Ry, Rin, dan Mina berbalik.
"Tungguin dong!"
Sie! Dikira siapa. Ketiga gadis itu melengos kesal kemudian kembali berjalan.
"Hei!" teriak Sie lagi sambil berlari kecil. "Kenapa, sih, kok, cuek banget?" tanya pemuda berlesung pipi itu setelah berada di dekat ketiga gadis berbeda karakter itu.
"Ngapain Sie teriak-teriak?" tanya Ry gusar.
Sie melongo mendengarnya. Untung dia tidak tertabrak siswa lain atau jatuh karena dia berjalan mundur, menghadap ke arah Ry and the gank. Koridor dan kelas-kelas mulai ramai karena siswa-siswa yang mulai berdatangan.
"Tumben Sie masuk!" sindir Rin.
Pemuda anggota klub basket itu diam.
"Tapi kalo Sie masuk pasti ada sesuatu." Mina tersenyum.
Sie nyengir. "Kok tau?" tanyanya bego.
"Kebiasaan jelek." Ry mengibaskan tangannya mengolok Sie.
Sie menatap Ry sekilas. Lalu, ketika dia ingin berbicara bel tanda masuk kelas berbunyi.
Ry dan sahabat-sahabatnya segera meninggalkan pemuda itu menuju kelas mereka masing-masing.
"Istirahat aku tunggu di atap gedung!" teriak Sie keras. "Ada yang mau aku omongin sama kalian."
Setelah berteriak Sie segera menaiki tangga dan berbaur dengan siswa yang lain menuju kelasnya yang berada di lantai tiga.
***
"Hah!!" belalak Ry dan Rin bersamaan.
"Sie gila ya?" tanya Rin mengkal sambil menjitak kepala Sie. Bagaimana mungkin bisa-bisanya pemuda itu mempunyai pikiran sedangkal itu? Apa Sie pikir ini mudah? Ini tentang perasaan, tentang hati, bukan tentang makanan kesukaan atau hobi.
"Sie nggak mungkin berhasil, deh." Ry tersenyum madu.
"Kenapa?" tanya Sie heran. Dia juga tidak menutupi rasa kesal dalam suaranya.
"Sebab kami kenal siapa Mina." Rin melempar bola basketnya ke arah Sie, dengan cepat pemuda itu menangkapnya. Rin kemudian berjalan ke tepi atap dan membiarkan angin meniup rambut pendeknya. "Dia nggak bakalan mau."
Ry mengangguk membenarkan ucapan adiknya.
"Mina nggak mau dicomblangin sama cowok yang nggak dikenalnya," tambah Ry.
Rin menatap Sie meyakinkan, bersandar pada pagar pembatas atap gedung sekolah mereka. Bodoh, pikir gadis tomboy itu. Mau mencomblangkan Mina dan Ken? Memangnya siapa itu Ken? Dia dan Ry saja tidak mengenal dengan pemuda yang kata Sie adik bos Ruu itu, apalagi Mina.
Rin mengembuskan napas melalui mulut. Untung Mina nggak ikut ke sini tadi, rutuk gadis basket itu kesal dalam hati. Mina ada urusan bersama Shoun mengenai klubnya. Coba saja kalau Mina ikut, apa jadinya Sie? Pasti Sie diomeli Mina habis-habisan.
Diomeli? Sepertinya Mina tidak pernah mengomel. Kesal saja rasa-rasanya Mina tidak pernah, bagaimana dia mau mengomel? Mina terlalu lembut dan pemaaf.
"Sie mau taruhan nggak?" celetuk Ry tiba-tiba.
Sie kaget. "Apa?" tanyanya dengan mata melebar.
"Ry!" seru Rin mendekati kakaknya. "Ry ketularan Sie, ya, jadi ikut-ikutan gila juga?" hardiknya emosi.
"Nggak." Ry menggeleng enteng.
"Terus?"
"Sie kan nggak percaya kalo Mina nggak mau," jelas Ry.
Mata Rin memicing menatap Ry.
"Terus, kenapa nggak kita biarin aja dia nyoba dulu."
Tatapan Rin berpindah pada Sie kemudian kembali pada Ry. Terus seperti itu beberapa saat sebelum berhenti tepat pada Sie ketika indra pendengarnya menangkap perkataan pemuda itu.
"Taruhannya apa?" tantang Sie.
Ry tersenyum manis.
"Ry," rintih Rin khawatir. Mungkin saja Ry mempunyai akal yang sinting, Ry itu kekanak-kanakan jadi kadang-kadang akalnya juga seperti anak kecil.
"Kalo Mina mau berarti aku kalah." Ry menyibakkan rambutnya yang ditiup angin. "Tapi kalo Mina nolak berarti Sie yang kalah."
Sie mengangguk sambil tersenyum menampakkan lesung pipi di kedua pipinya.
"Kalo Sie kalah, Sie harus ngelakuin apa yang aku mau."
"Ry gila ya?" protes Rin.
"Tapi beda lagi kalo Sie yang menang." Ry terus berbicara tanpa memedulikan Rin yang menatapnya galak. "Terserah Sie, deh, mau apa."
"Ry!"
"Gimana?" Lagi-lagi Ry tidak menghiraukan seruan Rin. Dia tetap pada rencana awalnya.
Sie mengangguk mantap.
***
Sie menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sialan, maki pemuda pemain basket itu dalam hati. Ngapain dua cewek tengil itu di sini? Gawat, nih, bisa-bisa rencana berantakan. Lihat saja, dari tadi mereka selalu menempel pada Mina. Bagaimana Ken bisa mendekati Mina kalau kedua gadis itu bersikap seperti itu?
"Gimana, Sie?" tanya Ruu yang tiba-tiba sudah berada di samping pemuda itu.
Sie mesem. "Liat aja sendiri," ucapnya sambil memperhatikan Ry dan genk-nya yang asyik di arena game.
Ruu tersenyum kecut melihat Ken seperti orang linglung. Ken terlihat beberapa kali mengusap tengkuknya. Tatapan pemuda itu sama seperti tatapan Sie, ke arah Ry dan genknya yang lagi heboh bermain game. Ruu menggeleng melihat kelakuan gadis mungilnya. Senyumnya mengembang saat Ry bersorak heboh karena memenangkan sebuah permainan. Ruu mengalihkan perhatiannya kembali pada Ken. Melihat bagaimana keadaan pemuda itu, terbit sebersit rasa kasihan di dadanya. Kasihan berbalut kesal lebih tepatnya.
"Bodoh!" umpat Ruu lirih, kemudian kembali ke belakang meja kasir.
"Sie!" Rin menepuk bahu pemuda itu. "Kenapa? Kok tampangnya ditekuk kayak gitu?" tanya Rin menahan senyum.
"Kok, kalian nempel Mina terus?" protes Sie cemberut.
Rin melotot. "Emangnya kenapa?" tanyanya tajam.
"Gimana Ken mau ngedeketin Mina kalo kalian nempelin dia terus?" Sie terlihat makin mengerut. Dia sadar kalau dia bersalah pada Rin, dia sudah membohongi gadis itu.
"Emangnya Sie yakin menang?" tanya Ry yang tahu-tahu sudah berada di belakang pemuda itu.
"Ry!" seru Sie kaget. Tak sadar Sie memegang dadanya.
Ry tersenyum madu, menaik-turunkan alisnya menggoda Sie. "Sie yakin menang?" tanyanya lucu.
Sie menatap Yamazuki bersaudara bergantian, kemudian mengangguk walau agak ragu.
Ry tersenyum lebar. "Kalo gitu kita liat aja!" ucapnya sambil menyuruh Sie melihat ke arah Ken yang pelan-pelan mendekati Mina, dengan isyarat matanya.
"Bodoh!" maki Rin kesal. Gadis tomboy itu mendengkus sambil membuang wajahnya ke samping. Malas melihat pertunjukan yang dibuat oleh Ry dan Sie.
Sie berdebar melihatnya. Bagaimana Ken dengan pelan mendekati Mina dan hati-hati bicara dengan gadis lembut itu. Sie tidak peduli dengan makian Rin, seluruh atensinya tertuju ke arena game.
"Kita deketin, yuk!" ajak Ry sambil menarik tangan Sie.
"Jangan!" Sie menyentakkan tangannya cepat. "Ntar ganggu."
"Nggak!" Ry bersikeras. Gadis bertubuh mungil itu masih berusaha menarik tangan Sie. "Kita pura-pura main di sana." Ry menunjuk mesin game yang tidak dipakai pengunjung, yang terletak tidak terlalu jauh dari Mina dan Ken.
"Ntar kita dikira nguping." Size masih memberikan alasan.
Ry menggeleng cepat. "Nggak bakalan!"
"Aaaahhh, payah!" Rin mengibaskan tangan muak mendengar perdebatan unfaedah itu. Kemudian menarik tangan kakaknya dan Sie menuju tempat yang dimaksud Ry.
"Rin!" sentak Sie kaget.
Ry hanya tersenyum. "Rin pintar, deh," bisiknya di telinga adiknya.
Rin cuma mendengkus kesal mendengarnya. Enggak guna banget, pikir gadis tomboy itu sambil memutar bola matanya.
"Mina."
Suara Ken. Ry, Rin, dan Sie memasang telinga mereka baik-baik di tengah bisingnya suara mesin-mesin game. Ok fix, menguping di game center bukan ide yang baik.
Mina menatap pemuda di depannya bingung.
"A-aku...." Ken jadi gugup. Pemuda itu memainkan kedua jari telunjuknya di depan dada, persis kelakuan Ry kalau tertangkap basah sudah melakukan sesuatu diam-diam.
"Ada apa?" tanya Mina lembut meski sepasang alisnya berkerut.
"Aku..." Ken pucat. "Aku ... aku menyukai Mina!" ucapnya akhirnya.
Ugh lega!
Bukan cuma Ken yang lega, Sie juga.
"Benarkah?" Mina mengerjap tidak percaya. Rasanya aneh ada orang yang mengatakan suka padamu, sementara kau tidak pernah merasa mengenalnya.
Ken mengangguk pasti dengan wajah memerah.
Mina membungkuk. "Maaf!" ucapnya sopan.
Maaf? Sie melotot horor mendengar perkataan Mina itu. Apa maksud Mina dengan maaf itu? Berbagai spekulasi mengerikan mulai beterbangan di kepala pemuda basket itu.
Sementara Ken menatap Mina bingung. "Maaf?" ulang Ken tolol. "Maksud Mina?
Sekali lagi Mina membungkuk. "Aku ...." Gadis itu terbata. "Sudah ada yang kusukai." Dengan pipi memerah Mina melirik Shoun Kuriyama yang sedang bermain game bersama Keiya.
"Oohh...!" Hanya itu yang keluar dari mulut Ken.
"Sekali lagi maaf!" Mina membungkuk lagi. "Kamu nggak apa-apa, kan?" tanyanya khawatir melihat perubahan di wajah pemuda yang sungguh dia belum tahu siapa namanya.
"Eh i-iya." Ken tersenyum patah. Pemuda itu mengusap tengkuknya.
Sie melongo mendengarnya. Dia tak percaya kalau Mina menolak Ken. Sementara Ry hanya tersenyum. Gadis manja itu tahu jawaban Mina pasti akan seperti itu. Mereka, kan, sahabat. Sedikit banyaknya Ry pasti mengenal watak sahabatnya. Apalagi mereka sudah lama bersahabat. Tidak heran Ry tau sifat Mina dan dapat menebak jawaban sahabat cantiknya itu.
"Aku menang." Ry berbisik di telinga Sie.
Pemuda berlesung pipi itu menggeram dan menatap Ry horor.
"Sie harus masuk sekolah mulai besok dan nggak boleh bolos lagi."
"Tapi Ry..." Sie mencoba protes.
Ry hanya mengangkat bahu cuek.
Rin tersenyum sinis. "Sie, kan, udah kalah, jadi Sie harus nurut apa kata Ry! Lagian, apa susahnya, sih, sekolah?" Gadis tomboy itu bersedekap.
Ry mengangguk membenarkan Rin, membiarkan Sie merosot jatuh terduduk di lantai.
"Kenapa?" tanya Ruu dan Keiya bersamaan yang sudah bergabung dengan mereka, sambil berjongkok di kedua sisi Sie.
Kedua pemuda tampan itu saling bertatapan beberapa detik, kemudian sama-sama tersenyum kaku lantas menatap Sie lagi. Bagaimanapun mereka sudah masing-masing tahu dengan diri masing-masing. Dari Sie yang bermulut ember tentu saja. Yang sekarang sedang tak berdaya di bawah intimidasi Yamazuki bersaudara.
"Nggak apa-apa." Ry yang menyahut. "Sie cuma kalah taruhan." Gadis itu nyengir.
"Taruhan?" ulang Ruu dengan kening berkerut. Pemuda itu mendongak menatap Ry.
Keiya juga ikutan mendongak dan menatap Ry, membuat gadis mungil itu kesal. Ry mengangguk.
"Sialan!" maki kapten tim baseball itu sambil memukul kepala Sie menggunakan topinya. "Aku kira kenapa tadi." Keiya berdiri menjajari Ry.
Ruu menggelengkan kepalanya. "Bangun, Sie!" pintanya sambil berusaha membantu Sie berdiri. "Sportif dong!"
"Apanya yang sportif?" gerutu Sie jengkel. "Aku harus sekolah besok!" Sie cemberut.
Ry dan Rin langsung tertawa mendengarnya. Sementara Mina mendekati mereka sambil bergandengan tangan dengan....
Shoun!
Ry melongo mendengarnya. Apa maksud pemuda di depannya ini? Sungguh dia tidak mengerti dengan hal-hal yang dikatakan Shoun. Ry menggaruk kepalanya sambil sesekali melirik Sie yang lagi berebut bola orange dengan Rin di lapangan. Kedua orang itu saling bertaruh. Sie memang sudah masuk sekolah beberapa hari ini. Ry tidak menyangka kalau Sie menerima kekalahan dan memenuhi keinginannya untuk pemuda itu masuk sekolah. Rasanya aneh memang, tapi itulah kenyataannya. Seorang Sie Matsuzaka yang terkenal selain sebagai pangeran basket juga tukang bolos nomor satu di sekolah mereka, sekarang masuk sekolah dengan rutin. Hampir dua Minggu terakhir Sie tidak pernah bolos. "Ry ngerti nggak?" tanya Shoun mengakhiri ceramahnya.Ceramah? Tentu saja. Ry selalu mrnhanggap perkataan panjang lebar seperti perkataan Shoun tadi dan sejenisnya sebagai ceramah. Ry menggeleng polos. Gantian, sekarang Shoun yang menggaruk kepalanya."Shoun tau, kan, kalo aku nggak pintar sama yang kayak begituan, masih aja Sh
Suasana Mobieus yang ramai tidak membuat Ruu senang. Padahal biasanya pemuda tampan itu menyukai suasana seperti sekarang, karena dia akan memperoleh bonus yang cukup besar dari bosnya. Namun sekarang pemuda itu terlihat manyun, tidak ada sepotong senyum pun di bibirnya. Bahkan teguran para pengunjung hanya dijawabnya dengan anggukan kecil. Ruu mendesah, perasaannya kacau beberapa hari ini. Kepalanya menggeleng beberapa kali mengusir lamunan. Suara sekelompok anak yang baru memasuki Mobieus menarik perhatian Ruu. Suara yang nggak asing, pikirnya. Dialihkan tatapannya ke arah mereka. Sie, Rin, Mina dan.... Ruu nyaris tidak percaya pada penglihatannya, tetapi itu memang dia. Sosok mungil yang dirindukannya ada di antara mereka. Ry ada di sana bersama teman-temannya!Keempat makhluk itu memasuki kedai es krim berbarengan, kemudian berebut untuk duduk di salah satu meja yang terletak di pojok ruangan. Ruu buru-buru menghampiri empat sahabat itu sebelum pelayan lain mendekati mereka."Ry
Ry melangkah menuju meja teman-temannya setelah urusannya dengan Ruu sudah selesai. Ry perlu membujuk Ruu agar pemuda itu mau membiarkannya kembali bersama teman-temannya. Ry sempat cemberut dan merajuk. Bagaimana mungkin Ruu berpikir untuk bolos bekerja hari ini hanya untuk menemaninya agar dia percaya padanya? Ruu bego, dengus Ry kesal dalam hati."Gimana?" tanya Sie tidak sabar."Apanya?" Ry balas bertanya. Wajah polosnya pura-pura tidak tahu lantas menarik sebuah kursi ke meja Sie dan teman-teman lalu duduk dengan cueknya."Ry kok kaya gitu sih?" protes Rin."Kaya gitu apaan?" Ry mengerjap kemudian membelalak saat Rin mencubitnya. "Aww Rin. Sakit, Bego!" hardiknya.Rin melengos. "Biarin!" sungutnya. "Aktingnya receh sih."Gemas, Ry memukul pelan pergelangan Rin. Membuat gadis tomboy itu mendelik marah.Sie memutar bola mata bosan. Kebiasaan buruk Yamazuki bersaudara, pikir pemuda berlesung pipi itu. Dengan cepat Sie berdiri dari duduknya kemudian duduk di antara kakak-beradik yang
"Keiya!"Kapten tim baseball itu menghentikan langkah dan menoleh ke asal suara. Pemuda itu tersenyum begitu melihat Ry melambaikan tangan ke arahnya."Keiya, tungguin!" Ry berlari kecil sambil melambai ke arah teman-temannya. "Duluan!" ucapnya tanpa suara.Rin melengos melihatnya. "Huh!"Mina menoleh. "Kenapa?" tanyanya dengan alis berkerut."Sebel deh." Rin memantulkan bola basketnya di tanah. "Ry kayak playgirl gitu."Alis Mina berkerut. "Playgirl gimana?" tanyanya."Itu ...." Rin memonyongkan mulutnya. "Maksud aku gini lho, Mina. Ry itu kan udah punya pacar, tapi kok masih nempel aja sama Keiya?"Mina tertawa kecil. "Rin iri ya?""Iri apaan?" Rin makin sewot."Nggak boleh ngata-ngatain Ry kayak gitu. Lagian kan Ry bukan playgirl, Ry nggak pacaran sama Keiya kan?"Rin mengembuskan napas kasar. "Nggak bilang pacaran, cuman nempel!" ketusnya."Rin berantem lagi ya sama Sie?" tebak Mina asal. Bukan asal sih sebenarnya, sikap Rin sudah bisa ditebak. Kalau terlihat uring-uringan seperti
"Pulang sekolah kalian ke Mobieus nggak?"Ry yang sedang menyeruput softdrink berhenti. Menatap Rin dengan kening berkerut. Tumben, pikirnya."Maybe." Ry mengangkat bahu cuek."Mina?" Rin menatap gadis lembut itu meminta jawaban.Mina mengalihkan tatapan dari buku yang sejak tadi menjadi fokus matanya ke arah Rin."Rin mau ke Mobieus?" tanya Mina hati-hati. Gadis itu tahu kalau Rin sedang dalam keadaan hati yang kurang baik akhir-akhir ini. Dia tidak ingin menambah buruk suasana hati sahabatnya yang tomboi itu.Rin mengangkat bahu. "Nggak tau," jawabnya. "Pengen pergi sih, tapi ....""Tumben." Ry melirik adiknya yang sedang memutar-mutar bola basket. "Kemaren-kemaren diajak nggak mau."Rin menatap Ry sekilas kemudian berdiri meninggalkan kakak dan teman baiknya.*** "Eh itu Sie kan?" Mina menarik tangan Ry ketika gadis itu ingin melangkahkan kakinya memasuki Mobieus."Mana?" Ry celingak-celinguk mencari, membiarkan Rin masuk lebih dulu bersama Keiya dan Shoun."Itu!"
"Siapa, sih, cowok itu, murid baru, ya?"Hampir seluruh siswa SMU Banzare terutama para siswa perempuan yang melihat pemuda bertampang cool itu berkasak-kusuk ria seperti itu, karena mereka baru pertama kali melihat pemuda itu, karena memang pemuda itu siswa baru."Not bad," gumam Go Yatsuba, si siswa baru sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Dia sedang mengamati keadaan sekolah barunya. "Sekolahnya nggak jelek-jelek am....""Aww!" rintih seorang gadis yang tertabrak tubuhnya."Kamu buta ya?!" maki gadis itu galak. Mata bulatnya membelalak kesal. Bagaimana tidak kesal, gara-gara pemuda sinting yang celingukan bola basketnya terjatuh dan menggelinding agak jauh. Beruntung bola itu tidak menuruni tangga, kalau tidak dia pasti akan membunuh pemuda di depannya ini.Go terperangah melihatnya. "Manis banget," pikirnya."Sialan!" maki si gadis lagi, kali ini tambah judes. "Jalan tuh pake mata!" belalaknya galak. "Woyyy!!!""Hah???" Go tergagap. Gadis itu meneriakinya. "Ya-ya?""Dasar tolol
Ry dan Rin menoleh bersamaan ke arah Mina mendengar suara tarikan nafas sahabat cantik mereka itu."Sebel deh!"Ry dan Rin saling pandang kemudian sama-sama mengangkat bahu. Heran dengan kelakuan Mina. Tidak biasanya Mina cemberut.Ry mengernyit melihat muka Mina menekuk. Tumben, pikir gadis manja itu."Ada yang ditinggalin sendiri nih kayaknya." Rin menaik-turunkan alisnya menggoda Mina.Ry memukul tangan Rin gemas sambil melotot, kemudian melirik Mina yang makin cemberut.Kekesalan gadis lembut kapten klub drama itu beralasan. Sejak genk mereka memasuki Mobieus, Shoun, cowoknya asyik berkutat di arena game. Dia ditinggal sendirian."Rin usil banget sih!" belalak Ry gemas.Rin mengikik geli. "Mina jangan cemberut terus dong." Gadis penyuka olahraga basket itu makin menggoda sahabatnya. "Ntar keriput lho. Lagian kan Mina nggak sendiri."Ry mengangguk."Ada aku sama Ry, so enjoy aja. Kayak Ry." Rin menunjuk kakaknya menggunakan sendok es krim. "Ruu dari tadi sibuk ke sana-sini, trus K
Ry melirik adiknya yang memutar-mutar bola basket di tangannya asal. Kening Ry sedikit berkerut melihat bibir manyun Rin. Gemas, dijentiknya bibir itu."Ry!" Rin mendelik kesal ke arah kakaknya. Bola orange di tangannya jatuh menggelinding di tanah."Oops sengaja." Ry meringis, memasang tampak tak berdosa.Rin menatap kakaknya dengan mata menyipit. Sepertinya dia harus banyak bersabar hari ini. Tadi Sie yang membuat emosinya meningkat, kemudian Go dan sekarang Ry. Rin mengembuskan napas melalui mulut, berusaha untuk tidak memaki kakaknya yang terkadang bersikap seperti anak kecil itu. "Ry." Mina menegur gadis manja itu saat dilihatnya tampang Rin menekuk sempurna. Ry cuma cengengesan. "Habisnya dari tadi Rin mesem gitu. Jelek tau!" Ry menatap adiknya.Rin membuang muka muak. Dia tidak berniat bercanda hari ini. Selera humornya menguap entah ke mana gara-gara bertemu Sie dan Go tadi."Rin kenapa sih?" Keiya yang bertanya. Kapten klub baseball itu memutar topinya ke arah belakang. "Su
Pagi datang lebih cepat dari biasanya bagi Ruu. Suara kicau sekumpulan burung yang bertengger di pagar balkon jendela kamarnya yang membangunkannya. Suara itu lebih dahsyat dari suara jam alarm yang dipasangnya tadi malam. Jam itu terus berbunyi nyaris selama dua jam, tidak berhenti jika ia tidak mematikannya, dengan mata yang masih terpejam. Tadi malam ia tidur lewat tengah malam. Bukan karena begadang, melainkan karena mengerjakan pekerjaan kantornya. Setelah mengantarkan Ry pulang pada pukul sepuluh malam, dan tiba kembali di apartemennya tiga puluh menit kemudian, ia langsung mengerjakannya. Ada beberapa pekerjaan yang belum sempat ia kerjakan. Ia baru mengingatnya setelah berbaring di atas tempat tidur tadi malam. Dengan malas Ruu bangun. Rasanya masih belum puas tidur meskipun sekarang sudah pukul delapan pagi. Ruu sadar jika ia terlambat, dan itu bukan merupakan contoh yang baik bagi bawahannya. Namun, mau bagaimana lagi, walaupun ia bersiap dengan tergesa tetap saja tidak
Ruu mengembuskan napas mendengar pertanyaan itu. Tangannya terangkat mengusap tengkuk, dan meneguk ludah susah payah. "Aku ... ancam dia biar nggak ganggu Ry lagi " Mata bulat Ry melebar. "Kok, Ruu gitu?" tanyanya memprotes. "Habisnya dia nyebelin!" Ruu membela diri. "Masa mau sama cewek aku?" Sepasang alis Ry terangkat. "Dia nggak nolak dijodohin sama Ry pas udah liat foto Ry. Dia sampai mutusin ceweknya yang satu fakultas sama aku. Ya, udah, aku hajar aja!" Ry mengerjapkan mata beberapa kali. Apa kata Ruu tadi, menghajar seseorang yang mau dijodohkan dengannya? Astaga! Ry memencet pangkal hidung. Meskipun kesal, tapi dia tidak bisa marah. Hati kecilnya justru menganggap apa yang dilakukan Ruu sangat manis. "Astaga!" Ry menutup mulut dengan kedua tangan. "Maaf, Ry!" kata Ruu cepat, ia tak ingin mendapatkan kemarahan dari ceweknya. Mereka baru saja bertemu sore tadi setelah enam tahun berpisah, akan sangat tidak lucu jika mereka kemudian langsung bertengkar. "Aku cuman berusaha
