Kakiku baru saja mendarat di permukaan tanah dan seketika gemetar hebat tatkala melihat pemandangan sekelompok orang berseragam putih di depan rumah. Kendaraan beroda dua yang baru saja memboyongku sudah berbelok untuk disimpan Kak Danu di lahan kosong milik tetangga. Aku berjalan mendekati seluruh manusia yang kini menatapku iba.
Apa yang terjadi?
Pikiranku semakin keruh dan tak dapat berpikir lagi. Sampai aku melihat bendera kuning tertancap di pohon rambutan depan rumahku. Dunia seolah terhenti beberapa saat ketika pandanganku beralih pada sebuah keranda yang biasa digunakan untuk mengantarkan seseorang ke peristirahatan terakhirnya. Riuh rendah isak tangis yang bergerombol masuk ke telingaku terendam oleh degup jantungku yang bertalu-talu. Seseorang menyambutku di pintu rumah. Dia membentangkan tangannya meraih tubuh lemahku dalam pelukannya.
Siapa yang meninggal?
Air mata di pelupuk mataku meluruh ketika seseorang yang memelukku berbisik, "Bapak dipanggil Tuhan, Dek."
Lantunan ayat Al-Quran mencoba masuk lagi ke telingaku. Menyadarkanku bahwa ini bukanlah mimpi belaka.
"Bapak!" Aku langsung berlari masuk. Di sana Bapak sudah dikafani dan siap dikebumikan. Ibuku ada di sana membacakan surat Yasin. Kakak tertuaku memelukku erat sekali. Dia mencoba menenangkanku yang saat ini menangis hebat memanggil Bapak. Kupukuli ubin dingin yang dibalut tikar ini. Kucoba melampiaskan rasa sakitku. Namun, aku tak bisa. Rasanya seperti dihantam godam secara tiba-tiba. Sakit.
Sebuah tangan yang menyentuh pundakku membuat aku tersentak. Mataku langsung menangkap sosok Kak Okta yang saat ini sedang melambai-lambaikan tangan di depan wajahku.
"Ngelamun, Dek?" tanyanya sambil menjatuhkan diri di kursi sebelahku.
"Berpikir," jawabku sekenanya. Kuambil lagi novel yang entah kenapa tiba-tiba ada di lantai. Padahal tadi aku sedang memangkunya dan sedang kubaca.
"Berpikir atau melamun?"
"Gini, Kak Okta yang super duper bawel, menurut Prajudi Atmosudirjo ngelamun adalah salah satu cara berpikir."
"Oke, 100+21×80÷4×100-93+1.234÷2×1.980 sama dengan?"
Aku membuka mata lebar-lebar. Shock dengan kelakukan Kak Okta yang seenak jidatnya memberiku soal belibet kayak gitu. Aku hendak memakinya, tapi keduluan sama dia.
"Nah, lamunin coba. Aku nggak yakin kamu nemuin jawabannya. Paling kamu jedukin itu kepala ke tembok sebagai pelampiasan kekesalanmu."
Kutenggelamkan kau di Pangandaran, Kak! Aku melempar novel tebal ke dadanya. Lalu, berjalan masuk ke kamar dan membanting pintunya. Dasar gila! Orang genius juga pasti agak lama menjawab soal yang asal sebut tadi.
Lagipula teoriku benar, kok. Dia nggak makan bangku SMK, sih. Jadinya nggak tahu kalau ngelamun memang salah satu cara berpikir. Namun, tadi memang kesadaranku sepenuhnya tak berada di tempatnya. Aku nggak berpikir atau mengingat-ingat kejadian dengan cara melamun. Tadi ingatan itu meluap begitu saja tanpa aku berusaha mengingatnya. Agaknya otakku memang merekam dengan apik sekali kejadian itu dan enggan aku melupakan sesekon pun waktu yang terjadi sembilan bulan yang lalu.
