Share

10. Kripik Malapetaka

Aku bukan cenayang apalagi peramal. Orang yang suka ramal cuaca saja kadang benar kadang salah. Aku tidak mau prediksiku meleset jauh kayak anak panah yang meluncur melewati sasaran. Aku tidak mau berpsekulasi macam-macam tentang kehadiran Januari, Nanta atau siapalah namanya, di balik meja itu. Oke, katanya dia mau beli materai. Namun, apa beli materai duduknya bisa sampai satu jam? Bahkan antrian orang pensiunan yang tadi duduk bareng sama dia saja sudah selesai sejak sepuluh menit yang lalu. Huasyem, aku nggak enak hati.  Panas dingin rasanya pengin bakso.  

"Ini tolong kamu tempelin ke barang yang tadi baru saja masuk!" Bu Jihan memberikan bukti terima barang padaku untuk ditempelkan ke paket makanan yang akan diantar ke Taiwan.

"Oke, Bu."

Aku berdiri. Sontak patung pancoran yang dari tadi duduk santai ala di pantai itu kelihatan. Duduknya tegak bener, Bro.

Selesai melaksanakan apa yang disuruh Bu Jihan, kini beliau memberi kami tugas lagi untuk mengecap surat. Kalau nggak salah jumlah suratnya seratus dua. Kubagi dua dengan Mita biar adil.

Sekadar info, cap milik kantor pos itu gagangnya panjang. Udah mirip palu kalo dipake. Digetok ke surat yang di bawahnya ada papan balok. Ngecapnya juga nggak asal getok, harus pakai tenaga. Tadinya kupikir gampang. Dari kemarin aku lihatin Bu Jihan ngecap kayak biasa aja. Namun, pas giliran aku, kok, susah ya? Serius ini mah. Kadang capnya cuma kelihatan lingkarannya doang bacaannya nggak keliatan karena kurang kenceng getoknya.

Tawa Januari yang samar-samar kudengar menambah kekesalanku. Sialan, kayaknya dia minta digetok pakai cap antik ini. Kulirik sekilas Januari. Mata kami bertubrukan beberapa saat. Selanjutnya, dia menjulurkan lidahnya kayak ular. Siluman ular kampret. Dia ngejek atau bagaimana? Aku mendengus. Kuangkat tangan dan kutunjukkan jari tengah padanya.

Tepat pukul 12.00 WIB dia keluar dari ruangan ini. Aku menghela napas lega. Tak kuperhatikan lagi dia ke mana. Karena aku disibukkan lagi dengan formulir western union yang mesti diisi.

Aku dan temanku keluar dari ruangan sepuluh menit kemudian untuk sholat. Namun, saat keluar aku dikagetkan lagi dengan kehadiran Januari di parkiran belakang. Aku nggak tahu dia lagi ngapain. Yang pasti saat mata kami bertubrukan, dia melambaikan tangan.

Aku menghampirinya. Wajahku masih menunjukkan ekspresi judes kuadrat.

"Maksudmu apa tadi ngetawain aku pas ngecap surat?" tanyaku to the point sambil menendang tulang keringnya. Januari melotot. Kaget campur marah dan mungkin ngerasain sakit.

"Aku mestinya jaga jarak aman sedari tadi."

"Iya. Jaga jaraknya sampe sepuluh kilometer."

Januari mundur lima langkah. Lalu, ia menyodorkan sebuah kantong kresek.

"Itu apa?"

"Dari Zia."

Aku maju agar bisa mendekat ke arah Januari dan mengambil kresek itu. Namun, Januari malah makin mundur.

"Kenapa, sih?" tanyaku bingung.

"Jaga jarak aman!!!"

Aku memutar bola mata. "Ya, tapi nggak gitu juga."

"Terus kudu gimana?"

"Simpen kreseknya di bawah. Pergi sana!"

Aku tahu ucapanku terkesan mengusirnya. Namun, aku benar-benar nggak tahan sama sikap ajaib Januari. Tadi dia melambai-lambai ala Syahrini menyuruhku mendekat. Sekarang giliran aku dekat, dia jaga jarak aman. Bodo amat, deh. Pusing aku mikirin dia.

Januari menuruti perintahku. Dia meletakkan kresek di bawah dan kabur tanpa pamit. Kuambil kresek pemberian Zia. Ternyata isinya kripik pedas yang kupesan kemarin. Ah, lupa uangnya. Nanti sajalah aku ke rumah Zia. Daripada kutitipkan lagi ke si Januari kampret.

***

"Assalamualaikum, Zia!"

Suaraku mungkin kelewat merdu sampai-sampai tenggelam dalam suara ketawanya banyak orang dalam rumah Zia. Aku mengucap salam lagi. Kali ini dengan suara yang dinaikkan beberapa oktaf. Dua menit kemudian, datanglah sekawanan ternak dari dalam rumah. Tiga orang laki-laki. Yang satu membawa sebuah ulekan; satunya lagi membawa piring dan pisau; laki-laki terakhir membawa dua kresek berisi mangga, bengkoang, jambu air, dan pepaya. Laki-laki terakhir cukup kukenali wajahnya. Saat matanya menemukanku yang lagi berdiri kayak patung, alisnya tiba-tiba naik. Aku yang dilihatin langsung cemberut dan masuk ke rumah Zia tanpa izin. Bodo amat dikira nggak sopan. Yang penting aku harus menghindari manusia purba bernama Januari itu.

Aku mendapati Zia sedang mengeluarkan banyak banget es batu dari kulkasnya.

"Zia," panggilku. Dia menoleh dan langsung terkejut dengan kedatangannku yang tiba-tiba.

"Kok nggak bilang mau ke sini?" tanya Zia. Tangannya masih lihai memasukkan beberapa es batu ke dalam teko. Kemudian ia memasukkan air dan sirup juga. Beberapa gelas di atas nampan ia bawa keluar. Aku enggan mengikutinya, karena kutahu di luar ada Januari kampret yang selalu membuat emosiku naik turun kayak halilintar.

Usai mengantarkan gelas, Zia kembali lagi hendak mengantarkan teko. Namun, kutahan dulu karena aku mau bicara.

"Kenapa, April?"

"Mama mana?" tanyaku menanyakan kehadiran Mama Zia yang sudah kuanggap ibu sendiri.

"Ada di kamar. Lagi tidur."

"Kok, mereka ada di sini? Memang Mama ngizinin?"

"Mereka udah sering main, Pril. Orang rumah Ozan juga itu di samping rumahku. Memang kenapa? Eh, kamu langsung ke sini, ya? Mau ngajak main? Oh iya, kripik pesananmu udah dianterin Januari, kan?" Zia ini kalau ngomong memang suka merepet aja kayak petasan. Aku jadi bingung mau jawab pertanyaannya yang mana dulu.

"Mau nganterin uang kripik. Iya. Udah."

"Ayo ikutan makan rujak. Kita lihatin si Ozan ngulek sambelnya. Pasti kamu ngakak nggak kira-kira kalau lihat dia ngulek."

"Ozan itu yang mana?"

"Yang mukanya agak item, rambutnya botak."

"Zia, tiga laki-laki tadi rambutnya botak semua macem Upin Ipin."

"Masa, sih? Upin ada rambutnya. Tiga orang tadi juga ada rambutnya nggak plontos kayak si Ipin."

"Terus yang matanya sipit itu gebetan kamu?"

Zia nyengir. "Ganteng nggak?"

"Ganteng. Aku tikung boleh?" Aku ikutan menunjukkan jajaran gigi putihku yang rapi.

"Berani kamu nikung, kita putus."

"Santai, Sayang."

Di luar, si manusia biadab alias Januari berteriak memanggil Zia. "Zia, kamu nyediain gelas buat diisi pasir, nih?"

Aku mendengus mendengar suaranya yang menyimpan makna menyuruh Zia ngambilin minum. Cih, sebenarnya siapa yang tuan rumah di sini?

"Diem, Zia. Kalau mereka mau minum ya tinggal ambil sini. Kamu mau ya diperlakukan kayak babu di rumah sendiri?"

"Tamu adalah raja."

"Raja jenongmu. Udah biarin, deh, itu di depan juga ada warung. Mereka tinggal beli air."

"Lah, terus ini air di teko mau diapain? Kamu sanggup ngabisin ini?"

Niatnya mau bikin mereka tersiksa, malah aku yang dipaksa minum air seteko. Kurang ajar!

"Ayo keluar! Kita makan rujak bareng. Kamu lagi masa-masa PDKT sama Januari, iya kan?"

"Nyesel aku kenal dia."

"Nyesel apa bersyukur?"

"Ih, gedek lama-lama ngomong sama kamu, Zia. Udah terkontaminasi sama Januari kamu, ya?"

"Enggak."

"Udahlah aku mau pulang. Nih, uang kripik."

Aku menaruh beberapa lembar uang sepuluh ribuan dan mengucapkan salam sebelum keluar. Sampai di luar, kulihat trio kwek-kwek sedang makan rujak sambil mangap-mangap kepedesan. Muka mereka merah semua. Aku pengin ngakak saat melihat Januari memasukan potongan bengkuang banyak banget ke mulutnya demi menghilangkan rasa pedas. Saat Zia datang membawa teko, mereka langsung menyerbunya.

"Pril, pulang ke mana?" tanya Januari usai aku memakai sepatu.

"Rumah."

"Syukurlah kalau punya rumah."

"Iya, daripada kamu harus numpang di rumah orang."

"Nginep, bukan numpang."

"Oh, tinggal di rumah orang selama tiga bulan itu nginep namanya."

"Jadi cewek nyebelin banget."

"Makasih."

Aku segera meninggalkan rumah Zia sebelum emosiku muncul dan kutelan hidup-hidup itu manusia purba. Aku nggak akan meladeninya lagi. Harus jaga jarak aman. Aku takut dilaporkan ke Komnas HAM cuma gara-gara menganiaya itu orang.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status