"Ada perlu apa Anda datang menemui saya?" Perasaan Daffa tidak enak. Datang secara baik-baik dan bicara sopan tidak menjamin tujuannya baik. Mengingat kasus mereka sebelum ini.Har diam sejenak. Kembali meminta maaf atas kekasarannya waktu itu. Kemudian meluruskan semua yang terjadi. Bagaimana adik sepupunya telah memprovokasi mereka untuk menghajar Daffa demi meminta tanggungjawab lelaki itu. Namun Har tetap menutupi kejadian yang menimpa Abila. Tentang pemerk0saan yang dilakukan oleh ayah tirinya. Bagaimanapun juga itu tetap sebuah aib.Daffa bernapas lega. Pada kenyataannya dia memang tidak sampai melakukan hubungan terlarang dengan Abila. Dalam hati sangat bersyukur. Har juga menelpon sang adik karena tidak ada di Surabaya. Lelaki di seberang meminta maaf. Mereka sama-sama mengakui kesalahan telah menghajar Daffa siang itu. Kalau soal perselingkuhan yang dilakukan Daffa dan Abila, bukan urusan mereka. Yang penting sudah meminta maaf karena telah melakukan kesalahan dengan main ha
RINDU YANG TERLUKA- Tak Segampang Itu Rinjani sebenarnya lelah. Badannya meriang dan ingin segera beristirahat. Namun terpaksa harus menunggu Abila.Apa setelah pertemuan ini nanti bisa merubah masa lalu? Tidak bukan. Tetap saja kenangan itu menjadi noktah hitam dalam hidupnya. Mantan narapid*na tetap tersemat. Suatu saat akan tetap diingat dan disebut sekali waktu. Dan Noval pun akan tahu hal itu.Luka tetap luka. Sakit tetaplah sakit. Apa dengan kata maaf bisa menyembuhkan lukanya. Mau tidak mau, dirinya yang harus berdamai dengan mereka, dengan diri sendiri.Daffa bisa merasakan kegelisahan sang istri di tengah ia berbincang dengan Har. Ia sadar Rinjani merasa tidak nyaman."Assalamu'alaikum." Suara salam itu membuat mereka menoleh."Wa'alaikumsalam."Rinjani muak melihat gadis itu lagi. Mungkin lebih baik tidak usah bertemu. Saling menjauh lagi bagus. Malang tempat yang tepat untuk mengobati lukanya. Di sana dia lebih merasa tenang. Surabaya seolah kembali menenggelamkannya ke d
"Lalu sekarang seolah hanya akan selesai dengan kata maaf. Semua ini tidak bisa mengembalikan nama baik dan karir saya di kota ini. Tapi tak mengapa, saya tidak akan dendam pada kalian. Saya memaafkan apa yang telah kalian lakukan pada saya." Rinjani memandang satu per satu keluarga Abila."Kami akan memulihkan nama baik Dokter Rin. Saya janji akan mengembalikan lagi dokter ke rumah sakit di mana dokter pernah mengabdi." Pakdhenya Abila bicara serius.Rinjani tersenyum samar mendengar ucapan itu. Siapa lelaki ini, menggampangkan perkataan seolah semua bisa ditebus dengan kekuatannya."Saya sudah nyaman di tempat baru saya. Saya mendapatkan pekerjaan itu atas usaha sendiri setelah saya terbuang. Masih ada teman yang baik dan mengerti keadaan saya. Jadi, Bapak nggak perlu repot-repot untuk mengembalikan saya ke kota ini. Surabaya bukan tempat yang tepat bagi saya lagi."Deg. Di antara mereka semua, Daffa-lah yang paling terhenyak. Kalimat terakhir seolah mengisyaratkan bahwa sang istri