***
Mengenang Oktober Yang Berduka
Tetes air jatuh ke permukaan tanah
Ketika senja ditelan oleh cakrawala
Siluet mega tak nampak indah
Lebur bersama jiwa yang luka
Kepada Oktober dengan sejuta pesona
Biarkan rindu terbang pada kasih tercinta
Bersama api yang membakar hati yang lara
Sampaikan, keping hati kami berdua
Menangisku, jeritku, lebur bersama nestapa
Kurangkul malaikat yang patah sayapnya
Yang menangis seraya menabur bunga di pusara
Bisikku, ciumku, doaku, tetap bersama kita
Pada Oktober yang menyeret jejaknya
Pada Oktober yang membuat patah kita
Sabarku, ikhlasku, kulepas kepergiannya
Malaikat di sampingku, tetap kujaga
Sepenggal puisi berhasil aku publikasikan di facebook. Sebenarnya aku nggak niat sama sekali bikin puisi sore ini. Namun, entah kenapa berbagai diksi bermunculan di otak dan meminta untuk dituliskan segera. Keparat memang otak ini. Suka saja meracuni segala tingkah laku untuk tunduk pada perintahnya.
Satu pesan masuk dari Alfa. Tumben sekali dia menyapa di sore hari. Biasanya dia muncul selepas magrib atau pagi-pagi sekali buat bangunin shubuh.
Alfau: Puisi kamu bikin aku sakit
Aku mengerutkan kening. Gak jelas banget ini manusia. Memangnya puisiku itu ada virusnya yang bikin orang jadi kejang-kejang dan berakhir di rumah sakit? Memangnya puisiku itu panah atau pedang sampai membuatnya berdarah dan merasa sakit? Atau puisiku ...
Sebentar aku melamun dulu buat mikir.
Me: Facebook kamu apa?
Alfa: Rahasia
Me: Dasar manusia rahasia. Jangan mau nikmatin karya orang kalau nggak apresiasi
Alfa: kan kubilang puisimu bikin sakit
Me: itu penghinaan kalau puisiku bikin kamu sakitnya di kepala belibet bahasanya atau kaku. Itu jelek namanya
Alfa: sakit hati, Ta
Me: dapet feel-nya?
Alfa: menurutku iya. Nggak tahu yang lain. Penilaian puisi kan suka subjektif
Me: apresiasi, kek
Alfa: tadi udah
Me: ck, like coment gitu. Masa nggak ngerti arti apresiasi
Alfa: aku menilai tadi, feel-nya dapet
Me: Gitu doang? Like coment dong
Alfa: aku suka. Aku barusan coment. Puisimu bikin aku sakit hati
Sialan! Dari tadi dia ngomong bolak-balik mulu. Aku kan minta dia like dan coment di kolom yang disediakan facebook. Masa gunain aplikasi facebook ciptaan Mark Zukenberg aja nggak bisa. Bikin emosi aja ini manusia.
Me: siapa sih yang bego?
Alfa: pasien rumah sakit jiwa
Me: kamu!!!
Alfa: aku nggak pernah menapakkan kaki di rumah sakit jiwa
Me: sekarang kudu
Alfa: kamu aja dulu, gih
Bener-bener minta dicium si Alfa ini. Aku mengalihkan lagi topik pembicaraan. Suer, aku kepo banget sama akun facebook si Alfa. Kalau dia suka sama puisi-puisiku, berarti dia sudah lama mantengin facebook-ku. Namun, dia nggak pernah like dan coment kayaknya. Haram hukumnya jadi silent readers. Jadi, aku kudu labrak itu orang yang nikmatin karyaku tanpa bersusah payah mainin jari di kolom like dan coment.
Me: nama facebook kamu apa?
Alfa: Rahasia
Me: jujur dong
Alfa: Rahasia
Me: Alfa, nama facebook-mu apa?
Alfa: Rahasia
Me: Ngerti bahasa indonesia nggak?
Alfa: Ngerti. Tapi nama facebook-ku Rahasia
Me: sekali lagi bilang rahasia aku santet kamu
Alfa: Nama facebook-ku 'Rahasia', kamu dari tadi kukasih tahu juga
Kampret. Ngomong kek, dari tadi. Jadi, di sini yang bego itu dia atau aku?
***
Minggu. Waktu di mana seluruh Warga Negara Indonesia melakukan acara tidur berjamaah di hari libur. Terkecuali yang lembur atau yang pergi berlibur. Kalau aku dan Ibu memilih untuk masak-masak di dapur. Menu kita hari ini yaitu ayam kecap. Masak ayamnya cuma seperempat, tapi kecapnya bisa sampai dua botol. Oke, aku berbohong soal itu.Ibu memang suka sekali masak. Sedangkan aku suka makan. Jadi, kita adalah pasangan simbiosis mutualisme. Kakak tertuaku suka masak dan suka makan. Makanya aku suka nggak kebagian makanan kalau berkunjung ke rumahnya yang baru dibangun sekitar enam bulan yang lalu itu. Sedangkan kakak keduaku nggak suka masak dan jarang makan. Namun, di rumahnya suka banyak sekali cadangan makanan. Pokoknya kalau aku ke sana, pasti perut kenyang hati pun senang.Kembali lagi ke topik masak-masak bersama ibu. Beliau sekarang sedang menyusun sayur di piring. Ayam kecap dihias ala chef Desi di acara Master Chef yang tayang di RCTI. A
Aku bukan Spongebob Squarpants yang selalu semangat tiap pergi ke Krusty Krab. Aku cuma April yang doyan molor di kasur sambil meluk guling. Buat apa pula aku bangun pukul empat pagi cuma buat melamun di kantor tempatku PKL? Toh, aku janjian sama pembimbing pukul delapan. Namun, ibu tetaplah manusia cerewet yang tidak mau anaknya terlambat. Makanya pukul empat pagi dia sudah sibuk nyentilin hidungku supaya aku bangun."Ibu, ini masih pagi. Belum adzan shubuh pula," gumamku masih dalam keadaan mata terpejam."Kamu, tuh, sholat tahajud biar dilancarkan kerja pertamanya.""Di sana aku mau belajar kerja bukan kerja beneran. Aku doanya nanti aja, Bu, pas shubuh.""Kamu, tuh ....""Udah, Bu, sejam lagi ini waktu tidurku. Ibu mau aku ngantuk di meja kerja?"Mendengar itu,
Bayangan-bayangan indah PKL dalam kepalaku buyar seketika. Karena saat pertama masuk ke kantor pos aku nggak disambut ala Princess Syahrini. Boro-boro berjalan di red carpet terus dikasih ucapan welcome. Pertama masuk ke gerbangnya, aku dan temanku langsung disuruh kerja. Barisan orang pensiunan yang mau ambil duit di tanggal dua merupakan hal yang menakjubkan. Iya, aku perhalus bahasanya biar nggak ngenes amat.Pembimbingku baru datang satu jam setelah aku mondar-mandir kayak orang linglung. Setelah menghadap kepala perusahaan, pembimbingku balik lagi.Udah gitu doang?Bete!Jadi beginilah nasibku dan Mita, temanku. Jadi kacung dadakan. Bisa disuruh gini-gitu, apa aja pokoknya. Dari mulai mengkilokan barang sampai disuruh melakban barang yang akan dikirim. Kerja serabutan. Giliran mendalami peran sebagai seorang akuntan, kami malah disuruh menghitung uang receh lima
Arkananta Januari. Tiga nama yang melekat dalam satu diri manusia. Bukan cuma panggilannya yang berbeda, tapi kepribadiannya juga. Aku curiga kalau Januari ini mengidap penyakit DID alias kepribadian ganda. Nanta kepribadian songong, Januari adalah kepribadian yang lemah lembut dan penyayang. Aku tadi lihat dia saat berinteraksi dengan kakeknya. Nama Januari memang kepribadiannya yang plus, nggak ada minus. Malah aku sempat terkesima dengan sikapnya yang begitu perhatian pada sang kakek. Kepribadian Arkan aku belum tahu. Jangan-jangan Arkan adalah kepribadiannya yang psikopat. Aduh, kok, jadi ngeri gini kenal sama Januari?Namun, aku kesampingkan dulu masalah Januari. Saat ini aku sedang memikirkan Alfa yang nggak mengirimiku pesan seharian. Jangan-jangan dia ditelan bumi dan nggak bisa keluar.Selepas isya, aku mengurung diri di kamar. Sudah ada niat untuk berkutat dengan ponsel dan aplikasi wattpad. Sudah kubuka juga aplikasi KBBI dan tesaurus buat mendu
Aku bukan cenayang apalagi peramal. Orang yang suka ramal cuaca saja kadang benar kadang salah. Aku tidak mau prediksiku meleset jauh kayak anak panah yang meluncur melewati sasaran. Aku tidak mau berpsekulasi macam-macam tentang kehadiran Januari, Nanta atau siapalah namanya, di balik meja itu. Oke, katanya dia mau beli materai. Namun, apa beli materai duduknya bisa sampai satu jam? Bahkan antrian orang pensiunan yang tadi duduk bareng sama dia saja sudah selesai sejak sepuluh menit yang lalu. Huasyem, aku nggak enak hati. Panas dingin rasanya pengin bakso. "Ini tolong kamu tempelin ke barang yang tadi baru saja masuk!" Bu Jihan memberikan bukti terima barang padaku untuk ditempelkan ke paket makanan yang akan diantar ke Taiwan."Oke, Bu."Aku berdiri. Sontak patung pancoran yang dari tadi duduk santai ala di pantai itu kelihatan. Duduknya tegak bener, Bro.Selesai melaksanakan apa yang disu
Awalnya aku merasa aneh dengan Ikal dalam film Sang Pemimpi yang begitu membenci kantor pos bahkan sampai bilang dia nggak akan pernah bekerja di sana. Walau akhirnya takdir membuat dia menjilat ludahnya sendiri dengan menempatkan Ikal di sebuah kantor pos di Bogor. Jadi, jangan pernah membenci sesuatu secara berlebihan ya, karena bisa jadi kita malah dipertemukan dengan sesuatu itu. Namun, Januari pengecualian. Kalau aku sudah bilang membencinya, selamanya akan tetap seperti itu. Pun dengan Alan Kampret plus muka songong hakikinya. Dia akan tetap kubenci meski bumi tak lagi berotasi.Balik lagi ke Ikal dan kantor pos. Aku baru mengetahui alasan Ikal membenci kantor pos di bagian scene ayahnya merasa kecewa pada prestasinya yang menurun. Saat itu Ikal benar-benar menyesal telah meninggalkan sekolahnya hingga membuat Ayah Juara Satunya dipanggil paling terakhir pas pembagian raport. Flashback ke masa kecil Ikal. Saat itu ayahnya diberi surat oleh kurir pos. Isi suratnya ada
"Iya, kamu harus tahu kalau aku tadi abis ngerjain Januari si manusia rese itu." Aku tertawa sebelum memulai cerita dengan Alfa di telepon. "Aku tadi masukin empat sendok cabe bubuk ke ciloknya. Dia pasti sekarang lagi mules-mules di WC. Hahaha ...."Di seberang sana aku cuma mendengar gumaman pelan Alfa yang kayaknya nggak terhibur dengan ceritaku."Alfa, responnya, kok, cuma hem doang?" tanyaku. Biasanya Alfa ini suka ketawa. Bacotan apapun yang keluar dari mulutku, baik yang lucu ataupun tidak, pasti Alfa selalu menanggapinya dengan ketawa. Namun, sekarang dia cuma ham-hem doang kayak yang lagi sakit gigi."Susah ketawa," jawabnya. Suaranya lemes banget."Kamu lagi sakit, ya?""Hm.""Sakit apa?""Diare.""Makanya jangan makan makanan yang pedes, Alfa. Nanti kamu
Saat tiba waktunya makan siang, aku dan Mita berniat membeli siomay di seberang jalan sana. Namun, kuurangkan niat itu karena di gerbang kantor pos sudah nemplok cicak raksasa."Kayaknya aku nggak jadi beli siomay," bisikku pada Mita yang sedari tadi senyum-senyum sendiri. Mungkin dia sedang memikirkan Ozan. Oh iya, mereka sudah mulai dekat. Sudah dua hari ini mereka sering bertukar pesan. Ini berkat aku, dong. Dengan meruntuhkan segenap harga diriku, aku meminta nomor ponsel Ozan kemarin. Aku seberani itu karena kebetulan Ozan lagi sendiri. Sebenarnya sekalian menanyakan kabar Januari. Karena sudah dua hari dia nggak masuk. Kata Ozan, Januari masih harus dirawat di rumah sakit.Sekarang, Januari sudah nyender-nyender di gerbang. Wajahnya agak sayu. Namun, senyum jahilnya yang sudah melekat di bibirnya membuat aku ingin melemparinya dengan batu."Siapa dia? Mau makan siang bareng kamu?" tanya Mita.