Home / Young Adult / Rest Area / 5. Puisi Pilu

Share

5. Puisi Pilu

Author: Desimala
last update Last Updated: 2021-04-12 10:39:56

Kakiku baru saja mendarat di permukaan tanah dan seketika gemetar hebat tatkala melihat pemandangan sekelompok orang berseragam putih di depan rumah. Kendaraan beroda dua yang baru saja memboyongku sudah berbelok untuk disimpan Kak Danu di lahan kosong milik tetangga. Aku berjalan mendekati seluruh manusia yang kini menatapku iba. 

Apa yang terjadi? 

Pikiranku semakin keruh dan tak dapat berpikir lagi. Sampai aku melihat bendera kuning tertancap di pohon rambutan depan rumahku. Dunia seolah terhenti beberapa saat ketika pandanganku beralih pada sebuah keranda yang biasa digunakan untuk mengantarkan seseorang ke peristirahatan terakhirnya. Riuh rendah isak tangis yang bergerombol masuk ke telingaku terendam oleh degup jantungku yang bertalu-talu. Seseorang menyambutku di pintu rumah. Dia membentangkan tangannya meraih tubuh lemahku dalam pelukannya. 

Siapa yang meninggal?

Air mata di pelupuk mataku meluruh ketika seseorang yang memelukku berbisik, "Bapak dipanggil Tuhan, Dek."

Lantunan ayat Al-Quran mencoba masuk lagi ke telingaku. Menyadarkanku bahwa ini bukanlah mimpi belaka. 

"Bapak!" Aku langsung berlari masuk. Di sana Bapak sudah dikafani dan siap dikebumikan. Ibuku ada di sana membacakan surat Yasin. Kakak tertuaku memelukku erat sekali. Dia mencoba menenangkanku yang saat ini menangis hebat memanggil Bapak. Kupukuli ubin dingin yang dibalut tikar ini. Kucoba melampiaskan rasa sakitku. Namun, aku tak bisa. Rasanya seperti dihantam godam secara tiba-tiba. Sakit. 

Sebuah tangan yang menyentuh pundakku membuat aku tersentak. Mataku langsung menangkap sosok Kak Okta yang saat ini sedang melambai-lambaikan tangan di depan wajahku. 

"Ngelamun, Dek?" tanyanya sambil menjatuhkan diri di kursi sebelahku.

"Berpikir," jawabku sekenanya. Kuambil lagi novel yang entah kenapa tiba-tiba ada di lantai. Padahal tadi aku sedang memangkunya dan sedang kubaca.

"Berpikir atau melamun?"

"Gini, Kak Okta yang super duper bawel, menurut Prajudi Atmosudirjo ngelamun adalah salah satu cara berpikir."

"Oke, 100+21×80÷4×100-93+1.234÷2×1.980 sama dengan?"

Aku membuka mata lebar-lebar. Shock dengan kelakukan Kak Okta yang seenak jidatnya memberiku soal belibet kayak gitu. Aku hendak memakinya, tapi keduluan sama dia.

"Nah, lamunin coba. Aku nggak yakin kamu nemuin jawabannya. Paling kamu jedukin itu kepala ke tembok sebagai pelampiasan kekesalanmu."

Kutenggelamkan kau di Pangandaran, Kak! Aku melempar novel tebal ke dadanya. Lalu, berjalan masuk ke kamar dan membanting pintunya. Dasar gila! Orang genius juga pasti agak lama menjawab soal yang asal sebut tadi. 

Lagipula teoriku benar, kok. Dia nggak makan bangku SMK, sih. Jadinya nggak tahu kalau ngelamun memang salah satu cara berpikir. Namun, tadi memang kesadaranku sepenuhnya tak berada di tempatnya. Aku nggak berpikir atau mengingat-ingat kejadian dengan cara melamun. Tadi ingatan itu meluap begitu saja tanpa aku berusaha mengingatnya. Agaknya otakku memang merekam dengan apik sekali kejadian itu dan enggan aku melupakan sesekon pun waktu yang terjadi sembilan bulan yang lalu. 