"Biar aku bisa istirahat sehari dan prepare untuk hari Senin. Daffa juga harus sekolah karena sudah izin dua hari."Daffa meriah kedua tangan istrinya agar merapat. "Semalam saja tinggal lagi di sini. Kita belum sempat candle light dinner."Rinjani melepaskan tangannya. "Aku pengen kembali ke Malang. Surabaya terlalu panas untukku." Ucapan itu bagi Daffa memiliki makna berbeda. Ia bangkit dan memeluk istrinya dari belakang. Rinjani sedang emosi. Dia butuh waktu untuk kembali tenang. Atau mungkin dia yang harus membuat keputusan segera. Ikut pindah ke Malang atau berusaha meyakinkan sang istri, kalau Surabaya masih menjadi tempat terbaik untuk Rinjani."I love you," bisik Daffa. Namun Rinjani hanya memandang suaminya dari pantulan cermin."Kamu yakin untuk ke seminar hari ini?" tanya Daffa karena tubuh Rinjani terasa panas dikulitnya."Iya. Hari ini terakhir seminar. Aku ingin bersembang dengan teman-teman sebelum balik ke Malang. Kapan lagi kami bisa bertatap muka kalau nggak waktu a
RINDU YANG TERLUKA- Kejutan "Kamu serius dengan ucapanmu ini?" Pak Farhan terkejut dengan keputusan Daffa yang bilang ingin pindah ke Malang. Dia juga menceritakan pertemuannya dengan keluarga Abila tadi malam.Tidak hanya Pak Daffa, Ika yang di sana juga kaget. Tentu setelah pengkhianatan suami dan perusahaan yang sedang tidak baik-baik saja, keberadaan Daffa sangat diperlukan.Namun ia tidak punya kuasa untuk menahan adiknya. "Apa Rin nggak mempertimbangkan tawaran papa. Di sini karirnya bisa lebih cepat menanjak, dia juga bisa kembali ke kampus untuk mengambil spesialis yang dia minati. Coba kamu bicarakan ini dengan Rin, Fa. Papa rasa dia punya banyak kesempatan untuk mengambil spesialis yang diinginkan.""Jangan paksa, Pa," sela Bu Tiwi. Dia sangat mengerti bagaimana perasaan menantunya. Dari cerita Daffa tadi, luka sang menantu sangat terasa hingga ke relung hati."Mama mengerti sekali dengan keputusan Rin yang nggak ingin kembali ke Surabaya. Tentu nggak gampang menoleransi
Rinjani tersenyum samar. Capek banget malah. Sejak kemarin memang sudah tidak enak badan. Mereka berdua bergabung dengan rekan-rekannya. Satu jam kemudian Daffa datang menjemput. Rinjani menyalami dan pamitan hendak pulang lebih dulu."Kita jemput Noval dulu di rumah mama.""Ya."Daffa menyentuh kening istrinya. Tidak panas lagi tapi wajah Rinjani masih pucat. "Kamu tadi minum obat?""Hu um." Rinjani memejam. Tak sabar ingin segera sampai Malang dan melabuhkan raganya di pembaringan. Semenjak peristiwa tadi malam, rasanya tidak sabar ingin meninggalkan kota ini. Padahal dia juga belum bertemu dengan om dan tantenya. Hanya sempat menelepon saja.Mobil berhenti di depan rumah sang mertua. Noval yang sudah menunggu di teras girang melihat mamanya datang. Ia pun tidak sabar ingin segera bertemu dengan teman-temannya di Malang."Rin, kamu sakit?" Bu Tiwi memperhatikan sang menantu yang mencium tangannya. Kemudian mengajak duduk di ruang keluarga."Hanya kecapekan, Ma," jawab Rinjani sambi
Saat dalam lamunan, wanita itu terkesiap ketika Daffa mengagetkan dengan mencium bibirnya. "Maafkan mas," ucapnya seraya menatap lembut.Tubuh Rinjani menghangat dan rasa aneh menjalar di setiap aliran darah dikala tatapan menuntut dan s*ntuhan Daffa membuainya. Tidak mungkin dia akan kembali menolak. Daffa memang bersalah, tapi sudah berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan maafnya."Maafkan mas. Mas tahu kamu butuh istirahat, Rin. Tapi mas kangen." Daffa menatap lekat manik bening yang membalas tatapannya. "I love you." Ucapan itu dibalas Rinjani dengan tetesan embun bening di sudut mata. Perasaannya sangat sensitif beberapa hari ini.Tatapan matanya mungkin menolak, tapi tubuhnya tidak bisa berbohong. Lengannya memeluk punggung kokoh itu ketika badai yang manis itu menghantamnya berkali-kali.***L***Senin pagi Daffa tergesa menemui Teddy di ruangannya. Tak sabar ingin tahu siapa orang yang membantu Abila mengakses kamarnya."Sorry, kemarin aku nganterin Rin dan Noval ke Malang, B
