RINDU YANG TERLUKA- Tak Segampang Itu Rinjani sebenarnya lelah. Badannya meriang dan ingin segera beristirahat. Namun terpaksa harus menunggu Abila.Apa setelah pertemuan ini nanti bisa merubah masa lalu? Tidak bukan. Tetap saja kenangan itu menjadi noktah hitam dalam hidupnya. Mantan narapid*na tetap tersemat. Suatu saat akan tetap diingat dan disebut sekali waktu. Dan Noval pun akan tahu hal itu.Luka tetap luka. Sakit tetaplah sakit. Apa dengan kata maaf bisa menyembuhkan lukanya. Mau tidak mau, dirinya yang harus berdamai dengan mereka, dengan diri sendiri.Daffa bisa merasakan kegelisahan sang istri di tengah ia berbincang dengan Har. Ia sadar Rinjani merasa tidak nyaman."Assalamu'alaikum." Suara salam itu membuat mereka menoleh."Wa'alaikumsalam."Rinjani muak melihat gadis itu lagi. Mungkin lebih baik tidak usah bertemu. Saling menjauh lagi bagus. Malang tempat yang tepat untuk mengobati lukanya. Di sana dia lebih merasa tenang. Surabaya seolah kembali menenggelamkannya ke d
"Lalu sekarang seolah hanya akan selesai dengan kata maaf. Semua ini tidak bisa mengembalikan nama baik dan karir saya di kota ini. Tapi tak mengapa, saya tidak akan dendam pada kalian. Saya memaafkan apa yang telah kalian lakukan pada saya." Rinjani memandang satu per satu keluarga Abila."Kami akan memulihkan nama baik Dokter Rin. Saya janji akan mengembalikan lagi dokter ke rumah sakit di mana dokter pernah mengabdi." Pakdhenya Abila bicara serius.Rinjani tersenyum samar mendengar ucapan itu. Siapa lelaki ini, menggampangkan perkataan seolah semua bisa ditebus dengan kekuatannya."Saya sudah nyaman di tempat baru saya. Saya mendapatkan pekerjaan itu atas usaha sendiri setelah saya terbuang. Masih ada teman yang baik dan mengerti keadaan saya. Jadi, Bapak nggak perlu repot-repot untuk mengembalikan saya ke kota ini. Surabaya bukan tempat yang tepat bagi saya lagi."Deg. Di antara mereka semua, Daffa-lah yang paling terhenyak. Kalimat terakhir seolah mengisyaratkan bahwa sang istri
"Biar aku bisa istirahat sehari dan prepare untuk hari Senin. Daffa juga harus sekolah karena sudah izin dua hari."Daffa meriah kedua tangan istrinya agar merapat. "Semalam saja tinggal lagi di sini. Kita belum sempat candle light dinner."Rinjani melepaskan tangannya. "Aku pengen kembali ke Malang. Surabaya terlalu panas untukku." Ucapan itu bagi Daffa memiliki makna berbeda. Ia bangkit dan memeluk istrinya dari belakang. Rinjani sedang emosi. Dia butuh waktu untuk kembali tenang. Atau mungkin dia yang harus membuat keputusan segera. Ikut pindah ke Malang atau berusaha meyakinkan sang istri, kalau Surabaya masih menjadi tempat terbaik untuk Rinjani."I love you," bisik Daffa. Namun Rinjani hanya memandang suaminya dari pantulan cermin."Kamu yakin untuk ke seminar hari ini?" tanya Daffa karena tubuh Rinjani terasa panas dikulitnya."Iya. Hari ini terakhir seminar. Aku ingin bersembang dengan teman-teman sebelum balik ke Malang. Kapan lagi kami bisa bertatap muka kalau nggak waktu a
RINDU YANG TERLUKA- Kejutan "Kamu serius dengan ucapanmu ini?" Pak Farhan terkejut dengan keputusan Daffa yang bilang ingin pindah ke Malang. Dia juga menceritakan pertemuannya dengan keluarga Abila tadi malam.Tidak hanya Pak Daffa, Ika yang di sana juga kaget. Tentu setelah pengkhianatan suami dan perusahaan yang sedang tidak baik-baik saja, keberadaan Daffa sangat diperlukan.Namun ia tidak punya kuasa untuk menahan adiknya. "Apa Rin nggak mempertimbangkan tawaran papa. Di sini karirnya bisa lebih cepat menanjak, dia juga bisa kembali ke kampus untuk mengambil spesialis yang dia minati. Coba kamu bicarakan ini dengan Rin, Fa. Papa rasa dia punya banyak kesempatan untuk mengambil spesialis yang diinginkan.""Jangan paksa, Pa," sela Bu Tiwi. Dia sangat mengerti bagaimana perasaan menantunya. Dari cerita Daffa tadi, luka sang menantu sangat terasa hingga ke relung hati."Mama mengerti sekali dengan keputusan Rin yang nggak ingin kembali ke Surabaya. Tentu nggak gampang menoleransi
Rinjani tersenyum samar. Capek banget malah. Sejak kemarin memang sudah tidak enak badan. Mereka berdua bergabung dengan rekan-rekannya. Satu jam kemudian Daffa datang menjemput. Rinjani menyalami dan pamitan hendak pulang lebih dulu."Kita jemput Noval dulu di rumah mama.""Ya."Daffa menyentuh kening istrinya. Tidak panas lagi tapi wajah Rinjani masih pucat. "Kamu tadi minum obat?""Hu um." Rinjani memejam. Tak sabar ingin segera sampai Malang dan melabuhkan raganya di pembaringan. Semenjak peristiwa tadi malam, rasanya tidak sabar ingin meninggalkan kota ini. Padahal dia juga belum bertemu dengan om dan tantenya. Hanya sempat menelepon saja.Mobil berhenti di depan rumah sang mertua. Noval yang sudah menunggu di teras girang melihat mamanya datang. Ia pun tidak sabar ingin segera bertemu dengan teman-temannya di Malang."Rin, kamu sakit?" Bu Tiwi memperhatikan sang menantu yang mencium tangannya. Kemudian mengajak duduk di ruang keluarga."Hanya kecapekan, Ma," jawab Rinjani sambi
Saat dalam lamunan, wanita itu terkesiap ketika Daffa mengagetkan dengan mencium bibirnya. "Maafkan mas," ucapnya seraya menatap lembut.Tubuh Rinjani menghangat dan rasa aneh menjalar di setiap aliran darah dikala tatapan menuntut dan s*ntuhan Daffa membuainya. Tidak mungkin dia akan kembali menolak. Daffa memang bersalah, tapi sudah berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan maafnya."Maafkan mas. Mas tahu kamu butuh istirahat, Rin. Tapi mas kangen." Daffa menatap lekat manik bening yang membalas tatapannya. "I love you." Ucapan itu dibalas Rinjani dengan tetesan embun bening di sudut mata. Perasaannya sangat sensitif beberapa hari ini.Tatapan matanya mungkin menolak, tapi tubuhnya tidak bisa berbohong. Lengannya memeluk punggung kokoh itu ketika badai yang manis itu menghantamnya berkali-kali.***L***Senin pagi Daffa tergesa menemui Teddy di ruangannya. Tak sabar ingin tahu siapa orang yang membantu Abila mengakses kamarnya."Sorry, kemarin aku nganterin Rin dan Noval ke Malang, B
RINDU YANG TERLUKA - Kehamilan Daffa mengusap lembut perut Rinjani dan merasakan ada gundukan kecil. Dada Daffa berdebar hebat. Bersama Rinjani beberapa tahun, dia yakin kalau istrinya sedang hamil. Pinggang Rinjani ramping, perutnya rata. Kalau sekarang ada bukit kecil itu, jelas saja istrinya sedang berbadan dua.Bahagia tapi juga kecewa. Kenapa dirinya tidak diberitahu. Dipandanginya lekat Rinjani yang diam dan tenang. "Sudah berapa bulan?""Dua belas minggu." Rinjani menaruh tas kerjanya di atas meja. Kemudian duduk di kursi ruang tamu diikuti oleh Daffa."MasyaAllah, Rin. Sudah tiga bulan dan kamu nggak ngasih tahu suamimu?" "Sebenarnya aku mau ngasih tahu waktu datang ke Surabaya. Ingat nggak saat aku menyusul mas ke kantor sore itu dan bertemu Abila di sana. Aku mau ngajak makan malam sekalian ngasih kejutan, tapi justru aku yang dapat kejutan."Daffa menelan saliva. Tidak hanya Rinjani, tapi kejadian sore itu memang sangat mengejutkan baginya. "Setelah itu kamu nggak ada ni
"Belum tahu, Mas. Dua minggu lagi jadwal periksa. Semoga sudah bisa dilihat dia cewek apa cowok.""Tunggu mas pulang dulu baru periksa."Rinjani mengangguk. Daffa duduk di lantai, tepat di depan perut istrinya. Mengusap lembut permukaan perut itu. Harapannya terkabul. Setelah ini tidak ada alasan untuk Rinjani kabur darinya. Mereka akan membesarkan anak-anak bersama.Kebahagiaannya tidak terlukiskan dengan kata-kata. Pantas saja semingguan ini rasanya tidak tahan untuk segera pulang bertemu Rin dan Noval. Jengkel kalau telepon atau pesannya tidak segera dibalas oleh Rinjani. Beberapa kali video call, dia sempat heran dengan wajah Rinjani yang terlihat berisi. Dia kira gemuk biasa, ternyata ada benihnya yang tumbuh di rahim perempuannya."Papa dan mama pasti bahagia mendengar kabar ini, Rin."Rinjani tersenyum."Noval tahu kalau mau punya adik."Rinjani menggeleng. Dahi Daffa mengernyit. "Noval pun nggak kamu kasih tahu?" "Bukan nggak mau ngasih tahu. Tapi belum kukasih tahu. Lastri