***

Mengenang Oktober Yang Berduka

Tetes air jatuh ke permukaan tanah

Ketika senja ditelan oleh cakrawala

Siluet mega tak nampak indah

Lebur bersama jiwa yang luka

Kepada Oktober dengan sejuta pesona

Biarkan rindu terbang pada kasih tercinta

Bersama api yang membakar hati yang lara

Sampaikan, keping hati kami berdua

Menangisku, jeritku, lebur bersama nestapa

Kurangkul malaikat yang patah sayapnya

Yang menangis seraya menabur bunga di pusara

Bisikku, ciumku, doaku, tetap bersama kita

Pada Oktober yang menyeret jejaknya

Pada Oktober yang membuat patah kita

Sabarku, ikhlasku, kulepas kepergiannya

Malaikat di sampingku, tetap kujaga

Sepenggal puisi berhasil aku publikasikan di facebook. Sebenarnya aku nggak niat sama sekali bikin puisi sore ini. Namun, entah kenapa berbagai diksi bermunculan di otak dan meminta untuk dituliskan segera. Keparat memang otak ini. Suka saja meracuni segala tingkah laku untuk tunduk pada perintahnya.

Satu pesan masuk dari Alfa. Tumben sekali dia menyapa di sore hari. Biasanya dia muncul selepas magrib atau pagi-pagi sekali buat bangunin shubuh.

Alfau: Puisi kamu bikin aku sakit

Aku mengerutkan kening. Gak jelas banget ini manusia. Memangnya puisiku itu ada virusnya yang bikin orang jadi kejang-kejang dan berakhir di rumah sakit? Memangnya puisiku itu panah atau pedang sampai membuatnya berdarah dan merasa sakit? Atau puisiku ...

Sebentar aku melamun dulu buat mikir.

Me: Facebook kamu apa?

Alfa: Rahasia

Me: Dasar manusia rahasia. Jangan mau nikmatin karya orang kalau nggak apresiasi

Alfa: kan kubilang puisimu bikin sakit

Me: itu penghinaan kalau puisiku bikin kamu sakitnya di kepala belibet bahasanya atau kaku. Itu jelek namanya

Alfa: sakit hati, Ta

Me: dapet feel-nya?

Alfa: menurutku iya. Nggak tahu yang lain. Penilaian puisi kan suka subjektif

Me: apresiasi, kek

Alfa: tadi udah

Me: ck, like coment gitu. Masa nggak ngerti arti apresiasi

Alfa: aku menilai tadi, feel-nya dapet

Me: Gitu doang? Like coment dong

Alfa: aku suka. Aku barusan coment. Puisimu bikin aku sakit hati

Sialan! Dari tadi dia ngomong bolak-balik mulu. Aku kan minta dia like dan coment di kolom yang disediakan facebook. Masa gunain aplikasi facebook ciptaan Mark Zukenberg aja nggak bisa. Bikin emosi aja ini manusia.

Me: siapa sih yang bego?

Alfa: pasien rumah sakit jiwa

Me: kamu!!!

Alfa: aku nggak pernah menapakkan kaki di rumah sakit jiwa

Me: sekarang kudu

Alfa: kamu aja dulu, gih

Bener-bener minta dicium si Alfa ini. Aku mengalihkan lagi topik pembicaraan. Suer, aku kepo banget sama akun facebook si Alfa. Kalau dia suka sama puisi-puisiku, berarti dia sudah lama mantengin facebook-ku. Namun, dia nggak pernah like dan coment kayaknya. Haram hukumnya jadi silent readers. Jadi, aku kudu labrak itu orang yang nikmatin karyaku tanpa bersusah payah mainin jari di kolom like dan coment.

Me: nama facebook kamu apa?

Alfa: Rahasia

Me: jujur dong

Alfa: Rahasia

Me: Alfa, nama facebook-mu apa?

Alfa: Rahasia

Me: Ngerti bahasa indonesia nggak?