RINDU YANG TERLUKA - Kehamilan Daffa mengusap lembut perut Rinjani dan merasakan ada gundukan kecil. Dada Daffa berdebar hebat. Bersama Rinjani beberapa tahun, dia yakin kalau istrinya sedang hamil. Pinggang Rinjani ramping, perutnya rata. Kalau sekarang ada bukit kecil itu, jelas saja istrinya sedang berbadan dua.Bahagia tapi juga kecewa. Kenapa dirinya tidak diberitahu. Dipandanginya lekat Rinjani yang diam dan tenang. "Sudah berapa bulan?""Dua belas minggu." Rinjani menaruh tas kerjanya di atas meja. Kemudian duduk di kursi ruang tamu diikuti oleh Daffa."MasyaAllah, Rin. Sudah tiga bulan dan kamu nggak ngasih tahu suamimu?" "Sebenarnya aku mau ngasih tahu waktu datang ke Surabaya. Ingat nggak saat aku menyusul mas ke kantor sore itu dan bertemu Abila di sana. Aku mau ngajak makan malam sekalian ngasih kejutan, tapi justru aku yang dapat kejutan."Daffa menelan saliva. Tidak hanya Rinjani, tapi kejadian sore itu memang sangat mengejutkan baginya. "Setelah itu kamu nggak ada ni
Rasa bahagia sekaligus haru menyelimuti ruang perawatan mamanya Bobby. Pria dengan seragam lapas itu memeluk erat dua putrinya. Air mata tumpah tak terkira. Karena isaknya, sampai menyulitkan untuk bicara.Sang mama yang tergolek di atas brankar tak bisa bergerak selain menangis. Adik Bobby sibuk menghapus air matanya sendiri. Begitu juga dengan Ika. Tidak menyangka jika jalan kehidupan putri-putrinya seperti ini. Reza merangkul sambil mengusap-usap lengan istrinya untuk menenangkan. Ika bukan menangisi Bobby, tapi menangis untuk kedua anaknya.Sedangkan Nasya yang tidak seberapa mengerti, duduk diam di sebelah papanya."Terima kasih banyak, Pak Reza. Sudah menjaga dan membimbing anak-anak saya. Terima kasih. Saya titip mereka." Bobby yang sudah mulai tenang, bicara pada Reza."Jangan khawatir, Pak Bobby. Saya akan menyayangi dan menjaga mereka dengan baik," jawab Reza dengan penuturan sopan dan ramah. Bobby ganti memandang mantan istrinya. "Maafkan kesalahanku. Maafkan keluargaku j
Ika menghela nafas panjang. Pantaslah suara mantan adik iparnya terdengar cemas. Perempuan yang beberapa bulan lalu sempat mencak-mencak dan marah karena sang kakak mendapatkan hukuman lumayan lama, kini melunak. Mungkin sekarang benar-benar merasakan bagaimana kehilangan support dan ATM berjalannya.Selama ini Bobby dan Ika yang mensupport pengobatan wanita itu. Makanya kesehatannya terjaga. Namun mulai drop setelah Bobby masuk penjara dan tidak ada dukungan finansial lagi.Sudah hidup enak karena Ika tidak sayang uang buat mereka, tapi mereka diam-diam malah memberikan dukungan pada Bobby bermain serong. Apa mereka pikir, hidupnya akan jauh lebih baik lagi? Orang tamak akan terperosok pada ketamakannya sendiri."Bagaimana, Ma?" Reza menyentuh pundak sang istri yang masih berdiri di teras rumah.Ika mengajak suaminya duduk. Kemudian menceritakan tentang percakapannya dengan mantan ipar."Sebenarnya ini solusi, Ma. Kalau pihak keluarga Bobby mau mengajukan permohonan supaya Bobby diiz
RINDU YANG TERLUKA- Sehari di Surabaya "Ma, papa nggak ngelarang kamu membawa anak-anak menjenguk papanya. Apapun yang terjadi, nggak ada yang bisa memisahkan darah yang mengalir sama di tubuh mereka. Tapi papa ngasih saran, bisakah diusahakan bertemu selain di penjara?"Malam itu Ika memberitahu sang suami perihal pesan yang dikirim mantan adik iparnya. Tentu Ika harus mendiskusikan bersama Reza untuk mengambil keputusan. "Pikirkan psikologis anak-anak. Selama ini mereka hanya mendengar papanya di penjara dari cerita. Tidak menyaksikan secara langsung. Kalau mereka melihat sendiri, pasti akan menjadi beban mental dan mengusik ketenangan jiwa anak-anak. Terutama Zahra yang sudah besar."Ika mengangguk. Benar yang dikatakan sang suami. Karena dia pun memikirkan hal yang sama."Bobby baru setahun menjalani hukumannya, Pa. Mana mungkin diizinkan keluar sebentar dengan alasan tertentu.""Ada beberapa alasan yang bisa membuat pihak berwenang memberi izin untuk Bobby keluar dalam beberap
"Sudah. Tadi malam Iren ngasih tahu kalau Mas Yansa diopname. Livernya kambuh lagi. Kamu mau nyambangi?""Kayaknya nggak, Mbak. Rin juga lagi sakit.""Sakit apa?""Masuk angin.""Jangan-jangan istrimu hamil lagi?""Nggak. Hanya masuk angin. Beberapa hari ini memang sibuk di klinik sampai malam karena rekannya ada yang cuti. Minggu kemarin, tiga hari Rin juga bolak-balik ke Batu untuk seminar.""Nanti mbak ke rumahmu.""Oke. Kalau gitu aku berangkat dulu, Mbak.""Kamu nyetir sendiri?""Iya. Ibnu sudah berangkat pagi tadi ngantar proposal ke Surabaya."Daffa bangkit dari duduknya. Menyapa sebentar pada Bu Murti yang sedang memetik sayuran di halaman samping, lantas masuk mobil dan pergi.Ika masuk ke dalam rumah dan langsung ke dapur. Sebelum mulai sibuk dengan pekerjaannya, dia selalu menyempatkan untuk membantu memasak. Sambil memotong sayuran, ia teringat dengan sepupunya. Mereka pernah membesar bersama di dalam keluarga besar Joyo Winoto. Itu nama kakek mereka. Disaat masih sekola
"Noval sudah berani tidur sendiri di kamarnya, Mas. Asal sebelum tidur ditemani dulu. Kalau Rachel biar tidur di kamar kita untuk sementara. Setelah dia bisa jalan biar ditemani oleh Mak Sum di kamarnya. Gimana?""Oke," jawab Daffa seraya merapatkan pelukannya. Mereka berdua sedang duduk menyaksikan hujan di luar dari balik jendela kaca."Terima kasih untuk hadiahnya, Mas. Tadi pagi kita buru-buru sampai aku nggak sempat bilang terima kasih." Rinjani berkata sambil menyentuh kalung di lehernya."Apa yang mas berikan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu berikan dalam hidup mas, Rin. Kamu menyempurnakan hidup lelaki yang tidak sempurna ini. "Kamu memberikan gelar lelaki br*ngsek ini sebagai seorang ayah. Memberikan kesempatan disaat kesalahan mas teramat fatal. Maaf, untuk semua kesalahan kemarin. Mas bangga memilikimu.""Nggak usah diingat lagi. Kita sudah melangkah sejauh ini. Yang lalu biarlah berlalu. Kita berjuang untuk masa depan keluarga kecil kita. Tapi sekali lagi
RINDU YANG TERLUKA - Biarlah Berlalu Kejutan macam apa ini. Daffa malah sukses membuat Rinjani kelabakan dan tergesa-gesa ke klinik dengan rambut yang belum kering. Dan jadi pusat perhatian, karena belum pernah ia datang ke klinik dengan rambut seperti ini.Mau marah, tapi ini hari ulang tahunnya. Mau marah, tapi Daffa seromantis itu. Ah, sejak dulu sebenarnya Daffa memang sangat romantis meski kemauannya tidak bisa dibantah. Bahkan di tengah perselingkuhannya, Daffa tetap romantis plus egois.Rinjani menghela nafas lalu duduk di kursinya. Meraba kalung berlian di balik kerah bajunya. Daffa yang memakaikannya sesaat sebelum pria itu membawanya terbang ke nirwana."Ini harus dipakai. Nggak mengganggu aktivitasmu, kan?"Sekarang hadiah istimewa itu melingkar dan di sembunyikan di balik kerah baju. Rinjani selalu memakai baju dengan kerah yang menutupi leher jenjangnya."Nanti malam kita dinner dan nginap di Batu," kata Daffa sebelum Rinjani turun dari mobil saat di antar tadi. Jarak
