Minggu. Waktu di mana seluruh Warga Negara Indonesia melakukan acara tidur berjamaah di hari libur. Terkecuali yang lembur atau yang pergi berlibur. Kalau aku dan Ibu memilih untuk masak-masak di dapur. Menu kita hari ini yaitu ayam kecap. Masak ayamnya cuma seperempat, tapi kecapnya bisa sampai dua botol. Oke, aku berbohong soal itu.
Ibu memang suka sekali masak. Sedangkan aku suka makan. Jadi, kita adalah pasangan simbiosis mutualisme. Kakak tertuaku suka masak dan suka makan. Makanya aku suka nggak kebagian makanan kalau berkunjung ke rumahnya yang baru dibangun sekitar enam bulan yang lalu itu. Sedangkan kakak keduaku nggak suka masak dan jarang makan. Namun, di rumahnya suka banyak sekali cadangan makanan. Pokoknya kalau aku ke sana, pasti perut kenyang hati pun senang.
Kembali lagi ke topik masak-masak bersama ibu. Beliau sekarang sedang menyusun sayur di piring. Ayam kecap dihias ala chef Desi di acara Master Chef yang tayang di RCTI. Aku nge-fans sama chef tersebut karena namanya mengingatkanku pada seorang penulis abal-abal yang selalu meratapi kejombloannya dan hampir menyerah untuk mencari pacar.
Setelah masak-masak, sekarang waktunya makan. Namun, belum juga menyendok nasi ke piring, segerombol induk tawon dan anak-anaknya menyerang negara ini.
Ada Kak Juli, kakak tertuaku. Dia datang bersama dua anaknya, Shopia dan Eline. Shopia itu umurnya nggak beda jauh sama aku. Saat ini dia masuk SMA dan memilih sekolah yang saat ini menjadi markas besarku, SMEA. Sialnya dia diterima dengan mudah tanpa tes ini-itu. Nggak kayak aku yang kudu mengerjakan dulu soal sebanyak lima puluh butir. Salahkan sistem sekolah yang selalu berubah-ubah dan makin mudah. Tahun ini, Eline juga masuk ke sekolah baru. SMP favorit di Jatiwangi. Aku juga membangun markas besar di situ dulu. Ah, entah kenapa kedua keponakanku ini mengikuti jejakku.
"Suamimu ke mana, Kak?" tanya ibu. Beliau nggak jadi makan demi menyambut anak cucunya yang datang tanpa diduga itu. Aku sendiri bodo amat dengan kehadiran mereka. Ayam kecap lebih menggoda imanku saat ini.
"Biasalah, nganterin galon."
Suami Kak Juli memang punya usaha kecil-kecilan. Isi ulang air minum yang mereknya sudah dikenal seluruh masyarakat Indonesia.
"Hari libur masih kerja begitu," kata ibuku. Itu sindiran atau apa, sih? Ibu ini kalau ngomong suka asal ceplos. Pantas saja aku juga sering ceplas-ceplos, genetik dari ibu, toh.
"Yah, mau gimana lagi? Itu Shopia sudah harus bawa uang ke sekolah buat beli seragam."
"Ibu doakan semoga rezekinya lancar, Nak," ucap Ibu tulus seraya mengusap puncuk kepala Kak Juli.
Aku berhenti mengunyah ayam kecap ketika kulihat Kak Juli memeluk erat tubuh ibu dan menangis tersedu. Shopia dan Eline yang juga sama-sama bengong melihat adegan mellow ala FTV itu. Aku mau ikutan nangis. Namun, Shopia segera menarikku untuk ke kamar. Kuikhlaskan nasi yang tinggal seperempat di piring dan mengikuti Shopia berbaring di kasur. Yah, diabetes deh, karena habis makan langsung molor.
"Kenapa?" tanyaku pada Shopia dan Eline yang kini diam sejuta bahasa. "Ada masalah?" Mereka masih diam kayak patung pancoran. Shopia sendiri meremas tangannya kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Eline menopang dagu di atas bantal dengan muka masam yang minta dilempar bata.
"Kalau kalian diem terus, aku mau lanjut makan. Kasihan ayam kecapku yang tinggal sepotong itu. Terus kasihan juga nasinya nanti nangis."
Belum sempat aku bangkit dari tidur, Shopia sudah menarikku lagi untuk diam. Aku jadi ngeri sama dua manusia ajaib yang selalu bikin kamarku kayak kapal pecah ini. Iya, meskipun mereka telah remaja--Eline sedang beranjak remaja--tapi, hobi mereka masih kayak anak tadika. Kalau datang ke kamarku mereka pasti perang bantal. Atau mereka akan mengobrak-abrik novel-novelku yang tersusun rapi di meja belajar. Lebih parahnya mereka suka tidur dengan iler yang berjatuhan bagai hujan badai di bantal sampai membentuk pulau. Esoknya pasti pekerjaanku mencuci seluruh sprei. Menyebalkan.
"Mamah berantem sama Bapak," kata Shopia.
"Terus?"
"Mamah kabur."
"Terus?"
"Aku nggak tahu cara menyelesaikannya gimana. Bantuin."
"Bantuin gimana?"
"Ngomong sama Mamah."
"Terus?"
"Nabrak!"
Aku mengerucutkan bibir. "Ngomong jangan setengah-setengah makanya," ujarku sewot.
Shopia cuma berdehem. Selanjutnya dia membenamkan wajah di bawah bantal.
Dia mau aku merespon bagaimana memangnya? Pertengkaran dua manusia yang terikat pernikahan itu haram hukumnya direcoki oleh orang lain. Aku yang notabene adalah adiknya yang masih ingusan nggak mungkin bisa menyelesaikan sengketa orang-orang dewasa.
"Kenapa bisa bertengkar?" tanyaku pada Eline. Cewek itu diam saja menyimak pembicaraan nggak jelasku sama Shopia tadi. Kali ini dia yang harus menjelaskan kalimat potong-potong Shopia.
"Kemarin, nenek datang. Dia menyuruh Bapak menjual rumah yang diberikan pada nenek itu. Katanya nenek lagi butuh uang untuk melunasi hutang Bi Gian di Jakarta."
Sinting! Aku memaki dalam hati.
Desember lalu, Ibu Saniya alias neneknya Eline ingin agar hak kepemilikan rumah yang sudah dibagi oleh Kak Tio itu menjadi milik Gian--adik Kak Tio. Beliau berpesan agar rumah itu jangan dijual karena sudah diwariskan olehnya untuk Gian. Jelas Kak Tio marah besar. Rumah yang merupakan warisan dari almarhum abahnya mau dibagi dengan adik tirinya. Jelas itu salah. Kak Tio memberikan rumah yang telah dibagi itu untuk tempat tinggal ibunya. Dia nggak peduli dengan bapak tiri dan adik perempuannya itu. Dia tidak berurusan dengan mereka.
Namun, tampaknya bapak tirinya tak terima dan malah mengembalikan rumah itu pada Kak Tio. Dia bilang dia nggak butuh rumah petak kayak gitu. Dengan sombong dia bilang dia bisa membeli rumah yang lebih besar.
Bapak tirinya akan pergi membawa Ibu Saniya ke Jatiwangi dan tak peduli dengan rumah warisan abah. Sebelum pergi dia menyumpahi Kak Tio dan Kak Juli di depan semua orang. Entah apa salah Kak Tio. Padahal ia hanya ingin ibunya memiliki tempat tinggal. Kak Tio dan Kak Juli sudah meminta maaf, bahkan sampai mencium kaki mereka demi menghalang mereka pergi. Bagaimana pun surganya masih ada di ibunya. Dia tak ingin mencampakkan ibunya di tempat yang jauh atau bahkan sampai tak layak.
Mereka menyadari kesalahan masing-masing, kemudian saling memafkan. Keputusan final yang didapat adalah rumah itu tetap milik Ibu Saniya. Namun, akan diserahkan pada Gian dengan catatan Gian membelinya dari Ibu Saniya. Karena Ibu Saniya mau membangun rumah di Jatiwangi saja. Perkara selesai.
Sekarang, di saat keadaan sudah membaik, Ibu Saniya malah ingin menjualnya demi melunasi hutang-hutang Gian di Jakarta. Gile lu, Ndro!
"Terus kalau itu masalahnya, kenapa yang bertengkar malah orang tua kalian? Bukan Kak Tio sama Ibu Saniya?"
"Ya, karena Mamah mau menuruti nenek dan Bapak nggak."
"Loh, Kak Juli kenapa mendukung mereka?"
"Mamah bilang Bi Gian harus dibantu karena kasihan dikejar-kejar terus rentenir. Nanti kalo rumahnya terjual, dia bisa mengganti uangnya."
"Dan pada akhirnya rumah mereka terjual dan Ibu Saniya sekeluarga jadi nggak punya rumah. Habis perkara."
"Bibi, kok, ngomong gitu?"
"Terus kudu gimana?"
"Harusnya Bibi bantuin Mamah dan Bapak."
Au ah, aku angkat kaki saja!
***
Aku bukan Spongebob Squarpants yang selalu semangat tiap pergi ke Krusty Krab. Aku cuma April yang doyan molor di kasur sambil meluk guling. Buat apa pula aku bangun pukul empat pagi cuma buat melamun di kantor tempatku PKL? Toh, aku janjian sama pembimbing pukul delapan. Namun, ibu tetaplah manusia cerewet yang tidak mau anaknya terlambat. Makanya pukul empat pagi dia sudah sibuk nyentilin hidungku supaya aku bangun."Ibu, ini masih pagi. Belum adzan shubuh pula," gumamku masih dalam keadaan mata terpejam."Kamu, tuh, sholat tahajud biar dilancarkan kerja pertamanya.""Di sana aku mau belajar kerja bukan kerja beneran. Aku doanya nanti aja, Bu, pas shubuh.""Kamu, tuh ....""Udah, Bu, sejam lagi ini waktu tidurku. Ibu mau aku ngantuk di meja kerja?"Mendengar itu,
Bayangan-bayangan indah PKL dalam kepalaku buyar seketika. Karena saat pertama masuk ke kantor pos aku nggak disambut ala Princess Syahrini. Boro-boro berjalan di red carpet terus dikasih ucapan welcome. Pertama masuk ke gerbangnya, aku dan temanku langsung disuruh kerja. Barisan orang pensiunan yang mau ambil duit di tanggal dua merupakan hal yang menakjubkan. Iya, aku perhalus bahasanya biar nggak ngenes amat.Pembimbingku baru datang satu jam setelah aku mondar-mandir kayak orang linglung. Setelah menghadap kepala perusahaan, pembimbingku balik lagi.Udah gitu doang?Bete!Jadi beginilah nasibku dan Mita, temanku. Jadi kacung dadakan. Bisa disuruh gini-gitu, apa aja pokoknya. Dari mulai mengkilokan barang sampai disuruh melakban barang yang akan dikirim. Kerja serabutan. Giliran mendalami peran sebagai seorang akuntan, kami malah disuruh menghitung uang receh lima
Arkananta Januari. Tiga nama yang melekat dalam satu diri manusia. Bukan cuma panggilannya yang berbeda, tapi kepribadiannya juga. Aku curiga kalau Januari ini mengidap penyakit DID alias kepribadian ganda. Nanta kepribadian songong, Januari adalah kepribadian yang lemah lembut dan penyayang. Aku tadi lihat dia saat berinteraksi dengan kakeknya. Nama Januari memang kepribadiannya yang plus, nggak ada minus. Malah aku sempat terkesima dengan sikapnya yang begitu perhatian pada sang kakek. Kepribadian Arkan aku belum tahu. Jangan-jangan Arkan adalah kepribadiannya yang psikopat. Aduh, kok, jadi ngeri gini kenal sama Januari?Namun, aku kesampingkan dulu masalah Januari. Saat ini aku sedang memikirkan Alfa yang nggak mengirimiku pesan seharian. Jangan-jangan dia ditelan bumi dan nggak bisa keluar.Selepas isya, aku mengurung diri di kamar. Sudah ada niat untuk berkutat dengan ponsel dan aplikasi wattpad. Sudah kubuka juga aplikasi KBBI dan tesaurus buat mendu
Aku bukan cenayang apalagi peramal. Orang yang suka ramal cuaca saja kadang benar kadang salah. Aku tidak mau prediksiku meleset jauh kayak anak panah yang meluncur melewati sasaran. Aku tidak mau berpsekulasi macam-macam tentang kehadiran Januari, Nanta atau siapalah namanya, di balik meja itu. Oke, katanya dia mau beli materai. Namun, apa beli materai duduknya bisa sampai satu jam? Bahkan antrian orang pensiunan yang tadi duduk bareng sama dia saja sudah selesai sejak sepuluh menit yang lalu. Huasyem, aku nggak enak hati. Panas dingin rasanya pengin bakso. "Ini tolong kamu tempelin ke barang yang tadi baru saja masuk!" Bu Jihan memberikan bukti terima barang padaku untuk ditempelkan ke paket makanan yang akan diantar ke Taiwan."Oke, Bu."Aku berdiri. Sontak patung pancoran yang dari tadi duduk santai ala di pantai itu kelihatan. Duduknya tegak bener, Bro.Selesai melaksanakan apa yang disu
