“Sie!”
Cowok berlesung pipi itu menoleh. Ry, pantas. Enggak ada gadis yang berani berteriak sekencang itu di sekolahnya, gadis tomboy sekali pun. Sie menghentikan langkahnya. “Ada apa?” tanyanya malas.
“Tumben Sie masuk sekolah…”
“Ada janji sama Rin,” potong Sie cepat. “Ngapain Ry mencariku?”
“Sie tau nggak ke mana Ruu, udah beberapa hari aku nggak liat dia.”
Sie menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gadis manja ini, ingin rasanya Sie menoyor kepala cantik Ry, untung calon kakak ipar. Sabar Sie. Sie mengembuskan napas melalui mulut. Tapi kok, masa sih Ruu tidak memberi tahu kepada gadisnya ke mana dia pergi?
“Aku kan kangen,” ucap Ry sambil memasang tampang manis.
“Emang Ry nggak tau ke mana Ruu pergi?” tanya Sie. Pemuda itu menggaruk alis.
Ry menggeleng lucu.
“Tapi Ry kan ceweknya Ruu?”
Ry menatap cowok basket itu kesal. “Tapi Ruu nggak bilang apa-apa sama aku!” sentaknya judes.
Sie mengembuskan napas melalui mulut. Lagi. Untung stok sabarnya banyak, kalo tidak sudah habis gadis kekanakkan ini ia lempar ke laut buat makanan hiu.
“Ruu kerja di game center,” ucap Sie setelah berpikir beberapa saat apakah ia benar-benar akan memberikan Ry sebagai makanan hiu.
“Apa?” belalak Ry kaget. “Di mana?”
“Di tempat kak Sento,” jawab Sie sambil mengorek kuping. Seruan kaget Ry membuat indra pendengarannya berdenging.
“Kak Sento? Di mana tuh, jauh nggak?” tanya Ry dengan bibir mengerucut.
“Lumayan,” sahut Sie menahan gemas. Ingin Sie menjitak kepala dan menarik bibir Ry agar gadis itu diam. Ry sangat berisik.
“Sie tau tempatnya nggak, anterin aku dong!” pinta Ry manja dengan puppy eyes andalannya.
Sie menggerutu dalam hati, dasar childish. “Tapi aku ada janji sama Rin.” Sie menolak permintaan Ry dengan halus. Rin adalah kekasihnya, yang juga adik perempuan Ry.
“Anterin bentar, habis itu Sie balik lagi ke sini,” bujuk Ry. Mata gadis itu mengerjap-ngerjap seperti seekor mata anak kucing yang meminta belas kasihan majikannya.
Sie kaget mendengarnya. “Emangnya Ry mau bolos?” tanyanya dengan tatapan horor yang mengarah pada Ry.
“Siapa yang bolos?”
Ry dan Sie serentak menoleh mendengar pertanyaan bernada keras itu. Mereka menemukan Rin berdiri dengan jarak beberapa langkah dari mereka. Rin memantul-mantulkan bola basket yang dibawanya ke lantai.
Rin Yamazuki, gadis berusia enam belas tahun yang menjadi salah satu anggota tim basket perempuan di sekolah mereka. Usia Rin satu tahun di bawah kakaknya, Ry. Namun,dari postur tubuh mereka, Rin terlihat jauh lebih besar dari kakaknya yang mungil. Sehingga orang-orang yang melihat mereka sering mengira kalau Rin adalah kakak dan Ry adiknya. Perbedaan sifat dan karakter tak membuat kakak beradik itu tidak dekat, mereka malah sangat akrab.
“Sie mau bolos lagi ya?” tanya Rin sambil melangkah menghampiri kedua manusia biang onar. “Awas deh!” ancam cewek tomboy itu sengit.
Sie cepat-cepat mengibaskan kedua tangannya. “Bukan aku kok,” sangkalnya cepat. “Tapi Ry”.
“Apa? Siapa yang mo bolos?” tanya Ry dengan tampang tak berdosa. “Aku? Sie ngarang deh.”
“Lho, bukannya kata Ry tadi…”
“Kata ku…,” potong Ry sambil bersedekap. “Anterin aku ke tempat kerjanya Ruu. Aku nggak bilang mo bolos kok.”
Sie melongo. Apalagi setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Ry selanjutnya. Sungguh, keinginannya untuk melempar Ry ke laut semakin menjadi.
“Sie nggak boleh fitnah lho. Dosa!” ucap Ry sok tahu. Gadis itu meniru gaya Mama saat menasihatinya dan Rin.
Sie mendengus kesal. Bolehkah ia melemparkan Ry ke laut sekarang?
“Emangnya Ry nggak tau kalo Ruu udah kerja?” tanya Rin dengan menaikkan sebelah alisnya.
Ry menggembungkan pipinya. Sehingga pipinya yang sudah chubby terlihat semakin bulat seperti bakpao.
“Kalo udah tau aku nggak bakalan kaget setengah mati kaya gini!” seru Ry sambil menghentakkan kaki kesal. “Dasar Rin bego!”
Rin cuma menatap kakaknya dengan mata memicing, dan sebelum gadis tomboy itu membalas ucapan Ry bel tanda masuk kelas berbunyi. Ketiga orang itu langsung berpencar menuju kelas mereka masing-masing.
***
“Ruu kok jahat banget sih,” rajuk Ry manja ketika malamnya mereka bertemu.
Di rumah Ruu. Tidak mungkin mereka bisa pacaran di rumah Ry karena orang tua Ry tidak mengizinkan. Mereka tidak suka kalau salah satu anak gadisnya ada yang berpacaran dengan Ruu. Menurut orang tua Ry, Ruu bukan pemuda yang baik. Soalnya Ruu tidak melanjutkan sekolah dan belum bekerja. Juga, Ruu terlihat sering menerima uang dan barang-barang dari gadis-gadis yang dekat dengannya. Orang tua Ry tidak mau putri mereka seperti itu juga. Bagi mereka berteman boleh, tapi tidak lebih dari itu. Cukup bersahabat saja.
“Ruu emang jahat!” sahut Mii yang tiba-tiba muncul di kamar kakaknya. “Nggak mau ngebeliin permen.”
Mii Sukishima adalah adik perempuan Ruu satu-satunya. Mii gadis yang tinggi dan langsing, terlalu langsing malah. Tinngi badan Mii juga setara dengan Ry yang sudah SMU, padahal Mii baru duduk di tingkat 2 SMP.
Ruu melotot, Ry cemberut.
“Mii, keluar dong!” pinta Ruu kesal. Pemuda itu mengibas-ngibaskannya mengusir Mii.
“Tapi beliin permen!” rengek gadis imut itu.
“Iya iya,” ucap Ruu dengan wajah menekuk. Tangannya tetap bergerak-gerak mengusir Mii.
Mii keluar setelah menjulurkan lidahnya ke arah mereka. “Pacaran melulu!” gerutunya sengit sebelum membanting pintu.
Ruu mengambil bantal, melemparkannya ke arah Mii. Untung gadis itu segera menutup pintu kamar kakaknya itu, kalau tidak pastilah kepala cantiknya akan terkena sasaran bantal terbang.
“Sialan!” maki Ruu kesal. Kemudian menatap Ry yang duduk di sampingnya. “Siapa yang jahat?” tanya Ruu bego.
Ry makin cemberut.
“Kok, Ruu nggak bilang kalo udah kerja?” Ry hampir menangis saking kesalnya.
“Sorry.” Suara Ruu melembut.
“Aku, ‘kan, sepi,” rajuk Ry manja. “Nggak ada teman.”
“Kan, ada Rin…”
“Rin kan beda sama Ruu!” protes Ry cepat. “Lagian, Rin sering pergi sama Sie latihan basket.”
“Tapi Ry kan masih punya teman-teman yang lain…”
“Tapi mereka bukan Ruu!” potong Ry sengit. “Mereka Cuma anak-anak…”
Anak-anak? Ruu melongo mendengarnya.
“… aku kan kangen sama Ruu.”
Suara itu terdengar lirih. Ada rona merah menjalari paras yang tertunduk itu.
“Masa?”
Ry mengangguk malu.
“Ry nggak bohong?”
Ry menggeleng, memeluk Ruu. Cowok itu mengembuskan napas lelah kemudian membalas pelukan Ry erat.
***
“Ry!”
Ry yang sedang berjalan bersama Mina menoleh. Ternyata Rin, gumam Ry dalam hati. Pantas suaranya kaya suara cowok.
“Apaan?”
“Tungguin aku dong!” pinta Rin. Gadis itu mempercepat langkahnya karena Ry terus saja berjalan.
“Nggak mau nungguin Rin!” teriak Ry kencang sambil tertawa keras. Tapi toh gadis mungil itu berhenti juga.
“Dasar kayak anak kecil!” omel Rin setelah di dekat kakaknya. Gadis tomboi itu mengatur napasnya yang ngos-ngosan setelah mengejar Ry.
“Biarin, suka-suka aku dong. Sirik aja!” Ry menjulurkan lidah mengejek Rin.
“Siapa yang sirik?” tanya Rin galak.
“Sapa yang ngerasa lah,” jawab Ry seenaknya.
“Ry!”
Rin mengangkat bola orange yang sejak tadi dipegangnya tinggi-tinggi, siap menjatuhkannya ke arah Ry. Ry juga sudah siap-siap untuk menghindari bola nyasar. Untung Mina segera melerai mereka, kalau tidak pasti akan terjadi perang saudara.
“Sudah sudah,” tegur gadis kalem itu lembut. “Nggak malu apa kalian jadi tontonan?”
Dengan cepat kakak-beradik yang terkenal berisik dan jarang akur itu melirik sekeliling mereka. Benar, mereka jadi pusat perhatian. Anak-anak sepanjang koridor yang sudah mulai lengang melihat ke arah mereka.
Rin segera menurunkan bolanya. “Ry sih nyebelin!” sungutnya kesal.
“Bukannya Rin yang duluan?” Ry tetap tidak mau kalah.
Mina mengembuskan napas lelah. Terpaksa sekali lagi ia melerai mereka.
“Kalo mau berantem jangan di sini,” ucapnya. “Kita ke taman yuk, nggak takut apa di sinikan sepi.”
Ry dan Rin mengangguk. Ruang-ruang kelas dan koridor sudah sepi tinggal mereka bertiga, sekolah sudah bubar. Tapi di taman masih banyak anak-anak yang belum pulang.
Rin memantulkan bola basketnya ke lantai. Ry dan Mina sedikit merinding karena bunyi pantulan dan suara gesekan sepatu mereka dengan lantai bergema di koridor dan lorong-lorong di depan mereka. Ketiga gadis itu mempercepat langkah mereka. Sekolah setelah bubar selalu menakutkan bagi siapa saja, termasuk bagi The Charlie’s Angels genk.
“Rin pasti deh mau ngadu,” tebak Ry sok tau.
Mereka sudah berada di taman. Duduk sambil menselonjorkan kaki di bawah pohon, Cuma Mina yang bersimpuh.
“Kok tau?” Rin masih memainkan bola basketnya. Diliriknya Ry sekilas.
“Ya jelas.” Ry tersenyum bangga. “Kakak mana yang nggak tau masalah adiknya. Lagian…”
Ry bersedekap. Rin menatap kakaknya muak. Sementara Mina hanya tersenyum sambil memperhatikan Ry baik-baik.
“Sie hari ini kan nggak masuk…”
“Dia bolos lagi?” potong Rin cepat.
Ry mengangguk. “Rin baru tau ya?”
Rin meninju bola basketnya.
“Rin kan ceweknya Sie, mestinya Rin tau dong,” ucap Ry menatap Rin dengan tatapan sok polosnya. Padahal siapa pun tahu kalau Ry itu lugu lugu bangs*t.
“Tadi nggak sempat ke kelasnya!” geram Rin kesal.
“Sie kan sering nongkrong di game center-nya kak Sento.” Mina yang sejak tadi diam menyimak ikut bersuara.
Ry dan Rin langsung memalingkan muka mereka ke arah Mina. Menatap gadis lembut itu dengan pandangan heran dan menyelidik.
“Kalian ke-kenapa sih?” tanya Mina gugup karena tatapan Yamazuki bersaudara.
“Kok Mina tau?” Rin menatap sahabatnya itu penuh selidik. Sebelah alis cewek tomboi itu terangkat.
Mina berusaha tersenyum mengurangi rasa gugupnya. “Kakak perempuanku kan sering lewat sana. Lagian…”
“Mina tau tempatnya ya?” tanya Ry tak sabar.
Mina mengangguk polos. “Adik cowok aku sering ke sana. Kalo aku sih belum, kan masih baru. Tapi aku tau kok tempatnya. Tempatnya asyik katanya. Kata kakak aku yang jaganya cakep.” Mina terkikik mengingat percakapannya dengan kakaknya beberapa hari yang lalu.
“Kakak Mina namanya Aya ya?” tuduh Ry asal.
“Ry, jangan sembarangan donk!” tegur Rin. “Kakaknya Mina kan kak Nina, kita juga udah kenal kan?”
Ry terdiam seakan berpikir, kemudian memukul jidatnya. “Oops sorry.” Ry meringis.
“It’s okay.” Mina tersenyum. “Emangnya kenapa? Kok kayak lupa gitu sama kak Nina?” tanya Mina heran.
“Nggak apa-apa sih, Cuma…”
Mina menatap Ry menunggu jawaban.
“Yang jaga tempat itu kan Ruu,” sahut Ry lirih dengan muka menekuk.
“Hah??”
“Ruu!” teriak Sie kencang sambil berlari ke arah Ruu yang lagi asyik berduaan dengan Gea.Ruu menatap Sie kaget dan heran.“Apaan?” tanya Ruu kesal.Sie tidak peduli Ruu melotot ke arahnya saat ia ikut duduk di antara mereka berdua, Ruu dan Gea.“Sie ngapain sih?” protes Gea. “Ganggu aja.”Sie menatap Ruu serius terkesan horror, tidak memedulikan Gea yang cemberut. “Ry,” ucapnya gugup.“Ry?” ulang Ruu sambil menaikkan sebelah alisnya kurang senang, karena Sie menyebut nama Ry di depan Gea.“Aku ngeliat Ry menuju kemari!” sambung Sie setelah berhasil mengendalikan diri.“Apa?”Spontan Ruu berdiri. Tak dihiraukannya Gea yang makin cemberut mendengar nama Ry. Yang dipikirannya sekarang Cuma Ry. Untuk apa Ry kemari, lalu dari mana gadisnya itu tahu tempatnya bekerja.“Ngapain Ry kemari?” tanya Ruu cemas. Dari suaranya, kentara sekali kalau Ruu tengah gugup.Sie mengangkat bahu tanga tidak tahu. Sebelum pemuda berlesung pipi itu menjawab pertanyaan Ruu, terdengar suara seorang gadis menyer
"Ry!"Gadis manis itu menoleh kemudian tersenyum ketika tahu siapa yang memanggilnya."Keiya!" serunya senang."Kok Ry sendiri?" tanya Keiya sambil memutar topi baseball-nya ke arah belakang.Ry mengangkat bahu. "Rin di lapangan basket, setelah tadi ngomel karena Sie nggak masuk lagi." Ry tertawa kecil yang membuat lesung pipinya melekuk dalam. Keiya terpesona melihatnya."Terus, tadi Mina ada rapat sama Shoun."Keiya diam melongo menatap Ry. Membuat gadis bertubuh mungil itu bingung sekaligus kesal."Keiya!" sentak Ry.Pemuda itu kaget. "Ah i-iya," jawab Keiya gugup."Keiya kenapa, sih?" sungut Ry kesal. "Aku, 'kan, lagi ngomong sama Keiya, nggak lagi ngomong sama tembok." Gadis itu cemberut."So-sorry." Keiya tergagap. "Tumben Ry baca," ucapnya mengalihkan pembicaraan. Kapten klub baseball itu menunjuk buku yang berada di tangan Ry.Ry nyengir sambil mengangkat bukunya. Keiya tersenyum melihat buku itu. Komik. Pantas. Harusnya dia sudah tahu, tidak mungkin Ry membaca buku selain bu
"Hii, Charlie's Angels!" seru seseorang.Ry, Rin, dan Mina berbalik."Tungguin dong!"Sie! Dikira siapa. Ketiga gadis itu melengos kesal kemudian kembali berjalan."Hei!" teriak Sie lagi sambil berlari kecil. "Kenapa, sih, kok, cuek banget?" tanya pemuda berlesung pipi itu setelah berada di dekat ketiga gadis berbeda karakter itu."Ngapain Sie teriak-teriak?" tanya Ry gusar.Sie melongo mendengarnya. Untung dia tidak tertabrak siswa lain atau jatuh karena dia berjalan mundur, menghadap ke arah Ry and the gank. Koridor dan kelas-kelas mulai ramai karena siswa-siswa yang mulai berdatangan."Tumben Sie masuk!" sindir Rin.Pemuda anggota klub basket itu diam. "Tapi kalo Sie masuk pasti ada sesuatu." Mina tersenyum.Sie nyengir. "Kok tau?" tanyanya bego."Kebiasaan jelek." Ry mengibaskan tangannya mengolok Sie. Sie menatap Ry sekilas. Lalu, ketika dia ingin berbicara bel tanda masuk kelas berbunyi.Ry dan sahabat-sahabatnya segera meninggalkan pemuda itu menuju kelas mereka masing-masing
Ry melongo mendengarnya. Apa maksud pemuda di depannya ini? Sungguh dia tidak mengerti dengan hal-hal yang dikatakan Shoun. Ry menggaruk kepalanya sambil sesekali melirik Sie yang lagi berebut bola orange dengan Rin di lapangan. Kedua orang itu saling bertaruh. Sie memang sudah masuk sekolah beberapa hari ini. Ry tidak menyangka kalau Sie menerima kekalahan dan memenuhi keinginannya untuk pemuda itu masuk sekolah. Rasanya aneh memang, tapi itulah kenyataannya. Seorang Sie Matsuzaka yang terkenal selain sebagai pangeran basket juga tukang bolos nomor satu di sekolah mereka, sekarang masuk sekolah dengan rutin. Hampir dua Minggu terakhir Sie tidak pernah bolos. "Ry ngerti nggak?" tanya Shoun mengakhiri ceramahnya.Ceramah? Tentu saja. Ry selalu mrnhanggap perkataan panjang lebar seperti perkataan Shoun tadi dan sejenisnya sebagai ceramah. Ry menggeleng polos. Gantian, sekarang Shoun yang menggaruk kepalanya."Shoun tau, kan, kalo aku nggak pintar sama yang kayak begituan, masih aja Sh
Suasana Mobieus yang ramai tidak membuat Ruu senang. Padahal biasanya pemuda tampan itu menyukai suasana seperti sekarang, karena dia akan memperoleh bonus yang cukup besar dari bosnya. Namun sekarang pemuda itu terlihat manyun, tidak ada sepotong senyum pun di bibirnya. Bahkan teguran para pengunjung hanya dijawabnya dengan anggukan kecil. Ruu mendesah, perasaannya kacau beberapa hari ini. Kepalanya menggeleng beberapa kali mengusir lamunan. Suara sekelompok anak yang baru memasuki Mobieus menarik perhatian Ruu. Suara yang nggak asing, pikirnya. Dialihkan tatapannya ke arah mereka. Sie, Rin, Mina dan.... Ruu nyaris tidak percaya pada penglihatannya, tetapi itu memang dia. Sosok mungil yang dirindukannya ada di antara mereka. Ry ada di sana bersama teman-temannya!Keempat makhluk itu memasuki kedai es krim berbarengan, kemudian berebut untuk duduk di salah satu meja yang terletak di pojok ruangan. Ruu buru-buru menghampiri empat sahabat itu sebelum pelayan lain mendekati mereka."Ry
Ry melangkah menuju meja teman-temannya setelah urusannya dengan Ruu sudah selesai. Ry perlu membujuk Ruu agar pemuda itu mau membiarkannya kembali bersama teman-temannya. Ry sempat cemberut dan merajuk. Bagaimana mungkin Ruu berpikir untuk bolos bekerja hari ini hanya untuk menemaninya agar dia percaya padanya? Ruu bego, dengus Ry kesal dalam hati."Gimana?" tanya Sie tidak sabar."Apanya?" Ry balas bertanya. Wajah polosnya pura-pura tidak tahu lantas menarik sebuah kursi ke meja Sie dan teman-teman lalu duduk dengan cueknya."Ry kok kaya gitu sih?" protes Rin."Kaya gitu apaan?" Ry mengerjap kemudian membelalak saat Rin mencubitnya. "Aww Rin. Sakit, Bego!" hardiknya.Rin melengos. "Biarin!" sungutnya. "Aktingnya receh sih."Gemas, Ry memukul pelan pergelangan Rin. Membuat gadis tomboy itu mendelik marah.Sie memutar bola mata bosan. Kebiasaan buruk Yamazuki bersaudara, pikir pemuda berlesung pipi itu. Dengan cepat Sie berdiri dari duduknya kemudian duduk di antara kakak-beradik yang
"Keiya!"Kapten tim baseball itu menghentikan langkah dan menoleh ke asal suara. Pemuda itu tersenyum begitu melihat Ry melambaikan tangan ke arahnya."Keiya, tungguin!" Ry berlari kecil sambil melambai ke arah teman-temannya. "Duluan!" ucapnya tanpa suara.Rin melengos melihatnya. "Huh!"Mina menoleh. "Kenapa?" tanyanya dengan alis berkerut."Sebel deh." Rin memantulkan bola basketnya di tanah. "Ry kayak playgirl gitu."Alis Mina berkerut. "Playgirl gimana?" tanyanya."Itu ...." Rin memonyongkan mulutnya. "Maksud aku gini lho, Mina. Ry itu kan udah punya pacar, tapi kok masih nempel aja sama Keiya?"Mina tertawa kecil. "Rin iri ya?""Iri apaan?" Rin makin sewot."Nggak boleh ngata-ngatain Ry kayak gitu. Lagian kan Ry bukan playgirl, Ry nggak pacaran sama Keiya kan?"Rin mengembuskan napas kasar. "Nggak bilang pacaran, cuman nempel!" ketusnya."Rin berantem lagi ya sama Sie?" tebak Mina asal. Bukan asal sih sebenarnya, sikap Rin sudah bisa ditebak. Kalau terlihat uring-uringan seperti
"Pulang sekolah kalian ke Mobieus nggak?"Ry yang sedang menyeruput softdrink berhenti. Menatap Rin dengan kening berkerut. Tumben, pikirnya."Maybe." Ry mengangkat bahu cuek."Mina?" Rin menatap gadis lembut itu meminta jawaban.Mina mengalihkan tatapan dari buku yang sejak tadi menjadi fokus matanya ke arah Rin."Rin mau ke Mobieus?" tanya Mina hati-hati. Gadis itu tahu kalau Rin sedang dalam keadaan hati yang kurang baik akhir-akhir ini. Dia tidak ingin menambah buruk suasana hati sahabatnya yang tomboi itu.Rin mengangkat bahu. "Nggak tau," jawabnya. "Pengen pergi sih, tapi ....""Tumben." Ry melirik adiknya yang sedang memutar-mutar bola basket. "Kemaren-kemaren diajak nggak mau."Rin menatap Ry sekilas kemudian berdiri meninggalkan kakak dan teman baiknya.*** "Eh itu Sie kan?" Mina menarik tangan Ry ketika gadis itu ingin melangkahkan kakinya memasuki Mobieus."Mana?" Ry celingak-celinguk mencari, membiarkan Rin masuk lebih dulu bersama Keiya dan Shoun."Itu!"
Pagi datang lebih cepat dari biasanya bagi Ruu. Suara kicau sekumpulan burung yang bertengger di pagar balkon jendela kamarnya yang membangunkannya. Suara itu lebih dahsyat dari suara jam alarm yang dipasangnya tadi malam. Jam itu terus berbunyi nyaris selama dua jam, tidak berhenti jika ia tidak mematikannya, dengan mata yang masih terpejam. Tadi malam ia tidur lewat tengah malam. Bukan karena begadang, melainkan karena mengerjakan pekerjaan kantornya. Setelah mengantarkan Ry pulang pada pukul sepuluh malam, dan tiba kembali di apartemennya tiga puluh menit kemudian, ia langsung mengerjakannya. Ada beberapa pekerjaan yang belum sempat ia kerjakan. Ia baru mengingatnya setelah berbaring di atas tempat tidur tadi malam. Dengan malas Ruu bangun. Rasanya masih belum puas tidur meskipun sekarang sudah pukul delapan pagi. Ruu sadar jika ia terlambat, dan itu bukan merupakan contoh yang baik bagi bawahannya. Namun, mau bagaimana lagi, walaupun ia bersiap dengan tergesa tetap saja tidak
Ruu mengembuskan napas mendengar pertanyaan itu. Tangannya terangkat mengusap tengkuk, dan meneguk ludah susah payah. "Aku ... ancam dia biar nggak ganggu Ry lagi " Mata bulat Ry melebar. "Kok, Ruu gitu?" tanyanya memprotes. "Habisnya dia nyebelin!" Ruu membela diri. "Masa mau sama cewek aku?" Sepasang alis Ry terangkat. "Dia nggak nolak dijodohin sama Ry pas udah liat foto Ry. Dia sampai mutusin ceweknya yang satu fakultas sama aku. Ya, udah, aku hajar aja!" Ry mengerjapkan mata beberapa kali. Apa kata Ruu tadi, menghajar seseorang yang mau dijodohkan dengannya? Astaga! Ry memencet pangkal hidung. Meskipun kesal, tapi dia tidak bisa marah. Hati kecilnya justru menganggap apa yang dilakukan Ruu sangat manis. "Astaga!" Ry menutup mulut dengan kedua tangan. "Maaf, Ry!" kata Ruu cepat, ia tak ingin mendapatkan kemarahan dari ceweknya. Mereka baru saja bertemu sore tadi setelah enam tahun berpisah, akan sangat tidak lucu jika mereka kemudian langsung bertengkar. "Aku cuman berusaha
Mata bulat Ry masih berkaca-kaca, tak percaya jika dia benar-benar bertemu dengan cowok yang selama ini dirindukannya . Semua seperti mimpi saja, Ruu datang ke kedai es krim tempatnya bekerja, memesan es krim yang tidak ada dalam daftar menu. Tak ada kedai es krim yang menjual es krim dengan rasa yang tawar, dan Ruu memesannya karena tidak menyukai makanan manis. Konyol memang, tapi Ruu melakukannya hanya ingin dia mengetahui keberadaannya. "Maafin aku, Ry." Ruu menggenggam tangannya erat. "Harusnya sejak awal aku udah tau kalo Ikki pengen kisahin kita, tapi aku nggak tau kalo dia bisa selicik itu."Ry menggeleng. Dia masih belum dapat berbicara. "Aku nyari Ry ke mana-mana selama beberapa bulan awal itu, tapi nggak ketemu. Hampir seluruh Tokyo aku cari, tapi Ry nggak ada. Sampai Papa nawarin aku bantuan dengan satu syarat." Ruu menundukkan kepala. "Aku harus mau lanjutin pendidikan aku."Ry mengangguk. Dia percaya dengan semua yang dikatakan Ruu. Cowok yang duduk di sebelahnya, seda
Osaka sekarang sama berartinya dengan Tokyo bagi Ruu. Jika dulu ia hanya menganggap Tokyo yang terpenting karena keluarganya tinggal di sana, sejak Papa memberi tahu keberadaan Ry di Osaka, kota ini juga menjadi yang penting untuknya. Ruu bahkan tak menyangka jika ia akan menjadi bagian dari kota ini. Mulai besok ia akan memimpin perusahaan cabang yang berada di sini. Perusahaan cabang yang diberikan Papa padanya seratus persen. Jadi, mulai besok perusahaannya akan berdiri sendiri. Meskipun begitu, ia tetap menggunakan nama perusahaan yang lama. Toh, Papa tidak keberatan dengan itu, malah Papa yang memintanya untuk tidak mengubah nama agar tidak merepotkan. Ruu sedang duduk di sofa ruang tamu di apartemennya setelah menempuh perjalanan lebih dari setengah hari mengendarai mobil. Rencana ia akan beristirahat beberapa jam sebelum menemui Ry nanti sore di tempatnya bekerja. Menurut informasi dari Rin, Ry tidak mengambil cuti dan tetap bekerja meskipun di akhir pekan. Satu perubahan y
Satu bulan ternyata tidak selama yang dipikirkan Ruu, waktu tiga puluh hari justru berjalan sangat cepat. Apalagi diselingi dengan celotehan Rin melalui setiap pesan yang dikirimkannya. Terkadang cewek yang sekarang sudah dekat kembali dengan Go itu mengiriminya video Ry saat mereka sedang mengobrol berdua, terkadang hanya mengirimkan suara Ry saja. Tiga tahun lagi dilalui dan Ry tetap tak berubah. Wajahnya masih menggemaskan dengan pipi yang masih saja sebulat bakpao. Seandainya saja bisa –Ry berada di dekatnya– akan dicubitnya pipi itu. Mungkin ia akan melakukannya nanti saat mereka bertemu.Omong-omong soal pertemuan mereka, ia tidak memberi tahu siapa-siapa. Yang pasti ia akan menemui Ry saat masa tiga tahun terakhir, berakhir. Untuk tempat, ia masih belum menentukannya. Ia memang memiliki nomor ponsel Ry, Rin yang memberikannya. Awalnya cewek itu tidak mau memberitahunya, Rin malah meminta pertukaran, nomor ponsel Ry dengan alasan kenapa ia tak ingin Ry melihatnya. Namun, setel
Benda pipih persegi panjang itu sudah sejak beberapa menit yang lalu berada di tangan Ruu. Ia menggunakannya untuk berbalas pesan dengan Rin. Setelah makan malam dan sesi penjatuhan hukuman selesai, Ruu langsung masuk ke kamar tidurnya dan menghubungi Rin. Ia mengirimkannya pesan melalui sebuah aplikasi. Ruu tidak menggunakan laptop, ia menggunakan benda itu untuk kepentingan belajarnya. Untuk hal lain, ia selalu menggunakan ponsel, termasuk berkirim pesan dengan Rin. [Pokoknya Rin jangan kasih tau Ry dulu, atau aku akan kena masalah] - RuuBerulangkali Ruu memberikan alasan pada Rin agar tidak memberikan nomor ponselnya pada Ry. Cewek yang sekarang juga sudah kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Osaka itu ingin memberikan nomornya kepada kakaknya. Kata Rin, sampai sekarang Ry masih berusaha mencari informasi tentangnya. Kabar yang membuatnya nyaris melompat-lompat tadi saling senangnya. Ry masih mencintai dan masih mengharapkannya, perasaan mereka masih sama. Sekarang,
Ruu menundukkan kepala, pasrah dengan hukuman yang diberikan Papa. Ia ketahuan Rin, itu sudah cukup buruk baginya. Beruntung bukan Ry yang mengenalinya, bisa-bisa hukumannya jauh lebih berat dari sekarang. Ia tidak diperbolehkan lagi pergi ke Osaka, tidak sebelum ia lulus kuliah dan membuktikan jika dirinya mampu memimpin salah satu cabang perusahaan Papa yang berada di Tokyo sini. Jika berhasil maka Papa akan memberikan perusahaannya yang berada di Osaka, dan membiarkannya bertemu dengan Ry. Kedengarannya sangat tidak adil memang, tetapi ia tetap menerimanya. Semua memang salahnya yang menatap terlalu lama, tanpa sadar. Ia lupa jika Rin orangnya terlalu curiga, Rin bukan Ry yang tidak peka. Waktu tiga tahun bukanlah waktu yang lama, ia hanya harus lebih bersabar lagi. Ia bisa menggunakan waktu tiga tahun tambahan hukuman tanpa dapat melihat Ry secara langsung lagi, dengan lebih giat belajar. Ia yakin dapat melakukannya, ia harus lulus dengan nilai cumlaude terbaik sebagai pembukti
Paman gendut membawa nampan berisi dua buah mangkuk ramen ke meja Ry dan Rin. Sepertinya dia sangat tahu kapan kedua cewek itu datang sehingga membuatkan pesanan mereka bersamaan dengan miliknya. Diam-diam Ruu mengaguminya dalam hati."Untuk Ry tanpa narutomaki!" Paman gendut meletakkan mangkuk pertama di depan Ry. Mangkuk itu tanpa kue ikan yang tidak disukai Ry. Paman gendut sudah mengingatnya, seminggu ini ia selalu menyajikan ramen untuk Ry tanpa narutomaki. "Ini untuk Rin!" Ia meletakkan sebuah mangkuk lagi tepat di depan Rin. "Terima kasih, Paman!" Kedua cewek itu berkata bersamaan. Ruu tersenyum mendengarnya. Sengaja ia tidak melirik ataupun menatap mereka secara langsung lagi, ia tak ingin menimbulkan kecurigaan. Rin beberapa kali memergokinya tengah menatap mereka. Ia tak ingin ketahuan, atau semua akan semakin sulit. Ruu semakin menurunkan topinya, ia merasa sedang diawasi. Terpaksa ia mempercepat makannya, dan meninggalkan kedai lebih cepat dari minggu sebelumnya. Ia jug
Udara pagi memang lebih bersih bila dibandingkan pada siang hari. Sinar matahari yang hangat semakin menambah kesan sehat. Di dalam Shinkansen yang akan membawanya ke Osaka, Ruu memilih menghabiskan waktu untuk membaca. Bukan buku komik seperti yang biasa dibaca Ry, melainkan buku tentang bisnis. Ini adalah saran Papa agar ia tidak merasa bosan berada di dalam kereta cepat ini selama lebih dari dua jam. Bukan ide yang buruk karena waktu dua jam perjalanan seperti tak terasa, tahu-tahu kereta sudah berhenti di stasiun Shin-Osaka, tempat perhentiannya. Ruu turun bersama dengan para penumpang yang mempunyai tujuan yang sama.Ini adalah hari Minggu di pekan kedua ia diperbolehkan menemui Ry oleh Papa. Bukan menemui dalam artian sebenarnya, ia hanya diperbolehkan melihatnya dari jauh saja. Ia tidak boleh terlihat apalagi sampai bertegur sapa, sebagai salah satu syarat agar Papa tetap membantunya. Jika ia sampai melanggar sekali saja, maka Papa akan membiarkan laki-laki mana pun untuk mend