“Lo nggak biasanya secengeng ini, Ra. Lo nggak boleh nangis kayak gini.”Hera masih mencoba menghentikan isakan tangisnya sejak tadi, namun lagi-lagi ia gagal. Perempuan itu menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya, menahan sesak di dadanya.“Lo harus kuat, Ra. Lo nggak salah, Lo harus—” Karena semakin memikirkannya, Hera terlihat semakin menyedihkan.Suara ketukan dari luar membuat Hera kemudian mendongak, mencoba menerka-nerka siapa yang datang ke apartemennya selarut ini.Perempuan itu masih memikirkan untuk membukakan pintu itu saat suara ketukan itu lagi-lagi terdengar. Hera menarik napas dalam-dalam lalu beranjak dari sofa untuk melihat siapa yang berdiri di depan pintu sana.“Gue tahu lo di dalam.” Suara seseorang terdengar samar di balik pintu sana. “Buka atau gue panggil petugas damkar buat buka pintu apartemen lo.”Bisa-bisanya pria itu bercanda?Hera menghela napas panjang setelah menyusut air matanya. Baru setelahnya, perempuan itu meraih handle pintu dan langsung
“Ikarus?” Dimas yang baru saja menyelesaikan janji temunya dengan pasien terlihat terkejut dengan kehadiran pria itu. “Hari ini saya nggak ada jadwal konseling sama Hera. Atau saya yang salah?”“Saya datang ke sini bukan untuk nganterin Hera konseling, Dok. Ada hal lain yang ingin saya bicarakan dengan Dokter Dimas.”Dimas mengerutkan keningnya. “Soal apa?”“Kalau Dokter Dimas ada waktu, kita bisa ngobrol sebentar sambil ngopi di kafe depan. Bagaimana?”Dimas melirik jam yang melingkar di tangannya, lalu mengangguk. “Boleh. Saya masih ada waktu sejam sebelum ketemu dengan pasien saya lagi.”Keduanya melangkah melewati lobi untuk menuju kafe yang ada di seberang klinik tersebut. Begitu mereka tiba, keduanya langsung memesan dua cangkir kopi yang kini sudah berada di atas mejanya.“Jadi? Apa yang ingin kamu bicarakan dengan saya?” tanya Dimas penasaran.“Ini tentang istri Dokter Dimas. Nadine Putri Gunadi.”Dimas tertegun selama beberapa saat. “Dari mana kamu tahu nama istri saya?”Ikar
“Apa? Lo beneran nemuin Dimas? Jadi Dimas udah tahu semuanya tentang lo sama Nadine?” Ares membelalak lebar, hampir tidak mempercayai ide yang baru saja dikatakan Ikarus. “Orang gila!”“Satu-satunya cara untuk menghentikan Nadine adalah dengan membongkar semuanya. Lo tahu sendiri kalau gue bisa saja menyingkirkan Nadine dengan cara gue sendiri. Tapi gue cukup tahu diri untuk menghargai Dimas karena udah bantu Hera pulih sejauh ini.”“Lo yakin dianya nggak ada dendam apa-apa sama lo?”“Entahlah. Lagipula gue sama sekali nggak ganggu rumah tangga dia sama Nadine, kan?” Ikarus menghela napas panjang. “By the way, lo udah mastiin Hera sarapan tadi, kan?”“Hm. Tadi pagi gue ajak dia breakfast di restoran elah dan dia baik-baik saja.” Ares mendecak pelan. “Kalau lo penasaran, samperin ke ruangannya, Bangsat. Nggak usah jadi pengecut gini.”“Gue bukan mau jadi pengecut, Res. Sebenarnya semalam gue udah agak lega karena dia datang ke acara bokap semalam. Tapi ya gitu… dia masih marah sama gue
IKARUS berjalan mondar-mandir di depan ruang IGD. Pikirannya yang tengah melayang memikirkan bagaimana kondisi Hera, membuat segalanya terasa kacau. Hatinya tidak tenang.“Dia ada keluhan sakit sebelumnya?”Ikarus menggeleng. Seingatnya kemarin malam perempuan itu baik-baik saja. Bahkan hari ini ia sempat melihat Hera sibuk bekerja meskipun mereka tidak sempat bertegur sapa.“Di kantor dia kelihatan baik-baik saja, Dok. Dia sama sekali nggak kelihatan sedang sakit pagi ini.”Di sela kekalutannya memikirkan kondisi Hera, seorang dokter bersneli putih muncul dari balik tirai. Pria itu menggantungkan stetoskop di lehernya, lalu memulas wajahnya dengan senyuman.“Bagaimana kondisi istri saya, Dok?” tanya Ikarus dengan panik.“Memang untuk kondisi kandungan trimester awal itu sangat beresiko, Pak. Jadi saya—”“Tunggu, Dok.” Ikarus mengerjapkan matanya. “Kandungan? Maksud dokter, istri saya—”“Anda tidak tahu kalau istri Anda tengah hamil?”Ikarus tertegun. Ia menoleh ke samping, menatap Do