Mata bulat Ry masih berkaca-kaca, tak percaya jika dia benar-benar bertemu dengan cowok yang selama ini dirindukannya . Semua seperti mimpi saja, Ruu datang ke kedai es krim tempatnya bekerja, memesan es krim yang tidak ada dalam daftar menu. Tak ada kedai es krim yang menjual es krim dengan rasa yang tawar, dan Ruu memesannya karena tidak menyukai makanan manis. Konyol memang, tapi Ruu melakukannya hanya ingin dia mengetahui keberadaannya. "Maafin aku, Ry." Ruu menggenggam tangannya erat. "Harusnya sejak awal aku udah tau kalo Ikki pengen kisahin kita, tapi aku nggak tau kalo dia bisa selicik itu."Ry menggeleng. Dia masih belum dapat berbicara. "Aku nyari Ry ke mana-mana selama beberapa bulan awal itu, tapi nggak ketemu. Hampir seluruh Tokyo aku cari, tapi Ry nggak ada. Sampai Papa nawarin aku bantuan dengan satu syarat." Ruu menundukkan kepala. "Aku harus mau lanjutin pendidikan aku."Ry mengangguk. Dia percaya dengan semua yang dikatakan Ruu. Cowok yang duduk di sebelahnya, seda
Osaka sekarang sama berartinya dengan Tokyo bagi Ruu. Jika dulu ia hanya menganggap Tokyo yang terpenting karena keluarganya tinggal di sana, sejak Papa memberi tahu keberadaan Ry di Osaka, kota ini juga menjadi yang penting untuknya. Ruu bahkan tak menyangka jika ia akan menjadi bagian dari kota ini. Mulai besok ia akan memimpin perusahaan cabang yang berada di sini. Perusahaan cabang yang diberikan Papa padanya seratus persen. Jadi, mulai besok perusahaannya akan berdiri sendiri. Meskipun begitu, ia tetap menggunakan nama perusahaan yang lama. Toh, Papa tidak keberatan dengan itu, malah Papa yang memintanya untuk tidak mengubah nama agar tidak merepotkan. Ruu sedang duduk di sofa ruang tamu di apartemennya setelah menempuh perjalanan lebih dari setengah hari mengendarai mobil. Rencana ia akan beristirahat beberapa jam sebelum menemui Ry nanti sore di tempatnya bekerja. Menurut informasi dari Rin, Ry tidak mengambil cuti dan tetap bekerja meskipun di akhir pekan. Satu perubahan y
Satu bulan ternyata tidak selama yang dipikirkan Ruu, waktu tiga puluh hari justru berjalan sangat cepat. Apalagi diselingi dengan celotehan Rin melalui setiap pesan yang dikirimkannya. Terkadang cewek yang sekarang sudah dekat kembali dengan Go itu mengiriminya video Ry saat mereka sedang mengobrol berdua, terkadang hanya mengirimkan suara Ry saja. Tiga tahun lagi dilalui dan Ry tetap tak berubah. Wajahnya masih menggemaskan dengan pipi yang masih saja sebulat bakpao. Seandainya saja bisa –Ry berada di dekatnya– akan dicubitnya pipi itu. Mungkin ia akan melakukannya nanti saat mereka bertemu.Omong-omong soal pertemuan mereka, ia tidak memberi tahu siapa-siapa. Yang pasti ia akan menemui Ry saat masa tiga tahun terakhir, berakhir. Untuk tempat, ia masih belum menentukannya. Ia memang memiliki nomor ponsel Ry, Rin yang memberikannya. Awalnya cewek itu tidak mau memberitahunya, Rin malah meminta pertukaran, nomor ponsel Ry dengan alasan kenapa ia tak ingin Ry melihatnya. Namun, setel
Benda pipih persegi panjang itu sudah sejak beberapa menit yang lalu berada di tangan Ruu. Ia menggunakannya untuk berbalas pesan dengan Rin. Setelah makan malam dan sesi penjatuhan hukuman selesai, Ruu langsung masuk ke kamar tidurnya dan menghubungi Rin. Ia mengirimkannya pesan melalui sebuah aplikasi. Ruu tidak menggunakan laptop, ia menggunakan benda itu untuk kepentingan belajarnya. Untuk hal lain, ia selalu menggunakan ponsel, termasuk berkirim pesan dengan Rin. [Pokoknya Rin jangan kasih tau Ry dulu, atau aku akan kena masalah] - RuuBerulangkali Ruu memberikan alasan pada Rin agar tidak memberikan nomor ponselnya pada Ry. Cewek yang sekarang juga sudah kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Osaka itu ingin memberikan nomornya kepada kakaknya. Kata Rin, sampai sekarang Ry masih berusaha mencari informasi tentangnya. Kabar yang membuatnya nyaris melompat-lompat tadi saling senangnya. Ry masih mencintai dan masih mengharapkannya, perasaan mereka masih sama. Sekarang,