Alfa: Ngerti. Tapi nama facebook-ku Rahasia

Me: sekali lagi bilang rahasia aku santet kamu

Alfa: Nama facebook-ku 'Rahasia', kamu dari tadi kukasih tahu juga

Kampret. Ngomong kek, dari tadi. Jadi, di sini yang bego itu dia atau aku?

***

Related chapters

  • Rest Area   6. Ayam Kecap

    Minggu. Waktu di mana seluruh Warga Negara Indonesia melakukan acara tidur berjamaah di hari libur. Terkecuali yang lembur atau yang pergi berlibur. Kalau aku dan Ibu memilih untuk masak-masak di dapur. Menu kita hari ini yaitu ayam kecap. Masak ayamnya cuma seperempat, tapi kecapnya bisa sampai dua botol. Oke, aku berbohong soal itu.Ibu memang suka sekali masak. Sedangkan aku suka makan. Jadi, kita adalah pasangan simbiosis mutualisme. Kakak tertuaku suka masak dan suka makan. Makanya aku suka nggak kebagian makanan kalau berkunjung ke rumahnya yang baru dibangun sekitar enam bulan yang lalu itu. Sedangkan kakak keduaku nggak suka masak dan jarang makan. Namun, di rumahnya suka banyak sekali cadangan makanan. Pokoknya kalau aku ke sana, pasti perut kenyang hati pun senang.Kembali lagi ke topik masak-masak bersama ibu. Beliau sekarang sedang menyusun sayur di piring. Ayam kecap dihias ala chef Desi di acara Master Chef yang tayang di RCTI. A

    Last Updated : 2021-04-12
  • Rest Area   7. Suara Alfa

    Aku bukan Spongebob Squarpants yang selalu semangat tiap pergi ke Krusty Krab. Aku cuma April yang doyan molor di kasur sambil meluk guling. Buat apa pula aku bangun pukul empat pagi cuma buat melamun di kantor tempatku PKL? Toh, aku janjian sama pembimbing pukul delapan. Namun, ibu tetaplah manusia cerewet yang tidak mau anaknya terlambat. Makanya pukul empat pagi dia sudah sibuk nyentilin hidungku supaya aku bangun."Ibu, ini masih pagi. Belum adzan shubuh pula," gumamku masih dalam keadaan mata terpejam."Kamu, tuh, sholat tahajud biar dilancarkan kerja pertamanya.""Di sana aku mau belajar kerja bukan kerja beneran. Aku doanya nanti aja, Bu, pas shubuh.""Kamu, tuh ....""Udah, Bu, sejam lagi ini waktu tidurku. Ibu mau aku ngantuk di meja kerja?"Mendengar itu,

    Last Updated : 2021-04-12
  • Rest Area   8. Hari Pertama PKL

    Bayangan-bayangan indah PKL dalam kepalaku buyar seketika. Karena saat pertama masuk ke kantor pos aku nggak disambut ala Princess Syahrini. Boro-boro berjalan di red carpet terus dikasih ucapan welcome. Pertama masuk ke gerbangnya, aku dan temanku langsung disuruh kerja. Barisan orang pensiunan yang mau ambil duit di tanggal dua merupakan hal yang menakjubkan. Iya, aku perhalus bahasanya biar nggak ngenes amat.Pembimbingku baru datang satu jam setelah aku mondar-mandir kayak orang linglung. Setelah menghadap kepala perusahaan, pembimbingku balik lagi.Udah gitu doang?Bete!Jadi beginilah nasibku dan Mita, temanku. Jadi kacung dadakan. Bisa disuruh gini-gitu, apa aja pokoknya. Dari mulai mengkilokan barang sampai disuruh melakban barang yang akan dikirim. Kerja serabutan. Giliran mendalami peran sebagai seorang akuntan, kami malah disuruh menghitung uang receh lima

