“Kita mau ke mana, sih? Nggak usah sok misterius gini, deh?” tanya Hera penasaran. “Kamu bahkan menyiapkan dress spesial gini buat aku? Kita mau ketemu sama orang?”Ikarus yang sejak tadi memilih untuk tidak mengatakan ke mana tujuan mobilnya melaju, hanya tersenyum kecil. “Rahasia dong. Namanya juga kejutan, kalau dibocorkan sekarang bukan kejutan lagi namanya.”Hera mendecak dengan kedua tangannya yang menangkup di dada. Hari ini memang adalah hari Sabtu. Sejak kemarin Ikarus sudah mengatakan kepada Hera bahwa hari ini ia akan mengajak perempuan itu ke suatu tempat.“Ya seenggaknya kamu bilang… kita mau ngapain gitu dong!” Bibir Hera mencebik, antara kesal namun juga penasaran. Akhir-akhir ini Ikarus memang senang memberinya kejutan. Terakhir kalinya Ikarus melakukannya saat ia membelikan coklat dan lingerie untuknya.“Besok hari pertama kamu sesi konseling sama Dokter Dimas. Nggak lupa, kan? Besok aku anterin kamu, ya.”“Kamu bukannya ada acara sama Ares, ya?”“Kemungkinan sih aku
“Kamu yakin nggak apa-apa nungguin aku, Rus? Kalau memang kamu udah ada janji sama Ares, aku ditinggal nggak apa-apa kok, Rus.” “Nggak apa-apa, Sayang. Aku juga udah bilang sama Ares, kok kalau aku mau nganterin kamu konseling. Kamu tahu gimana Ares, kan? Dia bisa mengatasi semuanya meskipun tanpa aku.” Ikarus mengusap puncak kepala Hera, lalu tersenyum lebar. “Aku bakalan di sini nungguin kamu sampai selesai pokoknya.”Hera mengangguk, tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Bersamaan dengan seorang perawat yang berjaga memanggil nama perempuan itu.Hera kemudian menoleh. “Aku masuk dulu, ya?”“Aku tunggu di sini, ya? Kasih tahu aku kalau udah selesai.”Setelah mengatakan itu, Hera kemudian bangkit dari duduknya. Ditemani oleh salah satu perawat yang akan mengantarnya menemui Dokter Dimas, Hera berjalan bersisian menyusuri lorong.Jantungnya berdegup kencang mengingat bahwa ini kali pertamanya Hera menemui seorang psikiater. Begitu tiba di ruangan yang dituju, perawat itu mengangkat
“Rus…”Ikarus mengerjapkan matanya lalu mendaratkan kecupan singkat di puncak kepala Hera. Masih terlalu pagi untuk beranjak dari tempat tidur, terlebih saat keduanya baru menyelesaikan percintaannya beberapa waktu lalu. “Hm?”“Kira-kira kamu pengen punya anak berapa?” tembak Hera dengan lirih.Ikarus menunduk, menatap wajah Hera yang kini mendongak. “Kalau kamu?” ujar Ikarus balik bertanya.“Dih, kok malah balik tanya, sih? Kan aku duluan yang nanyain ke kamu.” Hera mencubit pinggang Ikarus yang mulai kering padahal ia sangat yakin sekujur tubuh mereka tadi dibasahi oleh peluh keringat percintaan mereka.“Tiga… atau empat?”“Banyak banget, ya!” Hera mencubit pinggang Ikarus lagi, dan hal itu membuat Ikarus tergelak. “Apa nggak capek aku hamilnya?” gerutunya tak terima.“Tadi nanya. Giliran udah dijawab malah diomelin. Emang paling pas jawabannya tuh terserah aja, sih.”“Nggak gitu…” Hera mencebikkan bibir. Jari telunjuknya sibuk bergerilya di dada bidang Ikarus, membuat sebuah pola a