Netra Bu Murti berkaca-kaca saat diberitahu kalau Ika sedang hamil. Bibirnya yang bergetar mengucap syukur berulang kali. Reza, Ika, dan anak-anak sampai di Pujon sudah jam sembilan malam. Reza langsung ke kamar sang mama untuk membagikan kabar gembira."Jaga Ika baik-baik. Jangan biarkan dia melakukan pekerjaan rumah. Biar anak-anak di urus ART. Kamu juga harus tirakat."Kata terakhir yang diucapkan Bu Murti, bagi Reza tidak menjadi masalah. Dia sudah terbiasa mengatasi kesendiriannya hampir lima tahun setelah mamanya Nasya meninggal. "Ika akan bekerja dari rumah, Ma. Jadi dia nggak akan ngantor lagi.""Syukurlah. Segera ajak Ika periksa ke dokter.""Besok kami pergi periksa. Jadwalku ke kampus kebetulan siang.""Ya sudah. Kamu istirahat sana."Reza mengusap punggung mamanya. Kemudian beranjak meninggalkan kamar itu.***L***Satu bulan kemudian ...."Tri, tinggalin aja. Kamu ke depan sana. Kamu ini pengantin baru, nggak usah ikutan beres-beres," tegur Mak Sum menghampiri Lastri yan
Usai makan siang, Daffa mengajak istri dan anaknya pulang ke Malang. Sedangkan Ika dan Reza memutuskan pulang sorenya. Sebab Reza masih ada acara ketemuan dengan temannya di Surabaya.Daffa singgah di Batu. Bertemu Bre di sebuah kafe. Kehadiran Noval agak mengobati kerinduannya pada Alvian. Sudah lama dia tidak bertemu dengan anak Alan dan Livia itu.Bre juga mengendong baby Rachel."Nggak pengen kamu punya boneka hidup seperti ini?" tanya Daffa menghampiri Bre yang membopong Rachel di balkon kafe.Bre tersenyum. "Aku sudah cukup bahagia melihat kamu bisa kembali bersama dengan Rin. Memiliki anak-anak yang tampan dan cantik. Aku juga bahagia melihat Livia bahagia. Biar aku menjalani hidup yang aku pilih.""Sebeku itu hatimu?"Bre diam. Daffa juga diam. Mereka memperhatikan pemandangan di kejauhan yang mulai berselimut kabut. Entah sudah berapa kali Daffa memberikan semangat pada sahabatnya, tapi tampaknya sia-sia. Bre keukeh dengan keputusannya."Mbak Ika juga lagi hamil." "Oh ya?""
RINDU YANG TERLUKA - Romantis "Tekanan darah Mbak Ika menurun, detak jantung meningkat. Ini salah satu tanda stres. Tapi aku yakin Mbak Ika nggak sedang dalam tekanan. Mbak dan Pak Reza sangat bahagia. Kata Mas Daffa pekerjaan juga baik-baik saja. Jadi aku yakin kalau Mbak Ika pasti sedang hamil ini," kata Rinjani setelah melakukan pemeriksaan pada kakak iparnya. Meski sebagai dokter umum, Rinjani memiliki kompetensi ANC (Antenatal Care). Pemeriksaan kehamilan secara umum.Ika bangun dari pembaringan. "Mbak emang udah telat datang bulan, Rin. Sudah sepuluh hari ini.""Kenapa Mbak nggak melakukan testpack?""Nggak, karena mbak takut kecewa lagi. Bulan-bulan kemarin kalau telat haid Mbak langsung test tapi hasilnya negatif. Makanya kali ini Mbak biarin.""Coba cek, Mbak. Aku yakin Mbak Ika lagi hamil ini.""Nanti Mbak beli testpack. Yuk, kita keluar."Ika dan Rinjani melangkah keluar kamar. Di depan pintu sudah ada Reza yang menunggu. Dia tadi khawatir kenapa istri dan iparnya masuk k