    Last Updated : 2021-04-12
  • Rest Area   9. Januari

    Arkananta Januari. Tiga nama yang melekat dalam satu diri manusia. Bukan cuma panggilannya yang berbeda, tapi kepribadiannya juga. Aku curiga kalau Januari ini mengidap penyakit DID alias kepribadian ganda. Nanta kepribadian songong, Januari adalah kepribadian yang lemah lembut dan penyayang. Aku tadi lihat dia saat berinteraksi dengan kakeknya. Nama Januari memang kepribadiannya yang plus, nggak ada minus. Malah aku sempat terkesima dengan sikapnya yang begitu perhatian pada sang kakek. Kepribadian Arkan aku belum tahu. Jangan-jangan Arkan adalah kepribadiannya yang psikopat. Aduh, kok, jadi ngeri gini kenal sama Januari?Namun, aku kesampingkan dulu masalah Januari. Saat ini aku sedang memikirkan Alfa yang nggak mengirimiku pesan seharian. Jangan-jangan dia ditelan bumi dan nggak bisa keluar.Selepas isya, aku mengurung diri di kamar. Sudah ada niat untuk berkutat dengan ponsel dan aplikasi wattpad. Sudah kubuka juga aplikasi KBBI dan tesaurus buat mendu

    Last Updated : 2021-04-12
  • Rest Area   10. Kripik Malapetaka

    Aku bukan cenayang apalagi peramal. Orang yang suka ramal cuaca saja kadang benar kadang salah. Aku tidak mau prediksiku meleset jauh kayak anak panah yang meluncur melewati sasaran. Aku tidak mau berpsekulasi macam-macam tentang kehadiran Januari, Nanta atau siapalah namanya, di balik meja itu. Oke, katanya dia mau beli materai. Namun, apa beli materai duduknya bisa sampai satu jam? Bahkan antrian orang pensiunan yang tadi duduk bareng sama dia saja sudah selesai sejak sepuluh menit yang lalu. Huasyem, aku nggak enak hati. Panas dingin rasanya pengin bakso. "Ini tolong kamu tempelin ke barang yang tadi baru saja masuk!" Bu Jihan memberikan bukti terima barang padaku untuk ditempelkan ke paket makanan yang akan diantar ke Taiwan."Oke, Bu."Aku berdiri. Sontak patung pancoran yang dari tadi duduk santai ala di pantai itu kelihatan. Duduknya tegak bener, Bro.Selesai melaksanakan apa yang disu

    Last Updated : 2021-04-12
  • Rest Area   11. Tragedi Cilok Adoel

    Awalnya aku merasa aneh dengan Ikal dalam film Sang Pemimpi yang begitu membenci kantor pos bahkan sampai bilang dia nggak akan pernah bekerja di sana. Walau akhirnya takdir membuat dia menjilat ludahnya sendiri dengan menempatkan Ikal di sebuah kantor pos di Bogor. Jadi, jangan pernah membenci sesuatu secara berlebihan ya, karena bisa jadi kita malah dipertemukan dengan sesuatu itu. Namun, Januari pengecualian. Kalau aku sudah bilang membencinya, selamanya akan tetap seperti itu. Pun dengan Alan Kampret plus muka songong hakikinya. Dia akan tetap kubenci meski bumi tak lagi berotasi.Balik lagi ke Ikal dan kantor pos. Aku baru mengetahui alasan Ikal membenci kantor pos di bagian scene ayahnya merasa kecewa pada prestasinya yang menurun. Saat itu Ikal benar-benar menyesal telah meninggalkan sekolahnya hingga membuat Ayah Juara Satunya dipanggil paling terakhir pas pembagian raport. Flashback ke masa kecil Ikal. Saat itu ayahnya diberi surat oleh kurir pos. Isi suratnya ada

    Last Updated : 2021-04-12
  • Rest Area   12. Rasa Bersalah

    "Iya, kamu harus tahu kalau aku tadi abis ngerjain Januari si manusia rese itu." Aku tertawa sebelum memulai cerita dengan Alfa di telepon. "Aku tadi masukin empat sendok cabe bubuk ke ciloknya. Dia pasti sekarang lagi mules-mules di WC. Hahaha ...."Di seberang sana aku cuma mendengar gumaman pelan Alfa yang kayaknya nggak terhibur dengan ceritaku."Alfa, responnya, kok, cuma hem doang?" tanyaku. Biasanya Alfa ini suka ketawa. Bacotan apapun yang keluar dari mulutku, baik yang lucu ataupun tidak, pasti Alfa selalu menanggapinya dengan ketawa. Namun, sekarang dia cuma ham-hem doang kayak yang lagi sakit gigi."Susah ketawa," jawabnya. Suaranya lemes banget."Kamu lagi sakit, ya?""Hm.""Sakit apa?""Diare.""Makanya jangan makan makanan yang pedes, Alfa. Nanti kamu

    Last Updated : 2021-04-12
  • Rest Area   13. KTP Sebagai Jaminan

    Saat tiba waktunya makan siang, aku dan Mita berniat membeli siomay di seberang jalan sana. Namun, kuurangkan niat itu karena di gerbang kantor pos sudah nemplok cicak raksasa."Kayaknya aku nggak jadi beli siomay," bisikku pada Mita yang sedari tadi senyum-senyum sendiri. Mungkin dia sedang memikirkan Ozan. Oh iya, mereka sudah mulai dekat. Sudah dua hari ini mereka sering bertukar pesan. Ini berkat aku, dong. Dengan meruntuhkan segenap harga diriku, aku meminta nomor ponsel Ozan kemarin. Aku seberani itu karena kebetulan Ozan lagi sendiri. Sebenarnya sekalian menanyakan kabar Januari. Karena sudah dua hari dia nggak masuk. Kata Ozan, Januari masih harus dirawat di rumah sakit.Sekarang, Januari sudah nyender-nyender di gerbang. Wajahnya agak sayu. Namun, senyum jahilnya yang sudah melekat di bibirnya membuat aku ingin melemparinya dengan batu."Siapa dia? Mau makan siang bareng kamu?" tanya Mita.

    Last Updated : 2021-04-12

Latest chapter

  • Rest Area   41. Ada Yang Berubah

    Bisa dibilang hari ini aku sedikit beruntung, karena selain dipertemukan dengan orang ganteng aku juga diberi kesempatan untuk mengetahui namanya. Kabar baik lainnya adalah ternyata Oppa Korea yang tadi papasan sama aku di parkiran itu adalah karyawan baru yang dikirim dari kantor pusat untuk menggantikan Bu Jihan. Di sisa-sisa masa PKL ini, akhirnya aku bisa cuci mata, nggak melulu melihat wajah Pak Arip yang kerutan. Hehe.“Mit, namanya Zikri,” bisikku pada Mita yang baru saja datang. Cewek itu rupanya kesiangan karena semalam Ozan mengajaknya jalan-jalan. Pantas saja nomor WA-nya nggak aktif semalaman rupanya teman PKL-ku ini sedang berbucin ria dengan doinya.“Manggil orang yang lebih tua itu mesti pakai sapaan di depannya, Pak atau Aa, kek.”“Dia nggak pantes disebut Pak, wajahnya masih muda. Aa juga nggak pantes, karena mukanya nggak Sunda banget, mestinya dipanggil Sayang.”Aku cengar-cengir, sedangkan Mita malah

  • Rest Area   40. Oppa Korea

    Zia mengajakku ke suatu tempat sore ini, tapi aku lagi mager banget. Kerjaan di kantor pos lumayan banyak hari ini karena Bu Jihan sudah fix resign. Aku dan Mita sampai tepar karena mengkilokan barang yang akan dikirim. Barangnya berat-berat lagi, aku yakin nanti malam punggungku pasti minta diurut.Zia: Anter, dong.Lagi-lagi Zia mengirimiku pesan. Sembari menunggu angkot lewat, aku duduk di depan warung tukang es kelapa dan menelepon Zia.“Emang mau ke mana, sih?” tanyaku saat panggilan telepon terhubung.“Mau beli kado.”“Aku heran, deh, kenapa hari ini banyak banget yang minta aku buat nganter beli kado.”“Emang siapa yang udah minta kamu anter beli kado?”“Januari.”“Buat siapa?”“Buat sang mantan,” jawabku ketus.“Wow, ada yang cemburu rupanya,” goda Zia.“Aku kesel pokoknya. Kamu beli kado buat si An

  • Rest Area   39. Kebingungan

    Kemarin, Januari langsung mengantarku pulang karena aku bilang merasa lelah. Tadinya dia masih ingin mengajakku jalan-jalan. Cowok itu merasa bersalah karena pagi harinya membatalkan janji untuk mengantarku. Aku, sih, nggak marah. Cuma ... ya, kesel aja. Lain kali aku nggak mau kalau dianter ke mana-mana lagi, kecuali saat mendadak mau pergi dan kebetulan dia lagi senggang baru aku terima tawarannya.Hari ini pun dia menawarkan untuk mengantarku ke tempat PKL. Karena aku bangun kesiangan, akhirnya aku terima tawarannya. Begitu mengirim pesan dan kubalas, motor dia sudah tiba di depan rumah. Aku yang masih sarapan sontak tersedak. Aku belum dandan, Genks, rambutku pun masih basah dan acak-acakan karena baru mandi. Kasihan Januari harus melihat penampakan jelekku."Buruan makannya, itu temen kamu udah jemput," kata Ibu sembari meletakkan

  • Rest Area   38. Gibah

    Bunyi perutku yang minta diisi membuat Disa kehilangan fokus saat mengetik. Dia menatapku, lalu menaruh laptop di meja. Niara pun berhenti membaca kata pengantar yang telah dicetaknya. Ia merapikan berkas yang berceceran di lantai. Kedua temanku ini sudah hapal kebiasaanku. Kalau sudah keroncongan otakku nggak bisa diajak berpikir. Mereka mulai merapikan dandanan dan bersiap pergi. Saatnya berburu makanan.“Kita mau ke mana?” tanya Disa usai memaki helm.“Alun?”“Alun Majalengka kejauhan,” protesku.“Alun Maja, April!” Kedua manusia ini bicara barengan. Ah, kalau sudah bersama mereka ketololanku emang suka muncul tiba-tiba.“Mau makan apa emang?” tanya Niara.“Seblak?” Disa bukan memberi jawaban, tapi dia merekomendasikan.“Bosen,” jawabku.“Baso aci aja, yuk. Ada kedai yang baru buka di sekitar terminal, menurut saudaraku, sih, enak

  • Rest Area   37. Diskusi

    “Hallo, Dis?” Aku mendekatkan ponsel ke kuping kanan, sambil terus melangkah menuju Pajagan. Tadinya aku hendak meminta kakak iparku untuk mengantarkan, biar cepet gitu naik motor. Namun, kata Kak Okta, suaminya lagi pergi mancing sama Pak Gus, tetangganya. Alhasil sekarang aku ngos-ngosan karena berjalan, udah gitu matahari mulai merangkak naik, bikin keringat mengucur di balik baju.“Kenapa, Pril?” sahut Disa.“Kamu belom berangkat?”“Belom, aku masih di pasar. Bentar lagi pulang. Nanti aku langsung OTW.”“Aku nggak jadi diantar Januari, kita bareng, ya. Aku tunggu di pasar Kadipaten kayak biasa.”“Kenapa nggak jadi dianterin?”“Ada urusan mendadak dia.”“Oh, oke. Kabarin aja kalau udah sampe. Kamu bawa helm, ‘kan?”“Iya, bawa.”“Ya udah, aku kabarin nanti

