Valerio menunduk, tatapannya yang menelisik jatuh pada wajah Briella dan mengamatinya selama beberapa detik."Kenapa? Bicaralah pelan-pelan."Briella sadar kalau dia sudah terlalu panik. Jadi, dia menghapus air matanya dan menenangkan emosinya. Dia menatap tangan Valerio dan tidak mau melepaskannya.Valerio tidak berdaya dan menyentuh kepala Briella. "Kalau ada masalah yang nggak bisa kamu selesaikan, kamu bisa bilang padaku.""Aku merindukan Zayden.""Kamu baru pergi sehari. Di rumah ada Pak Rinto dan pelayan lain yang menjaga Zayden. Apa yang kamu khawatirkan?""Aku ...." Briella ragu-ragu. Saat ini mereka ada di perusahaan, jadi tidak tepat kalau membicarakan masalah ini di sini. Kalau mata-mata yang dipekerjakan Rieta tahu, mungkin mereka akan melaporkannya.Valerio menunggu Briella dengan sabar. Melihat keraguan Briella, dia menggenggam tangannya dengan erat. "Kita selesaikan masalah di sini secepatnya biar bisa pulang."Briella mengangguk dan berkata dengan penuh rasa terima kasi
"Nggak boleh begitu." Seseorang berseru, "Bukankah ini melanggar privasi orang lain? Ada aturan di hotel yang nggak kasih izin staf biasa masuk ruang pemantauan.""Cih, bilang saja kamu takut. Ada kesempatan dapat uang tapi nggak kamu manfaatkan dengan baik. Kalau takut, anggap saja kamu nggak tahu apa-apa. Aku akan melakukannya sendiri.""Ya sudah pergi saja. Aku nggak akan berani menyinggung orang berpengaruh seperti Valerio.""Cih, dasar pengecut. Aku sudah berbaik hati, kalau nggak, aku pasti sudah meminta saudaraku itu untuk datang ke hotel dan mengambil gambar mereka secara diam-diam. Sudah berapa banyak artis yang ketahuan karena nggak menutup gorden. Kalau mereka berani melakukannya, pasti akan ada orang yang berani mengeksposnya."Setelah mengatakan itu, pegawai itu diam-diam pergi ke ruang pemantauan.Lift perlahan naik ke lantai di mana presidential suite berada. Pintu lift terbuka dan Valerio baru melepaskan tangannya. Briella menatap Valerio dengan mata terbelalak. Dia ter
"Ya." Briella mengiakan dan berjalan ke ruang tamu kamar untuk menghubungi resepsionis.Tidak butuh waktu lama, kedua orang itu menekan bel pintu kamar dan Briella membukakan pintu untuk mempersilakan mereka masuk.Briella memandang mereka dan merasa kalau mereka berbeda dari dua orang yang Briella temui hari ini di perusahaan.Pria dan wanita di perusahaan itu menunjukkan keserakahan dan kelicikan yang tertulis jelas di wajah mereka. Namun, kedua orang ini kebalikannya, memberi Briella kesan jujur di awal pertemuan mereka.Hanya saja, Briella tidak bisa membuat penilaian berdasarkan penampilan. Sebelum mengetahui jelas akar permasalahan yang terjadi, dia harus mendengarkan Valerio."Begini, aku ingin tahu alasan kalian berlutut di depan hotel. Kalau nggak, Pak Valerio nggak akan bersedia bertemu dengan kalian.""Nak, tolong bantu kami membujuk Pak Valerio." Ibu-ibu itu meraih tangan Briella dan menangis. Dia bahkan berlutut di hadapan Briella. "Nak, anak kami yang nggak tahu diuntung
Briella tercengang saat membaca berita utama yang berada di depan matanya,Media saat ini sangat tidak bermoral, sampai berani menulis berita tidak berdasar hanya demi menarik perhatian pembaca.Memikirkan berita yang tidak beralasan ini, pasti akan ada kegemparan di Kota Tamar.Briella membawa ponselnya untuk menuju ruang kerja Valerio, lalu menyodorkan berita itu tepat di depan wajah Valerio."Pak Valerio, aku ingin kamu memerintahkan bagian humas Perusahaan Regulus untuk mengklarifikasi masalah ini dan meminta tim pengacara untuk menuntut permintaan maaf dan ganti rugi!"Suara Briella bergetar saat berbicara.Briella merasa kesal dengan orang-orang yang membocorkan informasi ini, serta media yang tidak bermoral, yang memberitakannya tanpa pandang bulu. Namun, dia sendiri tidak memiliki kemampuan apa pun. Pada akhirnya, dia tidak memiliki status untuk membela hak-haknya dengan berani.Namun, apakah haknya bisa dianggap sebagai hak juga? Briella berada dalam masalah.Dalam kapasitas a