“Good morning, Wife!” Suara lembut Ikarus membuat Hera yang baru saja membuka matanya lantas mengerjap sembari tersenyum.“Good morning, Rus,” balas Hera. Perempuan itu menggeliat, merasakan tubuhnya terasa pegal luar biasa.“Nyenyak tidurnya? Ngerasa mual, nggak?”Hera baru saja akan membuka suara saat tiba-tiba saja perutnya bergolak hebat. Perempuan itu lantas menyibak selimutnya, lalu turun dari ranjang tidur dan langsung berlari menuju ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya.“Ra, kamu nggak apa-apa?” Ikarus muncul di belakangnya, memegangi rambut perempuan itu agar tidak mengganggu. Terlihat khawatir dengan kondisi istrinya.“Aku nggak apa-apa, kok.” Hera mengusap bibirnya dengan punggung tangan, “katanya emang begini kalau hamil. Eve sama Artemis malah sempat nggak bisa bangun gara-gara morning sickness.”Ikarus menghela napas panjang. “Ya udah, kamu balik istirahat aja, ya? Lagi pengen sesuatu nggak? Pengen apa?”“Aku mau mandi, Rus. Kan kita harus kerja.”“Kamu yakin ma
[Heraia Cassandra: Tiba-tiba aku pengen makan ramen siang-siang gini berdua sama kamu, coba. Makan siang di luar, yuk?][Heraia Cassandra: Ih, kok nggak dibalas? Sibuk ngapain, sih?]“Sampai di sini ada pertanyaan?” Ikarus menghela napas pendek begitu tatapnya terpaku pada pesan-pesan dari istrinya yang muncul di layar. “Kalau nggak ada, kita akhiri meeting siang ini. Thank you.”[Masih presentasi, Sayang. Sebentar, ya?][Heraia Cassandra: Masih lama banget, nih? Berapa menit lagi? Ini anak kamu yang minta, lho. Buruan bisa, nggak?]Ikarus mengembuskan napas perlahan saat peserta meeting mulai meninggalkan ruangan. Ikarus sibuk mengetikkan pesan balasan untuk Hera saat Ares bersuara.“Kenapa, sih? Ada masalah?”“Hera ngidam ramen siang-siang gini.” Ikarus menghela napas. “Mana sejam lagi gue meeting sama Pak Dirga pula. Lo gantiin gue ya, Res.”“Emang setan nggak tahu diri. Ini bosnya siapa, sih?”Ikarus tergelak. “Sorry, Res. Sumpah! Lo tahu sendiri kalau Hera lagi pengen sesuatu dan
“Nyi? Ngapain lo ke sini?” tanya Eros saat matanya menangkap sosok Hera muncul dari balik pintu kafe. “Kenapa muka lo ditekuk gitu? Kurang pelepasan lo?”Hera sontak mendelik dengan bibirnya yang mencebik. “Sembarangan! Gue lagi bete, nih!”“Bete kenapa, sih?” Eros mengitari konter barnya, lalu melangkah mendekati Hera. “Ikarus mana? Lo sendirian ke sini naik apa?”“Naik taksi.” Hera menjawab cepat. “Gue pengen muter-muter naik vespa lo, Ros. Temenin gue, yuk?”“Nggak usah gila deh, Nyi. Lo lagi hamil, kalau kenapa-napa di jalan bisa-bisa gue digantung sama laki lo.”“Dih! Gue cuma pengen muter-muter naik vespa lo, Ros. Nggak ngajakin lo naik roller coaster juga!”“Justru itu, Nyi. Naik motor itu rawan apalagi usia kandungan lo baru semester awal.”Hera sontak tergelak. “Trimester, Ros, bukan semester. Lo kata hamil itu kayak sekolah.”“Ya mana gue tahu.” Eros mengedikkan bahu. “Gue kan belum pernah hamil.”“Ish, Bisaan banget ngelesnya, ya! Gue kutuk bentar lagi lo nikah gimana? Mau!
“Kamu emang sengaja sekongkolan sama Eros, kan? Makanya bisa tahu kalau aku di sini?”Ikarus terkekeh lalu menyelipkan anak rambut Hera ke belakang telinga. Dibandingkan dengan sebelumnya yang masih merasa kesal, Hera sudah terlihat lebih tenang sekarang.Ikarus menghela napas. “Kenapa pakai acara kabur-kaburan segala, coba? Kan aku jadi khawatir sama kamu, Ra.”“Siapa coba yang memulai? Salah siapa pakai acara ngambek-ngambek nggak jelas gitu.”“Ya kan aku nggak suka kalau ada cowok yang deket-deket sama kamu, Ra. Mana dia kelihatan banget kalau tertarik sama kamu pula. Siapa yang nggak kesal, coba?”“Aku nggak akan berpaling sama kamu, Rus. Jadi kamu nggak usah khawatir. Lagian siapa yang bakalan naksir kalau tahu aku udah bersuami dan sekarang aku lagi hamil muda gini, hm?”“Dia nggak tahu kalau kamu lagi hamil, by the way.” Ikarus mendecak, menoleh dan memperhatikan Eros yang tengah duduk di bibir pantai, menikmati matahari terbenam yang terasa sempurna seorang diri.“Kan! Mulai l