“Ra!”Suara panggilan itu membuat langkah Hera seketika terhenti. Perempuan itu menolehkan wajahnya dengan keningnya yang mengernyit.“What?”“Mau ke mana?” tanya Ares saat tak sengaja bertemu Hera di lobi. Pandangannya tertuju pada sebuah paper bag yang ada di tangan perempuan itu.“Gue mau kasih makan bayi. Kenapa, sih?”“Eros?” Ares terkekeh saat Hera menyebut ‘bayi’ itu.Hera mengangguk. “Siapa lagi? Gue masih belum yakin bisa ngelepasin dia gitu aja disaat kondisinya masih begini, Res. Belum lagi Tante Hasna titipin dia ke gue.”“Ikarus nggak ikut?”Hera menggeleng. “Dia bukannya mau lunch meeting bareng investor sama lo, ya?” Ia mendecak sembari memutar matanya.“Ah, bener juga. Ya udah, deh. Take care, Ra.”Hera mengangguk lalu ia melanjutkan langkahnya untuk menuju basement dan segera bergegas meninggalkan hotel detik itu juga.Tepat saat waktu sudah menunjuk angka sebelas siang, mobil yang dikendarai Hera tiba di Perkara Segalanya Coffee. Ia kemudian beranjak turun dan segera
“Selamat malam. Ikarus speaking, how may I assist you?”“Selamat malam, Pak Ikarus. Maaf mengganggu waktunya sebentar. Ada tamu yang ingin menemui Bapak.”Ikarus mengerutkan keningnya sambil melirik jam yang melingkar di tangannya. “Siapa, Ki?” tanya pria itu. “Saya merasa tidak ada janji dengan siapa-siapa soalnya.”“Ibu Nadine Putri Gunadi, Pak. Beliau sekarang sudah menunggu di lobi.”Ikarus menghela napas panjang sembari mengurut keningnya. “Bu Hera sudah pulang?”“Sudah, Pak. Bu Hera baru saja meninggalkan hotel.”“Oke. Antarkan Bu Nadine ke lounge ya, Ki. Saya akan menemuinya di sana.”“Baik, Pak.”Setelah mengakhiri panggilan itu, Ikarus menyandarkan punggungnya ke belakang. Ia melonggarkan dasi yang sejak pagi tadi mencekik lehernya lalu melepasnya. Mencoba menebak-nebak maksud dari kedatangan Nadine, pria itu kemudian bangkit dari duduknya dan langsung segera melangkah menuju lounge untuk menemui perempuan itu.Begitu tiba di lounge, Ikarus mengedarkan matanya ke sekitar lalu
“Coklat kamu sudah habis?” bisik Ikarus tepat sesaat setelah pria itu membawa tangan Hera yang telah diikatnya ke atas kepala.“Ada di sana.” Hera mengedikkan dagu, menunjuk atas nakas tempat di mana ia meletakkan coklat pemberian Ikarus tadi siang.“Kamu nggak berniat untuk membaginya sama aku?” “Ya?” Disaat pikirannya tengah gugup memikirkan apa yang akan dilakukan Ikarus setelah ini, bagaimana bisa pria itu justru membahas coklat pemberiannya?Ikarus tersenyum kecil, ia turun dari ranjang tidurnya. Pria itu melangkah mendekati nakas lalu mengambil kotak coklat yang sempat dibelikannya untuk Hera tadi.“Boleh aku minta, kan?”Sementara Hera masih bergeming. Namun keterdiaman perempuan itu tidak bertahan lama karena jantungnya kembali bertalu-talu saat Ikarus meraih satu buah coklat praline itu, dan menaruhnya di dada Hera.“Rus…”Dinginnya coklat praline yang menyentuh permukaan kulitnya itu membuat sekujur tubuh Hera bergidik. Terlebih saat Ikarus tidak hanya menaruh satu coklat i
“Aku ada janji mau menemani tamu breakfast di hotel. Aku berangkat duluan nggak apa-apa, kan?” bisik Ikarus tepat di samping telinga Hera.Pria itu sudah terlihat rapi dengan setelan kemejanya warna biru navy, duduk di tepi ranjang dengan senyumnya yang merekah sempurna.Sementara Hera masih bergelung di bawah selimut. Merasakan sekujur tubuhnya terasa remuk redam setelah percintaannya semalam. “Iya. Aku mau lanjut tidur sebentar. Badanku remuk banget rasanya.”“Tapi udah nggak lengket, kan?” Ikarus mengerling jahil. “Perpaduan coklat dan kamu itu bikin ketagihan.”“Bisaan banget, ya?” Hera mengusap rahang tegas Ikarus, merasakan kehangatan mengalir di hatinya. Lalu, “Rus?”“Mm?” “Aku udah mikirin soal psikiater itu. Kayaknya nggak apa-apa misal aku mencobanya, deh?”Tubuh Ikarus seketika menegang. Ingatan pria itu kembali membawanya pada kejadian Nadine yang menemuinya kemarin malam.“Kamu yakin?”Hera mengangguk. “Kan mau dicoba dulu. Aku nggak mau terus-terusan begini. Kamu pernah
“Kita mau ke mana, sih? Nggak usah sok misterius gini, deh?” tanya Hera penasaran. “Kamu bahkan menyiapkan dress spesial gini buat aku? Kita mau ketemu sama orang?”Ikarus yang sejak tadi memilih untuk tidak mengatakan ke mana tujuan mobilnya melaju, hanya tersenyum kecil. “Rahasia dong. Namanya juga kejutan, kalau dibocorkan sekarang bukan kejutan lagi namanya.”Hera mendecak dengan kedua tangannya yang menangkup di dada. Hari ini memang adalah hari Sabtu. Sejak kemarin Ikarus sudah mengatakan kepada Hera bahwa hari ini ia akan mengajak perempuan itu ke suatu tempat.“Ya seenggaknya kamu bilang… kita mau ngapain gitu dong!” Bibir Hera mencebik, antara kesal namun juga penasaran. Akhir-akhir ini Ikarus memang senang memberinya kejutan. Terakhir kalinya Ikarus melakukannya saat ia membelikan coklat dan lingerie untuknya.“Besok hari pertama kamu sesi konseling sama Dokter Dimas. Nggak lupa, kan? Besok aku anterin kamu, ya.”“Kamu bukannya ada acara sama Ares, ya?”“Kemungkinan sih aku
“Kamu yakin nggak apa-apa nungguin aku, Rus? Kalau memang kamu udah ada janji sama Ares, aku ditinggal nggak apa-apa kok, Rus.” “Nggak apa-apa, Sayang. Aku juga udah bilang sama Ares, kok kalau aku mau nganterin kamu konseling. Kamu tahu gimana Ares, kan? Dia bisa mengatasi semuanya meskipun tanpa aku.” Ikarus mengusap puncak kepala Hera, lalu tersenyum lebar. “Aku bakalan di sini nungguin kamu sampai selesai pokoknya.”Hera mengangguk, tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Bersamaan dengan seorang perawat yang berjaga memanggil nama perempuan itu.Hera kemudian menoleh. “Aku masuk dulu, ya?”“Aku tunggu di sini, ya? Kasih tahu aku kalau udah selesai.”Setelah mengatakan itu, Hera kemudian bangkit dari duduknya. Ditemani oleh salah satu perawat yang akan mengantarnya menemui Dokter Dimas, Hera berjalan bersisian menyusuri lorong.Jantungnya berdegup kencang mengingat bahwa ini kali pertamanya Hera menemui seorang psikiater. Begitu tiba di ruangan yang dituju, perawat itu mengangkat
“Rus…”Ikarus mengerjapkan matanya lalu mendaratkan kecupan singkat di puncak kepala Hera. Masih terlalu pagi untuk beranjak dari tempat tidur, terlebih saat keduanya baru menyelesaikan percintaannya beberapa waktu lalu. “Hm?”“Kira-kira kamu pengen punya anak berapa?” tembak Hera dengan lirih.Ikarus menunduk, menatap wajah Hera yang kini mendongak. “Kalau kamu?” ujar Ikarus balik bertanya.“Dih, kok malah balik tanya, sih? Kan aku duluan yang nanyain ke kamu.” Hera mencubit pinggang Ikarus yang mulai kering padahal ia sangat yakin sekujur tubuh mereka tadi dibasahi oleh peluh keringat percintaan mereka.“Tiga… atau empat?”“Banyak banget, ya!” Hera mencubit pinggang Ikarus lagi, dan hal itu membuat Ikarus tergelak. “Apa nggak capek aku hamilnya?” gerutunya tak terima.“Tadi nanya. Giliran udah dijawab malah diomelin. Emang paling pas jawabannya tuh terserah aja, sih.”“Nggak gitu…” Hera mencebikkan bibir. Jari telunjuknya sibuk bergerilya di dada bidang Ikarus, membuat sebuah pola a
Hera duduk termenung di ruangannya dengan pikirannya yang kosong. Perempuan itu tidak melakukan apa-apa namun kepalanya sibuk dijejali banyak pertanyaan yang mengganjal. Tatapannya terpaku pada sebuah boks di hadapannya, ucapan Nadine tadi kembali membayang di pikirannya.“Maksud kamu apa? Saya nggak ngerti.”“Kalau kamu pikir kamu memang istimewa di mata Mas Ikarus, kamu salah besar. Jangan terlalu percaya diri sebelum kamu tahu yang sebenarnya.”“Jangan bertele-tele. Saya nggak punya waktu banyak untuk menanggapi hal-hal yang nggak penting.”“Di dalam boks itu, ada sebuah cincin. Cincin itu pemberian dari Mas Ikarus sebagai pengikat hubungan kita.”Hera tersenyum kecil, terlihat tak gentar dengan tatapan penuh intimidasi Nadine. “Itu dulu. Sebelum kamu menikah dengan pria lain. Kalau sekarang, saya yakin kalau dia mencintai saya. Kamu lupa kalau perasaan orang mudah berubah, kan? Pun dengan Ikarus.”“Tadinya begitu… saya bahkan sudah hampir menyerah dan melepaskan Mas Ikarus untuk k