  • Rest Area   36. Emosi

    Aku baru saja berniat untuk tidur selepas memikirkan hal-hal nggak guna. Namun, bunyi ponsel yang meraung-raung membuat mataku terbuka lagi. Ck, sial. Tahukah dia bahwa pukul dua dini hari bukanlah waktu yang tepat untuk mengobrol? Di waktu seperti ini mendingan curhat sama Allah melalui sholat tahajud, bukannya mengganggu tidur Princess.Kuraih ponsel di atas kepala, lalu melihat layarnya yang menampilkan nama Januari. Buset, rupanya si biang kerok ini yang minta dihajar. Dia nggak kasihan apa sama aku? Gara-gara kunjungan mendadak yang membawa serta mantannya itu, aku jadi nggak bisa tidur. Sekarang saat mataku lelah, dia muncul membuat jantungku dugeman."April?" suaranya menyapa gendang telingaku begitu tombol hijau di layar ponsel kugeser."Hm ...." Aku menanggapinya dengan deheman, pura-pura baru bangun tidur biar dia merasa bersalah."Jangan pura-pura tidur, aku tahu kamu belum tidur. WA kamu aja baru dilihat beberapa menit lalu," sindir Januari.

  • Rest Area   35. Cemburu

    Pukul sepuluh malam, mereka masih berada di rumahku sambil memakan gorengan yang kini tersisa beberapa buah. Aku duduk menghadap televisi yang menampilkan film action. Di sebelahku ada Januari dan Anetta. Entah kenapa cewek itu mengintili Januari terus. Bahkan saat Januari ke warung untuk membeli minuman dingin pun dia ikut, sudah seperti anak kecil yang takut ditinggalkan emaknya. Ozan, Rival, dan Zia duduk melingkari meja. Hanya Zia dan Rival yang mengobrol, sedangkan Ozan rupanya sedang video call dengan Mita.“Ah, sial!” Lagi-lagi umpatan keluar dari mulut Januari, disusul dengan teriakan Anetta. Rupanya film itu menampilkan adegan tabrak-menabrak antar mobil sampai salah satu lawannya jatuh ke jurang. Aku tidak tahu judul film yang sedang ditayangkan ini apa. Biasanya di sudut televisi ditampilkan, tapi sekarang enggak.Aku sebenarnya tidak terlalu suka film yang bikin jantung dag-dig-dug alias film laga. Berbeda dengan Januari yang sepertinya sangat m

  • Rest Area   34. Canggung

    Melihat Januari tadi sore mengerjakan laporan PKL, aku jadi ketar-ketir karena belum mempersiapkan apapun. PKL tinggal sebulan lagi dan aku bingung harus melaporkan apa. Karena sudah kubilang sejak awal kalau kerjaanku di kantor pos cuma jualan materai dan jadi cewek bucin yang mengejar cowok bernama Januari. Hehe.Aku mengambil ponsel yang baru kuisi daya. Lalu, menelpon Niara dan Disa di grup untuk mendiskusikan masalah laporan ini.“Kamu lagi apa, Dis?” Aku memulai pembicaraan karena sedari tadi dua sahabatku ini diem terus kayak lagi ngemut permen. Mungkinkah Niara masih merasa canggung karena masalah Alan tempo itu?“Aku lagi main, Pril. Ini ‘kan malam Minggu,” jawab Disa. Suara bising dari knalpot kendaraan berikut klaksonnya menjadi latar suara Disa. Untungnya kupingku nggak budek, jadi masih bisa mendengarkannya.“Ugh, yang punya pacar mah beda. Kamu juga lagi malem Mingguan, Ra?” Aku memancing Niara untuk bicara. Namun, jawaban Niara hanya sebuah deh

  • Rest Area   33. Terciduk

    Begitu sampai di depan kantor pos, aku melihat motor Supra yang sering dibawa Januari terparkir rapi. Sudah dipastikan Ozan yang membawanya ke sini."Ngapain itu orang mangkal di depan kantor pos?" Aku turun dari motor Januari dan mendekati si Supra sambil celingukan mencari empunya."Paling abis nganter bebebnya," jawab Januari asal. Ia menerima helm yang kuberikan dan bersiap untuk pergi ke tempatnya PKL. "Udah, ya. Nanti sore aku tungguin di tempat tongkrongan.""Di mana?""Itu di tempat Wi-Fi."Aku mengacungkan jari jempol.Kantor pos masih sepi padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Mungkin karena ini akhir bulan. Kantor pos ramai hanya saat awal bulan saja, karena ada ratusan pensiunan yang mengambil gaji pensiun. Juga awal

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status