuda itu mengacungkan ibu jarinya.
Ry tersenyum madu sambil melirik Mina kemudian menyebutkan pesanannya dengan cuek, sok tidak kenal dengan pelayan yang tak lain adalah Ruu.
“Sie sama Rin mau juga nggak?” tawar Ry masih dengan teriakannya yang keras. Ry memang harus berteriak, ia harus mengimbangi suara bising yang datang dari arena permainan. Suara musik dan mesin-mesin game yang keras membuat suara teredam kalau hanya berbicara dengan suara biasa.
Sie menoleh lagi, kali ini dengan gusar. Begitu juga Rin.
“Rin mau nggak?” tawar Sie hati-hati karena ia tahu kalau Rin masih marah.
“Terserah.” Rin mengangkat bahu tak peduli.
“Ruu!” teriak Sie. “Dua, blueberry.”
Ruu mengangguk, mengantarkan pesanan ke meja Ry dan Mina kemudian kembali ke belakang bar untuk menyiapkan pesanan Sie dan Rin.
Sementara di pojok khusus game, anak-anak dan orang-orang lain masih berkonsentrasi dengan permainan mereka. Tidak peduli kalau di kedai es krim di sebelah mereka tengah terjadi perang.
Ruu juga tidak peduli dengan Gea yang sudah tidak keliatan lagi. Entah gadis itu pergi ke mana, pulang mungkin. Fokusnya tertuju pada Ry. Ia harus menemukan cara untuk membujuk gadis childishnya agar tidak marah lagi.
“Ruu berantem sama Ry ya kemaren?” tanya Sie yang siang itu lagi-lagi berada di Mobieus. Istana game dan es krim tempat Ruu bekerja.
Sie memang tidak terlalui menyukai sekolah. Menurutnya kegiatan sekolah terlalu monoton, membuatnya bosan sehingga ia sering membolos seperti sekarang. Sie akan masuk sekolah kalau ada pertandingan basket atau ada kegiatan yang mengharuskannya untuk masuk. Ujian misalnya. Dan untuk basket, Sie sangat menggilai olahraga yang satu itu. Basket juga yang membuatnya mau menuruti keinginan kedua orang tuanya untuk melanjutkan sekolah.
“Nggak tau,” jawab Ruu asal sambil terus menatap orang-orang yang sibuk bermain di arena game.
“Kok?” tanya Sie tak puas dengan jawaban Ruu.
“Yaa, gitu, deh.” Ruu menatap Sie.
“Maksud Ruu?” Sie mengerutkan alis tebalnya.
“Aku belum ketemu Ry sejak hari itu,” sahut Ruu lirih.
Sie manggut-manggut. “Pantas,” gumamnya lirih. Gumaman yang masih bisa didengar oleh Ruu.
“Pantas apaan?” tanya Ruu cepat. Tentu saja ia curiga kalo Ry ada main-main, ucapan Sie gantung. Lagipula, ia sudah mengenal siapa dan bagaimana Ry. Gadis mungil itu selain manja dan childish juga mata keranjang. Tidak bisa melihat pemuda keren sedikit saja matanya langsung hijau. Yaa sama saja sih dengannya. Playboy vs playgirl bertemu ya seperti ini. Si pemuda berselingkuh, sang gadis membalas. Ugh berat!
“Ruu tau kan kalo Ry dan genk-nya populer di sekolah.”
Ruu mengangguk was-was. Perasaannya langsung tidak enak.
“Nggak ada yang nggak kenal sama mereka.”
“Terus?” potong Ruu tak sabar.
“Terus Keiya naksir Ry.”
“Naksir Ry?” belalak Ruu kaget. Instingnya ternyata benar. “Keiya? Siapa tuh?” Ada lipatan di dahi pemuda itu ketika keningnya berkerut kesal.
“Kapten klub baseball di sekolah.”
Ruu diam. Keiya? Kapten klub baseball? Pasti keren! Huh, kok kayaknya dia nggak suka ya.
“Emang Ry nggak bilang sama Ruu?” tanya Sie menyelidik.
“Aku bilang kan belum ketemu!” sentak Ruu kesal. “Ry nggak ke rumahku.”
“Ruu pulang tengah malam terus sih,” ucap Sie dengan wajah tanpa dosa.
Ruu mendelik mendengarnya. Sie tetap santai, tidak memedulikan tampang imut Ruu yang berubah horor. Ruu membuang napas melalui mulut, membenarkan kata-kata sahabatnya yang terkenal suka menggosip itu. Beberapa malam ini ia lembur dan selalu pulang telat.
“Nggak kangen apa?” Sie masih memanas-manasi Ruu.
Ruu menatap Sie tajam. Sie sialan, makinya kesal dalam hati. Kangen? Entahlah. Ruu tidak tahu, yang ia tahu hanya ia sangat ingin bertemu gadis mungilnya.
“Ruu!”
Seseorang memanggilnya. Ruu segera menoleh, begitu juga Sie. Ooh, Ken. Adik pemilik Mobieus.
“Ehm!” Ken berdehem sebelum menghampiri kedua pemuda di depannya. “Ya-yang kemaren kesini rame-rame ceweknya Ruu?” tanya Ken gugup setelah berada di depan Ruu dan Sie.
“Yang kemaren?” Ruu menatap Sie berusaha mengingat-ingat. Tapi rasa-rasanya kemarin tuh tidak ada seorang pun gadisnya yang datang. Kening pemuda itu berkerut tanda berpikir.
“Kemaren?” Sie juga ikutan bertanya.
“I-iya.” Ken mengangguk cepat, cara bicaranya masih terbata. Sangat kentara kalau ia gugup. “Yang salah satunya ribut sama Sie.”
Ruu dan Sie saling pandang. Yang ribut dengan Sie kan Rin cs, dan itu sudah beberapa hari yang lalu, bukan kemarin. Ken cakep-cakep payah ternyata. Sudah lama dibilang kemarin. Eh, atau dia yang bego? Sie menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Yang mana?” tanya Sie. “Kalo yang berantem sama aku namanya Rin, cewekku.”
“Bukan!” Ken menggeleng cepat. “Yang satunya.”
Deg! Yang satunya? Ruu menatap Sie kacau. Jangan-jangan…
“Yang rambutnya dijalin.” Ken menundukkan kepala, menyembunyikan rona merah yang menjalari wajah tampannya.
Yang rambutnya dijalin? Itu kan Mina. Tiba-tiba saja Ruu merasa lega. Pemuda itu tersenyum.
“Mina, ya?” tanyanya heran mengapa dia merasa senang. “Dia bukan cewekku kok.”
“Cewek Ruu yang satunya.” Sie melirik Ruu yang senyam-senyum terus dari tadi. Ruu lagi kesambet keknya, pikir pemuda berlesung pipi itu. Tanpa sadar Sie bergidik. Merasa ngeri kalau Mobieus ada penunggunya.
“Lho, Ry cewek Ruu, ya?” Ken kaget.
Mata Ruu membulat. “Kok tau namanya Ry? Ken kenal?” Ruu mengernyit tidak suka.
“Iya.” Ken mengangguk polos. “Tadi di jalan kami ketemu terus kenalan.” Ken menatap Ruu takut-takut. “Maaf ya, Ruu. Kami Cuma kenalan kok, habisnya dia lucu. Nggak pa-pa kan?” tanya Ken hati-hati. Pemuda itu merasa tidak enak.
“Nggak pa-pa kok.” Ruu memaksakan sepotong senyum di bibirnya. “Oh iya, Ry tadi sama sapa?”
“Sama cewek Sie,” jawab Ken seraya menatap ke arah pemuda berlesung pipi itu.
“Rin?” sambar Sie kaget. “Mereka mau kesini, ya?” Pemuda itu tampak khawatir. Mampus kalau dia bertemu sekarang. Pasti deh bakalan kena omel panjang kali lebar yang hasilnya Sie sendiri tidak tahu.
“Nggak.” Ken menggeleng. “Mereka mau pulang ke rumah, habis bubar sekolah katanya.”
Sie tersenyum lega. Pokoknya ia tidak mau bertemu Rin sekarang. Ia masih ingin hidup.
‘Kok Ry langsung pulang sih, kenapa nggak kesini dulu. Aku kan mau ngomong, gerutu Ruu kesal dalam hati sambil tangannya mencorat-coret kertas tidak karuan.
“Terus, Ken ngapain tanya-tanya Mina?” tanya Sie usil. Cowok itu menaikturunkan alis tebalnya menggoda Ken.
Ken diam. Pemuda itu terlihat salah tingkah dengan pipinya yang memerah perlahan.
“Ken suka Mina, ya?” tebak Ruu.
Ken terkejut, kemudian menunduk dengan pipi yang memerah sempurna. Sie yang melihatnya terbahak. Membuat Ken menundukkan wajahnya.
“Jangan khawatir.” Sie menepuk bahu Ken setelah tawanya reda. “Aku bisa kok jadi comblang.”
“Beneran?” Ken berbinar.
“Pasti!” Sie bersedekap memasang pose gagah.
"Ry!"Gadis manis itu menoleh kemudian tersenyum ketika tahu siapa yang memanggilnya."Keiya!" serunya senang."Kok Ry sendiri?" tanya Keiya sambil memutar topi baseball-nya ke arah belakang.Ry mengangkat bahu. "Rin di lapangan basket, setelah tadi ngomel karena Sie nggak masuk lagi." Ry tertawa kecil yang membuat lesung pipinya melekuk dalam. Keiya terpesona melihatnya."Terus, tadi Mina ada rapat sama Shoun."Keiya diam melongo menatap Ry. Membuat gadis bertubuh mungil itu bingung sekaligus kesal."Keiya!" sentak Ry.Pemuda itu kaget. "Ah i-iya," jawab Keiya gugup."Keiya kenapa, sih?" sungut Ry kesal. "Aku, 'kan, lagi ngomong sama Keiya, nggak lagi ngomong sama tembok." Gadis itu cemberut."So-sorry." Keiya tergagap. "Tumben Ry baca," ucapnya mengalihkan pembicaraan. Kapten klub baseball itu menunjuk buku yang berada di tangan Ry.Ry nyengir sambil mengangkat bukunya. Keiya tersenyum melihat buku itu. Komik. Pantas. Harusnya dia sudah tahu, tidak mungkin Ry membaca buku selain bu
"Hii, Charlie's Angels!" seru seseorang.Ry, Rin, dan Mina berbalik."Tungguin dong!"Sie! Dikira siapa. Ketiga gadis itu melengos kesal kemudian kembali berjalan."Hei!" teriak Sie lagi sambil berlari kecil. "Kenapa, sih, kok, cuek banget?" tanya pemuda berlesung pipi itu setelah berada di dekat ketiga gadis berbeda karakter itu."Ngapain Sie teriak-teriak?" tanya Ry gusar.Sie melongo mendengarnya. Untung dia tidak tertabrak siswa lain atau jatuh karena dia berjalan mundur, menghadap ke arah Ry and the gank. Koridor dan kelas-kelas mulai ramai karena siswa-siswa yang mulai berdatangan."Tumben Sie masuk!" sindir Rin.Pemuda anggota klub basket itu diam. "Tapi kalo Sie masuk pasti ada sesuatu." Mina tersenyum.Sie nyengir. "Kok tau?" tanyanya bego."Kebiasaan jelek." Ry mengibaskan tangannya mengolok Sie. Sie menatap Ry sekilas. Lalu, ketika dia ingin berbicara bel tanda masuk kelas berbunyi.Ry dan sahabat-sahabatnya segera meninggalkan pemuda itu menuju kelas mereka masing-masing
Ry melongo mendengarnya. Apa maksud pemuda di depannya ini? Sungguh dia tidak mengerti dengan hal-hal yang dikatakan Shoun. Ry menggaruk kepalanya sambil sesekali melirik Sie yang lagi berebut bola orange dengan Rin di lapangan. Kedua orang itu saling bertaruh. Sie memang sudah masuk sekolah beberapa hari ini. Ry tidak menyangka kalau Sie menerima kekalahan dan memenuhi keinginannya untuk pemuda itu masuk sekolah. Rasanya aneh memang, tapi itulah kenyataannya. Seorang Sie Matsuzaka yang terkenal selain sebagai pangeran basket juga tukang bolos nomor satu di sekolah mereka, sekarang masuk sekolah dengan rutin. Hampir dua Minggu terakhir Sie tidak pernah bolos. "Ry ngerti nggak?" tanya Shoun mengakhiri ceramahnya.Ceramah? Tentu saja. Ry selalu mrnhanggap perkataan panjang lebar seperti perkataan Shoun tadi dan sejenisnya sebagai ceramah. Ry menggeleng polos. Gantian, sekarang Shoun yang menggaruk kepalanya."Shoun tau, kan, kalo aku nggak pintar sama yang kayak begituan, masih aja Sh
