"Kenapa kamu menanyakan hal seperti itu?""Karena Om Valerio dan aku mirip. Dia juga bolehin kita tinggal di vila besarnya ini. Ma, Om Valerio pasti suka Mama, 'kan?""Apa siapa pun yang suka Mama bisa jadi Papa mu?"Zayden menyentuh dagunya dan memikirkannya. "Ya juga. Om Valerio sudah punya tunangan dan nggak mungkin kalau dia Papaku. Kalau dia Papaku, kenapa dia nggak menemui kita padahal kita satu kota. Kalau Om Valerio Papaku, dia pasti akan menemuiku!""Sayang, entah Papa akan menemui kita atau nggak, kita harus menerimanya dengan lapang dada." Briella menangkup wajah Zayden dan melanjutkan, "Kamu mengerti maksud Mama, 'kan?"Zayden menghela napas dalam dan mengangguk. "Tentu saja aku tahu maksud Mama.""Hmm? Memangnya apa yang Mama pikirkan? Coba katakan?""Selama ini Mama selalu menunggu Papa. Tapi aku saja sudah besar dan Mama masih belum bertemu dengannya. Mungkin dia sudah meninggal, 'kan? Jadi, Mama nggak bersikeras menunggu Papa. Zayden tahu semua isi hati Mama. Zayden jad
Zayden adalah anak yang cerdas dan menyadari kalau barusan dia mengatakan sesuatu yang membuat Valerio kesal. Dia segera meringkuk ke dalam pelukan Briella dan menatap Valerio dengan hati-hati. Melihat wajah tidak senang Valerio, Zayden menarik kembali pandangannya dan menyembunyikan wajahnya di pelukan Briella."Mama, Zayden takut.""Nggak perlu takut. Ada Mama di sini, nggak ada yang akan berani mengganggu Zayden."Briella menepuk punggung Zayden dengan lembut dan menatap Valerio. Ada nada kesal dalam perkataannya, "Zayden masih kecil, kamu nggak boleh membuatnya takut."Valerio menatap Briella dengan tatapan dingin. Entah bagaimana, ketika bertemu dengan tatapan Briella yang bening, hati Valerio yang keras langsung melunak."Ibu yang memanjakan anaknya bisa membuat anaknya gagal.""Aku bukan anak yang gagal. Mama yang terbaik dalam mendidik anak. Om, lihatlah, aku sangat pintar dan bisa disebut sebagai anak genius. Ini menunjukkan kalau Mama memang sangat hebat dalam mendidikku.""A
Briella keluar dari kamar Zayden dan melihat kalau Valerio sedang menelepon di ruang tengah. Briella turun ke bawah dan samar-samar bisa mendengar arah dari pembicaraan Valerio di dalam telepon.Valerio sedang menghubungi pihak sekolah untuk mempersiapkan Zayden masuk sekolah.Briella mendengarkan dari jauh dan memandangi punggung kekar pria itu. Briella tersentuh, tetapi hatinya merasa bingung.Kenapa Valerio melakukan ini?Masih masuk akal kalau Valerio memperlakukannya dengan baik. Bagaimanapun, di dalam kandungannya ada anak Valerio.Namun, bagaimana dengan Zayden? Zayden bukan anak kandungnya, jadi kenapa pria itu sangat peduli pada Zayden?Briella tidak tahu, tetapi dia merasa kalau pria itu menyembunyikan sesuatu darinya. Tentang apa yang disembunyikan, Briella pun tidak tahu."Nona Briella, Pak Valerio memintamu menunggunya di ruang kerja. Ada yang ingin beliau sampaikan."Pak Rinto melirik ke arah punggung Valerio dan tatapannya jatuh di wajah Briella. Lalu, dia berkata penuh
"Ya, sudah. Lanjutkan saja pekerjaanmu."Briella keluar dari dapur dan melihat pria yang duduk di sofa, yang ternyata masih menelepon. Ketika melihat Briella, pria itu menjentikkan jari ke arahnya, memberi isyarat agar Briella mendekat.Briella menurut dan mencari tempat duduk yang agak jauh dari Valerio. Namun, sebelum Briella sempat duduk, kakinya disandung oleh pria itu."Ah!" Reaksi pertama Briella adalah memegang perutnya untuk melindungi bayi di dalamnya.Di tengah kepanikannya, sebuah telapak tangan besar memegang pinggangnya yang ramping dan membuatnya duduk dengan mantap di pangkuan pria itu.Valerio menarik Briella ke dadanya, dengan satu tangannya masih memegang telepon dan sama sekali tidak terganggu saat memberikan perintah kepada bawahannya.Briella duduk di pangkuan Valerio dan pinggangnya dicengkeram kuat-kuat oleh tangan pria itu. Briella tidak bisa bergerak sedikit pun dan merasa tidak nyaman karena posisi mereka yang menempel seperti ini.Dibandingkan dengan Briella
"Seperti apa yang aku katakan." Ujung jari Valerio menyentuh dahi Briella, lalu dia melanjutkan, "Malam ini aku akan membawamu ke kediaman Keluarga Atmaja.""Nggak mau." Briella mendorong bahu pria itu menjauh dan membuang muka, menunjukkan kalau dia tidak mau menghiraukan pria itu."Nggak mau pun harus tetap pergi." Valerio memerintah dan memaksa. "Ini perintah."Briella mengatupkan mulutnya kesal, dalam hati mengatakan kalau pria ini sangat suka mengontrol, terutama di hari-hari setelah mereka berpisah. Pria ini mengurung Briella di Galapagos dan kontrolnya makin kuat, membuat Briella merasa tercekik.Tatapan Valerio tertuju pada wajah kecil Briella yang keras kepala. Simpul seksi di tenggorokannya bergerak naik turun. Makin Briella bersikap seperti ini, makin Valerio ingin memilikinya.Wanita itu sepertinya memiliki semacam sihir yang membuatnya benar-benar kecanduan. Yang paling penting, Valerio yang sudah kecanduan akan sosok Briella dan tidak ingin lepas dari jeratan sihir Briell
"Bukan masalah uang." Briella membalas tanpa berpikir panjang. Selama ini Valerio selalu meremehkan dan memandang rendah dirinya. Pria itu menganggap kalau Briella hanya teman tidur dan sekretaris yang tidak punya dukungan. Di mata pria itu, Briella hanyalah alat pemuas nafsu, pion paling tidak penting dalam permainan penaklukkannya."Lalu kenapa? Apa masalahnya? Briella, jangan mencoba bersikap sok suci."Untuk apa selama ini Briella menahan diri dan memaklumi semua tindakan keterlaluan yang dilakukan Valerio?Selain demi uang, apa lagi tujuan yang Briella miliki?Karena mengharapkan cinta dan kasih sayang? Hati wanita ini lebih keras dari batu dan tidak ada yang bisa mengetuk pintu hatinya dan membuatnya berlutut.Tidak ada yang bisa menjinakkan rusa liar. Bagi seorang pria, mengejar sesuatu yang memiliki makna seumur hidup bukanlah sesuatu yang melelahkan.Valerio sudah menghadapi berbagai macam situasi yang tak terhitung jumlahnya dalam dunia bisnis. Dia hanya perlu menjentikkan ja
Tok, tok, tok. Suara ketukan Zayden terdengar dari ambang pintu. "Mama, Mama ...."Kedua orang yang sedang terjerat nafsu di dalam ruangan pun menghentikan tindakan mereka karena panggilan Zayden.Agak kesal, Valerio mengumpat pelan. Dia melepas jas yang dia kenakan, lalu memberikannya kepada Briella untuk menutupi tubuh bagian atas Briella yang terbuka."Mama, Mama, hiks ...."Teriakan Zayden di luar pintu terdengar makin keras. Valerio yang sudah tidak sabar dengan ketukan itu pun berteriak pelan ke arah pintu, "Diamlah!"Benar saja, kata-kata Valerio membuat Zayden langsung terdiam."Kenapa galak sekali! Jangan begitu sama Zayden, nanti dia ketakutan." Briella berkata sambil mengancingkan kancing baju di tubuhnya dengan gerakan yang tergesa-gesa.Apa yang akan dipikirkan Zayden kalau anak itu melihat apa yang dia dan Valerio lakukan di dalam sini.Sementara Briella merapikan rambutnya, Valerio membuka pintu dan melangkah keluar. Zayden masih berdiri di depan pintu dan bersandar di d
Wajah Valerio berubah muram dan menjadi makin dingin dibandingkan sebelumnya, seperti bongkahan es di kutub utara. Siapa pun yang mendekat pasti akan membeku dibuatnya.Briella tiba-tiba menyadari kalau dia sepertinya sudah mengatakan sesuatu yang membuat Valerio tidak senang. "Zayden masih kecil dan nggak tahu apa-apa. Kamu menghukumnya seperti ini nggak akan mengubah apa pun. Ini masalah antara kita berdua dan nggak ada hubungannya dengan Zayden.""Kamu tahu kalau ini masalah kita berdua?" Valerio mengaitkan bibirnya dan mencibir, "Kalau kamu tahu itu, kenapa kamu menentangku? Kenapa kamu mendorongku menjauh?"Briella terkejut karena Valerio mengatakan hal seperti itu.Valerio menatapnya dengan tatapan sedikit lebih lembut. "Bodoh."Layaknya seorang raja, dia langsung pergi setelah mengatakan kalimat hinaan ini dan membawa Zayden ke arah luar vila.Hati Briella sedikit takut. Pria ini memperlakukan saingan bisnisnya dengan sangat kejam dan berdarah dingin. Briella sudah menyaksikanny
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu