"Nggak perlu nunggu. Aku ingin kamu mengiakan sekarang juga."Tangan Nathan bertumpu pada kemudi, jari-jarinya yang panjang dan ramping mengetuk kemudi dengan seirama. Dia mengatakan itu dengan santai."Kamu benar-benar nggak masuk akal." Briella mengerutkan bibir dan masih menunjukkan sikap tegas, "Aku punya hak mutlak buat memutuskan apakah akan mempertahankan atau menggugurkan anak ini. Dia juga bukan anakmu, jadi kenapa aku harus mendengarkan perintahmu?"Nathan menyeringai dan menatap wanita di sampingnya. Dia bisa melihat sikap keras kepala dan angkuh dalam diri Briella. Jelas-jelas Briella mengatakan hal yang menentangnya, tetapi Nathan tiba-tiba merasa kalau sikap keras kepala yang ditunjukkan Briella sangat menarik.Entah kenapa, semakin Briella seperti ini, semakin Nathan tertarik kepadanya. Bahkan keinginan untuk bisa memiliki Briella semakin menguat.Sebenarnya apa saja yang sudah dialami Briella selama ini? Kenapa dia bersedia menjadi sekretaris Valerio selama lima tahun?
Ketiga orang ini hanya tetap berada di tempat masing-masing dan terdiam, seakan waktu berhenti berputar.Mobil Bentley diparkir tidak jauh dari mobil Nathan. Adrian menyaksikan dengan tangan bersedekap. Dia melipat kakinya dengan santai, terlihat seperti tuan muda yang menjalani hidupnya dengan santai. Dia seperti tengah menyaksikan drama dan duduk dengan tenang menanti adegan apa yang akan terjadi selanjutnya.Malam ini pasti akan ada kejadian menarik ....Nathan adalah orang pertama yang bereaksi. Dia turun dari mobil dan berjalan menghampiri Valerio.Dua pasang mata yang saling bertatapan seperti menyalurkan listrik, membuat suasana di sekitar terasa penuh permusuhan. Rasanya tempat ini berubah menjadi medan perang yang mencekam.Valerio melangkah maju, berniat melewati Nathan untuk membuka pintu mobil dan menarik Briella keluar.Nathan menghadang pintu dengan tenang. Tubuh jenjangnya menghalangi mobil tanpa menyisakan celah sedikit pun.Valerio menyipitkan matanya. Mata hitamnya me
Sebuah tinju menghantam wajah Valerio, meninggalkan lebam di wajah dingin pria itu.Seketika, aura dingin yang menusuk menyeruak dari dalam diri Valerio, membuat bulu kuduk merinding.Wajah kaku pria itu tetap tidak berubah. Dia mencekik leher Nathan dan mengayunkan tinjunya yang terkepal ke wajah Nathan. Dalam sekejap, wajah Nathan yang penuh kemarahan pun membengkak.Bagi Valerio, ini merupakan sebuah serangan balik yang cantik.Kedua pria itu saling bertarung dan keadaan jadi kacau.Baru setelah Nathan mengeluarkan belati tajam entah dari mana dan menikamkannya langsung ke jantung Valerio, Adrian yang menyaksikan ini pun menyadari kesalahan situasi ini. Dia menyingkirkan rasa tertariknya terhadap drama ini dan ekspresi santai yang dia tunjukkan pun berubah kaku. Dia berlari menghampiri mereka, tetapi tiba-tiba mendengar suara yang memekakkan telinga.Dor!Itu adalah suara tembakan.Valerio mengeluarkan pistol dari pinggangnya dan menekan pelatuknya ke arah langit."Valerio, kamu gil
Setelah memikirkannya, Adrian mencoba berbicara dengan mengedepankan akal sehat."Hubungan Rio dan Davira nggak sedalam yang terlihat di luar. Davira menyelamatkan nyawa Rio dan Rio adalah orang yang sangat bertanggung jawab. Dia nggak mungkin bisa melupakan bantuan itu. Tapi kamu berbeda karena bisa menjadi sekretarisnya. Aku belum pernah melihat Rio mempertahankan seorang wanita selama lima tahun."Adrian mengatakan itu sambil melirik ekspresi Briella. Wanita itu tidak menunjukkan reaksi apa pun, mungkin hanya menganggap perkataan Adrian angin lalu saja."Bagaimanapun, anak dalam kandunganmu adalah anak Rio. Pikirkan seberapa menyakitkannya kalau kamu benar-benar menggugurkan anak itu. Rio orang yang punya status dan pengaruh, berapa banyak wanita yang memikirkan cara untuk bisa mengandung anaknya? Kamu sudah lama berada di sisinya, bukankah kamu juga menginginkan uangnya? Kamu akan dapat uang banyak dengan adanya anak dalam kandunganmu. Apa kamu bodoh!"Adrian memandang Briella, yan