Suasana Mobieus yang ramai tidak membuat Ruu senang. Padahal biasanya pemuda tampan itu menyukai suasana seperti sekarang, karena dia akan memperoleh bonus yang cukup besar dari bosnya. Namun sekarang pemuda itu terlihat manyun, tidak ada sepotong senyum pun di bibirnya. Bahkan teguran para pengunjung hanya dijawabnya dengan anggukan kecil. Ruu mendesah, perasaannya kacau beberapa hari ini. Kepalanya menggeleng beberapa kali mengusir lamunan. Suara sekelompok anak yang baru memasuki Mobieus menarik perhatian Ruu. Suara yang nggak asing, pikirnya. Dialihkan tatapannya ke arah mereka. Sie, Rin, Mina dan.... Ruu nyaris tidak percaya pada penglihatannya, tetapi itu memang dia. Sosok mungil yang dirindukannya ada di antara mereka. Ry ada di sana bersama teman-temannya!Keempat makhluk itu memasuki kedai es krim berbarengan, kemudian berebut untuk duduk di salah satu meja yang terletak di pojok ruangan. Ruu buru-buru menghampiri empat sahabat itu sebelum pelayan lain mendekati mereka."Ry
Ry melangkah menuju meja teman-temannya setelah urusannya dengan Ruu sudah selesai. Ry perlu membujuk Ruu agar pemuda itu mau membiarkannya kembali bersama teman-temannya. Ry sempat cemberut dan merajuk. Bagaimana mungkin Ruu berpikir untuk bolos bekerja hari ini hanya untuk menemaninya agar dia percaya padanya? Ruu bego, dengus Ry kesal dalam hati."Gimana?" tanya Sie tidak sabar."Apanya?" Ry balas bertanya. Wajah polosnya pura-pura tidak tahu lantas menarik sebuah kursi ke meja Sie dan teman-teman lalu duduk dengan cueknya."Ry kok kaya gitu sih?" protes Rin."Kaya gitu apaan?" Ry mengerjap kemudian membelalak saat Rin mencubitnya. "Aww Rin. Sakit, Bego!" hardiknya.Rin melengos. "Biarin!" sungutnya. "Aktingnya receh sih."Gemas, Ry memukul pelan pergelangan Rin. Membuat gadis tomboy itu mendelik marah.Sie memutar bola mata bosan. Kebiasaan buruk Yamazuki bersaudara, pikir pemuda berlesung pipi itu. Dengan cepat Sie berdiri dari duduknya kemudian duduk di antara kakak-beradik yang
"Keiya!"Kapten tim baseball itu menghentikan langkah dan menoleh ke asal suara. Pemuda itu tersenyum begitu melihat Ry melambaikan tangan ke arahnya."Keiya, tungguin!" Ry berlari kecil sambil melambai ke arah teman-temannya. "Duluan!" ucapnya tanpa suara.Rin melengos melihatnya. "Huh!"Mina menoleh. "Kenapa?" tanyanya dengan alis berkerut."Sebel deh." Rin memantulkan bola basketnya di tanah. "Ry kayak playgirl gitu."Alis Mina berkerut. "Playgirl gimana?" tanyanya."Itu ...." Rin memonyongkan mulutnya. "Maksud aku gini lho, Mina. Ry itu kan udah punya pacar, tapi kok masih nempel aja sama Keiya?"Mina tertawa kecil. "Rin iri ya?""Iri apaan?" Rin makin sewot."Nggak boleh ngata-ngatain Ry kayak gitu. Lagian kan Ry bukan playgirl, Ry nggak pacaran sama Keiya kan?"Rin mengembuskan napas kasar. "Nggak bilang pacaran, cuman nempel!" ketusnya."Rin berantem lagi ya sama Sie?" tebak Mina asal. Bukan asal sih sebenarnya, sikap Rin sudah bisa ditebak. Kalau terlihat uring-uringan seperti
"Pulang sekolah kalian ke Mobieus nggak?"Ry yang sedang menyeruput softdrink berhenti. Menatap Rin dengan kening berkerut. Tumben, pikirnya."Maybe." Ry mengangkat bahu cuek."Mina?" Rin menatap gadis lembut itu meminta jawaban.Mina mengalihkan tatapan dari buku yang sejak tadi menjadi fokus matanya ke arah Rin."Rin mau ke Mobieus?" tanya Mina hati-hati. Gadis itu tahu kalau Rin sedang dalam keadaan hati yang kurang baik akhir-akhir ini. Dia tidak ingin menambah buruk suasana hati sahabatnya yang tomboi itu.Rin mengangkat bahu. "Nggak tau," jawabnya. "Pengen pergi sih, tapi ....""Tumben." Ry melirik adiknya yang sedang memutar-mutar bola basket. "Kemaren-kemaren diajak nggak mau."Rin menatap Ry sekilas kemudian berdiri meninggalkan kakak dan teman baiknya.*** "Eh itu Sie kan?" Mina menarik tangan Ry ketika gadis itu ingin melangkahkan kakinya memasuki Mobieus."Mana?" Ry celingak-celinguk mencari, membiarkan Rin masuk lebih dulu bersama Keiya dan Shoun."Itu!"
"Siapa, sih, cowok itu, murid baru, ya?"Hampir seluruh siswa SMU Banzare terutama para siswa perempuan yang melihat pemuda bertampang cool itu berkasak-kusuk ria seperti itu, karena mereka baru pertama kali melihat pemuda itu, karena memang pemuda itu siswa baru."Not bad," gumam Go Yatsuba, si siswa baru sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Dia sedang mengamati keadaan sekolah barunya. "Sekolahnya nggak jelek-jelek am....""Aww!" rintih seorang gadis yang tertabrak tubuhnya."Kamu buta ya?!" maki gadis itu galak. Mata bulatnya membelalak kesal. Bagaimana tidak kesal, gara-gara pemuda sinting yang celingukan bola basketnya terjatuh dan menggelinding agak jauh. Beruntung bola itu tidak menuruni tangga, kalau tidak dia pasti akan membunuh pemuda di depannya ini.Go terperangah melihatnya. "Manis banget," pikirnya."Sialan!" maki si gadis lagi, kali ini tambah judes. "Jalan tuh pake mata!" belalaknya galak. "Woyyy!!!""Hah???" Go tergagap. Gadis itu meneriakinya. "Ya-ya?""Dasar tolol
Pagi datang lebih cepat dari biasanya bagi Ruu. Suara kicau sekumpulan burung yang bertengger di pagar balkon jendela kamarnya yang membangunkannya. Suara itu lebih dahsyat dari suara jam alarm yang dipasangnya tadi malam. Jam itu terus berbunyi nyaris selama dua jam, tidak berhenti jika ia tidak mematikannya, dengan mata yang masih terpejam. Tadi malam ia tidur lewat tengah malam. Bukan karena begadang, melainkan karena mengerjakan pekerjaan kantornya. Setelah mengantarkan Ry pulang pada pukul sepuluh malam, dan tiba kembali di apartemennya tiga puluh menit kemudian, ia langsung mengerjakannya. Ada beberapa pekerjaan yang belum sempat ia kerjakan. Ia baru mengingatnya setelah berbaring di atas tempat tidur tadi malam. Dengan malas Ruu bangun. Rasanya masih belum puas tidur meskipun sekarang sudah pukul delapan pagi. Ruu sadar jika ia terlambat, dan itu bukan merupakan contoh yang baik bagi bawahannya. Namun, mau bagaimana lagi, walaupun ia bersiap dengan tergesa tetap saja tidak
Ruu mengembuskan napas mendengar pertanyaan itu. Tangannya terangkat mengusap tengkuk, dan meneguk ludah susah payah. "Aku ... ancam dia biar nggak ganggu Ry lagi " Mata bulat Ry melebar. "Kok, Ruu gitu?" tanyanya memprotes. "Habisnya dia nyebelin!" Ruu membela diri. "Masa mau sama cewek aku?" Sepasang alis Ry terangkat. "Dia nggak nolak dijodohin sama Ry pas udah liat foto Ry. Dia sampai mutusin ceweknya yang satu fakultas sama aku. Ya, udah, aku hajar aja!" Ry mengerjapkan mata beberapa kali. Apa kata Ruu tadi, menghajar seseorang yang mau dijodohkan dengannya? Astaga! Ry memencet pangkal hidung. Meskipun kesal, tapi dia tidak bisa marah. Hati kecilnya justru menganggap apa yang dilakukan Ruu sangat manis. "Astaga!" Ry menutup mulut dengan kedua tangan. "Maaf, Ry!" kata Ruu cepat, ia tak ingin mendapatkan kemarahan dari ceweknya. Mereka baru saja bertemu sore tadi setelah enam tahun berpisah, akan sangat tidak lucu jika mereka kemudian langsung bertengkar. "Aku cuman berusaha
