Aku bukan cenayang apalagi peramal. Orang yang suka ramal cuaca saja kadang benar kadang salah. Aku tidak mau prediksiku meleset jauh kayak anak panah yang meluncur melewati sasaran. Aku tidak mau berpsekulasi macam-macam tentang kehadiran Januari, Nanta atau siapalah namanya, di balik meja itu. Oke, katanya dia mau beli materai. Namun, apa beli materai duduknya bisa sampai satu jam? Bahkan antrian orang pensiunan yang tadi duduk bareng sama dia saja sudah selesai sejak sepuluh menit yang lalu. Huasyem, aku nggak enak hati. Panas dingin rasanya pengin bakso.
"Ini tolong kamu tempelin ke barang yang tadi baru saja masuk!" Bu Jihan memberikan bukti terima barang padaku untuk ditempelkan ke paket makanan yang akan diantar ke Taiwan."Oke, Bu."
Aku berdiri. Sontak patung pancoran yang dari tadi duduk santai ala di pantai itu kelihatan. Duduknya tegak bener, Bro.
Selesai melaksanakan apa yang disuruh Bu Jihan, kini beliau memberi kami tugas lagi untuk mengecap surat. Kalau nggak salah jumlah suratnya seratus dua. Kubagi dua dengan Mita biar adil.
Sekadar info, cap milik kantor pos itu gagangnya panjang. Udah mirip palu kalo dipake. Digetok ke surat yang di bawahnya ada papan balok. Ngecapnya juga nggak asal getok, harus pakai tenaga. Tadinya kupikir gampang. Dari kemarin aku lihatin Bu Jihan ngecap kayak biasa aja. Namun, pas giliran aku, kok, susah ya? Serius ini mah. Kadang capnya cuma kelihatan lingkarannya doang bacaannya nggak keliatan karena kurang kenceng getoknya.
Tawa Januari yang samar-samar kudengar menambah kekesalanku. Sialan, kayaknya dia minta digetok pakai cap antik ini. Kulirik sekilas Januari. Mata kami bertubrukan beberapa saat. Selanjutnya, dia menjulurkan lidahnya kayak ular. Siluman ular kampret. Dia ngejek atau bagaimana? Aku mendengus. Kuangkat tangan dan kutunjukkan jari tengah padanya.
Tepat pukul 12.00 WIB dia keluar dari ruangan ini. Aku menghela napas lega. Tak kuperhatikan lagi dia ke mana. Karena aku disibukkan lagi dengan formulir western union yang mesti diisi.
Aku dan temanku keluar dari ruangan sepuluh menit kemudian untuk sholat. Namun, saat keluar aku dikagetkan lagi dengan kehadiran Januari di parkiran belakang. Aku nggak tahu dia lagi ngapain. Yang pasti saat mata kami bertubrukan, dia melambaikan tangan.
Aku menghampirinya. Wajahku masih menunjukkan ekspresi judes kuadrat.
"Maksudmu apa tadi ngetawain aku pas ngecap surat?" tanyaku to the point sambil menendang tulang keringnya. Januari melotot. Kaget campur marah dan mungkin ngerasain sakit.
"Aku mestinya jaga jarak aman sedari tadi."
"Iya. Jaga jaraknya sampe sepuluh kilometer."
Januari mundur lima langkah. Lalu, ia menyodorkan sebuah kantong kresek.
"Itu apa?"
"Dari Zia."
Aku maju agar bisa mendekat ke arah Januari dan mengambil kresek itu. Namun, Januari malah makin mundur.
"Kenapa, sih?" tanyaku bingung.
"Jaga jarak aman!!!"
Aku memutar bola mata. "Ya, tapi nggak gitu juga."
"Terus kudu gimana?"
"Simpen kreseknya di bawah. Pergi sana!"
Aku tahu ucapanku terkesan mengusirnya. Namun, aku benar-benar nggak tahan sama sikap ajaib Januari. Tadi dia melambai-lambai ala Syahrini menyuruhku mendekat. Sekarang giliran aku dekat, dia jaga jarak aman. Bodo amat, deh. Pusing aku mikirin dia.
Januari menuruti perintahku. Dia meletakkan kresek di bawah dan kabur tanpa pamit. Kuambil kresek pemberian Zia. Ternyata isinya kripik pedas yang kupesan kemarin. Ah, lupa uangnya. Nanti sajalah aku ke rumah Zia. Daripada kutitipkan lagi ke si Januari kampret.
***
"Assalamualaikum, Zia!"
Suaraku mungkin kelewat merdu sampai-sampai tenggelam dalam suara ketawanya banyak orang dalam rumah Zia. Aku mengucap salam lagi. Kali ini dengan suara yang dinaikkan beberapa oktaf. Dua menit kemudian, datanglah sekawanan ternak dari dalam rumah. Tiga orang laki-laki. Yang satu membawa sebuah ulekan; satunya lagi membawa piring dan pisau; laki-laki terakhir membawa dua kresek berisi mangga, bengkoang, jambu air, dan pepaya. Laki-laki terakhir cukup kukenali wajahnya. Saat matanya menemukanku yang lagi berdiri kayak patung, alisnya tiba-tiba naik. Aku yang dilihatin langsung cemberut dan masuk ke rumah Zia tanpa izin. Bodo amat dikira nggak sopan. Yang penting aku harus menghindari manusia purba bernama Januari itu.
Aku mendapati Zia sedang mengeluarkan banyak banget es batu dari kulkasnya.
"Zia," panggilku. Dia menoleh dan langsung terkejut dengan kedatangannku yang tiba-tiba.
"Kok nggak bilang mau ke sini?" tanya Zia. Tangannya masih lihai memasukkan beberapa es batu ke dalam teko. Kemudian ia memasukkan air dan sirup juga. Beberapa gelas di atas nampan ia bawa keluar. Aku enggan mengikutinya, karena kutahu di luar ada Januari kampret yang selalu membuat emosiku naik turun kayak halilintar.
Usai mengantarkan gelas, Zia kembali lagi hendak mengantarkan teko. Namun, kutahan dulu karena aku mau bicara.
"Kenapa, April?"
"Mama mana?" tanyaku menanyakan kehadiran Mama Zia yang sudah kuanggap ibu sendiri.
"Ada di kamar. Lagi tidur."
"Kok, mereka ada di sini? Memang Mama ngizinin?"
"Mereka udah sering main, Pril. Orang rumah Ozan juga itu di samping rumahku. Memang kenapa? Eh, kamu langsung ke sini, ya? Mau ngajak main? Oh iya, kripik pesananmu udah dianterin Januari, kan?" Zia ini kalau ngomong memang suka merepet aja kayak petasan. Aku jadi bingung mau jawab pertanyaannya yang mana dulu.
"Mau nganterin uang kripik. Iya. Udah."
"Ayo ikutan makan rujak. Kita lihatin si Ozan ngulek sambelnya. Pasti kamu ngakak nggak kira-kira kalau lihat dia ngulek."
"Ozan itu yang mana?"
"Yang mukanya agak item, rambutnya botak."
"Zia, tiga laki-laki tadi rambutnya botak semua macem Upin Ipin."
"Masa, sih? Upin ada rambutnya. Tiga orang tadi juga ada rambutnya nggak plontos kayak si Ipin."
"Terus yang matanya sipit itu gebetan kamu?"
Zia nyengir. "Ganteng nggak?"
"Ganteng. Aku tikung boleh?" Aku ikutan menunjukkan jajaran gigi putihku yang rapi.
"Berani kamu nikung, kita putus."
"Santai, Sayang."
Di luar, si manusia biadab alias Januari berteriak memanggil Zia. "Zia, kamu nyediain gelas buat diisi pasir, nih?"
Aku mendengus mendengar suaranya yang menyimpan makna menyuruh Zia ngambilin minum. Cih, sebenarnya siapa yang tuan rumah di sini?
"Diem, Zia. Kalau mereka mau minum ya tinggal ambil sini. Kamu mau ya diperlakukan kayak babu di rumah sendiri?"
"Tamu adalah raja."
"Raja jenongmu. Udah biarin, deh, itu di depan juga ada warung. Mereka tinggal beli air."
"Lah, terus ini air di teko mau diapain? Kamu sanggup ngabisin ini?"
Niatnya mau bikin mereka tersiksa, malah aku yang dipaksa minum air seteko. Kurang ajar!
"Ayo keluar! Kita makan rujak bareng. Kamu lagi masa-masa PDKT sama Januari, iya kan?"
"Nyesel aku kenal dia."
"Nyesel apa bersyukur?"
"Ih, gedek lama-lama ngomong sama kamu, Zia. Udah terkontaminasi sama Januari kamu, ya?"
"Enggak."
"Udahlah aku mau pulang. Nih, uang kripik."
Aku menaruh beberapa lembar uang sepuluh ribuan dan mengucapkan salam sebelum keluar. Sampai di luar, kulihat trio kwek-kwek sedang makan rujak sambil mangap-mangap kepedesan. Muka mereka merah semua. Aku pengin ngakak saat melihat Januari memasukan potongan bengkuang banyak banget ke mulutnya demi menghilangkan rasa pedas. Saat Zia datang membawa teko, mereka langsung menyerbunya.
"Pril, pulang ke mana?" tanya Januari usai aku memakai sepatu.
"Rumah."
"Syukurlah kalau punya rumah."
"Iya, daripada kamu harus numpang di rumah orang."
"Nginep, bukan numpang."
"Oh, tinggal di rumah orang selama tiga bulan itu nginep namanya."
"Jadi cewek nyebelin banget."
"Makasih."
Aku segera meninggalkan rumah Zia sebelum emosiku muncul dan kutelan hidup-hidup itu manusia purba. Aku nggak akan meladeninya lagi. Harus jaga jarak aman. Aku takut dilaporkan ke Komnas HAM cuma gara-gara menganiaya itu orang.
***
Awalnya aku merasa aneh dengan Ikal dalam film Sang Pemimpi yang begitu membenci kantor pos bahkan sampai bilang dia nggak akan pernah bekerja di sana. Walau akhirnya takdir membuat dia menjilat ludahnya sendiri dengan menempatkan Ikal di sebuah kantor pos di Bogor. Jadi, jangan pernah membenci sesuatu secara berlebihan ya, karena bisa jadi kita malah dipertemukan dengan sesuatu itu. Namun, Januari pengecualian. Kalau aku sudah bilang membencinya, selamanya akan tetap seperti itu. Pun dengan Alan Kampret plus muka songong hakikinya. Dia akan tetap kubenci meski bumi tak lagi berotasi.Balik lagi ke Ikal dan kantor pos. Aku baru mengetahui alasan Ikal membenci kantor pos di bagian scene ayahnya merasa kecewa pada prestasinya yang menurun. Saat itu Ikal benar-benar menyesal telah meninggalkan sekolahnya hingga membuat Ayah Juara Satunya dipanggil paling terakhir pas pembagian raport. Flashback ke masa kecil Ikal. Saat itu ayahnya diberi surat oleh kurir pos. Isi suratnya ada
"Iya, kamu harus tahu kalau aku tadi abis ngerjain Januari si manusia rese itu." Aku tertawa sebelum memulai cerita dengan Alfa di telepon. "Aku tadi masukin empat sendok cabe bubuk ke ciloknya. Dia pasti sekarang lagi mules-mules di WC. Hahaha ...."Di seberang sana aku cuma mendengar gumaman pelan Alfa yang kayaknya nggak terhibur dengan ceritaku."Alfa, responnya, kok, cuma hem doang?" tanyaku. Biasanya Alfa ini suka ketawa. Bacotan apapun yang keluar dari mulutku, baik yang lucu ataupun tidak, pasti Alfa selalu menanggapinya dengan ketawa. Namun, sekarang dia cuma ham-hem doang kayak yang lagi sakit gigi."Susah ketawa," jawabnya. Suaranya lemes banget."Kamu lagi sakit, ya?""Hm.""Sakit apa?""Diare.""Makanya jangan makan makanan yang pedes, Alfa. Nanti kamu
Saat tiba waktunya makan siang, aku dan Mita berniat membeli siomay di seberang jalan sana. Namun, kuurangkan niat itu karena di gerbang kantor pos sudah nemplok cicak raksasa."Kayaknya aku nggak jadi beli siomay," bisikku pada Mita yang sedari tadi senyum-senyum sendiri. Mungkin dia sedang memikirkan Ozan. Oh iya, mereka sudah mulai dekat. Sudah dua hari ini mereka sering bertukar pesan. Ini berkat aku, dong. Dengan meruntuhkan segenap harga diriku, aku meminta nomor ponsel Ozan kemarin. Aku seberani itu karena kebetulan Ozan lagi sendiri. Sebenarnya sekalian menanyakan kabar Januari. Karena sudah dua hari dia nggak masuk. Kata Ozan, Januari masih harus dirawat di rumah sakit.Sekarang, Januari sudah nyender-nyender di gerbang. Wajahnya agak sayu. Namun, senyum jahilnya yang sudah melekat di bibirnya membuat aku ingin melemparinya dengan batu."Siapa dia? Mau makan siang bareng kamu?" tanya Mita.
Rumahku itu mungil banget. Hanya terbagi dalam enam ruangan: tiga kamar tidur, satu ruang tamu yang merangkap dengan ruang TV, satu kamar mandi, dan satu dapur yang lumayan luas karena dibagi dengan tempat nyuci baju dan nyuci piring. Suara apapun--termasuk suara jangkrik--di luar rumah bakal terdengar nyaring sampai ke dapur. Meski sekarang posisiku sedang di kamar mandi dan suara air ikut menciptakan paduan suara yang merdu, suara tamu tak di undang di luar juga masih terdengar jelas. Dia kayak nggak sabaran mengucapkan salam sambil gedor-gedor pintu. Mungkin dia mikirnya aku tuli, tapi serius ini aku lagi berkepentingan di WC dan nggak bisa diganggu gugat."April ada di dalem, A. Tunggu aja. Tadi udah pulang," teriak Bi Nani, tetanggaku.Ah, ya. Rumah mungilku ini adalah satu-satunya rumah yang menghadap ke barat. Letaknya juga di atas. Ada tanjakan untuk kendaraan pribadi. Lalu, ada teras yang nggak cukup luas. Bi Nani rumahnya menghadap utara, berhada
Malam minggu adalah malam di mana para jomblowan dan jomblowati bergelung di selimut ditemani ponsel yang menyala. Jangan pikir mereka sibuk berbalas pesan dengan orang lain di sosial media, yang ada mereka sedang scrool-scrool halaman Raja Quotes.Terkecuali aku. Sebagai jomblowati yang keren dan memiliki hati setegar tiang listrik, aku anti kesepian. Ponselku ramai kayak ada organ dangdut di mana para warga bakal berkumpul. Grup chat dengan kedua sahabatku sudah nyampe 999+. Grup chat kelas sudah nyampe 999+. Ponselku sampai error saking banyaknya chat yang masuk.Niara : VcDisa : Yo pidah lineMe : BentarDisa : Cepet elahMe : sabar woyNiara : ayoMe : Yo pindahObrolan pindah ke aplikasi Line. Biar kita bisa video call bertiga. Disa memulai lebih dulu. Sedangkan, aku kini sibuk mencari-cari senter. Kenap
Pagi itu matahari terik sekali. Oktober yang biasanya dikenal dengan musim hujan, malah menampakkan bola api panas yang memancar ke setiap sudut bumi. Langit sama sekali nggak menumpahkan tangis saat menyaksikan salah satu penghuni bumi ditimbun tanah dan ditaburi bunga. Yang ada malah hujan dari mata yang merembes sejak tadi. Berkali-kali dipaksa berhenti, air sialan itu tetap saja membasahi pipi.Mati rasa. Aku mengalami itu. Aku nggak bisa melakukan apapun lagi selain menangis. Apalagi ketika aku melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya. Wajah damai yang menampakkan senyum terbaiknya. Namun, itu hanya sebentar. Sebentar sekali. Wajah itu kembali ditutupi kain kafan. Begitu cepat. Seolah-olah orang yang membukakan kain itu melarangku menatap wajah Bapak terlalu lama. Dia pun tak memberiku kesempatan untuk memeluk jasad Bapak. Dia tak memperbolehkanku mengotori kain bersih itu dengan air mataku. Katanya, air mataku haram untuk membekas di sana. Karena Bapak mungkin saja
Alan benar-benar menepati janjinya untuk menjemputku di kantor. Sepuluh menit sebelum aku keluar, dia sudah datang. Kini dia masih asyik bercakap-cakap dengan Pak Galih, tukang parkir. Aku melambaikan tangan padanya seraya mendekat. Alan yang menyadari kalau aku sudah selesai bekerja langsung tersenyum padaku. Gila! Baru kali ini aku melihat senyum lebar Alan. Biasanya mukanya itu kan selalu dihiasi kesinisan yang hakiki."Mau makan dulu, Pril?" tanyanya."Nggak.""Makan dululah. Aku tahu kamu pasti capek."Kiamat 2018 kalau Alan bisa semanis ini. Aku cuma mesem-mesem. Lalu, kami pamitan pada Pak Galih. Aku menerima helm yang diberikan Alan. Selanjutnya, motor Beat Alan membelah jalanan Jatiwangi. Suasana masih cukup gerah, Sist. Namun, hatiku hangat-hangat saja nggak sampai mencapai suhu maksimal dan membuat kebakaran."Kita mau makan di mana?" tanyaku ketika motor Alan sudah melewati lampu merah. Biasanya tempat tongkrongan yan
Entah sudah hari keberapa Alfa menghilang. Status WA-nya masih menampilkan laptop merek Acer dengan label DIJUAL dan selalu ia perbarui harganya. Hari demi hari dia rutin meng-update perubahan harga laptopnya yang kian menurun. Kini berada pada harga satu juta rupiah. Gila! Padahal saat pertama ia mengunggah foto itu, harga yang ia tawarkan yaitu empat juta rupiah.WA Alfa selalu aktif. Namun, dia tak pernah membalas pesanku. Terakhir kali dia membalas pesanku ketika aku baru saja memberitahunya kalau aku sedang jatuh cinta pada seseorang. Malam itu, niatnya aku mau menceritakan tentang Alan, tapi Alfa malah kabur dan nggak membalas lagi pesanku. Dia membuat alasan akan pergi bersama temannya. Kukatakan padanya, balesnya kapan aja pokoknya aku mau cerita. Dan tampaknya dia belum membaca pesan itu hingga kini.Jujur saja aku merasa kehilangan. Aku seperti telah ditinggalkan oleh sahabatku. Aku pernah merasakan ini sebelumnya. Ditinggalkan tanpa alasan yang jelas