Pukul sepuluh malam, mereka masih berada di rumahku sambil memakan gorengan yang kini tersisa beberapa buah. Aku duduk menghadap televisi yang menampilkan film action. Di sebelahku ada Januari dan Anetta. Entah kenapa cewek itu mengintili Januari terus. Bahkan saat Januari ke warung untuk membeli minuman dingin pun dia ikut, sudah seperti anak kecil yang takut ditinggalkan emaknya. Ozan, Rival, dan Zia duduk melingkari meja. Hanya Zia dan Rival yang mengobrol, sedangkan Ozan rupanya sedang video call dengan Mita.
“Ah, sial!” Lagi-lagi umpatan keluar dari mulut Januari, disusul dengan teriakan Anetta. Rupanya film itu menampilkan adegan tabrak-menabrak antar mobil sampai salah satu lawannya jatuh ke jurang. Aku tidak tahu judul film yang sedang ditayangkan ini apa. Biasanya di sudut televisi ditampilkan, tapi sekarang enggak.
Aku sebenarnya tidak terlalu suka film yang bikin jantung dag-dig-dug alias film laga. Berbeda dengan Januari yang sepertinya sangat m
Aku baru saja berniat untuk tidur selepas memikirkan hal-hal nggak guna. Namun, bunyi ponsel yang meraung-raung membuat mataku terbuka lagi. Ck, sial. Tahukah dia bahwa pukul dua dini hari bukanlah waktu yang tepat untuk mengobrol? Di waktu seperti ini mendingan curhat sama Allah melalui sholat tahajud, bukannya mengganggu tidur Princess.Kuraih ponsel di atas kepala, lalu melihat layarnya yang menampilkan nama Januari. Buset, rupanya si biang kerok ini yang minta dihajar. Dia nggak kasihan apa sama aku? Gara-gara kunjungan mendadak yang membawa serta mantannya itu, aku jadi nggak bisa tidur. Sekarang saat mataku lelah, dia muncul membuat jantungku dugeman."April?" suaranya menyapa gendang telingaku begitu tombol hijau di layar ponsel kugeser."Hm ...." Aku menanggapinya dengan deheman, pura-pura baru bangun tidur biar dia merasa bersalah."Jangan pura-pura tidur, aku tahu kamu belum tidur. WA kamu aja baru dilihat beberapa menit lalu," sindir Januari.
“Hallo, Dis?” Aku mendekatkan ponsel ke kuping kanan, sambil terus melangkah menuju Pajagan. Tadinya aku hendak meminta kakak iparku untuk mengantarkan, biar cepet gitu naik motor. Namun, kata Kak Okta, suaminya lagi pergi mancing sama Pak Gus, tetangganya. Alhasil sekarang aku ngos-ngosan karena berjalan, udah gitu matahari mulai merangkak naik, bikin keringat mengucur di balik baju.“Kenapa, Pril?” sahut Disa.“Kamu belom berangkat?”“Belom, aku masih di pasar. Bentar lagi pulang. Nanti aku langsung OTW.”“Aku nggak jadi diantar Januari, kita bareng, ya. Aku tunggu di pasar Kadipaten kayak biasa.”“Kenapa nggak jadi dianterin?”“Ada urusan mendadak dia.”“Oh, oke. Kabarin aja kalau udah sampe. Kamu bawa helm, ‘kan?”“Iya, bawa.”“Ya udah, aku kabarin nanti
Bunyi perutku yang minta diisi membuat Disa kehilangan fokus saat mengetik. Dia menatapku, lalu menaruh laptop di meja. Niara pun berhenti membaca kata pengantar yang telah dicetaknya. Ia merapikan berkas yang berceceran di lantai. Kedua temanku ini sudah hapal kebiasaanku. Kalau sudah keroncongan otakku nggak bisa diajak berpikir. Mereka mulai merapikan dandanan dan bersiap pergi. Saatnya berburu makanan.“Kita mau ke mana?” tanya Disa usai memaki helm.“Alun?”“Alun Majalengka kejauhan,” protesku.“Alun Maja, April!” Kedua manusia ini bicara barengan. Ah, kalau sudah bersama mereka ketololanku emang suka muncul tiba-tiba.“Mau makan apa emang?” tanya Niara.“Seblak?” Disa bukan memberi jawaban, tapi dia merekomendasikan.“Bosen,” jawabku.“Baso aci aja, yuk. Ada kedai yang baru buka di sekitar terminal, menurut saudaraku, sih, enak
Kemarin, Januari langsung mengantarku pulang karena aku bilang merasa lelah. Tadinya dia masih ingin mengajakku jalan-jalan. Cowok itu merasa bersalah karena pagi harinya membatalkan janji untuk mengantarku. Aku, sih, nggak marah. Cuma ... ya, kesel aja. Lain kali aku nggak mau kalau dianter ke mana-mana lagi, kecuali saat mendadak mau pergi dan kebetulan dia lagi senggang baru aku terima tawarannya.Hari ini pun dia menawarkan untuk mengantarku ke tempat PKL. Karena aku bangun kesiangan, akhirnya aku terima tawarannya. Begitu mengirim pesan dan kubalas, motor dia sudah tiba di depan rumah. Aku yang masih sarapan sontak tersedak. Aku belum dandan, Genks, rambutku pun masih basah dan acak-acakan karena baru mandi. Kasihan Januari harus melihat penampakan jelekku."Buruan makannya, itu temen kamu udah jemput," kata Ibu sembari meletakkan
Zia mengajakku ke suatu tempat sore ini, tapi aku lagi mager banget. Kerjaan di kantor pos lumayan banyak hari ini karena Bu Jihan sudah fix resign. Aku dan Mita sampai tepar karena mengkilokan barang yang akan dikirim. Barangnya berat-berat lagi, aku yakin nanti malam punggungku pasti minta diurut.Zia: Anter, dong.Lagi-lagi Zia mengirimiku pesan. Sembari menunggu angkot lewat, aku duduk di depan warung tukang es kelapa dan menelepon Zia.“Emang mau ke mana, sih?” tanyaku saat panggilan telepon terhubung.“Mau beli kado.”“Aku heran, deh, kenapa hari ini banyak banget yang minta aku buat nganter beli kado.”“Emang siapa yang udah minta kamu anter beli kado?”“Januari.”“Buat siapa?”“Buat sang mantan,” jawabku ketus.“Wow, ada yang cemburu rupanya,” goda Zia.“Aku kesel pokoknya. Kamu beli kado buat si An
Bisa dibilang hari ini aku sedikit beruntung, karena selain dipertemukan dengan orang ganteng aku juga diberi kesempatan untuk mengetahui namanya. Kabar baik lainnya adalah ternyata Oppa Korea yang tadi papasan sama aku di parkiran itu adalah karyawan baru yang dikirim dari kantor pusat untuk menggantikan Bu Jihan. Di sisa-sisa masa PKL ini, akhirnya aku bisa cuci mata, nggak melulu melihat wajah Pak Arip yang kerutan. Hehe.“Mit, namanya Zikri,” bisikku pada Mita yang baru saja datang. Cewek itu rupanya kesiangan karena semalam Ozan mengajaknya jalan-jalan. Pantas saja nomor WA-nya nggak aktif semalaman rupanya teman PKL-ku ini sedang berbucin ria dengan doinya.“Manggil orang yang lebih tua itu mesti pakai sapaan di depannya, Pak atau Aa, kek.”“Dia nggak pantes disebut Pak, wajahnya masih muda. Aa juga nggak pantes, karena mukanya nggak Sunda banget, mestinya dipanggil Sayang.”Aku cengar-cengir, sedangkan Mita malah
Matahari belum tampak, tapi aku sudah merusak mimpi indahku demi mengejar metromini. Jangan berpikir kalau aku akan liburan. Sepuluh ribu persen tidak! Biar pun ini masih suasana lebaran plus holiday, aku nggak minat pergi berlibur. Iya, nggak minat karena nggak punya duit. Aku suci sekali selepas puasa Ramadhan. Suci hati, suci diri, suci saku pula.Persiapan sekolahku serba mendadak. Mendadak nyari sepatu, mendadak nyari kaos kaki yang sebelahnya ternyata digondol curut, mendadak nyari buku padahal aku belum beli buku, mendadak mengejar Ibu buat tanda tangan raport, dan kejadian mendadak lainnya yang membuat kepalaku mau pecah detik ini juga. Ternyata berangkat sekolah di hari libur itu nggak menyenangkan, Genks!Lebih sialnya lagi, matahari yang belum menyembul itu ternyata bukan karena ini masih pagi. Namun, cuaca mendung luar biasa. Hujan rintik menghiasi langkah penuh doaku ini. Hujan di bulan Juni. Aku jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono. A
Acara makan-makan seblak di kost Mega sudah selesai. Menyisakan keadaan kost-an yang mirip helikopter pecah. Bubuk rengginang dan rempeyek berserakan di mana-mana. Kuah seblak yang muncrat di sana-sini. Lalu, wadah seblak menggunung di tengah-tengah.Kost Mega memang selalu menjadi markas gengster. Yang biasa mampir itu geng k-pop yang terdiri dari tiga personil; geng dangdut terdiri dari empat personil; geng JD yang datang cuma satu orang dari delapan personil; dan yang terakhir geng tak bernama yang terdiri dari aku, Niara, dan Disa.Empat puluh empat murid di kelasku memang berkubu-kubu. Namun, kalau sudah menyangkut PR dan sejenisnya, kami pasti bersatu. Kalau ada masalah yang menyangkut kelas, kami juga siap membela. Mei lalu, salah satu murid di kelasku juga punya masalah dengan salah satu guru. Masalah lainnya muncul, mengakibatkan kami berselisih paham dengan kelas sebelah. Aku dapat melihat emosi tiap o