Awalnya aku merasa aneh dengan Ikal dalam film Sang Pemimpi yang begitu membenci kantor pos bahkan sampai bilang dia nggak akan pernah bekerja di sana. Walau akhirnya takdir membuat dia menjilat ludahnya sendiri dengan menempatkan Ikal di sebuah kantor pos di Bogor. Jadi, jangan pernah membenci sesuatu secara berlebihan ya, karena bisa jadi kita malah dipertemukan dengan sesuatu itu. Namun, Januari pengecualian. Kalau aku sudah bilang membencinya, selamanya akan tetap seperti itu. Pun dengan Alan Kampret plus muka songong hakikinya. Dia akan tetap kubenci meski bumi tak lagi berotasi.Balik lagi ke Ikal dan kantor pos. Aku baru mengetahui alasan Ikal membenci kantor pos di bagian scene ayahnya merasa kecewa pada prestasinya yang menurun. Saat itu Ikal benar-benar menyesal telah meninggalkan sekolahnya hingga membuat Ayah Juara Satunya dipanggil paling terakhir pas pembagian raport. Flashback ke masa kecil Ikal. Saat itu ayahnya diberi surat oleh kurir pos. Isi suratnya ada
"Iya, kamu harus tahu kalau aku tadi abis ngerjain Januari si manusia rese itu." Aku tertawa sebelum memulai cerita dengan Alfa di telepon. "Aku tadi masukin empat sendok cabe bubuk ke ciloknya. Dia pasti sekarang lagi mules-mules di WC. Hahaha ...."Di seberang sana aku cuma mendengar gumaman pelan Alfa yang kayaknya nggak terhibur dengan ceritaku."Alfa, responnya, kok, cuma hem doang?" tanyaku. Biasanya Alfa ini suka ketawa. Bacotan apapun yang keluar dari mulutku, baik yang lucu ataupun tidak, pasti Alfa selalu menanggapinya dengan ketawa. Namun, sekarang dia cuma ham-hem doang kayak yang lagi sakit gigi."Susah ketawa," jawabnya. Suaranya lemes banget."Kamu lagi sakit, ya?""Hm.""Sakit apa?""Diare.""Makanya jangan makan makanan yang pedes, Alfa. Nanti kamu
Saat tiba waktunya makan siang, aku dan Mita berniat membeli siomay di seberang jalan sana. Namun, kuurangkan niat itu karena di gerbang kantor pos sudah nemplok cicak raksasa."Kayaknya aku nggak jadi beli siomay," bisikku pada Mita yang sedari tadi senyum-senyum sendiri. Mungkin dia sedang memikirkan Ozan. Oh iya, mereka sudah mulai dekat. Sudah dua hari ini mereka sering bertukar pesan. Ini berkat aku, dong. Dengan meruntuhkan segenap harga diriku, aku meminta nomor ponsel Ozan kemarin. Aku seberani itu karena kebetulan Ozan lagi sendiri. Sebenarnya sekalian menanyakan kabar Januari. Karena sudah dua hari dia nggak masuk. Kata Ozan, Januari masih harus dirawat di rumah sakit.Sekarang, Januari sudah nyender-nyender di gerbang. Wajahnya agak sayu. Namun, senyum jahilnya yang sudah melekat di bibirnya membuat aku ingin melemparinya dengan batu."Siapa dia? Mau makan siang bareng kamu?" tanya Mita.
Rumahku itu mungil banget. Hanya terbagi dalam enam ruangan: tiga kamar tidur, satu ruang tamu yang merangkap dengan ruang TV, satu kamar mandi, dan satu dapur yang lumayan luas karena dibagi dengan tempat nyuci baju dan nyuci piring. Suara apapun--termasuk suara jangkrik--di luar rumah bakal terdengar nyaring sampai ke dapur. Meski sekarang posisiku sedang di kamar mandi dan suara air ikut menciptakan paduan suara yang merdu, suara tamu tak di undang di luar juga masih terdengar jelas. Dia kayak nggak sabaran mengucapkan salam sambil gedor-gedor pintu. Mungkin dia mikirnya aku tuli, tapi serius ini aku lagi berkepentingan di WC dan nggak bisa diganggu gugat."April ada di dalem, A. Tunggu aja. Tadi udah pulang," teriak Bi Nani, tetanggaku.Ah, ya. Rumah mungilku ini adalah satu-satunya rumah yang menghadap ke barat. Letaknya juga di atas. Ada tanjakan untuk kendaraan pribadi. Lalu, ada teras yang nggak cukup luas. Bi Nani rumahnya menghadap utara, berhada