Aku menangis tergugu di pelukan Bunda. Entah bagaimana menempatkan diri saat ini. Papi menegur Mami, mengingatkan nominal uang seserahan, jangan seperti menjual anak. Toh aku dan Bram sudah menikah, hanya tinggal resepsi saja.
Semua persiapan pernikahan juga sudah ditanggung oleh keluarga Bram, sesuai keinginanku. Semua isi keranjang hantaran juga sudah dijabarkan oleh Bunda. Satu hal yang membuat sedih, ada Zanna juga Arkana menjadi saksi, bagaimana Mami memuntahkan semua kebencian padaku dan Papi.
Ayah tidak mempermasalahkan nominal, lebih dari itu juga beliau sanggup. Namun, Ayah hanya kecewa melihat perlakuan Mami kepadaku. Bunda malah langsung memeluk dan menenangkan aku.
"Bawa Aline pulang, Bunda. Aline capek," rengekku di pelukan Bunda. Pandanganku sudah penuh dengan air mata.
"Tidak bisa! Kamu anak saya. Saya masih berhak atas kamu, Zeline Zakeysha!" Mami berkacak pinggang.
Entah apa maunya Mami. Mendadak kepalaku berdentam heba
Bali dan lelaki yang sedang tidur terlelap seraya mendekap adalah obat untuk hatiku yang belakangan gundah.Aku memandangi wajah tampannya. Alis, mata, hidung, bibir juga cambangnya, memesona. Semakin lama menatap, aku terjerat pusaran gelombang rasa. Sebut saja gila karena mendamba hingga seakut ini."Udah puas mandangin aku, hm?" Bram bicara tetapi matanya masih terpejam."Eh, pura-pura tidur rupanya!""Aku udah bangun dari tadi. Kirain lagi mimpi dipeluk bidadari, eh ternyata guling cantik beneran ada di ranjang aku.""Kita ke mana hari ini?""Aku harus ke lokasi proyek, Babe. Hari ini ada investor yang tertarik dengan design aku untuk next project.""Terus aku ngapain dong?""Ke spa, abis itu istirahat. Nanti malam kita pindah tempat kencan. Aku mau puas-puasin pacaran sama kamu di sini sebelum kita balik ke Jakarta.""Oke. Makan siang bareng?""Hm, kayaknya gak
Aku membuka mata dan mendapati wajah Bram sedang menatap cemas."Baby, kamu gak apa-apa?"Tunggu, aku di mana? Mataku mengerjap lalu memindai sekeliling. Ini di kamar. Kelebat ingatan membuat emosiku memuncak."Mana Nadhira?""Nadhira apa? Jangan bilang kamu percaya dan terhasut omongannya!"Astaga, jadi ... dia sudah tahu apa yang terjadi pada Nadhira?"Kamu brengsek, Bram. Tega kamu!" Aku kehilangan kata-kata.Tuhan, semua mimpiku hancur lebur. Dia laki-laki yang aku cintai segenap jiwa raga. Lelaki pertama yang menyentuhku hingga ke palung hati."Kenapa?" tanyaku, serak."Would you listen to me?" Bram mencoba menggenggam tanganku."Don't touch me!" Aku menepis dan membentaknya.Bram mengembuskan napas kasar. "Look, Babe, aku gak pernah menyentuh gadis itu. Bukan aku pelakunya."Aku tersenyum sinis. "Lalu bagaimana dia bisa dengan yakinnya menunjukkan test pack dua gar
Aku menggeliat. Rasanya tubuh ini sakit semua. Eh, kenapa ada tangan Bram melingkar di perutku. Aku ketiduran, ya?"Kamu udah bangun, Babe?""Ini di mana?" Aku berusaha bangun, tetapi Bram menahan tubuh ini."Hotel Larissy.""Aku mimpi buruk tadi. Nadhira ... hamil anak kamu." Air mataku menetes. Gegas aku menghapusnya. "Aneh, ya? Untung cuma mimpi."Bram hanya diam. Biasanya dia pasti marah kalau membahas tentang gadis itu, kali ini justru semakin mengetatkan pelukan."Kamu kenapa sih? Lepasin, dong. Aku mau mandi. Badanku … kok rasanya capek banget, ya?”Bram menggeleng. "Biarin kayak gini, Babe. Aku mau peluk kamu."Ih, aneh, Bram kenapa? Kok mendadak posesif begini?"Udah. Lepasin. Aku mau ke toilet."Eh, kenapa aku jadi ketus begini ke dia?Bram mengalah. Aku turun dari ranjang menuju kamar mandi.Entah kenapa ada dorongan untuk me
Papi memintaku untuk tinggal di apartemen yang baru dibeli. Sayangnya, aku tidak mau pulang ke mana pun. Tidak ke rumah orang tua atau apartemen Bram.Cairan infus yang menetes satu-satu adalah objek pandangan kali ini. Keheningan juga menjadi teman. Bram belum kembali setelah diminta keluar oleh Papi.Tak banyak yang diucapkan oleh Papi padaku. Beliau hanya meminta untuk tetap bertahan seburuk apa pun keadaan. Bisakah? Apa mungkin aku bisa menjalani hari sebagai istrinya Bram, sedangkan di Bali sana Nadhira cemas menanti kepastian?Pintu ruangan rawat terbuka. Zanna datang bersama Arkana."Sissy. Gimana kondisi kamu?"Aku tersenyum. "Hanya kecapekan, Nya. Jangan cemas.""Bayi kamu gimana?" celetuk Arkana.Aku menggeleng. Bukan saat yang tepat membicarakan tentang anak saat ini. Tangisku luruh lagi.Zanna langsung memelukku erat. Lidahku kelu, tak sanggup untuk berbasa-basi."Maaf," ucap Arkan
"Kamu gak perlu mengundurkan diri, Aline. Biar Aunty yang back up selama kamu butuh waktu. Jangan sungkan untuk menghubungi Aunty. Ya?" Mata Aunty Lia berkaca-kaca saat mengelus pipiku."Makasih banyak, Aunty. Aline sayang Aunty." Aku memeluk erat tubuh Aunty Lia tersayang."Have a safe flight, Aline. Kabari kalo udah sampai.""Aye aye, Capten." Lalu aku berbalik seraya menyeret koper berisi beberapa potong pakaian baru yang dibelikan oleh Aunty Lia.Selamat tinggal, Jakarta. Izinkan aku menepi untuk menyembuhkan luka. Jika memang takdir menuliskan kisah yang berbeda, bisa saja aku tak akan kembali lagi ke kota ini. Kali ini, aku melarikan diri dari segala impian yang pernah dirajut dengan indah karena kenyataan begitu pahit seperti menelan empedu.Aku memakai sunglasses untuk menutupi mata yang bengkak karena semalaman menangis. Aku merasa bersalah karena meninggalkan Bram sendiri menghadapi masalah ini. Namun, bertahan di bersamanya j
Aku bangun pagi sekali atau lebih tepatnya tidak bisa tidur nyenyak. Baru saja mencoba untuk memejamkan mata, aku malah bermimpi, dikejar bayi yang berteriak memanggil Papa. Ketika tersentak bangun, hatiku nyeri sekali. Apa Nadhira sedang menyampaikan sesuatu pada Tuhan dan meminta keadilan? Aku menyeret langkah menuju kamar mandi lalu menangis di bawah kucuran air kran shower. Ini hanya awal, 'kan? Setelah semua terbukti, aku mungkin sudah terbiasa akan kesendirian juga luka. Biarkan aku mengemas kenangan yang berbalut luka dengan jalan pilihan ini. Sebelum badanku menggigil, lebih baik acara mandi sembari menangis ini disudahi saja. Aku sendirian di sini, akan sangat merepotkan jika kondisi badan drop lagi. Aku membuka resleting koper, mencari pakaian yang sesuai. Hanya ada jeans ukuran tiga per empat dan baju bahan rajut lengan panjang. Stok pakaian hanya cukup untuk beberapa hari ke depan, artinya aku memang harus belanja. Jika melihat
"Aline, ini Mami. Pulang! Kondisi perusahaan sedang di ujung tanduk. Papi dan Bunda sakit." Suara ketus di seberang pembicaraan menyentakku bangun dari ranjang.Hari ini, tepat dua bulan aku bersembunyi. Bertingkah seperti orang normal, menjalani tiap detik waktu dengan lubang di hati yang semakin menganga.Hanya ada satu orang yang mengetahui nomor baru ini. Jadi dengan mata terpejam aku mengangkat ponsel. Apakah Aunty Lia akhirnya membuka mulut karena kondisi di sana berimbas karena pelarianku?"Aline, kamu dengar Mami, 'kan? Pulang! Apa kamu mau Papi ... terpuruk karena keegoisan kamu?" Ada getar yang kentara di suara Mami.Apa Mami takut kehilangan Papi? Apa pelarian ini akhirnya mampu mencairkan gunung es di hati Mami?"Iya, Mi. Aline pulang.""Mami tunggu. Aline ...," panggil Mami."Ya, Mi.""Maaf." Lalu pembicaraan terputus.Maaf? Seorang Mami mengucapkan maaf untuk aku? Bukannya selama ini aku h
Aku memijat pelipis. Permintaan Bunda tadi membuatku disergap kebingungan. Bagaimana bisa menjadi anaknya Bunda, jika ada perempuan lain yang sedang hamil dan menunggu kepastian?Untung saja Bunda tidak mendesak jawaban dariku. Bram juga hanya diam memandangi kami. Ketika akhirnya Ayah datang, aku langsung menyalami dan meminta maaf. Satu ketakutan sirna, tidak ada satu pun yang membenci kelakuanku kabur dari Bram."Bram, bawa Aline pulang. Biar gantian Ayah yang jaga Bunda. Kalian bahas masalah yang belum selesai, ya," ujar Ayah.Aku tak mungkin mendebat Ayah. Lebih baik nanti saja menolak keinginan Bram di parkiran."Aline pamit. Bunda cepat sembuh, ya. Aline janji gak akan kabur lagi." Aku mencium pipi Bunda.Setelah pintu kamar Bunda tertutup, aku kembali melangkah ke ruang rawat Papi."Papi, Mami, Aline pulang dulu, ya. Ada yang mau diomongin sama Bram." Aku mencium pipi Papi lalu beralih ke Mami.Bram ikut berp