Hera duduk termenung di ruangannya dengan pikirannya yang kosong. Perempuan itu tidak melakukan apa-apa namun kepalanya sibuk dijejali banyak pertanyaan yang mengganjal. Tatapannya terpaku pada sebuah boks di hadapannya, ucapan Nadine tadi kembali membayang di pikirannya.“Maksud kamu apa? Saya nggak ngerti.”“Kalau kamu pikir kamu memang istimewa di mata Mas Ikarus, kamu salah besar. Jangan terlalu percaya diri sebelum kamu tahu yang sebenarnya.”“Jangan bertele-tele. Saya nggak punya waktu banyak untuk menanggapi hal-hal yang nggak penting.”“Di dalam boks itu, ada sebuah cincin. Cincin itu pemberian dari Mas Ikarus sebagai pengikat hubungan kita.”Hera tersenyum kecil, terlihat tak gentar dengan tatapan penuh intimidasi Nadine. “Itu dulu. Sebelum kamu menikah dengan pria lain. Kalau sekarang, saya yakin kalau dia mencintai saya. Kamu lupa kalau perasaan orang mudah berubah, kan? Pun dengan Ikarus.”“Tadinya begitu… saya bahkan sudah hampir menyerah dan melepaskan Mas Ikarus untuk k
“BANGSAT!”Ikarus belum sempat memikirkan apa-apa saat sebuah umpatan diiringi dengan pukulan mendaratkan sempurna di wajahnya, membuat Ikarus yang tadinya duduk di atas bar stool kemudian terjungkal ke belakang hingga tersungkur di lantai.“Ros! Stop, Ros!”Beberapa orang terkejut lalu sedikit berteriak karena kejadian itu. Namun siapa yang peduli?“Jangan halangi gue, Res!” sentak Eros dengan murka. “Sorry, Rus. I warned you before. Gue udah gatal banget pengen mukul lo. Sekarang lo mau jelasin apa lagi, hah?”“Kalem, Ros! Kita lagi di tempat umum. Lo nggak pengen diusir dari sini gara-gara tingkah kekanakan lo ini, kan?” sahut Ares menengahi.Sudah ada beberapa staf yang berdiri di sana, dan sudah bersiap melerai jika terjadi baku hantam untuk kedua kalinya.Eros menyentak cekalan Ares yang sejak tadi menahannya. Tatapannya nyalang ke arah Ikarus yang kini tengah menyeka sudut bibirnya yang mengeluarkan darah karena pukulan Eros. “Sejak awal lo bilang kalau lo udah nggak ada apa-a
“Lo nggak biasanya secengeng ini, Ra. Lo nggak boleh nangis kayak gini.”Hera masih mencoba menghentikan isakan tangisnya sejak tadi, namun lagi-lagi ia gagal. Perempuan itu menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya, menahan sesak di dadanya.“Lo harus kuat, Ra. Lo nggak salah, Lo harus—” Karena semakin memikirkannya, Hera terlihat semakin menyedihkan.Suara ketukan dari luar membuat Hera kemudian mendongak, mencoba menerka-nerka siapa yang datang ke apartemennya selarut ini.Perempuan itu masih memikirkan untuk membukakan pintu itu saat suara ketukan itu lagi-lagi terdengar. Hera menarik napas dalam-dalam lalu beranjak dari sofa untuk melihat siapa yang berdiri di depan pintu sana.“Gue tahu lo di dalam.” Suara seseorang terdengar samar di balik pintu sana. “Buka atau gue panggil petugas damkar buat buka pintu apartemen lo.”Bisa-bisanya pria itu bercanda?Hera menghela napas panjang setelah menyusut air matanya. Baru setelahnya, perempuan itu meraih handle pintu dan langsung
“Ikarus?” Dimas yang baru saja menyelesaikan janji temunya dengan pasien terlihat terkejut dengan kehadiran pria itu. “Hari ini saya nggak ada jadwal konseling sama Hera. Atau saya yang salah?”“Saya datang ke sini bukan untuk nganterin Hera konseling, Dok. Ada hal lain yang ingin saya bicarakan dengan Dokter Dimas.”Dimas mengerutkan keningnya. “Soal apa?”“Kalau Dokter Dimas ada waktu, kita bisa ngobrol sebentar sambil ngopi di kafe depan. Bagaimana?”Dimas melirik jam yang melingkar di tangannya, lalu mengangguk. “Boleh. Saya masih ada waktu sejam sebelum ketemu dengan pasien saya lagi.”Keduanya melangkah melewati lobi untuk menuju kafe yang ada di seberang klinik tersebut. Begitu mereka tiba, keduanya langsung memesan dua cangkir kopi yang kini sudah berada di atas mejanya.“Jadi? Apa yang ingin kamu bicarakan dengan saya?” tanya Dimas penasaran.“Ini tentang istri Dokter Dimas. Nadine Putri Gunadi.”Dimas tertegun selama beberapa saat. “Dari mana kamu tahu nama istri saya?”Ikar
“Apa? Lo beneran nemuin Dimas? Jadi Dimas udah tahu semuanya tentang lo sama Nadine?” Ares membelalak lebar, hampir tidak mempercayai ide yang baru saja dikatakan Ikarus. “Orang gila!”“Satu-satunya cara untuk menghentikan Nadine adalah dengan membongkar semuanya. Lo tahu sendiri kalau gue bisa saja menyingkirkan Nadine dengan cara gue sendiri. Tapi gue cukup tahu diri untuk menghargai Dimas karena udah bantu Hera pulih sejauh ini.”“Lo yakin dianya nggak ada dendam apa-apa sama lo?”“Entahlah. Lagipula gue sama sekali nggak ganggu rumah tangga dia sama Nadine, kan?” Ikarus menghela napas panjang. “By the way, lo udah mastiin Hera sarapan tadi, kan?”“Hm. Tadi pagi gue ajak dia breakfast di restoran elah dan dia baik-baik saja.” Ares mendecak pelan. “Kalau lo penasaran, samperin ke ruangannya, Bangsat. Nggak usah jadi pengecut gini.”“Gue bukan mau jadi pengecut, Res. Sebenarnya semalam gue udah agak lega karena dia datang ke acara bokap semalam. Tapi ya gitu… dia masih marah sama gue
“Rus? Suar mana?”Hera yang baru saja tiba di kediamannya lantas mengedar ke sekitar. Wajahnya terlihat lelah, ditambah dengan ia tidak menemukan putranya di sana.“Pulang-pulang tuh, kenapa bukan suaminya yang dicariin lebih dulu, sih? Kamu sengaja mau bikin aku cemburu atau gimana?” protes Ikarus saat itu.Hera menghela napas lalu melangkah mendekati Ikarus yang terlihat santai di sofa. Pria itu tengah mengambil cuti hari ini. “Iya, iya.” Hera mencium pipi Ikarus dengan pelan. “Suar sekarang di mana? Kamu kok kelihatan rapi gini? Mau ke mana?”Bayi mungil yang kini usianya baru menginjak tujuh bulan itu seakan jadi obat lelah Hera. Setiap kali perempuan itu menghabiskan waktu seharian dengan pekerjaannya yang menumpuk, setelah melihat Suar, lelahnya tiba-tiba menguap begitu saja.“Tadi Mama sama Papa mampir ke sini. Terus Suar sama Budhe Harni diangkut sekalian. Katanya biar papa sama mamanya ada waktu berduaan.”Hera terkekeh lalu berhambur memeluk Ikarus. “Emang selama ini kita ng
“Terima kasih untuk waktunya, Pak. Saya berharap kerjasama ini bisa berlangsung lama.”“Sama-sama, Pak Ikarus. Kalau begitu saya pamit dulu.”Setelah menyelesaikan pertemuannya dengan salah satu klien, Ikarus melenggang meninggalkan restoran. Tangannya merogoh saku celananya, lalu membelalak.‘32 missed called from Heraira Cassandra’‘10 missed called from Mama’Ikarus menghentikan langkahnya. Ia mendadak panik. Jemarinya kemudian bergulir, menekan tombol memanggil. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi.Lalu, “Ra! Kamu—”“Bang, ini Mama. Kamu di mana sih, Bang? Dari tadi Mama coba telepon, Hera juga udah telepon kamu puluhan kali. Kok nggak dijawab, sih?”Mendengar suara Bella yang panik, Ikarus ikut panik. “Maaf, Ma. Aku tadi lagi meeting. Ada apa?”“Buruan ke rumah sakit, Bang. Hera mau lahiran!”Ikarus membelalak. Lalu tanpa pikir panjang pria itu berlari meninggalkan restoran untuk segera bergegas menuju ke rumah sakit detik itu juga.“Mama temenin Hera dulu ya, Ma. Ini aku lan
“Rus… lagi ngapain?”Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Hera yang baru saja bangun dari tidurnya. Sejak pulang kerja tadi, Hera memang memilih untuk tidur lantaran tengah mengantuk.Ikarus menoleh lalu menurunkan laptop dari pangkuannya, merentangkan tangannya ke arah Hera agar segera menghampirinya.“Lagi ngerjain weekly report, Sayang. Kok bangun?”“Iya. Aku tadi mimpi buruk.” Hera lantas berhambur memeluk Ikarus, menyurukkan wajahnya di ceruk leher suaminya.Masih dengan mengenakan pakaian kerjanya, Ikarus mengusap punggung Hera dengan lembut, kemeja yang dikenakannya basah karena keringat. “It’s okay… mimpi kan cuma bunga tidur, Ra. Kamu baik-baik saja sekarang.”Lama Hera berdiam diri di dalam dekapan Ikarus. Perempuan itu kemudian menarik diri, lalu menatap Ikarus dengan lekat.“Rus…”“Hm?”“Kayaknya Dede kangen sama kamu, deh.”Ikarus tercenung selama beberapa saat. Pria itu kemudian menarik ujung bibirnya ke atas lalu mendaratkan kecupan singkat di bibir Hera. “Bentar ya
“Hai, Rhe… gue datang.” Hera menaruh sebuah buket bunga lily di atas pusara Rhea. Menatap lekat batu nisan yang bertuliskan ‘Sorhea Winona’ itu dengan perasaan berkecamuk. Satu tahun telah berlalu setelah kepergian Rhea. “Lo apa kabar? Lo baik-baik saja di sana, kan?”Hera menggigit bibirnya bagian dalam. Menahan desakan air di pelupuk matanya. Rasanya masih seperti mimpi. Baru kemarin Hera masih tertawa bersama Rhea, namun ia tidak menyangka jika Tuhan telah mengambil sahabatnya satu tahun yang lalu.“Rhe, bentar lagi lo bakalan banyak keponakan.” Hera mengusap sudut matanya dengan punggung tangan. Tak mampu menghalau air matanya yang jatuh begitu saja. “Eve bentar lagi lahiran, dan Eros… dia juga bahagia seperti pesan terakhir lo. Bentar lagi dia juga bakalan jadi seorang ayah.” Perempuan itu kemudian menoleh ke samping, menatap Ikarus yang sejak tadi berdiri di sisinya. “Ada banyak hal yang pengen gue ceritakan sama lo, Rhe. Minggu lalu gue dapat kejutan dari Ikarus, dia beli rumah
“Sayang? Masih lama?”Hera yang baru saja keluar dari kamar mandi lantas terkekeh geli. “Ini lho, masih handukan. Mau ke dokter handukan gini?”Ikarus meraup wajahnya dengan gusar. Senyumnya terbit di wajahnya begitu saja. Pria itu kemudian melangkah mendekati Hera yang kini perutnya sudah membola. Usia kandungannya sudah menginjak bulan ketujuh, membuat perempuan itu terlihat menggemaskan. “Aku nggak sabar pengen lihat perkembangan jagoan kita.” Ikarus melingkarkan tangannya ke pinggang Hera, memeluk perempuan itu dari belakang. “Wangi banget, sih?”“Awas dong, Papa. Mama mau ganti baju dulu, nih. Gimana bisa ganti kalau kamu peluk gini, coba? Katanya nggak sabar pengen lihat jagoannya.”Ikarus melepaskan diri lalu terkekeh. “Iya, iya. Aku tunggu di depan kalau gitu, ya? Tapi jangan lama-lama.”“Iya.”Setelah menunggu lima belas menit, akhirnya Hera selesai bersiap-siap. Keduanya berjalan meninggalkan unit mereka untuk segera bergegas menuju ke rumah sakit detik itu juga.Tepat saat
“WHAT?!? Riri hamil anaknya Eros?” Mendengar perkataan Ikarus barusan, membuat Hera seketika membelalak. “Kamu udah pastikan kebenarannya?”Ikarus mengangguk. “Aku juga sempat kaget tadi. Udah gitu Ares ngamuk di kafe sampai bikin Eros babak belur.”“Tapi Eros nggak apa-apa, kan?”“Nggak apa-apa, kok. Untungnya Riri keluar dari ruangan dan menenangkan Ares.”“Ini kayak bukan Eros banget nggak, sih?” Hera menghela napas pendek. “Kayaknya aku harus nemuin Eros sekarang, deh.”“Sekarang banget?” Ikarus melepas kemeja yang dikenakannya, “tapi udah malam, Sayang.”Hera kemudian turun dari ranjang tidurnya lalu bergerak mendekati lemari pakaian untuk mengambil baju ganti di sana. “Masih jam delapan, kok. Aku harus tahu kebenarannya. Kita tahu kalau selama ini Eros belum bisa ngelupain Rhea, kan? Dan kita tahu hal itu.” ujar Hera terlihat tidak percaya.Ikarus menghela napas. “Aku anterin, ya?”“Nggak usah, Rus. Kamu juga barusan pulang, kan? Kamu pasti capek juga.”“Nggak ada kata capek ka
Hera hanya bisa menggelengkan kepalanya begitu tiba di Bali Galeria Mall. Suasana mall sore itu terlihat cukup ramai mengingat bahwa mereka berkunjung saat akhir pekan.“Emang kita mau nonton apa sih, Bang?” tanya Bella saat mereka sudah melangkah memasuki mall.Ikarus terkekeh. “Ada film Marvel, Ma. Bukan film horor, kok, jadi Mama nggak usah khawatir.”Bella menghela napas lega. “Sumpah, ya. Seumur-umur, Mama belum pernah double date begini, mana yang ngajak double date anak sendiri pula.”Ikarus kembali tertawa. “Kapan lagi bisa ngajak Mama sama Papa kencan barengan, kan?”Bella dan Kairav hanya menggelengkan kepalanya. Lalu mereka berjalan menaiki eskalator untuk menuju bioskop. Beruntungnya Ikarus sudah sempat membeli tiket nontonnya secara online, sehingga mereka tidak perlu mengantri lagi begitu mereka tiba di gedung bioskop.“Ra, kayaknya habis nonton nyalon bentaran seru deh, ya?” celetuk Bella saat itu.“Ah iya, Ma. Aku juga kayaknya pengen banget creambath, deh. Semenjak h
“Makan malam di luar, yuk? Sekalian aku pengen ngajak nonton kamu.” Ikarus menyurukkan wajahnya di ceruk leher Hera. Alih-alih menunggu tanggapan istrinya Ikarus kembali melanjutkan ucapannya. “Tapi kamu lagi mager banget, ya? Masih ngerasa mual?”Suara Ikarus sejenak membuat Hera yang tadinya masih terpejam kini membuka matanya.Ini hari Sabtu, dan mereka libur. Seharian ini Hera menghabiskan waktunya dengan bergelung di bawah selimut. Entah karena hormon kehamilannya, Hera benar-benar malas untuk melakukan sesuatu akhir-akhir ini.“Mau nonton apa? Tumben banget, sih?” tanya Hera dengan malas.“Kok tumben? Emangnya salah kalau aku ngajak kamu ‘pacaran’ istri sendiri? Udah lama banget kayaknya kita nggak jalan berdua, kecuali kalau lagi makan, Ra. Ya, kan?”Hera memutar matanya lalu terkekeh geli. “Kamu kenapa, sih? Aneh banget tahu, nggak.”“Aneh kenapa, coba?”“Ya aneh aja. Nggak kayak biasanya kamu begini.” Hera tersenyum kecil, lalu mendaratkan kecupan singkat di pipi Ikarus. “Tad
“Kamu emang sengaja sekongkolan sama Eros, kan? Makanya bisa tahu kalau aku di sini?”Ikarus terkekeh lalu menyelipkan anak rambut Hera ke belakang telinga. Dibandingkan dengan sebelumnya yang masih merasa kesal, Hera sudah terlihat lebih tenang sekarang.Ikarus menghela napas. “Kenapa pakai acara kabur-kaburan segala, coba? Kan aku jadi khawatir sama kamu, Ra.”“Siapa coba yang memulai? Salah siapa pakai acara ngambek-ngambek nggak jelas gitu.”“Ya kan aku nggak suka kalau ada cowok yang deket-deket sama kamu, Ra. Mana dia kelihatan banget kalau tertarik sama kamu pula. Siapa yang nggak kesal, coba?”“Aku nggak akan berpaling sama kamu, Rus. Jadi kamu nggak usah khawatir. Lagian siapa yang bakalan naksir kalau tahu aku udah bersuami dan sekarang aku lagi hamil muda gini, hm?”“Dia nggak tahu kalau kamu lagi hamil, by the way.” Ikarus mendecak, menoleh dan memperhatikan Eros yang tengah duduk di bibir pantai, menikmati matahari terbenam yang terasa sempurna seorang diri.“Kan! Mulai l