Valerio berjalan ke pintu samping kemudi. Dia mengetuk jarinya ke kaca mobil, memberi isyarat kepada wanita yang duduk di dalam untuk keluar dari mobil.Briella mengangkat pandangannya dan memalingkan wajahnya ke samping. Tatapan dinginnya bertemu dengan mata pria itu. Ketika keduanya saling bersitatap, Briella bisa melihat sedikit kelembutan dan binar cahaya di dalam tatapan dingin Valerio.Mereka sudah berkali-kali tidur bersama, tetapi Briella hanya melihat nafsu dan hasrat dalam diri Valerio. Dia tidak pernah melihat Valerio yang seperti ini, menatapnya dengan kasih sayang yang sangat lembut.Briella menunduk dan menggigit bibir bawahnya pelan.Dia pasti salah lihat. Mana mungkin pria berdarah dingin dan kejam seperti Valerio bisa memiliki perasaan seperti itu padanya?Briella tidak percaya. Pria yang berada di puncak piramida sepertinya, berapa banyak orang di luar sana yang ingin mendapatkannya?Bagi keduanya, perasaan hanyalah kelemahan yang tidak berguna.Valerio langsung membu
"Apa aku memperlakukanmu dengan buruk?" Emosi Valerio telah mencapai batasnya. Dia mencengkeram rahang Briella, lalu satu tangan lainnya menekan bagian belakang kepala Briella. Dahi mereka saling menempel satu sama lain, lalu Valerio melanjutkan, "Apa yang membuatnya lebih baik dariku? Apa dia menghidupi mu selama lima tahun atau dia bisa membuatmu merasa lebih baik saat di ranjang!"Tubuh kurus Briella bergidik, merasakan embusan napas pria itu mengenai wajah dan telinganya, memunculkan rasa geli yang menggelitik.Briella menunduk, menghindari sensasi yang sengaja diciptakan pria itu untuknya. "Pak Valerio, tolong jaga sikapmu."Sambil menunduk, tangan Briella meraba pintu mobil, mencoba membukanya dan melarikan diri.Dengan mata merah karena amarah, Valerio menarik Briella ke dalam pelukannya. Dia menundukkan kepalanya dan mencium bibir Briella.Briella meronta, mendorong bahu pria itu dengan kedua tangannya. Namun, upayanya tidak membuahkan hasil.Setelah hanya diam untuk beberapa s
Adrian masuk ke dalam mobil, menatap dua orang yang duduk di kursi belakang. Suasana di dalam mobil dipenuhi dengan kesan ambigu. Tanpa tahu faktanya, Adrian berpikir kalau kedua orang ini habis melakukan hal-hal yang menyenangkan."Rio, ayo kita pergi. Mau ke mana kita?"Adrian meletakkan tangannya di setir dan mengemudikan mobil keluar dari tempat parkir rumah sakit."Daerah Kenaris." Briella tidak menunggu Valerio menjawab dan langsung mengatakan daerah tempat tinggalnya.Valerio melirik sekilas ke arah Briella dan mengendus pelan. Lalu, dia menjawab datar, "Galapagos."Briella mengerutkan bibirnya dan mengatakan, "Aku mau pulang dan ganti baju. Selain itu, bukankah tunanganmu lagi ada di Galapagos?""Itu Galapagos milikmu," Valerio melirik ke arah perut Briella. "Selama kamu nggak menggugurkan kandunganmu, aku akan memberimu Galapagos sebagai hadiah."Briella memegang perutnya, hatinya bimbang.Setelah keduanya berpisah, kompensasi perpisahan yang diberikan oleh Valerio memang tida
Davira tertawa, lalu mencibirnya, "Nggak bisa berbuat apa-apa? Menurutku kamulah yang sudah berbuat memalukan tapi nggak mau dihujat. Kamu ingin mendapatkan uang Valerio, tapi juga ingin menggugurkan kandunganmu. Mana ada hal menguntungkan seperti itu yang bisa didapatkan secara cuma-cuma?""Davira, diamlah." Valerio menghentikan Davira dan menatap wajah Briella yang tidak terlihat takut.Ada wanita yang merendahkannya, tetapi Briella masih bisa bersikap tenang. Apa dia tidak merasa cemburu sedikit pun?Makin tenang Briella, hati Valerio makin tergelitik. Dia ingin merobek topeng kepura-puraan yang menutupi wajah Briella dan melihat dengan jelas apa yang ada di dalam pikiran wanita licik ini.Davira makin cemburu melihat Valerio membela Briella seperti ini. Makin ke sini Davira makin merasa kalau Briella makin menjengkelkan dan mengganggu.Sambil bersedekap, Davira melirik perut Briella, lalu mencibir di dalam hati. "Briella, kamu benar-benar wanita yang licik. Tipu muslihat dan trik l
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu