Pak Rinto memikirkannya dengan sangat hati-hati, lalu memutuskan, "Entah Pak Klinton mau melepaskan Nona Briella atau nggak, setidaknya kita harus mencari tahu dulu. Pak Valerio meminta saya untuk menjaga Nona Briella, tapi saya malah membiarkan Nona Briella dibawa pergi oleh orang lain di depan mata saya sendiri. Ini kesalahan saya. Kalau terjadi sesuatu dengan mereka berdua karena kesalahan saya, saya akan menyesal seumur hidup."Pak Rinto berkata sambil membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Dia menjulurkan kepalanya keluar dan menatap Adrian yang masih berdiri di luar. "Maaf karena sudah membuat Pak Adrian nggak beristirahat semalaman. Biar saya saja yang urus sisanya."Adrian melirik ke arah gerbang Kediaman Keluarga Regulus yang tertutup dan kemudian menatap Pak Rinto. Dia mengibaskan rambutnya tanpa daya dan melangkah masuk ke dalam mobil.Adrian dan Pak Rinto duduk di dalam mobil yang sama dan keduanya terlihat serius, menyadari tingkat kesulitan dan keseriusan situasi ini."A
Pak Rinto menjelaskan kepada Resti dan Herman, "Sejujurnya Pak Valerio juga nggak bisa keluar dari rumah. Saya pun tengah mencari penyelesaiannya, jadi sampai datang ke mari.""Aneh. Apa hubungan Valerio nggak bisa keluar rumah sama keluarga kita?""Kalian berdua mungkin belum tahu. Semalam Pak Klinton datang ke Galapagos dan membawa kabur Nona Briella, Pak Valerio dan kami sedang cemas.""Galapagos? Nona Briella?" Resti bergumam pelan dan tiba-tiba teringat akan sesuatu, "Sekretaris yang disembunyikan Valerio? Bagaimana mungkin Klinton melakukan hal seperti itu!"Resti tercengang dan berkata sambil menggoyangkan lengan Herman, "Hubungi anak kita dan minta dia pulang sekarang juga. Aku mau tanya langsung, kenapa dia berhubungan dengan wanita yang nggak bermoral seperti itu!"Herman melambaikan tangannya ke arah Pak Rinto dan Adrian ketika melihat emosi istrinya. "Aku mau kalian pergi dalam tiga detik! Jangan memancing emosi istriku! Dia sedang mengonsumsi obat dan nggak bisa diprovokas
Begitu Pak Rinto mendengar Adrian mengatakan hal ini, dia mengalihkan perhatiannya pada penampilan Zayden. Dia pun menganggukkan kepala tanda setuju, "Memang. Anak ini sangat mirip dengan Pak Valerio. Mereka yang nggak tahu akan mengira kalau dia anak Pak Valerio. Pak Valerio juga sangat menyukai tuan muda Zayden dan menyayanginya layaknya anak kandung sendiri."Adrian mengelus dagunya sambil berpikir sejenak, tiba-tiba menoleh ke arah Pak Rinto, "Apa kalian nggak pernah melakukan tes DNA kepada anak ini?"Pak Rinto terdiam sejenak dan menimpali bingung, "Pak Adrian, maksudnya tes DNA buat menentukan kecocokan hubungan darah?""Apa lagi memangnya?" Adrian menatap Pak Rinto seperti sedang melihat orang bodoh. "Anak kecil ini bisa dibilang seperti tiruan Valerio. Apa kamu nggak curiga?""Curiga?" Pak Rinto terkejut, "Saya hanya pelayan di rumah ini, yang terkadang sedikit kewalahan dalam mengurus pekerjaan saya. Mana mungkin punya waktu luang untuk mencari tahu privasi majikan saya?"Adr
Adrian menyimpan rambut yang baru saja dia cabut dan menatap Zayden yang perlahan membuka mata dan menatapnya. Zayden merasa cukup asing dengan Adrian, jadi langsung bersikap waspada.Adrian beranjak dan melangkah mundur, mencoba menjaga jarak aman.Pria itu bersedekap dan tersenyum sinis seperti biasanya."Bagaimana keadaanmu, nak?"Zayden mengerjapkan matanya yang lebar. Saat akan berbicara, dia merasa kalau tenggorokannya terasa panas dan terasa sakit kalau berbicara.Adrian membuka tutup botol air mineral dan menyodorkannya ke mulut Zayden. "Kamu lagi demam, jadi wajar kalau tenggorokanmu kering dan serak. Jangan khawatir, minum air ini, nanti juga baikan."Zayden melakukan apa yang diperintahkan Adrian, mengambil botol air yang pria itu sodorkan dan meminumnya. Zayden yang sedang sakit itu benar-benar seperti anak kecil. Dia patuh dan lucu, memegang botol air minum di tagannya. Tatapan cerah dan jernihnya menatap Adrian lekat.Adrian juga menatap Zayden yang berbaring di ranjang.