Mata bulat Ry masih berkaca-kaca, tak percaya jika dia benar-benar bertemu dengan cowok yang selama ini dirindukannya . Semua seperti mimpi saja, Ruu datang ke kedai es krim tempatnya bekerja, memesan es krim yang tidak ada dalam daftar menu. Tak ada kedai es krim yang menjual es krim dengan rasa yang tawar, dan Ruu memesannya karena tidak menyukai makanan manis. Konyol memang, tapi Ruu melakukannya hanya ingin dia mengetahui keberadaannya. "Maafin aku, Ry." Ruu menggenggam tangannya erat. "Harusnya sejak awal aku udah tau kalo Ikki pengen kisahin kita, tapi aku nggak tau kalo dia bisa selicik itu."Ry menggeleng. Dia masih belum dapat berbicara. "Aku nyari Ry ke mana-mana selama beberapa bulan awal itu, tapi nggak ketemu. Hampir seluruh Tokyo aku cari, tapi Ry nggak ada. Sampai Papa nawarin aku bantuan dengan satu syarat." Ruu menundukkan kepala. "Aku harus mau lanjutin pendidikan aku."Ry mengangguk. Dia percaya dengan semua yang dikatakan Ruu. Cowok yang duduk di sebelahnya, seda
Osaka sekarang sama berartinya dengan Tokyo bagi Ruu. Jika dulu ia hanya menganggap Tokyo yang terpenting karena keluarganya tinggal di sana, sejak Papa memberi tahu keberadaan Ry di Osaka, kota ini juga menjadi yang penting untuknya. Ruu bahkan tak menyangka jika ia akan menjadi bagian dari kota ini. Mulai besok ia akan memimpin perusahaan cabang yang berada di sini. Perusahaan cabang yang diberikan Papa padanya seratus persen. Jadi, mulai besok perusahaannya akan berdiri sendiri. Meskipun begitu, ia tetap menggunakan nama perusahaan yang lama. Toh, Papa tidak keberatan dengan itu, malah Papa yang memintanya untuk tidak mengubah nama agar tidak merepotkan. Ruu sedang duduk di sofa ruang tamu di apartemennya setelah menempuh perjalanan lebih dari setengah hari mengendarai mobil. Rencana ia akan beristirahat beberapa jam sebelum menemui Ry nanti sore di tempatnya bekerja. Menurut informasi dari Rin, Ry tidak mengambil cuti dan tetap bekerja meskipun di akhir pekan. Satu perubahan y
Satu bulan ternyata tidak selama yang dipikirkan Ruu, waktu tiga puluh hari justru berjalan sangat cepat. Apalagi diselingi dengan celotehan Rin melalui setiap pesan yang dikirimkannya. Terkadang cewek yang sekarang sudah dekat kembali dengan Go itu mengiriminya video Ry saat mereka sedang mengobrol berdua, terkadang hanya mengirimkan suara Ry saja. Tiga tahun lagi dilalui dan Ry tetap tak berubah. Wajahnya masih menggemaskan dengan pipi yang masih saja sebulat bakpao. Seandainya saja bisa –Ry berada di dekatnya– akan dicubitnya pipi itu. Mungkin ia akan melakukannya nanti saat mereka bertemu.Omong-omong soal pertemuan mereka, ia tidak memberi tahu siapa-siapa. Yang pasti ia akan menemui Ry saat masa tiga tahun terakhir, berakhir. Untuk tempat, ia masih belum menentukannya. Ia memang memiliki nomor ponsel Ry, Rin yang memberikannya. Awalnya cewek itu tidak mau memberitahunya, Rin malah meminta pertukaran, nomor ponsel Ry dengan alasan kenapa ia tak ingin Ry melihatnya. Namun, setel
Benda pipih persegi panjang itu sudah sejak beberapa menit yang lalu berada di tangan Ruu. Ia menggunakannya untuk berbalas pesan dengan Rin. Setelah makan malam dan sesi penjatuhan hukuman selesai, Ruu langsung masuk ke kamar tidurnya dan menghubungi Rin. Ia mengirimkannya pesan melalui sebuah aplikasi. Ruu tidak menggunakan laptop, ia menggunakan benda itu untuk kepentingan belajarnya. Untuk hal lain, ia selalu menggunakan ponsel, termasuk berkirim pesan dengan Rin. [Pokoknya Rin jangan kasih tau Ry dulu, atau aku akan kena masalah] - RuuBerulangkali Ruu memberikan alasan pada Rin agar tidak memberikan nomor ponselnya pada Ry. Cewek yang sekarang juga sudah kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Osaka itu ingin memberikan nomornya kepada kakaknya. Kata Rin, sampai sekarang Ry masih berusaha mencari informasi tentangnya. Kabar yang membuatnya nyaris melompat-lompat tadi saling senangnya. Ry masih mencintai dan masih mengharapkannya, perasaan mereka masih sama. Sekarang,
Ruu menundukkan kepala, pasrah dengan hukuman yang diberikan Papa. Ia ketahuan Rin, itu sudah cukup buruk baginya. Beruntung bukan Ry yang mengenalinya, bisa-bisa hukumannya jauh lebih berat dari sekarang. Ia tidak diperbolehkan lagi pergi ke Osaka, tidak sebelum ia lulus kuliah dan membuktikan jika dirinya mampu memimpin salah satu cabang perusahaan Papa yang berada di Tokyo sini. Jika berhasil maka Papa akan memberikan perusahaannya yang berada di Osaka, dan membiarkannya bertemu dengan Ry. Kedengarannya sangat tidak adil memang, tetapi ia tetap menerimanya. Semua memang salahnya yang menatap terlalu lama, tanpa sadar. Ia lupa jika Rin orangnya terlalu curiga, Rin bukan Ry yang tidak peka. Waktu tiga tahun bukanlah waktu yang lama, ia hanya harus lebih bersabar lagi. Ia bisa menggunakan waktu tiga tahun tambahan hukuman tanpa dapat melihat Ry secara langsung lagi, dengan lebih giat belajar. Ia yakin dapat melakukannya, ia harus lulus dengan nilai cumlaude terbaik sebagai pembukti
Paman gendut membawa nampan berisi dua buah mangkuk ramen ke meja Ry dan Rin. Sepertinya dia sangat tahu kapan kedua cewek itu datang sehingga membuatkan pesanan mereka bersamaan dengan miliknya. Diam-diam Ruu mengaguminya dalam hati."Untuk Ry tanpa narutomaki!" Paman gendut meletakkan mangkuk pertama di depan Ry. Mangkuk itu tanpa kue ikan yang tidak disukai Ry. Paman gendut sudah mengingatnya, seminggu ini ia selalu menyajikan ramen untuk Ry tanpa narutomaki. "Ini untuk Rin!" Ia meletakkan sebuah mangkuk lagi tepat di depan Rin. "Terima kasih, Paman!" Kedua cewek itu berkata bersamaan. Ruu tersenyum mendengarnya. Sengaja ia tidak melirik ataupun menatap mereka secara langsung lagi, ia tak ingin menimbulkan kecurigaan. Rin beberapa kali memergokinya tengah menatap mereka. Ia tak ingin ketahuan, atau semua akan semakin sulit. Ruu semakin menurunkan topinya, ia merasa sedang diawasi. Terpaksa ia mempercepat makannya, dan meninggalkan kedai lebih cepat dari minggu sebelumnya. Ia jug
Udara pagi memang lebih bersih bila dibandingkan pada siang hari. Sinar matahari yang hangat semakin menambah kesan sehat. Di dalam Shinkansen yang akan membawanya ke Osaka, Ruu memilih menghabiskan waktu untuk membaca. Bukan buku komik seperti yang biasa dibaca Ry, melainkan buku tentang bisnis. Ini adalah saran Papa agar ia tidak merasa bosan berada di dalam kereta cepat ini selama lebih dari dua jam. Bukan ide yang buruk karena waktu dua jam perjalanan seperti tak terasa, tahu-tahu kereta sudah berhenti di stasiun Shin-Osaka, tempat perhentiannya. Ruu turun bersama dengan para penumpang yang mempunyai tujuan yang sama.Ini adalah hari Minggu di pekan kedua ia diperbolehkan menemui Ry oleh Papa. Bukan menemui dalam artian sebenarnya, ia hanya diperbolehkan melihatnya dari jauh saja. Ia tidak boleh terlihat apalagi sampai bertegur sapa, sebagai salah satu syarat agar Papa tetap membantunya. Jika ia sampai melanggar sekali saja, maka Papa akan membiarkan laki-laki mana pun untuk mend