Ruu menundukkan kepala, pasrah dengan hukuman yang diberikan Papa. Ia ketahuan Rin, itu sudah cukup buruk baginya. Beruntung bukan Ry yang mengenalinya, bisa-bisa hukumannya jauh lebih berat dari sekarang. Ia tidak diperbolehkan lagi pergi ke Osaka, tidak sebelum ia lulus kuliah dan membuktikan jika dirinya mampu memimpin salah satu cabang perusahaan Papa yang berada di Tokyo sini. Jika berhasil maka Papa akan memberikan perusahaannya yang berada di Osaka, dan membiarkannya bertemu dengan Ry. Kedengarannya sangat tidak adil memang, tetapi ia tetap menerimanya. Semua memang salahnya yang menatap terlalu lama, tanpa sadar. Ia lupa jika Rin orangnya terlalu curiga, Rin bukan Ry yang tidak peka. Waktu tiga tahun bukanlah waktu yang lama, ia hanya harus lebih bersabar lagi. Ia bisa menggunakan waktu tiga tahun tambahan hukuman tanpa dapat melihat Ry secara langsung lagi, dengan lebih giat belajar. Ia yakin dapat melakukannya, ia harus lulus dengan nilai cumlaude terbaik sebagai pembukti
Paman gendut membawa nampan berisi dua buah mangkuk ramen ke meja Ry dan Rin. Sepertinya dia sangat tahu kapan kedua cewek itu datang sehingga membuatkan pesanan mereka bersamaan dengan miliknya. Diam-diam Ruu mengaguminya dalam hati."Untuk Ry tanpa narutomaki!" Paman gendut meletakkan mangkuk pertama di depan Ry. Mangkuk itu tanpa kue ikan yang tidak disukai Ry. Paman gendut sudah mengingatnya, seminggu ini ia selalu menyajikan ramen untuk Ry tanpa narutomaki. "Ini untuk Rin!" Ia meletakkan sebuah mangkuk lagi tepat di depan Rin. "Terima kasih, Paman!" Kedua cewek itu berkata bersamaan. Ruu tersenyum mendengarnya. Sengaja ia tidak melirik ataupun menatap mereka secara langsung lagi, ia tak ingin menimbulkan kecurigaan. Rin beberapa kali memergokinya tengah menatap mereka. Ia tak ingin ketahuan, atau semua akan semakin sulit. Ruu semakin menurunkan topinya, ia merasa sedang diawasi. Terpaksa ia mempercepat makannya, dan meninggalkan kedai lebih cepat dari minggu sebelumnya. Ia jug
Udara pagi memang lebih bersih bila dibandingkan pada siang hari. Sinar matahari yang hangat semakin menambah kesan sehat. Di dalam Shinkansen yang akan membawanya ke Osaka, Ruu memilih menghabiskan waktu untuk membaca. Bukan buku komik seperti yang biasa dibaca Ry, melainkan buku tentang bisnis. Ini adalah saran Papa agar ia tidak merasa bosan berada di dalam kereta cepat ini selama lebih dari dua jam. Bukan ide yang buruk karena waktu dua jam perjalanan seperti tak terasa, tahu-tahu kereta sudah berhenti di stasiun Shin-Osaka, tempat perhentiannya. Ruu turun bersama dengan para penumpang yang mempunyai tujuan yang sama.Ini adalah hari Minggu di pekan kedua ia diperbolehkan menemui Ry oleh Papa. Bukan menemui dalam artian sebenarnya, ia hanya diperbolehkan melihatnya dari jauh saja. Ia tidak boleh terlihat apalagi sampai bertegur sapa, sebagai salah satu syarat agar Papa tetap membantunya. Jika ia sampai melanggar sekali saja, maka Papa akan membiarkan laki-laki mana pun untuk mend