"Kalau dia nggak menginginkanku lagi, aku juga nggak mau panggil dia Papa. Aku nggak mau tinggal di sini lagi!"Adrian memandangi wajah kecil Zayden lekat-lekat. Meskipun wajah bocah itu mirip dengan Valerio, setelah dilihat lebih dekat, raut wajah di antara kedua alis bocah itu sangat mirip dengan Briella.Makin melihat ini, dia pun makin dibuat penasaran. Adrian termenung dan mencari cara untuk menemukan rambut Valerio agar bisa melakukan tes DNA."Bukan kamu yang menentukan apakah kamu akan tinggal di sini atau nggak." Adrian menepuk pundak Zayden. "Akhir-akhir ini Papa dan Mama mu sangat sibuk dan ada beberapa hal yang perlu diselesaikan. Papa mu juga pasti akan datang menemuimu kalau masalahnya sudah selesai. Sekarang semua orang sedang sangat kacau. Zayden, lebih baik kamu juga patuh dan sekolah dengan benar. Dengarkan apa yang dikatakan orang dewasa."Zayden menjawab, "Biasanya Mama akan bicara padaku tentang apa pun yang terjadi. Kenapa kali ini Mama pergi tanpa bilang apa pun
"Kalau begitu, kuharap kamu ingat apa yang sudah kamu katakan." Rieta memperingatkan, "Jangan sampai membuat kekacauan di acara besok. Kalau nggak, aku punya ratusan cara biar kamu pulang dengan patuh."Adrian menutup telepon dan menggenggamnya dengan erat, mencoba melampiaskan semua kemarahan di dalam hatinya. Dia tidak pernah begitu frustrasi dan tidak berdaya seperti ini sebelumnya.Rieta memang cukup kejam. Jika tidak, tidak mungkin dia bisa berada di posisinya saat ini dan menjadi ibu tiri Valerio."Om, kamu bicara dengan siapa di telepon?"Pintu kamar Zayden terbuka, memunculkan kepala kecil Zayden."Kamu dengar pembicaraanku di telepon?"Zayden mengangguk. "Aku juga dengar kalau kamu sepertinya bicara sama perempuan. Apa Om Valerio mau nikah sama wanita lain?"Adrian berjalan menghampiri Zayden dan memeluknya, memukul pantatnya sambil berjalan menuju ranjang Zayden."Kenapa telingamu tajam sekali, beraninya menguping pembicaraan orang dewasa di telepon.""Om, aku cuma khawatir s
Briella mengernyitkan dahinya, sudah bisa membayangkan topik apa yang akan dibicarakan pria itu kepadanya.Briella terlalu malas untuk menghadapinya.Langkah kaki terdengar mendekat dan Klinton membuka pintu kamar, langsung menghampiri Briella."Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?"Lelaki itu bertanya dan Briella melambaikan tangan. "Terima kasih Pak Klinton atas perhatiannya. Hanya saja, dibandingkan menanyakan kondisiku, aku lebih tertarik untuk mengetahui sampai kapan kamu berencana mengurungku di sini.""Nona Briella, sepertinya kamu salah paham dengan maksudku membawamu ke mari. Aku nggak bermaksud mengurungmu. Justru sebaliknya, aku ingin melindungimu.""Melindungiku?" Briella mencibir dan menatap Klinton, berbicara dengan nada mengejek, "Pak Klinton ternyata orang yang sangat baik. Cuma aku merasa kalau cara melindungi yang seperti ini terlalu istimewa, bukan? Atau ada sesuatu nggak pantas yang kamu lakukan, jadi kamu mengurungku di tempat terpencil ini, nggak ingin aku terhu
"Briella, nggak ada orang yang menyukai wanita yang nggak mencintai dirinya sendiri." Nada bicara Klinton tiba-tiba berubah dingin, "Punya anak tanpa status, tapi masih punya anak lainnya di dalam kandungan. Nona Briella, kelakuanmu yang seperti ini nggak bisa dipahami oleh akal sehat manusia. Selain itu, Nona Briella sudah terlalu banyak melakukan perbuatan tercela. Aku nggak mengatakan apa pun karena aku memikirkan harga diri mu. Tapi kalau kamu nggak menganggap itu sebagai aib, ya sudah. Nggak ada hal yang tabu untuk dibicarakan."Briella menunduk dan menatap pola pada selimut yang menutupi tubuhnya. Matanya tiba-tiba menjadi sedikit kabur saat mendengar kata-kata Klinton yang menusuk hatinya seperti pedang. Gelombang rasa malu dan harga diri membanjiri benak Briella, membuatnya terlihat menyedihkan.Dia seperti pendosa yang melakukan kejahatan keji, jadi pantas menerima semua penderitaan yang dia alami sekarang.Briella merasa sedikit tercekik dan menutupi dadanya untuk bernapas.K