“Aku ada janji mau menemani tamu breakfast di hotel. Aku berangkat duluan nggak apa-apa, kan?” bisik Ikarus tepat di samping telinga Hera.Pria itu sudah terlihat rapi dengan setelan kemejanya warna biru navy, duduk di tepi ranjang dengan senyumnya yang merekah sempurna.Sementara Hera masih bergelung di bawah selimut. Merasakan sekujur tubuhnya terasa remuk redam setelah percintaannya semalam. “Iya. Aku mau lanjut tidur sebentar. Badanku remuk banget rasanya.”“Tapi udah nggak lengket, kan?” Ikarus mengerling jahil. “Perpaduan coklat dan kamu itu bikin ketagihan.”“Bisaan banget, ya?” Hera mengusap rahang tegas Ikarus, merasakan kehangatan mengalir di hatinya. Lalu, “Rus?”“Mm?” “Aku udah mikirin soal psikiater itu. Kayaknya nggak apa-apa misal aku mencobanya, deh?”Tubuh Ikarus seketika menegang. Ingatan pria itu kembali membawanya pada kejadian Nadine yang menemuinya kemarin malam.“Kamu yakin?”Hera mengangguk. “Kan mau dicoba dulu. Aku nggak mau terus-terusan begini. Kamu pernah
“Kita mau ke mana, sih? Nggak usah sok misterius gini, deh?” tanya Hera penasaran. “Kamu bahkan menyiapkan dress spesial gini buat aku? Kita mau ketemu sama orang?”Ikarus yang sejak tadi memilih untuk tidak mengatakan ke mana tujuan mobilnya melaju, hanya tersenyum kecil. “Rahasia dong. Namanya juga kejutan, kalau dibocorkan sekarang bukan kejutan lagi namanya.”Hera mendecak dengan kedua tangannya yang menangkup di dada. Hari ini memang adalah hari Sabtu. Sejak kemarin Ikarus sudah mengatakan kepada Hera bahwa hari ini ia akan mengajak perempuan itu ke suatu tempat.“Ya seenggaknya kamu bilang… kita mau ngapain gitu dong!” Bibir Hera mencebik, antara kesal namun juga penasaran. Akhir-akhir ini Ikarus memang senang memberinya kejutan. Terakhir kalinya Ikarus melakukannya saat ia membelikan coklat dan lingerie untuknya.“Besok hari pertama kamu sesi konseling sama Dokter Dimas. Nggak lupa, kan? Besok aku anterin kamu, ya.”“Kamu bukannya ada acara sama Ares, ya?”“Kemungkinan sih aku
“Kamu yakin nggak apa-apa nungguin aku, Rus? Kalau memang kamu udah ada janji sama Ares, aku ditinggal nggak apa-apa kok, Rus.” “Nggak apa-apa, Sayang. Aku juga udah bilang sama Ares, kok kalau aku mau nganterin kamu konseling. Kamu tahu gimana Ares, kan? Dia bisa mengatasi semuanya meskipun tanpa aku.” Ikarus mengusap puncak kepala Hera, lalu tersenyum lebar. “Aku bakalan di sini nungguin kamu sampai selesai pokoknya.”Hera mengangguk, tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Bersamaan dengan seorang perawat yang berjaga memanggil nama perempuan itu.Hera kemudian menoleh. “Aku masuk dulu, ya?”“Aku tunggu di sini, ya? Kasih tahu aku kalau udah selesai.”Setelah mengatakan itu, Hera kemudian bangkit dari duduknya. Ditemani oleh salah satu perawat yang akan mengantarnya menemui Dokter Dimas, Hera berjalan bersisian menyusuri lorong.Jantungnya berdegup kencang mengingat bahwa ini kali pertamanya Hera menemui seorang psikiater. Begitu tiba di ruangan yang dituju, perawat itu mengangkat
“Rus…”Ikarus mengerjapkan matanya lalu mendaratkan kecupan singkat di puncak kepala Hera. Masih terlalu pagi untuk beranjak dari tempat tidur, terlebih saat keduanya baru menyelesaikan percintaannya beberapa waktu lalu. “Hm?”“Kira-kira kamu pengen punya anak berapa?” tembak Hera dengan lirih.Ikarus menunduk, menatap wajah Hera yang kini mendongak. “Kalau kamu?” ujar Ikarus balik bertanya.“Dih, kok malah balik tanya, sih? Kan aku duluan yang nanyain ke kamu.” Hera mencubit pinggang Ikarus yang mulai kering padahal ia sangat yakin sekujur tubuh mereka tadi dibasahi oleh peluh keringat percintaan mereka.“Tiga… atau empat?”“Banyak banget, ya!” Hera mencubit pinggang Ikarus lagi, dan hal itu membuat Ikarus tergelak. “Apa nggak capek aku hamilnya?” gerutunya tak terima.“Tadi nanya. Giliran udah dijawab malah diomelin. Emang paling pas jawabannya tuh terserah aja, sih.”“Nggak gitu…” Hera mencebikkan bibir. Jari telunjuknya sibuk bergerilya di dada bidang Ikarus, membuat sebuah pola a
Hera duduk termenung di ruangannya dengan pikirannya yang kosong. Perempuan itu tidak melakukan apa-apa namun kepalanya sibuk dijejali banyak pertanyaan yang mengganjal. Tatapannya terpaku pada sebuah boks di hadapannya, ucapan Nadine tadi kembali membayang di pikirannya.“Maksud kamu apa? Saya nggak ngerti.”“Kalau kamu pikir kamu memang istimewa di mata Mas Ikarus, kamu salah besar. Jangan terlalu percaya diri sebelum kamu tahu yang sebenarnya.”“Jangan bertele-tele. Saya nggak punya waktu banyak untuk menanggapi hal-hal yang nggak penting.”“Di dalam boks itu, ada sebuah cincin. Cincin itu pemberian dari Mas Ikarus sebagai pengikat hubungan kita.”Hera tersenyum kecil, terlihat tak gentar dengan tatapan penuh intimidasi Nadine. “Itu dulu. Sebelum kamu menikah dengan pria lain. Kalau sekarang, saya yakin kalau dia mencintai saya. Kamu lupa kalau perasaan orang mudah berubah, kan? Pun dengan Ikarus.”“Tadinya begitu… saya bahkan sudah hampir menyerah dan melepaskan Mas Ikarus untuk k
“BANGSAT!”Ikarus belum sempat memikirkan apa-apa saat sebuah umpatan diiringi dengan pukulan mendaratkan sempurna di wajahnya, membuat Ikarus yang tadinya duduk di atas bar stool kemudian terjungkal ke belakang hingga tersungkur di lantai.“Ros! Stop, Ros!”Beberapa orang terkejut lalu sedikit berteriak karena kejadian itu. Namun siapa yang peduli?“Jangan halangi gue, Res!” sentak Eros dengan murka. “Sorry, Rus. I warned you before. Gue udah gatal banget pengen mukul lo. Sekarang lo mau jelasin apa lagi, hah?”“Kalem, Ros! Kita lagi di tempat umum. Lo nggak pengen diusir dari sini gara-gara tingkah kekanakan lo ini, kan?” sahut Ares menengahi.Sudah ada beberapa staf yang berdiri di sana, dan sudah bersiap melerai jika terjadi baku hantam untuk kedua kalinya.Eros menyentak cekalan Ares yang sejak tadi menahannya. Tatapannya nyalang ke arah Ikarus yang kini tengah menyeka sudut bibirnya yang mengeluarkan darah karena pukulan Eros. “Sejak awal lo bilang kalau lo udah nggak ada apa-a
“Lo nggak biasanya secengeng ini, Ra. Lo nggak boleh nangis kayak gini.”Hera masih mencoba menghentikan isakan tangisnya sejak tadi, namun lagi-lagi ia gagal. Perempuan itu menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya, menahan sesak di dadanya.“Lo harus kuat, Ra. Lo nggak salah, Lo harus—” Karena semakin memikirkannya, Hera terlihat semakin menyedihkan.Suara ketukan dari luar membuat Hera kemudian mendongak, mencoba menerka-nerka siapa yang datang ke apartemennya selarut ini.Perempuan itu masih memikirkan untuk membukakan pintu itu saat suara ketukan itu lagi-lagi terdengar. Hera menarik napas dalam-dalam lalu beranjak dari sofa untuk melihat siapa yang berdiri di depan pintu sana.“Gue tahu lo di dalam.” Suara seseorang terdengar samar di balik pintu sana. “Buka atau gue panggil petugas damkar buat buka pintu apartemen lo.”Bisa-bisanya pria itu bercanda?Hera menghela napas panjang setelah menyusut air matanya. Baru setelahnya, perempuan itu meraih handle pintu dan langsung
“Ikarus?” Dimas yang baru saja menyelesaikan janji temunya dengan pasien terlihat terkejut dengan kehadiran pria itu. “Hari ini saya nggak ada jadwal konseling sama Hera. Atau saya yang salah?”“Saya datang ke sini bukan untuk nganterin Hera konseling, Dok. Ada hal lain yang ingin saya bicarakan dengan Dokter Dimas.”Dimas mengerutkan keningnya. “Soal apa?”“Kalau Dokter Dimas ada waktu, kita bisa ngobrol sebentar sambil ngopi di kafe depan. Bagaimana?”Dimas melirik jam yang melingkar di tangannya, lalu mengangguk. “Boleh. Saya masih ada waktu sejam sebelum ketemu dengan pasien saya lagi.”Keduanya melangkah melewati lobi untuk menuju kafe yang ada di seberang klinik tersebut. Begitu mereka tiba, keduanya langsung memesan dua cangkir kopi yang kini sudah berada di atas mejanya.“Jadi? Apa yang ingin kamu bicarakan dengan saya?” tanya Dimas penasaran.“Ini tentang istri Dokter Dimas. Nadine Putri Gunadi.”Dimas tertegun selama beberapa saat. “Dari mana kamu tahu nama istri saya?”Ikar