Briella berbicara dengan nada yang sopan dan pemikiran jernih. Mendengar ini, tangan Valerio sampai sedikit bergetar karena marah, bahkan ada perubahan di ekspresi wajahnya."Nggak tertolong lagi." Dia menggelengkan kepalanya dan menatap Briella dengan tatapan tidak berdaya. "Benar-benar gila."Briella menutup bibirnya rapat, merasa kalau apa yang dia katakan tidak salah.Valerio mengusap keningnya dan berdiri. Dia bahkan tidak ingin menatap Briella dan langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pintu ruang kerja tertutup keras dan tubuh Briella pun gemetar. Tatapannya terkulai, menatap berita di ponselnya dengan tenang.Huruf hitam yang tebal dan diperbesar itu terlihat sangat menusuk....Di kamar tidur yang berada di depan jendela besar yang membentang dari lantai ke langit-langit, sosok Valerio yang tinggi terlihat sangat mengesankan. Saat ini, ponselnya yang berada di atas meja bergetar.Valerio menoleh dan melihat nama yang muncul di layar ponselnya. Alisnya berkerut dan
Briella beranjak dan berjalan keluar dari kamar tidur. Dia melihat kalau sudah ada makanan yang disajikan di meja makan, sementara Valerio masih berkutat di dapur.Punggung pria itu tinggi dan tegap, tengah mengenakan celemek polos yang diikatkan di atas kemeja mahalnya. Asisten yang membantunya membeli bahan makanan masih berdiri dan memperhatikan Valerio, yang sebelumnya tidak pernah menunjukkan sisi pria berkeluarga. Dia bahkan sampai ternganga karena terkejut saat menyaksikan kejadian ini.Pak Valerio sibuk dengan pekerjaannya sambil menjelaskan berbagai hal kepada asistennya."Tunda semua rencana perjalananku setelah ini. Aku mau libur."Asisten itu kembali tersadar dari keterkejutannya. "Tapi Pak Valerio, situasi opini publik di luar saat ini sangat nggak menguntungkan kita. Bukankah kita perlu mengadakan konferensi pers untuk melakukan klarifikasi?"Saat mengatakan itu, asisten melirik ke arah Briella. Tatapannya yang jatuh ke wajah Briella bercampur dengan tatapan menyelidik.I
Sebelum Briella menyelesaikan kalimatnya, Valerio menyuapkan sepotong steik ke dalam mulut Briella. Pria itu menikmati makanan yang dia buat dengan tangannya sendiri dan berkata dengan tenang seolah tidak ada yang terjadi, "Makan dulu saja. Aku akan menyelesaikan apa yang terjadi di luar."Briella melirik pria itu dan menghela napas panjang.Karena Valerio sudah berkata seperti itu, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi.Briella mengunyah steik secara perlahan. Setelah memakan satu gigitan, Valerio menyuapkan potongan piza ke dalam mulut Briella."Cobalah. Gimana rasanya?"Briella mencicipi piza itu, yang ternyata rasa durian yang dia sukai. Dia mendongak, tersenyum kepada pria itu dan mengacungkan jempolnya."Enak, nggak kalah sama yang dijual di restoran di luar sana."Pria itu merasa bangga saat mendapatkan pujian darinya. Dia mengambil sepotong piza, memakannya dengan perlahan dan anggun.Briella mengeluarkan tisu dan menyeka sudut mulutnya, lalu menatap Valerio. Briella teringat kal
Melihat Briella sedang melihat ponselnya, Valerio mengambilnya dan mengetuk layar ponsel, lalu menunjukkan isi pesan teks ke depan Briella."Ini." Pria itu menyodorkan ponselnya kepada Briella. "Nggak ada kata sandinya."Briella membaca sekilas isi pesan itu dan terkejut. "Mau membatalkan pernikahan?""Sudah kubilang, bukan hal yang buruk kalau berita kita tersebar." Valerio terlihat sangat santai, "Sebaliknya, ini adalah kesempatan. Setelah libur selesai, aku akan melakukan konferensi pers dan mengungkapkan hubungan kita, serta bayi dalam perutmu."Briella menatap Valerio dengan tatapan tidak percaya. Dia mengerutkan kening dan bertanya tidak habis pikir, "Apa kamu gila?""Nggak." Valerio terlihat sangat serius. "Aku serius."Briella terdiam selama beberapa saat dan hatinya dilanda keragu-raguan. Masalah ini sangat penting. Kalau situasi berjalan seperti apa yang direncanakan Valerio, pasti akan menimbulkan gejolak yang sangat besar. Hubungannya dengan Valerio akan terkuak, di saat ya